Minggu, 05 Januari 2014

Review “Penjaja Cerita Cinta”, Ada Makna di Balik Tiap Cerita




Judul: Penjaja Cerita Cinta
Penulis : @edi_akhiles
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Cetakan 1 : Desember 2013
Tebal Buku : 192 hal

Saya membaca kumpulan cerpen ini dua kali (beberapa  bagian malah sampai berkali-kali). Yang pertama, saya membacanya sebagai seorang penikmat cerpen. Yang kedua, saya membacanya sebagai seorang murid yang sedang mempelajari buku diktat. Ya, buku diktat tentang macam-macam cara menyampaikan cerita. Eh bukan, lebih tepatnya menyampaikan isi hati dan pikiran dalam cerita.

Buat saya, cerpen bukan hanya sekedar menyuguhkan drama semacam sinetron atau telenovela. Cerpen harus sarat makna dan membuat saya mendapatkan “sesuatu” yang cetar membahana badai menggelegar usai membacanya. Dan lima belas cerpen dalam buku ini menyuguhkan itu. Ada makna yang dengan gamblang disampaikan penulisnya, ada yang sifatnya tersembunyi, kesemuanya mak jleb.

Sebagaimana saya menempatkan diri sebagai penikmat novel dan seseorang yang sedang belajar menulis, review ini saya tulis berdasarkan kedua peran tersebut.

1. Penjaja Cerita Cinta
Ada cerita dalam cerita dalam cerpen ini. Seperti kisah 1001 malam, di mana Putri Syahrazade mendongeng tiap malam di hadapan Sultan demi menunda hukuman matinya barang semalam.

Tema besar yang diusung cerpen ini segera terlihat dari judulnya. Cinta. Tema yang klise, namun yang membuat cerpen ini unik adalah ide ceritanya yang tidak biasa. Cerpen ini mengisahkan seorang yang berprofesi sebagai pendongeng yang akan mendapatkan upah jika sang klien puas mendengar cerita yang dipaparkannya (bahkan bayarannya tidak selalu dalam bentuk uang).

Cerpen ini disajikan dengan bahasa yang nyastra, banyak metafora, tapi tidak gelap, sehingga masih bisa dinikmati tanpa bertanya-tanya; “Kalimat iki maksute opo seh?”.

Selain itu, banyak pula quote-quote yang makjleb bertaburan di sepanjang cerpen. Tengok saja;

“Kadangkala pasrah meski terpaksa tanpa ampun layak dijadikan pilihan untuk sedikit meredakan gemuruh badai di dalam dada”-hal. 21

Atau

“Jika hati telah menyatu dengan dirinya sendiri, tiadalah arti selainnya termasuk dirinya sendiri…”-hal. 25

Atau

“…jika seseorang ingin meraih purnama, maka ia harus terbang ke angkasa gelap, meninggalkan rumahnya, kekasihnya…”-hal. 29

However, cerpen ini bukannya tanpa kelemahan. Selain masih ada typo, masih ada bagian yang agak membingungkan di halaman 27, alinea 3, ketika sekonyong-konyong terasa ada perubahan Point of View yang membuat paragraf itu terasa tidak logis. Coba perhatikan paragraf yang saya maksud (supaya lebih jelas, saya capture satu paragraf di atasnya);

(paragraf 2) “Maafkan saya…”, ujarku sambil beringsut membenarkan celanaku.

(paragraf 3) “Maaf, aku tersihir oleh jiwa Senja yang merindukan lelakinya, lalu seakan menemukannya terlahir di hadapanku. Maafkan aku…”, sahutnya sambil memungut mini dress-nya dari lantai, lalu mengenakannya dan kembali duduk ke posisinya. Ia menangis, meski dengan nada yang terdengar sangat dipaksa ditekan. Penjaja cerita cinta ini bukanlah lelakiku yang telah kutunggu sekian lama, betik batinnya penuh sesal. Suasana telah menjungkalkan kesetiaanku menunggu, bertahun-tahun. Maafkan aku, Kekasihku…
Cerpen ini dari awal bersudut pandang orang pertama. “Aku” di sini adalah si penjaja cerita cinta, namun di paragraf 3, tiba-tiba berubah menjadi sudut pandang orang yang memungut mini dress-nya. Kalaupun dipaksakan bahwa paragraf itu tetap dilihat dari sudut pandang si penjaja cerita cinta, bagaimana mungkin dia bisa tahu isi hati si pemungut mini dress? Ini yang saya maksud terasa tidak logis.

Cerita pendek yang cukup tidak pendek ini bisa membuat penasaran untuk terus dibaca sampai akhir. Penulisnya sangat pintar mengirit informasi yang disajikan sehingga pembaca dibuat bertanya-tanya seperti apa endingnya. Namun menjelang klimaks, ada hal yang menurut saya agak di luar ekspektasi.
Mari kita tengok halaman 37, di paragraf 1;

“Ceritakanlah padaku bagaimana sebuah kenangan mampu menjadikan Senja begitu setia menekuni senja”, suara Nyonya Sri melesat lagi.

