Kamis, 06 Maret 2014

Aku dan Janinku di Pabrik Terigu


Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dan rencananya akan diikutsertakan dalam lomba menulis #AkuOraPopo by Diva Press.
Happy Reading ^-^!
---

 
“Saya hamil, Pak…”, ucapanku membuat atasanku tertegun.
Pandangan pria yang usianya nyaris 40 itu campur aduk. Antara kaget dan senang, tapi lebih banyak khawatir. “Selamat ya...”, jawabnya setelah beberapa detik ekspresinya berkata; “Kenapa harus sekarang?”.
Ya, kenapa harus sekarang? Aku pun berpikiran sama. Aku dan dia sama-sama tahu hal ini akan terjadi, cepat atau lambat. Namun timing  terbentuknya embrio dalam tubuhku telah menempatkan atasanku di antara dua persimpangan. Antara profesionalitas dan rasa kemanusiaan.
Mungkin agak lebay kalau urusan kehamilan ini sampai kubawa-bawa ke atasanku. Bukankah di perusahaan manapun, seorang karyawan hamil adalah hal yang lumrah? Memang sih, aku bisa-bisa saja meembiarkan atasanku tahu dengan sendirinya melalui perutku yang nantinya akan kian membuncit. Hanya saja, tempat kerjaku bukan tempat kerja biasa, hingga aku merasa dia adalah orang berikutnya setelah suami dan keluarga yang perlu tahu perihal kehamilanku.
Tiga tahun sebelumnya, atasanku adalah satu dari pria-pria yang memandangku dengan bingung saat aku menginjakkan kaki pertama kali di sini, di pabrik tepung terigu ini. Lebih tepatnya di departemen Produksi, yang ratusan karyawannya semua berjenis kelamin laki-laki. Di hari pertama aku diperkenalkan, calon rekan kerja dan atasanku seolah tak percaya melihat kehadiranku. Mereka tak mengira, sang General Manager jutsru memilih seorang perempuan daripada ratusan kandidat lain untuk menduduki posisi Supervisor di bagian produksi. Posisi itu, sejak lebih dari 3 dekade pabrik berdiri, hanya dijabat oleh laki-laki.
Area produksi di pabrik terigu ini adalah bangunan 8 tingkat tanpa lift atau elevator, bersuhu panas dengan tingkat kebisingan lebih dari nilai ambang batas plus memiliki atmosfer dengan konsentrasi debu yang luar biasa padat. Sungguh bukan tempat yang bersahabat untuk perempuan (apalagi yang sedang hamil). Saat itu aku memang masih lajang, masih cupu unyu-unyu, baru saja lulus kuliah dan masih semangat-semangatnya mempelajari dunia baru di luar kampus. Aku tak berpikir panjang bagaimana kelangsungan hidupku jika kelak menikah dan hamil.
Dua tahun sejak pengangkatanku sebagai karyawan tetap, pabrik memutuskan untuk berinvestasi pada sebuah Mixer berukuran jumbo untuk produk-produk terigu spesial. Aku ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap operasional mesin-mesin buatan Swiss tersebut. Tak kurang dari sepuluh hari, aku mempelajari cara kerja plant baru itu bersama seorang programmer dan teknisi bule yang kerjanya tak kenal waktu. Hampir tiap hari aku bekerja setidaknya 12 jam dalam sehari, bahkan hari Minggu pun kami pakai untuk bekerja. Kami harus memastikan plant itu sudah bekerja dengan benar sebelum dia pergi.
Tepat seminggu setelah proses uji coba selesai dan si bule sudah pulang ke negara asalnya, aku menyadari ada sesuatu yang tidak biasa pada tubuhku. Awalnya kukira itu hanya gejala kelelahan biasa pasca memeras tenaga habis-habisan di pabrik. Namun karena aku tak kunjung datang bulan, akhirnya aku memastikannya dengan test pack. Positif! Dan hal pertama yang terbersit dalam pikiranku adalah; atasanku harus segera diberi tahu.
Dia harus tahu, agar bisa maklum jika nantinya aku tak bergerak segesit sebelumnya. Dia harus tahu, karena dalam beberapa bulan ke depan aku akan menghilang dari pabrik selama 3 bulan untuk cuti melahirkan. Iya, dia harus tahu, sebagaimana dia juga tahu bahwa beberapa bulan sebelumnya aku harus kehilangan janin pertama kami melalui proses kuretase. Yang terakhir itu lah yang jadi biang kecemasannya kini.
