Rabu, 28 Mei 2014

Terunyan

“Akhirnya sampai juga” kata Pak Putu, driver mobil rental yang kusewa dari Bandara Ngurah Rai empat jam yang lalu.
Aku menghembuskan napas lega, demikian juga Pak Putu. Perjalanan ke tempat ini  bukanlah hal yang mudah. Kami harus melewati jalan pegunungan yang sempit, naik turun dan berkelok-kelok. Ini kali pertama aku berkendara di sebuah lembah yang diapit kokohnya pegunungan hijau di sisi kanan dan kemilau air danau di sisi kiri. Menurut Pak Putu, jalan ini beberapa tahun lalu belum ada, sehingga orang-orang harus membelah danau dengan boat jika ingin sampai ke mari.
Aku melangkah keluar dari mobil dan langsung disergap oleh hawa sejuk khas pegunungan. Tempat ini  sungguh luar biasa!, batinku ketika mendongak ke atas dan melihat kabut yang mulai turun dari puncak gunung. Aku sedang berada di sebuah desa terpencil di balik gunung, tepat di bibir Danau Batur.  Entah orang macam apa yang dulu memulai peradaban di tempat ini. Jika jalan darat yang kami lewati tadi baru ada beberapa tahun terakhir, lantas bagaimana para founding father desa ini dulu menuju ke mari? Apakah dengan perahu? Atau dengan membabat jalan setapak di perut gunung? Untuk apa mereka membangun sebuah desa di tempat terpencil yang terbungkus misteri ini?
Aku membalik badan ke arah danau dan kian takjub ketika menyadari bahwa desa ini tepat menghadap Gunung Batur yang berdiri angkuh di seberang sana. Sayangnya, aku ke sini bukan demi melancong. Jika bukan karena Tante Wita yang kini sedang sekarat, aku mungkin tak kan pernah ke mari.
Tante Wita adalah adik ipar Mama. Suaminya, Om Widodo, adalah adik kandung Mama dan sudah dua tahun lalu meninggal. Saat ini, Tante Wita sedang terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit di Jakarta. Dokter bilang, sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain berdoa agar penderitaan Tante segera berakhir. Tante Wita tidak punya anak, tapi keponakannya banyak dan aku adalah keponakan yang paling dekat dengannya. Setiap hari, kami bergantian menjaganya.
Saat giliranku menjaga Tante, ia sempat terjaga lantas berbisik lemah dan terpatah-patah; “Te...ru...nyan di Bang...li to...long ca...ri I...Gus...ti...Ngu...rah...Astina. Sam...paikan a...ku mo...honnn ma...af....” nafasnya tersengal sebelum kembali tak sadarkan diri. Aku mencatat perkataan Tante di selembar kertas dan menunjukkannya pada Mama.
Mama, yang ternyata mengerti maksud tulisan itu lantas menjelaskan semuanya tentang masa lalu Tante Wita. Nama asli Tante adalah Ni Kadek Dwiyatirta. Dia lahir dan besar di Desa Terunyan[1], Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Adalah cinta, hal klise namun kerap membuat rumit segala urusan, yang akhirnya membuatnya memilih untuk mengikuti pujaan hatinya ke pulau Jawa. Ia mengabaikan orang tuanya yang tidak setuju jika ia menikah dengan orang yang berbeda suku. I Gusti Ngurah Astina adalah nama ayah Tante Wita. Beliau mengancam tidak akan mengakui Tante Wita sebagai anaknya lagi. Namun Tante Wita sudah memilih untuk membuang nama Ni Kadek Dwiyatirta dan memulai hidup baru di Jakarta. Sekarang, ketika ia merasa ajalnya sudah dekat, ia ingin untuk terakhir kalinya memohon ampun pada ayahandanya atas keputusannya di masa lalu.
Setelah rapat singkat, keluarga besar kami sepakat, jika tugas menyampaikan pesan itu diserahkan kepadaku, keponakan laki-laki tertua Tante Wita.
Begitulah awal mula perjalananku ke Bali mencari Desa Terunyan, desa misterius dengan deretan tempat sembahyang khas Hindu yang dibangun di sepanjang jalan masuk menuju desa.
“Selamat sore. Adi[2] hendak ke makam?” sapa seorang lelaki setengah baya.
“Oh...tidak Pak” aku gelagapan sambil mencari notes dalam ranselku. “Saya mencari Bapak...I Gusti Ngurah Astina. Apakah Bapak kenal beliau?”.
Lelaki itu mengernyit. “Ada keperluan apa Adi mencari Pak Ngurah?”
“Saya hendak menyampaikan pesan dari putrinya, Ibu Ni Kadek Dwiyatirta” jawabku lantas menjelaskan tujuanku datang ke mari.