Begitu membaca bagian ini, harapan saya adalah mendapatkan cerita kejadian apa yang dialami Senja dengan kekasihnya hingga dia rela menunggu kekasihnya itu di pinggir pantai saat senja tiba. Tetapi ternyata penulis justru menceritakan akhir kisah Senja hingga dia menjadi cerita yang dikenang oleh orang-orang yang mengenalnya. So, paragraf di atas terasa ngga nyambung dengan rangkaian cerita selanjutnya.

Terakhir, keseluruhan alur cerita cinta yang diceritakan sedemikian puitis dan syahdu ini sayangnya dirusak oleh adegan-adegan 17 tahun ke atas. Tapi mungkin justru di situ letak hidden message yang hendak disampaikan penulisnya; “Bahwa cinta yang indah dan suci seringkali dirusak dan dinodai oleh nafsu”.

2. Love is Ketek
Cerpen ini bacaan wajib kaum hawa, baik yang masih berstatus pacar maupun yang sudah jadi istri orang.
Kelihatannya sih sepintas cerita ini macam cerpen komedi karena bahasa yang digunakan sangat ringan dan lincah (saya bahkan sudah mulai senyum-senyum sendiri saat membaca kalimat pembukanya; “Oke, fine!”), namun tetap tak melupakan adanya metafora khas karya sastra. Nah, karena dari awal cerpen ini memang sudah bergenre komedi, metafora yang digunakan juga sukses bikin ngakak, contohnya;

“Malming gue pucat macam pocong abis ikut program amal donor darah lalu saat pulang nyaris aja ketabrak mikrolet yang sopirnya ternyata sedang sakaw sambil ngeremponin tetek penumpangnya dengan paksa!”-hal. 52.

Walaupun dibawakan dengan bahasa yang sarat unsur komedi, namun sebenarnya cerpen ini punya hidden message yang dalem bangettt… Saya sebagai cewek berasa ditabok berkali-kali saat membaca cerpen ini. Secara saya kan sering marah-marah tanpa alasan gitu sama suami. Hehe…

Hanya sayang, si penulis masih menyisakan satu tanda tanya besar, yakni bagaimana mungkin nama tokohnya Parmini bisa berubah menjadi Ve? (ketawa ngakak sembari guling-guling sampai pos satpam)

3. Cinta Yang Tak Berkata-Kata
Tak ada hidden message dalam cerpen ini karena sang penulis sudah menyampaikan maksudnya dengan sangat gamblang, bahkan sudah terlihat di paragraf kedua cerpen ini;

“Bukankah cinta tidak hanya serpihan ludah yang menempias dari lisan, tetapi adalah tentang kepedulian dan perhatian yang tertumpahkan tanpa henti sepanjang masa?”-hal. 53. (manis banget ya messagenya?)

Selain kesalahan penggunaan kata ganti milik “kalimatmu” yang seharusnya “kalimatku” di halaman 60 yang membuat PoV menjadi blur sesaat, cerpen ini cukup menarik. Oh ya, ini kesalahan yang saya maksud;

“Mas, aku hanya akan menyampaikannya lagi dengan kalimat pendek saja:….”, kalimatmu meninggi. (Kata kalimatmu bukannya seharusnya kalimatku?, sebab yang mengatakan kalimat tersebut kan si “aku”)

Kepiawaian penulis melatakkan metafora-metafora di sepanjang cerita dengan porsi yang pas, membuat saya tidak bosan membaca, walau tak ada kejutan yang berarti di bagian endingnya.

4. Dijual Murah Surga Seisinya
Mungkin karena di dalam cerpen ini terdapat tokoh May dan Gara, saya jadi merasa membaca diary seorang pak Edi Mulyono, bukan seperti baca cerpen. But oke, fine! (sori masih kebawa Love is Ketek), buat saya nggak ada masalah bagaimana cara membawakannya, sebab pesan moral cerita ini sungguh luar biasa.

Bukan, pesannya bukan bahwa kita bisa masuk surga dengan mudah dengan harga yang sangat murah, melainkan betapa kita menghargai surga beserta isinya dengan teramat murah. Padahal siapapun tahu seperti apa gambaran surga yang kerap diceritakan di aneka buku dan kitab suci. Wajarkah jika keindahan dan kenikmatan surga hanya dihargai sekian juta rupiah? Sungguh saya jadi merinding sendiri membaca cerpen yang satu ini (padahal ini bukan cerpen horor).

Dari cara penulisan, ada satu hal yang saya cermati, yakni di halaman 69, paragraf 3. Di situ penulis membuat kalimat yang sangat panjang (sampai 6 baris baru ketemu titik). Saya sebagai pembaca sampai kehabisan napas membacanya, terus juga sempat kehilangan fokus kalimat ini intinya apa. Inilah kalimat yang membuat saya terengah-engah;

“Tetapi menjelang malam kian tua, ketika kulihat istriku telah terkapar diterjang lelah dan penat, kala sepasang mata indah nan mungil kedua anakku terkatup dalam belaian mimpi-mimpi yang tak mampu mereka terjemahkan sebagai apa-apa, wajah pak tua itu sekonyong-konyong melindap seruak ke dalam kepalaku”. Hosh…hosh…hosh…menggos-menggos.

