Minggu, 30 Maret 2014

Suka Tak Suka, Mereka Ada



Ternyata saya menulis cerpen horor lagi, walau hasilnya ya ngga serem-serem amat. Hehe. 
Cerpen ini ditulis untuk lomba HororProfesi. Sebagian kisah di cerpen ini adalah kisah nyata, termasuk kisah Pak Leman. Happy Reading ^-^.
---
 

Adalah Pak Leman, seorang pengawas di sebuah pabrik terigu yang beroperasi 24 jam sehari, 6 hari seminggu. Hari ini ia mendapat giliran shift ke dua. Masuk kerja pukul 3 sore dan pulang pukul 11 malam. Jam tangannya menunjukkan pukul setengah 6 ketika dia selesai berkeliling di area yang menjadi tanggung jawabnya, sebuah gedung unit penggilingan setinggi 7 lantai. Ia sudah memastikan semua mesin dalam keadaan normal, tidak ada masalah dengan terigu yang dihasilkan dan para staffnya juga sudah melakukan tugas di posnya masing-masing.
Adzan maghrib beberapa menit lagi. Seharusnya dia sudah bersiap-siap ke Masjid dan langsung disambung makan malam. Tapi saat itu dia mendapati ada hal yang kurang pas. Beberapa sarang laba-laba tampak terjalin di langit-langit lantai empat.
Pak Leman bukan karyawan biasa. Ia karyawan senior hasil didikan orang Eropa saat pabrik itu mula-mula berdiri. Para ekspatriat itu tidak mengijinkan adanya toleransi untuk debu maupun kotoran sedikit pun, sebab menurut mereka pabrik terigu adalah pabrik makanan. Itu sebabnya, bagi Pak Leman, sarang laba-laba itu terasa sangat mengganggu.
Alih-alih pergi ke Masjid, Pak Leman mengambil sebuah sapu bergagang panjang. Entah mengapa kali ini Pak Leman tidak menyuruh anak buahnya untuk membersihkan sarang laba-laba melainkan memilih untuk melakukannya sendiri.
Pak Leman mulai menyapu langit-langit. Kepalanya mendongak ke atas, meneliti tiap inci langit-langit pabrik mencari jalinan jaring laba-laba yang paling halus sekali pun. Ia tak ingin ada yang terlewat. Ia berjalan mundur...dan mundur...tanpa menyadari ia semakin dekat dengan lubang hoist[1] yang tak berpagar. Dia terus menyapu langit-langit, mendongak ke atas, berjalan mundur, terus mundur, hingga ia sadar kakinya hanya menapak pada udara.
Tapi kesadarannya terlambat. Tubuhnya terjun bebas dari ketinggian lebih dari 30 meter. Kepalanya terhempas lebih dulu di lantai dasar tanpa sempat berteriak. Tubuh Pak Leman yang terbaring kaku di lantai keramik beserta darah kering yang menggenang di daerah kepalanya baru ditemukan karyawan lain beberapa jam kemudian. Nyawanya tak tertolong. Pabrik terigu itu pun berduka.
Beberapa tahun kemudian, ketika tempat terjadinya tragedi itu sempat beralih fungsi menjadi gudang dan beralih lagi menjadi unit Flour Mixing, aku diterima bekerja di sana.
---
 “Druuuuuummmmm....!!!!”, motor Mixer dengan daya 150 kW di sebelahku tiba-tiba meraung.
Aku terhenyak dan sontak berdiri, memastikan pendengaranku tidak salah. Kulihat baling-baling motor yang hanya berjarak 5 meter dari tempatku duduk itu berputar. Tak salah lagi. Mixer itu sedang bekerja.
Bulu kudukku meremang. Sulit dipercaya. Mesin itu hanya bisa dijalankan melalui layar PLC[2] di Ruang Panel ini. Tapi aku yakin, sudah sejam sendirian dan duduk manis memeriksa laporan kerja. Tak seorang pun menyentuh layar Siemens yang didatangkan langsung dari Swiss tersebut. Lantas, bagaimana mesin itu bisa berputar?