Lelaki itu manggut-manggut. “Iya ya, saya kenal Dwiyatirta”
“Kalau begitu, Bapak bisa tunjukkan di mana rumah Pak Ngurah?”
Lelaki itu menghela napas. “Bisa saja, Adi. Tapi beliau sekarang tinggal sana” telunjukan mengarah ke sebuah tempat di balik bebatuan dan pepohonan yang menjorok ke danau. “Kita harus naik perahu. Mari Bapak antar sekarang.”
Leherku memanjang mengikuti arah yang ditunjukkan lelaki yang ramah itu. Apakah di balik batu itu juga ada perkampungan?, pikirku.
“Ayo kita berangkat sekarang supaya Adi bisa segera berjumpa dengan Pak Ngurah” jawabnya sambil mulai melangkah ke arah bibir danau.
Aku mengikuti langkah lelaki itu menuju tempat beberapa perahu tertambat. Sesaat aku ragu melihat perahu kayu tua yang tampak ringkih dengan cat yang sudah mengelupas. Tapi aku tak punya pilihan lain, jadi mau tak mau aku melangkahkan kaki memasuki perahu tradisional yang langsung bergoyang-goyang begitu satu kakiku melangkah masuk.
Lelaki itu (yang belakangan kutahu bernama Pak Wayan), mulai mendayung. Butuh sekitar dua puluh menit ketika kami akhirnya merapat di sebuah dermaga kayu.
Tempat macam apa ini? batinku ketika berjalan melewati dua gapura kecil yang masing-masing sisinya “dihiasi” sebuah tengkorak manusia. Ya betul, aku tidak salah ketik, yang kulihat itu benar-benar tengkorak manusia!
Ternyata tengkorak yang kulihat itu bukanlah satu-satunya. Aku segera melihat puluhan tengkorak lain yang disusun rapi di atas batu yang mulai berlumut ketika aku masih berdiri di pintu masuk. Sebuah pohon raksasa yang berdiri tegak tak jauh dari tempatku berdiri langsung menarik perhatianku. Bentuknya aneh, tidak seperti lazimnya pohon yang memiliki sebuah batang yang tegak. Batang pohon ini terdiri dari puluhan batang-batang aneka ukuran yang saling menyatu. Tidak jelas apakah itu memang benar batang pohon ataukah cabang-cabang pohon yang mengarah vertikal hingga menembus tanah. Yang jelas, di mataku, pohon itu tampak misterius. Angker.
“Ini pohon Terumenyan, Adi. Teru artinya pohon. Menyan artinya wangi. Dulu pohon ini berbau wangi. Tapi sekarang sudah saling menetralkan dengan bau jenazah. Jadi pohon ini sudah tidak wangi dan jenazah pun sudah tidak berbau” jelas Pak Wayan tanpa kuminta.
“Eh, jenazah?” aku ternganga.
“Ya, di sebelah sana” Pak Wayan menunjuk ke arah bahu kiriku.
Aku menoleh dan melihat deretan anyaman bambu berbentuk prisma segitiga.
“Ini adalah makam suci Desa Terunyan. Hanya orang yang sudah menikah dan meninggal secara wajar saja yang boleh dimakamkan di sini” lanjut Pak Wayan.
Astaga! Jadi itu sebabnya banyak tengkorak manusia di sini.
“Pak Ngurah ada di sebelah sana” Pak Wayan menunjuk salah satu anyaman bambu berbentuk segitiga. “Beliau baru seminggu yang lalu meninggal.”
Ternyata anyaman bambu itu adalah cungkup-cungkup berisi jenazah. Kakiku setengah gemetar menghampiri deretan almarhum yang diletakkan begitu saja dan hanya ditutupi selembar kain. Kini aku tepat berada di depan jenazah Pak Ngurah. Aku bahkan masih bisa melihat wajahnya yang belum terlalu rusak di sela-sela anyaman bambu.
“Cungkup-cungkup bambu itu dibuat untuk melindungi jenazah dari binatang buas. Maklum, tempat ini kan dekat dengan hutan” jelas Pak Wayan. “Sayang sekali. Seandainya Adi seminggu lebih cepat datang ke mari, mungkin masih sempat bertemu beliau. Beliau sebenarnya juga sangat ingin mendengar kabar putrinya” katanya lagi.
Aku tergugu mengagumi tradisi arkeologi yang masih ada di jaman modern seperti ini. Aku merasa seperti sedang mengikuti pengambilan dokumentasi untuk majalah National Geographic.
Aku berjingkat kaget ketika ponselku bergetar. Dari Mama.
“Dimas, Tante Wita baru saja meninggal. Bagaimana di sana? Sudah ketemu?” Mama berkata setengah terisak.
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab; “Sudah  Ma, tapi sepertinya nanti Tante Wita yang akan menyampaikan permohonan maafnya sendiri...”
-end-

 Note: Cerpen ini adalah tugas 1 pasca Kampus Fiksi; membuat setting 2 tempat yang berbeda.