5. Menggambar Tubuh Mama
“Mama, aku mau mama…”, hal. 80

Subhanallah, ending cerpen ini membuat saya ingin langsung memeluk anak saya, yang selalu bilang; “Aku mau mama…”. Cerpen ini sukses bikin saya mbrebes mili.

Cerita ini mengambil sudut pandang seorang anak kecil yang Ibunya baru saja dibunuh. Perasaan kehilangan digambarkan dengan sangat mengharukan ketika dia berusaha menggambar kembali tubuh Ibunya dengan kapur. Dia tak hiraukan rasa lelah dan lapar dan menderanya. Dari situ lah saya sadar, ketika anak-anak masih kecil, tiada lain yang mereka butuhkan selain keberadaan Ibunya. Alangkah sepi dan pedihnya hidup anak-anak yang tak beribu. Dan tiba-tiba saya merasa sangat beruntung.

Saya tak menemukan cela sedikitpun dari sisi penulisan. Sisi kengerian saat adegan pembunuhan Mama, deskripsi sang pembunuh dan perasaan kehilangan digambarkan dengan sangat detail oleh penulisnya. Sayangnya, sisi setting cerita kurang digambarkan secara jelas. Hanya di bagian ending ada frase “gurun pasir” yang membuat saya lantas ngeh; “Oh…ini kejadiannya di Arab toh?”. Tapi apa penyebab yang melatarbelakangi sang pembunuh mencabut nyawa “Mama” dengan sangat keji tidak diceritakan. Mungkin ini salah satu teknik bercerita yang membebaskan pembacanya memiliki interpretasi apa saja.

Cerpen ini favorit saya.

6. Secangkir Kopi Untuk Tuhan
Kesedihan karena ditinggalkan orang yang dikagumi secara tragis juga digambarkan dengan cara yang berbeda di cerpen ini, yakni dengan mempersembahkan secangkir kopi untuk Tuhan.

Awalnya saya merasa perasaan “aku” terhadap meninggalnya Marco Simoncelli terlalu lebay. Tapi begitu sampai di bagian ini;

“Dan selalu saja semua takkan pernah sama lagi setiap kali ada seseorang yang pergi dari kehidupan ini. Takkan pernah ada sehelai nama pun yang mampu menggantikan posisi siapapun yang pergi menuju-Nya,…”-hal. 85.

Barulah saya sadar hidden message apa yang hendak disampaikan penulisnya. Juga ketika adegan “aku” berdoa di dalam Masjid. Kadangkala kita kerap tidak mengerti hikmah apa yang ingin Tuhan ajarkan kepada hambaNya dibalik setiap musibah yang Dia takdirkan.

Dari sisi penulisan, saya terkagum-kagum pada pilihan kata yang digunakan di cerpen ini. Misalnya;
“…, meski kulihat terang tadi ada tulisan mendelik:…”, hal. 81
“Sekali betot, terpelantinglah halilintar dari muffler knalpotnya,…”, hal. 82
“…, bola mataku jadi putih bersalju diterkam risau saat kulihat ia tergelincir…”, hal. 82

Saya jadi gemes sekaligus ngiri sama penulisnya, kok bisa-bisanya sih kepikir menuliskan kalimat-kalimat elok semacam itu?

7. Tak Tunggu Balimu
Cerpen ini tidak reader friendly. Saya tidak suka, walau di dua halaman pertama sempat excited membacanya karena penggunaan diksi yang segar dan lincah.

Bukan, bukan karena tema cerpen ini bertema “pembelaan” sang penulis terhadap dangdut koplo kesukaannya. Saya sendiri sangat menggemari syair-syair dangdut atau campursari yang menurut saya sangat membumi. Tapi pak Edi di sini menghubungkannya dengan teori filsafat hermeneutika yang saya tak tau itu apa.

Oke, sebut saya malas googling dan cari tahu makanan sejenis apa itu teori filsafat hermeneutika. But hello, saya ini sedang membaca cerpen, bukan buku teks filsafat. Tujuan saya membaca cerpen adalah mendapatkan pencerahan sekaligus hiburan, bukannya dibuat mumet dengan teori filsafat dari tokoh-tokoh yang mungkin hanya penggemar filsafat saja yang tahu.

Nah, lebih sayang lagi, justru di bagian paling penting yang saya harapkan muncul dalam cerita ini malah tidak muncul. Cerpen ini “putus” di bagian ketika Pak Edi seharusnya menjelaskan hubungan teks lagu Tak Tunggu Balimu dengan teori hermeneutika yang dia jelaskan panjang lebar sebelumnya.

Saya merasakan, cerpen ini berusaha membela lagu dangdut koplo yang semestinya merakyat, tapi dengan cara ala bangsawan yang eksklusif. Jadi saya agak sulit cari benang merahnya. (tapi itu mungkin karena sayanya yang telmi kali ya? Hehe…)

8. Cinta Cantik
Nah, seandainya teori filsafat hermeneutika dalam cerpen Tak Tunggu Balimu disampaikan dengan cara seperti penulis menerangkan teori psikologi di cerpen Cinta Cantik ini, pastilah Tak Tunggu Balimu akan jadi lebih dahsyat. Sedahsyat pesan moral yang disampaikan di cerpen ini.