Kekhawatirannya bisa dimengerti. Dari ratusan anak buahnya, hanya aku yang menguasai cara kerja Mixer tersebut. Thomas Widmer, sang programmer bule, hanya sempat mentransfer cara kerja rangkaian mesin baru itu padaku. Bukan karena Thomas pelit membagi ilmu, tapi suaranya yang tertelan deru mesin penggiling terigu hanya bisa sampai pada satu orang saja, yaitu aku. Jadi, sepeninggal Thomas, aku menjadi orang pertama di pabrik yang paham bagaimana cara kerja Mixer raksasa dan mesin-mesin lainnya.
Itu lah yang membuat atasanku berpikir; “Kenapa aku harus hamil sekarang?”. Seandainya kehamilanku terjadi beberapa bulan sebelumnya, mungkin dia akan menunjuk orang lain untuk mengoperasikan plant baru itu. Atau jika kehamilanku bisa ditunda beberapa bulan ke depan, mungkin aku masih punya waktu untuk mengajari seseorang bagaimana cara kerja Mixing Plant. Tapi baik aku maupun dia, tak bisa menolak skenario yang sudah tertulis dalam buku besar panggung kehidupan. Aku hamil sekarang, bukan beberapa bulan lalu atau beberapa bulan lagi. Aku hamil tepat saat Mixing Plant akan mulai beroperasi.
“Bapak tidak usah khawatir. Saya bilang begini karena saya hanya ingin Bapak tahu saja dan bisa maklum jika selama beberapa bulan ke depan, saya tidak bisa berjalan secepat sebelumnya”, ujarku.
“Tapi bagaimana kita tahu tak akan ada lagi masalah-masalah di Mixing yang belum kita antisipasi?”.
“Bukankah Mixing sudah didesain untuk berjalan secara otomatis? Saya tinggal tekan satu tombol dan semua akan berjalan sendiri”, lanjutku optimis.
“Iya, tapi kita belum pernah benar-benar mencoba untuk skala besar. Saya khawatir Mixing Plant akan membahayakan kandunganmu, seperti dulu”
“Saya akan hati-hati, Pak”, ujarku dengan penuh haru melihat betapa dia mengkhawatirkanku. Bukankah semestinya dia tak perlu begitu? Bukankah aku dibayar memang untuk bekerja? Sebagai atasan, seharusnya dia cukup memastikan apakah aku sudah melaksanakan kewajibanku di pabrik. Soal keselamatan janinku, itu bukanlah tanggung jawabnya.
Tapi aku beruntung memiliki atasan yang sangat pengertian. Aku tahu dia belum lupa saat aku minta ijin tidak masuk selama seminggu karena harus dikuret. Janinku meninggal dalam kandungan. Penyebabnya tidak jelas, tapi diduga kuat karena aku kecapekan. Sebagaimana aku, dia tak ingin kejadian pahit itu terulang lagi, tapi dia juga membutuhkan aku untuk menjalankan Mixing Plant (yang menurut prediksinya tidak akan semudah membalik telapak tangan). Sampai aku meninggalkan ruangannya pagi itu, aku masih bisa melihat rona gelisah di wajahnya.
Ternyata dugaan atasanku benar. Minggu-minggu dan bulan-bulan selanjutnya adalah saat-saat yang paling berat sepanjang sejarah aku bekerja di pabrik terigu terbesar di Indonesia itu.
Mixer beserta mesin-mesin lainnya ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Thomas masih menyisakan beberapa lubang dalam program otomatisasinya sehingga seringkali proses kami mengalami error. Proses yang seharusnya bisa berjalan otomatis akhirnya harus dijalankan secara semi manual. Ditambah lagi mesin-mesin pendukung lain semacam conveyor, fan dan filter yang bekerjanya sangat jauh dari ekspektasi.
Sementara itu, layout pabrik yang tidak bersahabat turut berkontribusi dalam beratnya menjalani kehamilan.
