Rabu, 19 Maret 2014

Mukenah Sang Muallaf


Suatu sore yang sendu di toko buku.
“Ustadzah…Ustadzah…!!!”.
Aku menoleh mendengar suara panggilan tersebut, walau aku bukan seorang Ustadzah. Aku tersenyum melihat seorang bocah laki-laki 7 tahunan yang memandangku dengan mata bulatnya yang polos.
 “Yah…ada Ustadzah…!!!”, tangannya menarik kaos Ayahnya demi menarik perhatian lelaki dewasa berkulit gelap di sebelahnya. Sang Ayah, yang sedang menekuni sebuah buku, mengangkat wajahnya dan melihat ke arahku. Terlihat sekali raut wajahnya langsung tampak malu karena ulah anaknya.
“Hush..nggak boleh begitu. Ayo minta maaf”, titahnya.
Sang anak pun menurut. “Maaf yaa….”, ujarnya lirih.
Aku terkekeh. “Nggak apa-apa Pak. Anaknya pintar sekali”
“Iya Mbak. Anak ini kalau lihat perempuan pakai kerudung selalu dipanggil Ustadzah”, Ayahnya menjelaskan tanpa kuminta.
“Oh…mungkin karena sama dengan gurunya di sekolah ya Pak?”
 “Oh nggak Mbak. Soalnya kita baru kenal Islam. Baru….lima bulan”, lanjut Bapak itu.
Oh…muallaf…Entah kenapa, Bapak ini membuatku tertarik untuk melanjutkan obrolan. Dari bincang-bincang singkat, aku tahu dia ternyata bekerja di Kalimantan, walau aslinya orang Madiun. Bapak ini punya 3 anak. Yang paling besar ya yang memanggilku Ustadzah tadi, sementara Istri dan dua anaknya yang lain saat ini sedang di Kalimantan. Sore itu, dia dan anaknya berada di toko buku karena ingin melewatkan waktu sambil menunggu keberangkatan kapalnya ke Kalimantan beberapa jam lagi.
Tak lama kemudian, Bapak berkaus merah itu mengambil sebuah buku yang sampulnya bergambar seorang perempuan yang sedang shalat. Kami memang sedang berada di bagian buku agama Islam.
“Ini lho Mbak, kalau perempuan shalat kan harusnya seperti ini ya? Pakai mukenah”, komentarnya tiba-tiba.
Aku mengernyit bingung. “Iya Pak”, jawabku.
“Istri saya belum punya mukenah. Jadi kalau shalat pakai taplak meja”
Apa? Taplak meja?, aku merasa seolah rahangku jatuh ke lantai saking kagetnya.
“Karena kami sekeluarga masuk Islam, bantuan dari Gereja distop. Dulu kami masih dapat bantuan beras dan biaya sekolah. Makanya sejak masuk Islam, anak saya ini berhenti sekolah. Karena keluarga kami pas-pasan, saya juga masih belum bisa membelikan istri saya mukenah. Makanya saya suruh dia pakai taplak meja kalau shalat”, tiba-tiba Bapak itu menerangkan latar belakang keluarganya tanpa kuminta.
Aku mengangguk-angguk dengan kening berkerut. Anak putus sekolah dan ketiadaan beras bukanlah cerita baru. Tapi...shalat dengan mengenakan taplak meja? Rasa kagetku mendengar masih ada orang yang shalat tanpa mukenah membuatku tak bisa berkata-kata.
“Seharusnya perempuan kan pakai kerudung kaya Mbak ini. Istri saya juga minta dibelikan kerudung. Tapi saya bilang, kalau saya punya uang, akan saya belikan dia mukenah dulu”, lanjutnya.
“Ngg...sebenernya tidak harus pakai mukenah si Pak. Kalau ada celana panjang dan baju lengan panjang dan kaus kaki juga bisa dipakai solat”, kataku lirih setelah kebingungan hendak berkomentar apa.
“Istri saya cuma punya satu celana panjang Mbak. Itu memang dipakai solat, tapi kalau sedang dicuci, ya akhirnya dia pakai baby doll segini sama taplak meja”, tangan Bapak itu menunjuk lutut dan sikunya.
Aku pun terdiam lagi. Tiba-tiba secercah ide melintas di kepala, tapi aku tak tahu bagaimana caranya mengatakan pada Bapak itu. Aku meliriknya yang masih melihat-lihat buku.