Heran saya sama yang nulis cerpen ini, kok bisa-bisanya beliau menulis cerpen yang sarat knowledge (mulai dari teori psikologi tentang alam bawah sadar sampai bedanya cinta sama birahi) dengan bahasa yang sangat ringan dan mudah dicerna. Belum lagi penggunaan kata-kata pemanis yang tak kalah mengesankan; misalnya:

“Nggak usah ruwet kayak entut manja gitu, mulek-mulek menebar baunya enggan pergi”, hal. 111

atau

“Sambil gontai ke kamar mandi, tentu setelah mengusap iler-iler durhaka yang morat-marit di pipi, aku menyulam mimpi aneh itu”, hal. 107

That’s why, lagi-lagi saya dibuat ngiri bin minder sama yang nulis cerpen ini. I really wish I can write like him. Someday.

9. Tamparan Tuhan
Penulis tidak menceritakan terlalu banyak tentang latar kedua tokoh dalam cerpen ini. Siapa mereka? apa hubungan keduanya? kejadian apa yang tengah dialami salah satu tokohnya hingga dia merasa terdzalimi? kejadian apa pula yang pernah dialami tokoh yang satunya lagi di masa lalu, yang katanya salah satu dari orang yang pernah dilukai?

Saya juga tak begitu merasakan adanya alur cerita yang mengalir layaknya di cerpen-cerpen sebelumnya. Ceritanya mandeg di satu tempat, di satu waktu, di satu dialog.

Pendeknya, menurut saya, cerpen ini lebih menitikberatkan pada pesan yang ingin disampaikan plus karakter tokohnya ketimbang mengedepankan setting dan alur cerita. Saya jadi manggut-manggut sendiri saat membacanya; “Ada juga ya cara bercerita semacam ini”. Selama ini saya selalu berpikir bahwa cerpen itu harus komplit; penokohan, alur cerita, setting plus pesan moral. Dan itu yang seringkali membuat saya kesulitan saat menulis sebuah cerpen.

Cerpen ini membuat saya belajar bahwa pesan moral, yang bagi saya adalah elemen wajib dalam sebuah cerpen, bisa disampaikan dengan cara penulisan cerpen Tamparan Tuhan ini.

Cerpen ini menyindir. Sangat.

Menyindir saya yang seringkali mendoakan orang yang buruk-buruk ketika saya menerima perlakuan buruk. Padahal perlakuan buruk yang saya terima itu bisa jadi balasan Tuhan atas perlakuan buruk yang saya lakukan terhadap orang lain. Hhhh….*menghembuskan napas panjang, tutup muka, pengen nangis.
Saya speechless sama cerpen yang satu ini. Thanks Pak Edi, for writing such an inspiring story :’)

10. Abah, I Love You
Ending cerita ini tertebak, dengan sangat mudah. Lagi-lagi saya seperti membaca sebuah diary seorang Pak Edi. Soalnya Abah, I Love You menceritakan tentang masa remaja seorang anak yang “mirip” banget latar berlakang hidupnya sama Pak Edi. Siapapun tahu seperti apa beliau saat ini kan? Ya seperti yang nulis cerpen Abah, I Love You ini. (Lha kok berasa mbulet ya?)

Tapi terlepas dari itu, cerita ini menyentuh, pas telak di lubuk hati. Tentang seorang ayah yang mendidik anaknya dengan keras, yang seolah dengan kejam merampas kesenangan dan keceriaan masa muda anaknya. Padahal sesungguhnya ia memiliki tujuan yang mulia, yakni agar sang anak bisa survive mengarungi kehidupan yang penuh persaingan.

Pak Edi menuliskan dengan sangat detail, tentang bagaimana sang Ayah menendang kandang jangkriknya, bagaimana sang Ayah memisahkannya dengan layang-layang maut dan pancing andalannya untuk menimba ilmu di sebuah Pondok Pesantren, bagaimana masa remajanya dicerabut begitu keras layaknya ia mencabut singkong di belakang rumah. (Tanda-tanda reviewer yang kurang kreatif karena copas gitu aja dari buku yang direviewnya, hehe)

Cerpen ini cocok dibaca untuk para remaja agar tidak menghambur-hamburkan energi masa mudanya untuk hanya bermain dan berhura-hura, melainkan juga menimba ilmu, mengasah skill dan yang tak kalah penting, menghindarkan diri dari akhlak yang tercela. Cerpen ini juga cocok dibaca untuk para orang tua agar melakukan apapun yang terbaik demi putra-putrinya bisa punya modal untuk survive.

Once again, thank you Pak Edi, for writing this awesome story :’)

11. Cerita Sebuah Kemaluan
Saya selalu kagum dengan cerpen macam begini, yang out of the box macam gini. (Kapan ya saya bisa nulis cerpen macam begini?).