Beberapa saat kemudian, Nanang, asistenku, datang tergopoh-gopoh.
“Kenapa Mixernya dijalankan Bu?”, tanyanya heran. Hari itu memang seharusnya Mixer baru akan jalan setelah makan siang, dan ini masih jam 10 pagi.
“Mixernya jalan sendiri”, desisku.
Nanang terdiam. “Sebenarnya beberapa waktu lalu juga sudah pernah terjadi Bu. Waktu itu Bu May sedang cuti. Saya dan Ahmad melihat sendiri motor Mixer tiba-tiba berputar”, katanya hati-hati.
“Apa?, kenapa nggak cerita?”
“Saya kuatir Bu May nggak percaya”
Ya, memang tidak bisa dipercaya. Hanya ada satu orang yang kupikir bisa memberikan penjelasan logis atas kejadian ini. Tanganku segera meraih gagang telpon dan menghubungi Rico, orang yang bertanggung jawab terhadap program otomatisasi seluruh pabrik.
Automation, selamat pagi”, suara khas Rico terdengar setelah beberapa kali nada sambung.
“Ric, Mixerku jalan sendiri!”, aku tak membalas sapaannya. Aku yakin Rico pasti mengenali satu-satunya suara perempuan di pabrik ini.
“Jalan sendiri?”
Tanpa diminta aku menjelaskan kejadian yang baru saja kualami, termasuk kejadian yang dialami Nanang.
Rico terdiam agak lama, hingga kemudian dia memberikan jawaban yang membuat mataku terbelalak. “Sepertinya mereka itu sedang main-main, May”
“Mereka yang mana maksudmu?”, sergahku. Perasaanku tak enak. “Please jangan bercanda Ric. Kamu kan orang tehnik. Kasih penjelasan yang scientific dong”.
“Justru karena aku orang tehnik, makanya aku tahu pasti Mixer itu tidak mungkin bisa jalan tanpa kamu sentuh PLCnya. Kamu sendiri juga orang tehnik kan? Jadi kamu pasti tahu sendiri dunia tehnik adalah dunia yang eksak. Nggak mungkin kemarin Mixer itu berjalan normal dan hari ini abnormal tanpa ada yang mengutak-atik program PLCnya. Satu-satunya penjelasan lain yang masuk akal adalah karena mereka”, Rico nyerocos tanpa tahu bulu kudukku mulai meremang.
“May, kamu tahu kan Flour Mixing adalah tempat terjadinya tragedi itu”, lanjutnya.
Tragedi? “Pak Leman maksudmu? Iya aku tahu. Jangan diingetin soal itu dong. Kamu kan tahu aku penakut”, gerutuku.
Ya, siapa yang tak tahu sejarah tempat ini? Tempat tewasnya salah satu supervisor karena jatuh dari lubang hoist. Pasca tewasnya beliau, tempat ini dijadikan gudang yang jarang dijamah manusia, hingga kemudian pabrik memutuskan untuk berinvestasi membangung Flour Mixing, tepat di lokasi legendaris ini.
“Apakah kamu juga tahu bahwa setelah beliau meninggal, kehadirannya masih tercatat di personalia hingga beberapa hari setelah kematiannya?”
“Apa?”, kalau yang itu aku benar-benar tak tahu.
“Kamu tahu kan cara absen kita di sini adalah dengan memasukkan lima jari kita dalam mesin absen. Itu tak mungkin bisa diwakilkan oleh orang lain karena bentuk jari manusia itu unik. Saat Pak Leman meninggal sore itu, malam harinya mesin absen masih mencatat jam pulangnya seolah dia masih hidup. Demikian juga keesokan harinya. Dia masih tercatat datang ke pabrik dan pulang malam harinya, hingga tujuh hari. Percaya atau tidak. Bukankah itu juga melibatkan listrik dan program otomatisasi juga?”
Aku melongo mendengar cerita Rico. Aku yang sedari tadi berusaha menyangkal kejadian ini disebabkan energi tak kasat mata dari dunia lain mulai berubah pikiran.