Yuk, kita jalan-jalan sebentar menjelajah pabrik tempatku mencari nafkah. Mixer jumbo dan ruang panel ada di lantai dua. Mesin itu akan memblending tepung yang nantinya akan dikemas di unit pengemasan, dua lantai di bawahnya. Bahan-bahan yang hendak diblending harus dituang melalui unit filling yang ada di lantai tiga. Sementara itu, tepung yang dikirim dari departemen penggilingan, diterima melalui sebuah conveyor di lantai lima. Di lantai-lantai itu lah aku harus mondar-mandir tiap harinya, tanpa lift, untuk memastikan semua sudah bekerja dengan benar. Apakah valve-valve sudah di posisi yang pas? Apakah timku sudah melaksanakan tugasnya sesuai instruksi? Apakah semua material pendukung sudah berada di tempat yang seharusnya? Apakah...Apakah...Apakah....? Aku harus memastikan semuanya akurat. Tidak ada toleransi untuk berbuat kesalahan sedikit pun, karena produk Mixing Plant adalah produk spesial untuk pelanggan yang spesial pula. Tenagaku terkuras, demikian juga pikiranku.
Aku bisa melihat tatapan cemas rekan setimku melihatku harus naik turun tangga berkali-kali tiap hari.
“Mbak May nggak usah naik turun. Duduk manis saja di sini”, kata salah satu dari mereka sambil menunjuk kursi di ruang panel.
Aku menggeleng kuat-kuat. Duduk manis katanya? Bagaimana aku bisa duduk manis dengan segala permasalahan yang seakan tak ada habisnya itu? Valve yang macet, filter yang ngebul, kualitas tepung yang tidak sesuai permintaan, program otomatisasi yang error, sensor yang tidak bekerja, spare part yang rusak dan lain sebagainya. Itu semua kan tak mungkin selesai hanya dengan duduk manis. Aku bahkan tak bisa tinggal diam ketika ada permasalahan di atas tangki setinggi 3 meter yang harus dipanjat dengan tangga monyet. Rekan kerjaku melihatku dengan khawatir saat aku, dengan perut hamil 5 bulan, nekat memanjat tangki bermasalah tersebut.
Memang tidak mudah, namun tak ada badai yang tak berlalu. Kehamilanku berakhir bahagia. Syukur alhamdulillah, bayi pertamaku lahir normal tanpa halangan berarti. Banyak orang bilang, lancarnya proses persalinanku adalah karena aku banyak berjalan dan naik turun tangga. Tak salah mereka berkomentar demikian karena yang mereka lihat dariku sehari-hari memang seperti itu.
Tapi ada satu hal yang mereka tidak tahu. Bahwa aku kerap mensugesti diriku sendiri. Berdiri di depan cermin sambil mengelus-elus perut yang kian membuncit dan mengulang-ulang mantra ajaib yang kudapat dari sebuah radio. “Aku hamil dan aku gembira...aku hamil dan aku gembira...”. Dengan melakukan itu tiap pagi, sekalipun tubuh dan pikiran dalam keadaan lelah tak terkira, aku bisa menjaga perasaanku tetap gembira. Iya betul. Gembira. Simpel saja ternyata.
Apapun yang kita jalani, seberat apapun, akan terasa lebih ringan jika dijalani dengan gembira. Dengan mengucapkan mantra itu tiap hari, aku senantiasa diingatkan akan berderet alasan mengapa aku harus tetap gembira.
Aku gembira karena sebentar lagi akan punya anak. Aku gembira karena aku punya pekerjaan, yang artinya aku tak perlu pusing memikirkan keuangan. Aku gembira karena aku punya keluarga dan teman-teman yang menyayangiku.
Aku yakin masih banyak perenpuan hamil di luar sana yang berada dalam kondisi yang lebih tidak beruntung dibanding aku. Hamil tanpa didampingi suami dan keluarga misalnya atau hamil dalam segala keterbatasan materi. Keterlaluan sekali jika orang seperti aku tidak merasa gembira, hanya karena menghadapi pekerjaan yang mungkin tidak lazim dijalani perempuan berbadan dua.
Mantra “Aku hamil dan aku gembira” telah membantuku membuktikan pada orang-orang di sekitarku bahwa aku baik-baik saja. Sekalipun aku harus menjalani kehamilan di tempat yang jauh dari kata nyaman. Mantra itu sungguh ampuh mencegahku untuk terlalu banyak mengeluh dan senantiasa bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan. Terutama kehidupan yang sudah digariskanNya, untukku dan janinku di sebuah pabrik terigu.
-selesai- 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)