Tapi, eh lagi-lagi saya ketemu penggunaan kata ganti milik yang tidak pada tempatnya. Lokasinya ada di halaman 138, alinea 4. Di sana kata “tukasmu” seharusnya “tukasku”.

“Ups! Mainstream banget main pepatah!”, tukasmu memotong. Aku tahu pastilah dia hanya pengen ngutip: Lebih baik putih tulang daripada putih mata,….”

Menurut saya, kesalahan kata ganti milik, walau hanya sekedar; “mu”, “ku” atau “nya” terasa lebih mengganggu ketimbang adanya typo yang saya temukan juga di cerpen yang sama, di halaman 134 (kata “menggunjikan” bukannya “menggunjingkan” ya?).

Alur cerita cerpen ini mirip dengan cerpen Cinta Cantik, yakni tentang diskusi dua orang tentang suatu topik. Kali ini topiknya adalah; mengapa manusia tidak diciptakan sebagai makhluk hermaprodit? (bener-bener topik yang bikin saya geleng-geleng kepala saking kagumnya, kok bisa ya penulis kepikiran tema yang ajaib gini?)

Cara berceritanya pun nggak kalah ajaib. Penulis bahkan menyelipkan dialog antar semut, salah satunya digambarkan berperut sixpack. Hahaha….!!!

Sempat sesaat saya ngerasa cerpen ini ngeres banget ketika adegan tokoh yang mulai horny saat ngeliat foto-foto porno. Pilihan kata yang digunakan penulis membuat saya membayangkan yang begituan. (Sebaiknya saya tidak tulis di sini supaya review ini tidak dikira review yang ngeres). Ternyata, justru di situlah letak hidden message cerpen ini, di situlah letak jawaban pertanyaan yang sejak awal dilontarkan penulis; mengapa kita hanya punya satu kemaluan? Dan mengapa namanya kemaluan? (Yang penasaran dengan jawabannya monggo langsung dibaca sendiri bukunya).

Bahkan sampai bagian ending pun, cerpen ini tak henti-hentinya membuat saya cekikikan sendiri. Keren. Saya suka banget sama yang satu ini.

12. Munyuk!
Ini jenis cerpen yang berhasil mengaduk-aduk emosi pembacanya. Berkisah tentang kehidupan rumah tangga sepasang suami istri yang tak lagi harmonis.

Pembaca dibuat marah dengan sikap tak acuh sang suami, dibuat gemas dengan sikap istri yang selalu mengalah, juga dibuat haru oleh sang istri yang tak henti mendoakan yang terbaik untuk suaminya.

Ending cerpen ini mengambang. Tapi menurut saya memang harus mengambang, karena justru dengan mengambang itu cerpen ini meninggalkan kesan yang terus membekas. Sungguh, sama dengan cerpen-cerpen Pak Edi lainnya, cerpen ini pun sangat sarat makna. Makna yang paling nyata adalah yang saya tangkap dari bagian endingnya; yakni hati seorang perempuan itu luas, bahkan lebih luas dari samudra, dianya mampu menelan apa saja, pahit, getir, manis, luka, tawa, semuanya. Cerpen ini membuat saya bersyukur terlahir sebagai perempuan.

Mengenai bahasanya, rasanya sudah habis kata-kata saya mengomentari rangkaian diksi yang dipilih pak Edi. Selalu elok, sekalipun itu dia pakai untuk menggambarkan cerita yang tidak elok sekalipun. Sepanjang saya membaca kumpulan cerita ini, tak henti-hentinya saya berpikir; kapan ya aku bisa membuat kalimat semacam ini;

“Wajahnya lebam dihajar tubian serapah yang menghunjam deras dari mulut lelaki yang amat dicintainya itu”, hal. 141

Atau

“Dengkur singa jantan itu tak terusik sama sekali oleh leleran air hangat itu. Ia begitu kapar dalam mimpi gelapnya, yang tak pernah ada seorang pun yang tahu kecuali dia dan Tuhan belaka”. Hal. 146.

13. Lengking Hati Seorang Ibu Yang Ditinggal Mati Anaknya
Sebaiknya persiapkan tissue sebelum membaca cerpen ini. Judulnya yang mellow sudah menyiratkan isi cerpennya yang ternyata memang benar-benar mellow.

Cerpen ini sarat dengan dakwah, tentang bagaimana besarnya cinta seorang Ibu terhadap anaknya. Betapa besarnya seorang anak merasa sudah mencintai Ibunya, tak kan pernah bisa membayar cinta Ibu terhadap anaknya.

Saya hampir tak menemukan cela dalam cerpen yang sangat menyentuh ini, kecuali satu hal. Saya kok merasa judul yang dipakai kurang cocok dengan keseluruhan isi cerpen. Sebab cerita tentang ibu yang ditinggal mati anaknya hanya muncul di bagian opening. Klimaks yang susungguhnya justru dialami tokoh utama manakala Ibunya yang meninggal.