Kejadian hari itu hanyalah awal. Di hari-hari berikutnya mau tak mau membuatku percaya bahwa kami bukanlah satu-satunya bentuk kehidupan di Flour Mixing.
---
“Bu May, Forkliftnya[3] belum datang”, Nanang memberi laporan.
Di pabrik ini, Forklift yang digunakan untuk mengangkut tepung dalam kemasan 25 kg dari area produksi menuju gudang harus dipesan terlebih dahulu. Sehari sebelumnya, aku sudah berkoordinasi dengan pihak Garasi untuk menyediakan 1 unit Forklift karena hari ini kami sedang ada jadwal produksi. Tanpa Forklift, produksi akan terhambat karena jarak dengan gudang terigu cukup jauh.
Dengan kesal, aku mengangkat gagang telpon dan menghubungi garasi. “Halo Pak Agus? Kenapa Forkliftnya belum datang?”, tanyaku to the point ketika mendengar suara Pak Agus, penanggung jawab seksi Garasi.
“Lho, bukannya tadi Bu May sudah batalkan?”
“Membatalkan? Tapi saya tidak membatalkan, Pak!”, tukasku gemas. Tidakkah dia sadar pembatalan ini mengacaukan planning yang sudah kususun rapi?
“Tadi waktu saya telpon untuk konfirmasi, Ibu bilang tidak jadi”, nada suara pak Agus tak terdengar merasa bersalah. Juga tak terdengar bercanda.
“Memangnya kapan Bapak telpon saya? Seharian ini saya tidak ada di kantor Pak. Saya di lapangan terus sejak tadi”
“Lho tadi pagi saya telpon, ibu yang angkat kok. Perempuan di sini cuma Ibu aja kan?”
“Bapak pencet extension berapa?”
“476. Benar kan Bu?”
Sebersit perasaan tak enak terselip dalam benakku. “Bapak nggak bercanda kan?”
“Masya Allah Bu. Buat apa saya bercanda untuk hal yang penting? Semua orang di pabrik ini tahu kepentingan Flour Mixing adalah prioritas utama. Saya nggak akan berani main-main. Begini saja Bu, kalau memang hari ini Ibu butuh Forklift, akan segera saya kirim Forklift cadangan sekarang juga”
Aku menutup telepon setelah mengucapkan terima kasih. Oke, satu masalah selesai. Tapi kini ada satu hal yang sangat mengganggu. Siapa yang bicara dengan Pak Agus saat aku sedang tidak dalam ruang panel?
“Ada masalah apa Bu?”, Nanang yang sedari tadi diam kini bertanya dengan rasa penasaran.
“Sebenarnya kemarin juga sempat ada kejadian seperti itu Bu”, ujarnya setelah aku selesai bercerita.
“Oh ya?”
Lantas bercerita lah dia. Kemarin, Nanang mendapati anak buahnya tiba-tiba berhenti mengemas tepung, padahal target produksi yang kurencanakan belum tercapai. Ketika dia bertanya kenapa berhenti, anak buahnya bilang itu atas perintahku.
“Ahmad bilang, saat itu dia menelpon Ruang Panel hendak menanyakan sesuatu perihal produksi. Dia bilang yang angkat Ibu dan Ibu memerintahkan untuk stop produksi saat itu juga. Kemarin, bukankah Ibu sedang meeting seharian? Makanya saya bilang Bu May nggak mungkin menyuruh produksi stop. Lantas saya suruh dia melanjutkan produksi sesuai planning
Aku melongo. “Kenapa tidak cerita?”
“Saya takut Ibu takut”, jawab Nanang.
Ah ya, Nanang sudah lama bekerja denganku dan tahu persis bahwa aku penakut. Apalagi sejak tahu tempat ini dulu bekas meninggalnya Pak Leman dan sejak melihat dengan mata kepala sendiri Mixer berkapasitas setengah Ton itu bisa berputar sendiri.
