Sabtu, 12 Maret 2016

[Flash Fiction] Hadiah Untuk Ibu


Bingkisan mungil yang sudah kubeli beberapa bulan lalu itu masih tergeletak di tempat yang sama. Itu bingkisan untuk ibuku. Hadiah ulang tahunnya yang sudah lewat tiga bulan lalu.

Alasan klise yang membuat bingkisan itu hingga saat ini masih ada bersamaku dan bukan bersama ibu adalah karena aku sibuk. Karir di kota besar ini menelanku bulat-bulat. Jangankan untuk pulang kampung di hari ulang tahun ibu, untuk menyenangkan diri sendiri saja aku nyaris tak punya waktu.

Untunglah hari ini akhirnya aku bisa pulang, tentu saja dengan membawa bingkisan untuk ibu. Kudekap erat bingkisan yang di dalamnya ada sesuatu yang pasti membuat ibu senang.

Dugaanku tidak salah, ibu menyambutku dengan senyum mengembang. Dengan riang, ia membuka bingkisan yang sudah sejak lama kusiapkan.

Tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi. Wajah ibu perlahan memburam. Awalnya kukira mataku kelelahan, tapi semakin lama ibu semakin memudar dan akhirnya menghilang. Aku berteriak-teriak memanggil ibu.

Dalam kebingungan yang sangat, seseorang memanggil namaku dan mengguncang bahuku. Dengan napas tertahan, aku merasa tubuhku menembus selapis kabut. Dalam hitungan detik, sebersit kesadaran akan apa yang sesungguhnya terjadi membuat hatiku ngilu.

Aku memang pulang ke rumah ibu, tapi yang menyambutku bukan senyum ibu, melainkan jasadnya yang membujur kaku.

(selesai)


Sabtu, 05 Maret 2016

[Flash Fiction] Ramalan Langit Malam


Selarik cahaya membelah langit malam. Aku tertegun. Kamu terpekik tertahan. Kita berdua tahu, seperti halnya semua orang tahu, bahwa langit malam di dusun ini bisa meramal. Jika ada selarik cahaya yang membelah langit malam, itu artinya akan ada penduduk dusun yang pergi. Entah meninggal, atau pergi meninggalkan dusun dan tak pernah kembali.
“Mungkin itu ramalan untuk kamu,” bisikku lirih. “Besok kamu pergi kan?”
“Tapi aku pasti kembali.”
Aku tersenyum ragu. Siapa pun tahu, tawaran bekerja di ibukota bagi seorang gadis desa sepertimu tak ubahnya seperti mendapat lotere berhadiah milyaran rupiah. Aku tak menyalahkanmu yang memutuskan untuk menerima tawaran itu. Yang berarti meninggalkan dusun ini. Meninggalkan aku.
“Aku janji, aku pasti kembali. Ramalan itu pasti bukan untuk aku,” tegasmu berusaha meyakinkanku.
Usahamu gagal. Aku yakin ibukota akan merubahmu, seperti ia merubah gadis-gadis lain yang sudah lebih dulu pergi dan tak pernah kembali.
*
Ternyata kamu benar. Ramalan itu bukan untukmu. Kamu bahkan tidak pernah pergi meninggalkan kampung halaman kita. Kamu berubah pikiran, dengan alasan yang hanya kamu yang tahu.
Namun ramalan langit kemarin malam juga tidak salah. Sore ini aku melihatmu, tergugu di depan sebuah batu nisan yang masih baru. Nisan yang bertuliskan Muhammad Iman. Namaku.

(selesai)
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)