14. Aku Bukan Batu
Lagi-lagi, seperti Cerita Sebuah Kemaluan, cerpen ini membawakan sebuah tema yang tidak biasa. Sebuah pertanyaan yang tak terpikir oleh siapapun; yakni sekekal apakah hidup kita kelak?

Namun berbeda dengan Cerita Sebuah Kemaluan yang pada akhirnya menjawab pertanyaan; Mengapa kita hanya punya satu kemaluan?, cerpen Aku Bukan Batu seolah membiarkan pertanyaan itu tetap tak terjawab. Di sana saya menangkap satu hidden message lagi, bahwa ada ranah-ranah tertentu yang murni merupakan kewenangan Tuhan, seperti misalnya; “apa untungnya bagi Tuhan dengan menciptakan Bumi beserta isinya? Apakah Tuhan hanya sekedar iseng belaka? Apakah Tuhan hanya sekedar ingin melihat drama seperti yang disuguhkan manusia di panggung sandiwaranya?” (eh lha kok saya jadi kebawa?)

“Lebih baik kita shalat Subuh. Adzan sudah terdengar. Biarkan soal-soal kekekalan menjadi bukti cinta Tuhan pada kita…” – hal. 166

Kalimat di bagian ending itu mengingatkan saya untuk memikirkan dan melakukan apa-apa yang sudah diwajibkan Tuhan untuk dijalani semasa hidup. Sementara untuk hal-hal semacam batas kekekalan makhluk ciptaanNya, biarlah itu tetap menjadi wewenang Tuhan, Raja Diraja umat manusia.

15. Si X, Si X, And God
Ini kedua kalinya saya membaca cerpen yang ditulis model begini. Beberapa bulan lalu pernah baca juga cerpen karya Eyang Sapardi Djoko Damono (tapi judulnya lupa) yang ditulis dengan gaya full dialog seperti ini. Bedanya,  saya bisa menangkap dengan jelas maksud yang ingin disampaikan Pak Edi di Si X, Si X And God. Sementara dengan cerpen Eyang Sapardi, saya gatot menangkap maksudnya, mungkinkah karena saya lemot? Atau gaya bercerita Eyang Sapardi yang memang terlalu abot?

Nah, yang saya sukai dari gaya penulisan seperti ini adalah gaya bahasanya yang sangat lugas. Ya eya lah, secara ini kan dialog, jarang kan kita pakai metafora-metafora saat sedang berdialog? Etapi, bukannya saya ngga suka dengan diksi yang bermetafora lo ya, Cuma gaya bercerita semacam ini saya rasakan unik dan segar.

Saya hanya ada merasakan sedikit hal yang kurang pas. Sedikit sekali hingga sebenarnya tidak terlalu mengganggu, hanya sedikit janggal. Kejanggalan itu bermula dari halaman 175;

“Oke, tapi kenapa kamu nggak percaya Tuhan sampai sekarang?”, -hal 175.

Dialog itu membuat saya berpikir salah satu tokoh adalah seorang Atheis. Tapi di bagian terakhir, ada dialog seperti ini;

“Ayuk, shalat, ntar kamu kan merasakan kehadiranNya”, -hal. 179.

Rasanya kok kurang masuk akal mengajak orang Atheis untuk shalat. Kurang nyambung gitu solusinya. Mungkin akan lebih nyambung seandainya si Atheis diajak ke Masjid, alih-alih diajak shalat.
Itu saja sih, selebihnya cerpen ini sangat mencerahkan dan inspiratif. Tentang bagaimana kita menata mindset supaya bisa memandang hidup dengan cara yang lebih positif.
***
Saya agak kecewa si begitu sampai di bagian akhir Si X, Si X And God. “Lho, sudah habis ya?”, padahal saya masih pingin baca cerpen-cerpen Pak Edi lagi dan lagi. Sebab selain sarat pelajaran hidup, cerpen-cerpen Pak Edi juga sarat pelajaran menulis, tentang bagaimana merangkai kalimat, membuat dialog, juga membuat opening dan ending.

Oh ya, satu hal yang saya cermati dari semua cerpen Pak Edi. Opening semua cerpennya sangat mengundang rasa ingin tahu pembaca untuk terus membaca hingga akhir. (Bisa nggak ya saya kaya beliaunya? *sighed).

Dan pelajaran paling penting yang saya dapat dari cerpen ini adalah bagaimana mencari ide yang out of the box. Sah-sah saja ternyata membuat cerpen tentang kemaluan, tentang dangdut koplo, tentang semut sixpack yang berdiskusi, tentang pendongeng yang dibayar dengan "begituan", haha...

Terakhir,
Terima kasih Pak Edi, sudah mengirimkan buku Penjaja Cerita Cinta (istimewa pakai tanda tangan lagi).
Terima kasih Pak Edi, sudah menuliskan cerita-cerita yang indah dan ispiratif di Penjaja Cerita Cinta
Terima kasih Tuhan, untuk menciptakan seorang Pak Edi di antara milyaran makhluk ciptaanMu. Semoga kelak saya bisa mengikuti jejak beliau (menjadi orang yang menyebarkan manfaat untuk sesamanya). 
Amin...