Aku menghela napas, mencoba membesarkan hati. Sepertinya, mau tak mau, aku harus menerima kenyataan bahwa mereka memang ada dan hidup berdampingan dengan kami di pabrik ini. Oke, tak apa-apa lah, asalkan mereka tidak sampai menampakkan wujudnya di hadapanku. Aku sama sekali tak menyangka, jika tak lama kemudian aku justru bertemu dengan salah satu dari mereka.
---
Jadwal produksi padat minggu ini. Seringkali kami harus bekerja lembur, demikian juga hari ini.
Pukul 6 sore, semua anak buahku sudah berpamitan pulang. Tinggal aku sendiri membereskan laporan kerja. Di luar mulai gelap.
Aku melihat jam tangan. Sudah lewat beberapa jam dari jam pulang normalku. Aku meluruskan punggung dan menguap. Saatnya pulang. Tadi Nanang bilang akan mengecek pipa transfer di lantai 4 dan langsung pulang. Mungkin sekarang dia sudah di tempat parkir.
Aku segera mematikan breaker utama, mengunci pintu ruang panel dan segera melangkah ke luar.
Baru beberapa langkah di luar pabrik, baru aku ingat ponselku ketinggalan. Sepertinya tadi kuletakkan di meja. Ah, aku harus kembali. Tapi ingatan akan ruang panel yang gelap dan terkunci sesaat membuatku ragu. Tapi tahu sendiri kan? Jaman sekarang ada beberapa orang yang tak bisa hidup berjauhan dengan ponselnya? Aku termasuk yang seperti itu, jadi  aku menguatkan hati untuk kembali.
Ruang panel yang gelap. Rencanaku adalah, segera masuk, sambar ponsel di atas meja, langsung ngacir keluar.
Eh...tapi...mana ponsel pintarku? Rasanya tadi kuletakkan di sini. Kenapa sekarang tidak ada? Aku mulai panik. Masa hilang dicuri?
“Kriiiing...!!!!”, dering interkom membuatku terlonjat kaget.
Siapa yang menelpon Flour Mixing jam segini? Semua tahu Flour Mixing tidak beroperasi 24 jam seperti seksi lain. Dengan gemetar dan menabahkan hati aku mengangkat gagang telpon. “Halo?”
“Laaaannnntaaaaai....emmmmpatttt....”, terdengar suara desis yang sontak membuat bulu kudukku berdiri.
Lantai empat? “Halo...? Halo...? Ini siapa?”, tanyaku.
“Laaaannnntaaaaai....emmmmpatttt....hhhhh.....!!!”, terdengar dengus berat seperti suara binatang lapar.
Jantungku berdebar kian keras. Ya Gusti, apa yang harus kulakukan? Aku memutuskan untuk berlari ke luar. Tapi tepat beberapa meter di depan pintu ke luar, aku melihat sesuatu yang tak pernah kuharapkan pernah kulihat. Seorang kakek berjenggot panjang. Matanya seram melotot menatapku. Menyeramkan. Aku harus lari, pikirku. Tapi sosok itu menghalangi pintu keluar.
Aku lantas teringat pintu sambungan yang menghubungkan gedung Flour Blending ini dengan gedung penggilingan di sebelah. Mereka beroperasi 24 jam, jadi aku yakin jam segini tempat itu masih terang benderang dan pasti masih ada orang. Aku harus ke sana. Tapi masalahnya, pintu sambungan itu ada di lanta empat. Lantai tempat Pak Leman....
Tapi apakah ada pilihan lain? Aku berbalik badan dan segera lari ke lantai empat.
Nafasku memburu ketika aku tiba di lantai 4. Lampunya terang benderang. Rupanya Nanang lupa mematikan lampu. Tapi untuk kali ini aku bersyukur dia lupa. Besok akan kukatakan padanya agar tidak perlu mematikan lampu saat pulang, jaga-jaga jika seandainya aku harus kembali ke tempat ini untuk mengambil barang tertinggal. Tapi ah, itu urusan besok. Urusanku sekarang adalah melarikan diri dari sosok kakek yang menyeramkan tadi.
Aku berdoa semoga pintu sambungan itu tidak terkunci. Jika iya, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan?