“Ngg...boleh saya minta alamat Bapak di Kalimantan? Nanti saya kirim Mukenah, mau?”, tanyaku memberanikan diri karena takut dia tersinggung.
Bapak itu langsung menggeleng cepat. “Ohh..nggak usah Mbak. Saya ini cuma cerita aja kok nggak bermaksud apa-apa. Lagian rumah saya itu nggak ada alamatnya. Soalnya ada di tengah hutan”
Eh? Tak punya alamat? Bapak ini macam datang dari negeri antah berantah saja, pikirku.
“Atau mungkin alamat kantor kelurahan atau alamat apa gitu yang bisa dikirimi surat?”, tanyaku penuh selidik.
“Sebenarnya ada sih Mbak, alamat tempat saya kerja. Tapi beberapa waktu lalu ada teman yang hendak berkirim surat ke sana, malah suratnya balik lagi ke pengirim karena tidak sampai”
Masya Allah...ini Bapak hidup di era mana sih? Kok ya masih ada tempat yang masih tak tersentuh peradaban di jaman modern begini. Di indonesia lagi.
“Kalau gitu, Bapak ikut saya aja ya. Rumah saya dekat kok. Masih ada waktu kan sebelum naik kapal?”, desakku lagi.
Bapak itu menggeleng lagi. “Oh...nggak usah Mbak...saya nggak mau merepotkan...”, tolaknya.
Buntu lagi. Tapi Bapak itu benar juga. Aku naik motor dan hanya bawa 1 helm. Bagaimana aku bisa memboncengnya tanpa helm dan melintasi jalan tengah kota di sore yang padat seperti hari itu?
Akhirnya aku diam. Aku sudah kehilangan akal bagaimana caranya agar bisa memberikan mukenah dan kerudung untuk istrinya.
Keinginan membeli buku sore itu musnah sudah. Aku tak sanggup lagi berkonsentrasi memilih buku gara-gara pikiranku dipenuhi gambaran seorang perempuan yang shalat tanpa menutup auratnya dengan sempurna. Sungguh aku merasa berdosa jika mengetahui hal itu tapi lantas tak bisa berbuat apa-apa.
Tak lama aku berpamitan pulang. Bapak itu mengangguk sopan dan bilang bahwa sebentar lagi ia juga akan segera ke Pelabuhan.
Di atas kendaraan, gerimis yang semenjak tadi membasahi hatiku kini benar-benar berubah menjadi hujan deras yang menggenangi pipiku. Setelah puas menangis, baru aku sadar aku telah berbuat bodoh.
Kenapa Bapak itu tidak kusuruh saja menunggu di toko buku sementara aku pulang mengambilkan mukenah? Kalau sekarang aku cepat-cepat pulang terus ambil mukenah terus balik lagi ke sana masih keburu nggak ya? Jangan-jangan dia sudah ke Tanjung Perak? Sia-sia dong aku balik. Lagian, aduh, capek banget badanku ini. Aku pengen segera sampai rumah dan menghabiskan sisa hari di dalam rumah saja. Etapi, mana tega aku membiarkan seorang perempuan solat tanpa mukenah, sementara di rumah aku memiliki banyak mukenah? Tapi, gimana nanti kalau Bapak itu sudah balik ke Kalimantan?
Aneka pikiran bersliweran dalam otakku, termasuk pikiran-pikiran buruk.
Gimana kalau Bapak itu tadi menipu? Siapa tahu dia berharap aku kasih dia uang untuk beli Mukenah? Makanya dia setengah mati menolak dikirimi Mukenah? Lagian, mana ada sih tempat yang tak bisa dijangkau Pos Indonesia? Masa sih ada orang yang hanya punya 1 celana panjang? Etapi, gimana kalau yang diceritakan tadi tidak mengada-ada? Lagian, Bapak itu tadi sama sekali tidak memasang wajah memelas yang minta dikasihani. Sepertinya dia tidak punya maksud apa-apa selain berbagi cerita denganku. Bagaimana kalau yang diceritakannya memang benar? Bahwa masih ada seorang Muslim yang tak bisa menutup auratnya saat menghadap Allah? Masya Allah...
Setibanya di rumah, entah apa yang membuatku seperti orang kesurupan. Tanpa lepas sepatu dan helm, aku masuk ke kamar dan langsung menuju lemari mukenah. Kuambil salah satu dengan asal, termasuk beberapa lembar kerudung dari laci kerudung. Benda-benda itu kumasukkan dalam tas berisi sajadah yang kebetulan kuperoleh dari seorang teman yang baru pulang Umrah.