[1] Desa Terunyan juga kerap disebut Desa Trunyan.
[2] Adi = Bahasa Bali untuk memanggil laki-laki yang lebih muda

Senin, 26 Mei 2014

Mencari Bapak


Cerpen ini ditulis saat ikut Kampus Fiksi di kota Gudeg, 24-25 Mei lalu. Dibuat dadakan hanya dalam waktu 3 jam dengan tema yang sudah ditentukan panitia.
Hasilnya, cerpen ini menjadi terbaik kedua dari 20 peserta Kampus Fiksi (by the way, opo sih Kampus Fiksi? Ntar saya bikin postingan tentangnya setelah ini yah).
Awalnya si bangga setengah besar kepala gitu pas dibilang cerpen ini terpilih sebagai salah satu dari dua cerpen terbaik KF angkatan 8 (piye nggak bangga, wong pesertanya adalah hasil seleksian dan beberapa di antara mereka sudah melahirkan novel). Namun eh namun, rupanya saya nggak bisa songong kelamaan karena begitu cerpen ini dibedah oleh Pak Edi Mulyono (CEO Diva Press group sekaligus salah satu angkatan sastra tahun 2000), ternyata cerpen ini masih banyak salah alias belepotan *sighed. Walhasil, habislah cerpen saya diobok-obok di depan beberapa puluh khalayak literasi.
Tapi saya senang, kapan lagi coba cerpen kita bisa dibaca dan dikritik oleh orang yang sudah bolak-balik bikin buku dan bikin cerpen di koran-koran?
Dan, ini lah garis besar kesalah yang saya buat di cerpen ini;
1. Kesalahan tanda baca untuk bagian dialog. (Setelah tanda petik tidak boleh ada koma)
2. Penggunaan kata "entah mengapa" yang membuat penulis terlihat malas memberikan argumen.
3. Penumpukan adegan tokoh dalam satu paragraf.
4. Penulisan dialog yang terlalu panjang dalam satu paragraf.
5. Penulisan frase/snapshot yang terlalu panjang.

Ok! Voila! ini lah hasilnya cerpen yang dibikin dadakan itu (tapi ini sudah saya perbaiki sesuai masukan dari Pak Edi dan mentor-mentor KF)