Aku hanya langkah sebelum sampai di pintu yang kumaksud, ketika tiba-tiba terdengar melodi yang sangat kukenal; Ringtone ponselku. Aku berhenti, menoleh dan berusaha mencari di mana sumber suara itu. Ah, itu dia tersembunyi di bawah tangki. Aku bersorak girang. Ponselku tidak jadi hilang!
Aku membungkuk demi meraih ponsel yang tergelatk di lantai. Saat itu lah aku melihat sesuatu. Eh bukan sesuatu, melainkan seseorang, terbaring telentang di lanati. Tak butuh waktu lama untuk menyadari itu siapa. Nanang!?
“Masya Allah! Nanang...!!!”, aku langsung tergopoh-gopoh mendatanginya. Kuletakkan tanganku di dadanya. Ada detak, tapi sangat lemah. Kucoba mendeteksi hembusan nafasnya. Ada, tapi terputus-putus.
Beruntung aku aku sudah bersatu lagi dengan ponselku. Ringtonenya sudah tak lagi melengking. Dengan panik, aku segera menghubungi nomor telpon pabrik ini yang jam segini otomatis tersambung dengan Security. Aku berusaha menerangkan kejadian yang kualami dan lokasi tempat aku dan Nanang berada. Tidak butuh waktu lama bagi tim Security untuk menemukan tempat kami. Mereka juga dengan sigap menyiapkan Ambulan yang langsung membawa Nanang ke rumah sakit terdekat.
---
Nanang nyaris tidak selamat. Namun puji Tuhan, beberapa hari kemudian dia sudah cukup kuat untuk menceritakan apa yang dialaminya hari itu.
Malam itu sebelum pulang, dia memang berniat mengecek pipa transfer tepung yang dilaporkan bocor.  Posisinya di atas tangki. Saat hendak turun dari tangki setinggi 3 meter itu, Nanang terpeleset. Mungkin karena melamun atau kelelahan. Saat itu kami memang nyaris tidak punya waktu istirahat karena dikejar jadwal produksi. Beruntung dia ditemukan olehku yang kembali demi mencari ponsel yang tertinggal.
Atau lebih tepatnya, beruntung karena ditemukan olehku yang ketakutan karena melarikan diri dari sosok mengerikan di pintu keluar. Jika bukan karena sosok kakek berjenggot panjang itu, mungkin aku sudah langsung lari tanpa mempedulikan peringatan lewat telepon yang menyuruhku ke lantai empat.
Hingga kini, bagaimana ponselku bisa ada di lantai empat masih menjadi misteri. Nomor yang menghubungiku tepat saat aku hendak keluar menuju pintu penghubung itu pun hingga kini tidak bisa dihubungi. Kejadian hari itu tetap menyisakan beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar. Tapi satu hal yang membuatku sadar; mereka memang ada, hidup berdampingan dengan kita dalam dimensi yang berbeda. Mereka ini, terkadang justru  menjadi penolong.
---
“Kriiiing...!!!”, interkom di ruang panel menyalak.
“Halo?”, sahutku.
“Puuuuullllaaaaanggggg....!!!”
Bulu kudukku meremang, aku segera menyambar tas kerjaku, dan lari terbirit-birit dari Ruang Panel. Aku keasyikan merekap laporan kerja untuk bahan meeting besok pagi tanpa sadar di luar gelap.
Ya, walau aku tahu mereka berusaha berkomunikasi denganku melalui cara yang tak lazim, aku tetap saja tidak bisa tidak ketakutan.
Malam itu, aku pulang tanpa mengunci ruang panel dan mematikan lampu. Biarkan saja, pikirku. Bukankah ada mereka yang menjaga pabrik selama aku pulang?

-selesai-



[1] Ruang persegi yang sengaja tidak diberi lantai mulai dari lantai dasar hingga lantai paling atas untuk menaik turunkan barang/benda berat.
[2] Programmable Logic Controller, biasa digunakan untuk proses otomatisasi industry.
[3] Kendaraan berat dengan garpu di bagian depan untuk mengangkat beban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)