Si Bibi yang menjaga anak-anakku keheranan melihat tingkahku yang tidak biasa. “Ada apa, Mbak? Mau ke mana lagi?”, tanyanya begitu melihatku naik lagi ke atas motor.
“Nanti aja ceritanya Buk. Aku buru-buru!!!”.
Ya, aku sudah memutuskan untuk kembali lagi ke toko buku itu. Aku tak tahu apakah dalam waktu setengah jam sejak berpamitan dengan Bapak tadi, dia masih akan ada di toko buku itu. Yang aku tahu, hatiku memerintahkan untuk berbuat begitu. Kupikir, kalaupun tak bertemu, setidaknya aku sudah lega karena sudah berusaha.
Ya Allah, tolong jangan biarkan umatMu menghadapMu dengan busana yang tidak layak. Ini aku sedang berusaha mengantarkan mukenah untuk dia, aku berkata dalam hati selama memacu kembali motor bebekku ke toko buku.
Setibanya di sana, alangkah kecewanya aku melihat Bapak tadi tak terlihat di tempat terakhir aku melihatnya, yakni di bangku panjang depan toko buku. Dengan harapan yang sudah musnah, aku masuk kembali dan bertanya pada Mas-Mas yang bertugas menyampul buku.
“Mas, lihat Bapak kaus merah yang tadi duduk sini? Sudah pergi ya?”
“Oh...yang sama anak laki-laki ya?”
Aku mengangguk girang berharap Mas itu tahu ke mana Bapak itu pergi.
“Tadi memang duduk sini, tapi kayanya sudah pergi”
Lemas rasanya badanku mendengar jawabannya. Bukan. Bukan karena merasa sia-sia aku kembali demi mengantar Mukenah. Tapi karena membayangkan istrinya yang masih belum bisa memakai Mukenah untuk shalat. Aku sudah siap-siap balik badan dan kembali ke tempat parkir ketika Mas penyampul buku mencegahku.
“Eh...tapi lihat aja dulu di dalam Bu. Siapa tahu tadi masuk lagi”
Dengan malas aku kembali masuk. Dia pasti sudah pergi, pikirku putus asa. Mas penyampul buku pun ikut menyusul masuk dan membantuku mencari orang yang kumaksud.
Baru aku meletakkan tas dan jaket di tempat penitipan barang, Bapak itu muncul lagi. Sungguh rasanya macam bertemu dengan orang yang sudah lama tak ketemu. Aku girang luar biasa, demikian juga dengan Mas penyampul buku yang tampaknya ikut lega melihatku bertemu dengan orang yang kucari.
“Pak, saya kembali bawa Mukenah. Tolong diterima ya...”, kataku hati-hati, masih dengan khawatir dia marah tersinggung dan menolak.
Dia memandangku tak percaya. “Saya jadi merepotkan”
Aku menggeleng.
“Untung saya belum pergi...”, ujarnya lagi.
Aku tersenyum.
Aku tepat waktu. Dia memang sudah berniat hendak melangkah keluar toko buku saat aku datang. Berulangkali dia mengucapkan terima kasih sampai aku tak enak sendiri. Sebab yang kuberikan padanya bukanlah uang atau barang berharga lainnya, melainkan hanya sepasang Mukenah dan kerudung yang tidak dalam keadaan baru.
Aku menghela napas lega saat mengendarai motorku kembali ke rumah. Benar-benar sore yang luar biasa. Luar biasa heboh. Terutama hebohnya pikiranku beberapa waktu sebelumnya ketika memikirkan bagaimana caranya Mukenah itu bisa sampai di Kalimantan, in the middle of nowhere, di mana ada seorang Muslimah yang shalat dengan taplak meja.
Memang sempat terbersit pikiran buruk bahwa Bapak itu berbohong, tapi aku tak peduli. Kalaupun dia mengarang cerita dengan tujuan tertentu, itu bukanlah urusanku. Urusanku adalah mendengar kata hati dan melakukan apa yang diinstruksikan hatiku. Urusanku adalah menghindari rasa sesal yang menyesaki dadaku karena aku tidak melakukan apa yang harus kulakukan. Kurasa, itu lah pelajaran paling utama yang kudapat sore itu.
“Listen to your heart. It won’t betray you. It won’t tell you a lie. It will tell you what Allah wants you to do...”

Allahu Akbar. Thank you to let me born as a Moslem :’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)