Kamis, 02 Januari 2014

Mereka Bilang Dia Gila



How can he decide to go back to zero when he was already half way to become a hero?
Dulu aku tak pernah memahami jalan pikirannya, yang dengan mudah melepas pekerjaannya di sebuah BUMN demi sebuah passion yang menurutku absurd. Coba bayangkan, laki-laki ini sudah sangat mapan, sudah nyaman dengan jabatan dan gaji mentereng, di sebuah perusahaan yang menguasai sebagian besar lahan perkebunan di Indonesia. Dan tiba-tiba itu semua dilepasnya, untuk kemudian kembali ke desa kelahirannya, demi sebuah impian gila.
G-u-l-a. Ya, gula telah membuatnya gila, bukan hanya sekedar tergila-gila. Demikian yang sering dibilang orang tentang dia. Mereka bilang laki-laki itu sudah gila karena meninggalkan zona nyaman demi sebuah mimpi yang tidak lumrah, membangun pabrik gula. Laki-laki itu...Papa.
Dua puluh dua tahun yang lalu, aku tak pernah benar-benar mengerti apa yang terjadi dalam keluarga kami. Yang aku tahu, semenjak Papa tak lagi mengenakan kemeja putih dan celana biru gelapnya di waktu pagi, semenjak Pak Sopir yang biasa mengantarnya ke kantor tak lagi bekerja di rumah kami, segalanya berubah. Tak ada lagi acara makan-makan di restoran, tak ada lagi acara memborong buku di Gramedia atau membeli mainan baru. Segalanya harus serba hemat, serba apa adanya.
Namun di luar segala hal yang tiba-tiba harus serba ngirit, perubahan terbesar yang kurasakan adalah, lelaki berhidung mancung itu mulai sering tidak kelihatan di rumah. Papa lebih sering ada di Jombang, di desa kelahirannya, untuk mulai mewujudkan blue print pabrik yang didesainnya sendiri. Pabrik yang dia sebut Pabrik Gula Mini itu menurutnya akan memiliki banyak keunggulan dibanding pabrik gula konvensional.
Demi impiannya itu Papa berhutang. Angkanya lumayan besar, besar sekali malah. Dan hasilnya...nol besar. Kebijakan pembebasan bea masuk gula impor di masa pemerintahan Presiden Abudrrahman Wachid membuat usahanya kolaps, bersamaan dengan meruginya ratusan petani tebu kala itu. Akibatnya mesin dan peralatan yang didesainnya berakhir sebagai monumen belaka. Hanya menjadi besi tua.
Setelah itu, Papa lebih sering berada di sawah. Macam-macam yang dilakukannya. Mulai dari bertanam padi, jagung, semangka, beternak ikan gurami, membuat usaha sujen (tusuk sate) dan lain-lain. Insinyur Teknik Mesin yang anak petani itu menjelma menjadi petani betulan. Petani dengan hutang menggunung yang entah bagaimana cara melunasinya.
Bagi orang normal, mengalami keterpurukan seperti itu mungkin sudah membuat jera. Tapi karena Papa terlalu gila pada gula, tak pernah ada kata menyerah. Seorang diri, dia menjaga bara impian terhadap zat pemanis itu tetap hidup dalam dirinya, sambil menggarap sawah dan ladang selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, sebagai buah kesabarannya, Tuhan mulai memberinya jalan keluar.
Tahun 2005, Tuhan mempertemukannya dengan seorang pengusaha dari Kediri, Jawa Timur. Pengusaha itu lah yang kemudian membantu Papa menutup hutangnya dan meminta Papa mendesainkan pabrik gula tebu sebagai gantinya. Akhirnya keinginan Papa untuk membuat pabrik gula sendiri kesampaian. Untuk pertama kali, digenggamnya butiran kristal gula putih yang dihasilkan oleh  pabrik rancangannya di tahun 2006, lima belas tahun sejak dia memposisikan dirinya kembali ke titik nol.
Tapi seberapa pun bangganya lelaki jebolan ITS Surabaya itu pada maha karya pertamanya, dia masih belum merasa puas, sebab pabrik itu bukan miliknya dan bukan dibangun di desa kelahirannya. Lantas sedikit demi sedikit, dengan uang tabungannya sendiri, Papa mulai mengumpulkan material untuk membangun pabrik gula lagi.
Ketika pada akhirnya impiannya itu terwujud, Papa mulai memperlihatkan banyak hal luar biasa yang kemudian membuatnya lagi-lagi mendapat cap “gila”. Kali ini dalam artian berbeda. Pernah dengar kan jika “jenius” dan “gila” itu beda tipis?
Papa tidak hanya menggunakan pabrik gula mininya sebagai laboratorium uji coba segala jenis tanaman pemanis (tebu, nira kelapa dan sorghum) dalam berbagai bentuk (gula pasir, gula cair, gula batok, gula semut), namun tempat seluas 20 x 20 meter persegi itu juga dia gunakan sebagai tempat uji coba pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber energi baru pengganti bahan bakar fosil.
Ya, sumber energi hijau juga telah membuat Papa tergila-gila. Papa banyak mengeksplorasi penggunaan sekam padi, cangkang kelapa sawit, kulit kemiri, sekam kopi dan masih banyak lagi sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah atau solar.