***
 

Aku tidak menyangka harus mencarinya lagi, dengan sangat terpaksa, justru menjelang saat-saat bahagiaku. Lelaki itu, yang telah meninggalkan luka tak kunjung kering walau ada dinding bernama jarak dan waktu, kini terpaksa kutemui lagi.
“Kalau ini bukan karena masalah syariat, aku juga tidak ingin mencarinya, Zam. Kamu tahu aku benci padanya” aku berusaha meyakinkan Azzam, calon suamiku.
Azzam menghela napas panjang. Wajahnya tampak enggan membahas masalah yang tak juga ada ujungnya ini. “Apakah harus sampai seperti itu, Lina? Apa perlu kamu sampai mencarinya di Surabaya?” tanyanya.
“Harus, Zam!” sergahku. “Kamu juga tidak mau pernikahan kita tidak sah di mata Allah kan? Bukankah wali adalah salah satu syarat sah nikah? Kamu juga tahu kalau Bapak kandungku masih hidup, dia lah yang seharusnya menjadi wali nikahku.”
“Tapi kalian kan sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun, Lin. Urusan perwalian kan bisa kita wakilkan pada orang lain kalau yang bersangkutan memang sudah tidak ada.”
“Tapi itu bukan berarti Bapakku sudah meninggal kan?”
“Bagaimana kalau kamu tidak bisa menemukannya lagi di Surabaya?”
 “Setidaknya Allah tahu aku sudah berusaha, Zam” ujarku mantap.
Wajah Azzam melunak. “Baiklah, dengan dua syarat. Satu, kau kutemani ke Surabaya. Dua, paling lama satu minggu untuk pencarian ini.”
Aku mengangguk dan mendesah lega. “Terima kasih, Azzam” desisku.
***
Pesawat Boing 737 mendarat mulus di Bandara Juanda Aku memandang keluar jendela kabin. Langit sore mulai menggelayut di atas kota Surabaya, kota kelahiranku sekaligus kota yang paling kuhindari. Alasannya hanya satu, aku tak ingin berada satu kota dengan dia, dengan Bapak, lelaki yang kuanggap sebagai penyebab kematian Ibu.
Aku masih ingat dengan jelas, belasan tahun lalu, tiba-tiba Bapak pergi. Begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa pesan. Tanpa menjelaskan apa-apa pada Ibu, apalagi padaku. Setengah mati Ibu mencari Bapak ke mana-mana. Ke pabrik tempat Bapak bekerja, ke rumah teman-teman Bapak hingga ke warung kopi tempat Bapak biasa menghabiskan waktu. Tapi Bapak seolah raib, menguap begitu saja, meninggalkan Ibu yang merana.
Ibu meninggal tak sampai setahun setelah Bapak pergi. Dokter bilang penyebabnya adalah radang paru-paru. Tapi menurutku bukan karena itu. Ibu meninggal karena tergerus kesedihan luar biasa karena Bapak pergi tiba-tiba. Sejak itu aku benci luar biasa pada Bapak.
Sepeninggal Ibu, aku diangkat anak oleh salah satu tetangga yang kasihan melihatku sebatangkara. Beliau adalah seorang anggota TNI AL yang sering berpindah tugas. Setahun sejak Ibu meninggal, kami pindah ke Makasar.
Aku terus mengikuti Bapak angkatku berpindah-pindah kota hingga akhirnya berlabuh di Jakarta. Bekerja di sana dan berjumpa dengan Azzam. Kami berencana menikah beberapa bulan lagi. Di saat segala persiapa tetek bengek pernikahan sudah selesai; undangan, gedung, kebaya pengantin, catering dan lain-lain, masalah paling utama, yakni wali nikah justru menjadi penghambat rencana pernikahan itu.
“Aku tidak peduli kamu anak siapa, Lina. Aku mencintaimu karena aku memang cinta kamu. Itu saja. Lihatlah, orang tuaku pun tidak mempermasalahkan latar belakang keluarga kamu kan?” dulu Azzam pernah berkata saat berusaha meyakinkanku agar tidak usah ke Surabaya untuk mencari Bapak.
Tapi aku terus saja bersikeras untuk melakukan itu demi satu tujuan; agar pernikahan kami sah di mata Allah. Perbincangan kami kerap menemui jalan buntu tanpa solusi hingga akhirnya Azzam menyerah. “Aku hanya tak ingin ada yang mengganjal di hari pernikahan kita” cetusnya sesaat setelah mengijinkanku pergi ke Surabaya demi mencari Bapak.
***
Mencari seorang Bapak di tengah kota metropolitan kedua terbesar se-Indonesia tentu saja seperti mencari seekor kutu dalam tubuh seekor kucing Anggora yang sering dibawa majikannya ke salon kucing. Hanya dengan berbekal nama Bapak dan nama pabrik bir tempat ia bekerja dulu, aku mulai melakukan pencarian.
Pabrik bir itu ternyata sudah tutup dan sekarang sudah menjadi toko swalayan. Tentu saja tak ada yang kenal siapa Bapak. Orang-orang di sekitar sana, karyawan toko dan petugas security sampai sopir taxi yang mangkal di sana sudah kutanyai. Hasilnya nihil. Tapi aku tidak putus asa. Aku yakin, di bekas pabrik ini lah aku akan mendapat petunjuk di mana orang yang sangat kubenci itu berada.
Hari keenam di Surabaya. Hari ini, ada rolling karyawan. Security yang bertugas di toko swalayan cabang lain hari ini mulai bertugas di toko swalayan bekas pabrik bir. Aku segera bertanya pada salah satunya, yang ternyata mulai memberiku titik terang.
“Pak Basuki? Rasa-rasanya ada teman Bapak saya yang namanya seperti itu. Dulu Bapak saya memang karyawan pabrik bir ini Mbak, sebelum akhirnya kena PHK karena pabrik tutup. Tapi kalau tidak salah dulu Pak Basuki sempat lamaaaa nggak pernah bertandang ke rumah kami. Kira-kira tiga tahunan lah Mbak. Terus tiba-tiba dia muncul lagi, ingin kembali bekerja di pabrik tapi pabrik sudah bangkrut. Akhirnya dia diajak Bapak jadi supir angkot. Tapi saya tidak tahu di mana rumahnya. Kalau mau, Mbak balik saja besok ke sini. Nanti saya tanyakan sama Bapak saya di mana alamat Pak Basuki” terang petugas Security itu panjang lebar.
Aku sumringah, tapi kemudian merengut. Aku tidak punya waktu sampai besok. “Ngetemnya biasanya di mana Mas?” tanyaku lagi.
“Oh, Mbak coba cari di daerah stasiun Wonokromo. Tapi saya tidak tahu jam segini dia ada di sana atau tidak” jawabnya sambil mengangkat bahu.
Aku pun langsung menyeret tangan Azzam setelah mengucapkan terima kasih. Tujuan kami berikutnya adalah Stasiun Wonokromo.
***
Begitu sampai di Stasiun Wonokromo, aku langsung menanyai belasan supir angkot yang sedang menunggu penumpang.
 “Bas...!!! Onok sing nggoleki iki lho!” teriak orang ke-tujuh belas yang kutanyai. Lelaki berambut putih yang sedang diteriakinya menoleh dan langsung melihatku. Tampak jelas dia terkejut.
“Kamu sudah memikirkan mau berkata apa pada Bapakmu kan?” bisik Azzam yang kembali mengoyak kenangan memilukan itu.
Aku tidak tahu. Sungguh aku tidak tahu hendak berkata apa. Apakah tentang pernikahanku? Apakah tentang kepergiannya yang tanpa kata-kata? Atau tentang kematian Ibu?
Lelaki itu melangkah keluar dari angkot. Tak salah lagi. Itu memang Bapak. Aku tak mungkin lupa pada wajahnya walau dia sudah lebih banyak berubah dibanding belasan tahun lalu. Tubuhnya lebih hitam, lebih kurus, rambutnya putih dan pipinya lebih cekung.
“Lina? Ya Allah. Ini kamu, Nak?” tanyanya. Tangannya terulur hendak menyentuhku.
 Refleks aku menepis tangannya dan memandangnya dengan tatapan muak.
Melihat Bapak, api kebencian itu muncul lagi dan membuatku lupa apa tujuan utamaku jauh-jauh ke mari. Kepedihan belasan tahun akibat kepergian tanpa pesan dan kehilangan Ibu kembali menyeruak.
“Ibu meninggal, Pak. Dan itu semua gara-gara Bapak” suaraku gemetar.
“Bapak tahu, Nak. Bapak sudah berusaha mencarimu ke mana-mana untuk menjelaskan semuanya.”
“Penjelasan apa?” sempurna sudah air mataku berlinang.
“Alasan Bapak dulu pergi.”
Keningku mengernyit. Untuk apa dia menjelaskannya sekarang. Semuanya sudah terlambat. Terlambat belasan tahun.
“Kenapa Bapak tidak jelaskan dulu? Saat Ibu masih ada?” isakku.
Azzam merengkuh bahuku, berusaha menenangkan.
“Karena urusannya begitu rumit dan Bapak tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada Ibumu.”
“Bapak menikah lagi, bukan?” ujarku ketus. Apalagi alasan lain selain itu? Apalagi selain karena ada perempuan lain?
Bapak menggeleng.
“Nak, Bapak dan Ibumu...kami...sebenarnya adalah saudara satu ibu susu. Dan itu baru Bapak ketahui belakangan ketika kamu sudah lahir. Bapak tidak tahu harus berbuat apa selain pergi meninggalkan Ibumu. Bapak tahu, Bapak salah...”
Suaranya terhenti sejenak. Aku terperangah.. Ya Tuhan, apakah aku tidak salah dengar?
“Seharusnya Bapak jelaskan semuanya agar Ibumu tidak menderita. Tapi Bapak tidak mampu menceraikannya, tidak mampu melihatnya menjadi milik orang lain. Bapak sangat mencintai Ibumu, Nak. Makanya Bapak memilih pergi jauh. Kawan-kawan Bapak tak ada satu pun yang Bapak pamiti. Sampai suatu hari Bapak dengar Ibumu meniggal. Ketika Bapak kembali ingin mencarimu, ternyata kamu pun sudah tidak ada. Bapak masih berharap suatu saat kamu kembali, makanya Bapak memutuskan untuk tetap di Surabaya sambil berharap kelak kamu mencari Bapak” nafas Bapak terengah-engah usai menceritakan segalanya. Dua larik air mata membasahi pipinya yang mulai renta. “Maafkan Bapak, Nak. Bapak mohon...”.
Aku merasakan tangan Azzam kian erat merengkut bahuku.
Aku menoleh ke arahnya, berharap menemukan jawaban, aku harus berbuat apa?
“Maafkan dia, Lin. Maafkan dia” bisiknya lembut.
Tangan Bapak terulur kembali ke arahku.
Kali ini aku tidak menepisnya.

-selesai-
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)