Papa mendesain sebuah mesin pengering padi, mesin pengering kopi, mesin pengering tembakau, juga sebuah tungku untuk memasak nasi bagi ratusan santri Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Semuanya menggunakan bahan bakar limbah pertanian yang tersedia dalam jumlah yang sangat meruah di negara agraris seperti Indonesia. Karya-karyanya itu telah memberikan solusi alternatif terhadap problema terbesar umat manusia saat ini; krisis energi.
Di mataku, Papa telah menjadi seorang ahli yang tak tertandingi di bidang gula dan eksplorasi energi terbarukan. Dia adalah profesor tanpa titel yang tak henti-hentinya berkarya.
Tiga tahun yang lalu, dengan bangga Papa memamerkan hasil karyanya pada kami. Sirup gula cair yang terbuat dari nira kelapa, dengan warna yang cerah. Umumnya gula kelapa akan memiliki warna gelap karena proses pemanasan secara terbuka yang mengakibatkan terjadinya karamelisasi (penggosongan gula). Namun Papa bisa membuat gula cair dengan warna cerah, yang menjadi pertama dan satu-satunya di dunia karena mengaplikasikan teknologi triple effect vacuum evaporator yang belum pernah digunakan di belahan dunia manapun. Produk ini lah yang kelak membuat namanya dikenal hingga ke manca negara.
Di usianya yang saat itu menginjak kepala enam, Papa masih meluangkan waktunya untuk membuat blog. Di blog inilah Papa mempublikasikan karya-karyanya yang kemudian membuat seorang Benjamin Ripple menemukan Papa. Ben adalah seorang pengusaha asal Texas. Melalui Ben lah, Papa mulai memasarkan produk gula cairnya ke Negeri Paman Sam untuk pertama kali. Bahkan, di tahun-tahun berikutnya Papa juga mengirimkan gula cair dari nira kelapa itu ke Hong Kong, Australia dan Tahiti. Perlahan, produk Pabrik Gula Mini rancangannya mulai menembus pasar dunia. Siapa sangka itu semua bermuara dari sebuah impian absurd seorang anak petani yang insinyur (atau seorang insinyur yang anak petani)?
Kini impian Papa telah tercapai, bahkan mungkin melebihi ekspektasinya. Tidak hanya mewujudkan desain pabrik gulanya menjadi sebuah kenyataan, tapi juga membuat produk yang lantas dieksport ke luar negeri. Papa juga banyak diminta membuat pabrik gula yang serupa dengan desain Pabrik Gula Mininya di beberapa daerah, semisal di Banyuwangi dan Pasuruan.
Sementara itu, di bidang konversi energi, Papa bahkan menjadi salah satu referensi bagi orang-orang yang juga mengeksplorasi penggunaan energi terbarukan. Papa sering diminta banyak lembaga untuk memberikan pelatihan seputar aplikasi sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil.
Tapi di luar segala keberhasilan itu, ada satu hal yang aku yakini (yang kurasa juga Papa yakini), bahwa semua impian itu hanya akan menjadi mimpi di siang bolong tanpa dukungan seseorang; Mama.
Wanita yang sudah lebih dari 3 dekade mendampingi Papa itu memang bukan insinyur, bukan pula ilmuwan. Ia juga tidak memiliki kadar kegilaan tertentu terhadap ilmu pengetahuan dan rahasia alam. Ia adalah ibu rumah tangga yang juga kebetulan bekerja di sebuah lembaga kursus bahasa asing. Namun ia rela menjadi penopang ekonomi keluarga ketika belahan jiwanya bersikeras mempertahankan idealismenya untuk tidak terus bertahan di perusahaan BUMN yang korup. Dengan besar hati, dia rela membiarkan Papa melepas jabatan beserta gaji yang pastinya bisa membuatnya ongkang-ongkang kaki sepanjang hari. Demi menyalurkan gairah Papa terhadap ilmu pengetahuan, Mama sendiri harus bekerja demi bisa menyekolahkan dan memberi makan ketiga buah hatinya.
Mama tidak pernah mengeluh ketika statusnya harus berubah dari menjadi istri seorang pejabat BUMN, menjadi “hanya” istri seorang petani. Mama tak pernah mengkomplain ketika usaha Papa mengalami keterpurukan dengan hutang yang besar. Mama selalu mempercayai impian Papa hingga Papa dengan gigih terus mempertahankan bara impiannya tetap menyala.
Sementara aku, seorang notulen yang kebetulan lewat dalam kehidupan mereka, turut mendapatkan pelajaran berharga. Bahwa sukses bukanlah diukur dari deretan mobil mewah, rumah di daerah elit atau jabatan selangit, melainkan terus berkarya dan menyebarkan manfaat, kebesaran hati untuk rela berkorban, serta selalu percaya pada impian, betapapun besarnya rintangan yang menghadang.
Untuk Papa dan Mama, you’re always be my Hall of Fame.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)