Minggu, 29 September 2013

Twitterland




Anak laki-laki itu bernama Bimo. Agak kurang tepat sebenarnya, jika dia disebut anak di usianya yang sudah jalan 18 tahun. Bimo jelas sudah bisa buang ingus dan tidak lagi pipis di celana. Lagipula, anak-anak seharusnya sedang asyik bermain petak umpet atau gobak sodor di sore hari semacam ini dan bukannya bengong di kamar dengan pandangan kosong.
Cowok yang tubuhnya termasuk kategori tinggi untuk ukuran sebayanya itu juga tidak pas dibilang ABG. Sebab, rata-rata anak baru gede  biasanya menyambut datangnya senja dengan les Bahasa Inggris, latihan Taekwondo, rapat OSIS atau mengerjakan tugas prakarya. Bukannya duduk diam menerawang seperti prajurit kalah perang. Yang jelas, siapapun pasti tidak setuju jika ia disebut orang dewasa, karena cowok yang tak berkakak dan tak beradik itu masih belum kelihatan seperti om-om, apalagi bapak-bapak.
Tapi masalah itu bukan hal yang penting untuk diceritakan. Sebab saat ini, Bimo jelas sedang mengalami kegelisahan level dewa. Coba saja perhatikan tingkah lakunya sejam terakhir ini.
Satu jam yang lalu ia tengah memandangi layar ponselnya dengan pucat pasi. Beberapa detik berikutnya ia menghempaskan tubuhnya di kasur sambil menatap langit-langit. Beberapa menit kemudian dia meraih ponselnya kembali dan tampaknya sedang berusaha menghubungi seseorang. Sepuluh menit berikutnya dia pakai untuk menghubungi tiga nomor yang berbeda, berulang-ulang, tapi yang didengarnya hanyalah suara kaku operator: “Maaf, nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi”. Dengan gelisah, ia membanting ponselnya. Tidak di lantai tentunya, melainkan di kasur. Bimo tidak ingin benda yang didapatnya nyaris tanpa susah payah hasil memenangi kuis di sebuah radio itu hancur. Usai membanting ponsel, puluhan menit berikutnya ia habiskan dengan membisu dan termangu-mangu, sebelum akhirnya keluar kamar dan mendapati selembar kertas kuning Post It tertempel di pintu kamarnya. Memo tersebut membuatnya terlihat kian putus asa. Terakhir, dia memelorotkan punggungnya di kusen pintu, kemudian bengong lagi dengan mata yang mulai basah.
Bimo jelas sedang terjangkiti wabah yang belakangan ini kerap melanda umat manusia; galau. Tapi please deh, kegalauan macam apa yang membuat seseorang bisa bertingkah sedemikian aneh? Sebentar bengong, sebentar menelpon, sebentar membanting ponsel, sebentar bengong lagi, sebentar nangis.
Mungkinkah kunci jawabannya ada di layar ponsel? Bisa jadi ada sesuatu yang dia lihat di sana sehingga memicu kegalauan tingkat akut. Ada beberapa kemungkinan yang dia lihat di layar sentuh selebar 7 inchi tersebut.
Pertama; berita buruk kematian keluarga.
Negative! Jika ada berita kematian, biasanya Bimo tidak akan termangu lama-lama di kamar melainkan segera meluncur ke rumah duka untuk takziyah.
Kedua; diputuskan pacarnya.
Oke, ini lebih masuk akal, tapi sayangnya bukan itu juga jawabannya. Bimo sudah putus dengan Rani lebih dari setahun lalu dan semenjak itu belum pernah terlihat menggandeng siapapun.
Ketiga; berita dari teman kampus yang mengabarkan jika nilai UTS nya dapat E.
Ini super mustahil, sebab Bimo tidak kuliah, walau dia baru saja lulus SMA beberapa bulan yang lalu.
Ngomong-ngomong soal itu, tidak kuliahnya Bimo bukan karena orang tuanya tidak mampu, walaupun Bapak hanya seorang staf pengurusan KTP di Kecamatan dan Ibu seorang penjahit.
Bukan juga karena Bimo tidak pintar. Ya, sebenarnya alasan ini ada benarnya walau tidak benar-benar amat. Dulu Bimo anak yang rajin belajar dan beberapa kali menjadi bintang kelas. Waktu umurnya masih 6 tahun, dia sudah bisa diterima di SD negeri. Saking cerdasnya, Bimo kecil pernah loncat kelas dan bisa lulus SD hanya dalam 5 tahun. Hanya sayang, prestasinya saat lulus SD dan lulus SMA bagaikan bumi dan langit. Bimo juga tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri.  Akhirnya Bimo sekarang menganggur tidak jelas, sebab orang tuanya sudah jauh-jauh hari memberi ultimatum. Kalau Bimo tidak bisa masuk universitas negeri dengan jalur biasa, mereka tidak akan sanggup menyekolahkannya di universitas swasta.
Apa yang dialami Bimo ini tergolong fenomena yang langka. Sebab bagaimana mungkin seorang anak yang tadinya rajin belajar, cerdas dan selalu menjadi juara kelas tiba-tiba prestasinya jatuh bebas hanya setahun menjalang akhir masa SMA? Jawabannya keluar sendiri dari mulut Bimo di sela-sela air mata yang mulai menetes.
“Twitterland, seandainya aku tidak pernah mengenal tempat itu”, desis Bimo lirih. Oh, jadi itu jawaban atas penyebab kegalauan Bimo hari ini. Bukan karena ada berita duka, bukan karena putus cinta, juga bukan karena masalah sekolah.
Sekarang Bimo tengah membongkar-bongkar laci memori di kepalanya, berusaha mencari lembar kenangan yang merekam bagaimana awalnya dia bisa mengenal Twitterland, sebuah negeri yang letaknya hanya ada di dunia maya. Negeri yang dengan mudah bisa dia sambangi hanya dengan menatap layar ponsel atau laptop.
Sejurus kemudian dia teringat Roy, sahabatnya sejak SMP. Ah iya, apa kabar dia sekarang ya? Dengar-dengar dia sedang di Perancis mengambil kuliah kuliner dan perhotelan. Seingat Bimo, Roy inilah yang pertama kali memperkenalkannya dengan Twitterland, waktu mereka duduk di kelas 11.
Waktu itu Roy dengan bersemangat menceritakan kalau ada tempat yang super asyik bernama Twitterland. Untuk masuk ke sana tidak butuh tiket, tidak butuh karcis, sehingga otomatis gratis. Yang Bimo butuhkan hanyalah membuat semacam identitas yang diawali huruf @. Membuat identitas baru itu pun hanya butuh beberapa kali kedipan mata. Dan lagi-lagi bebas biaya.
Di tempat itu, Bimo berjumpa dengan bermacam-macam orang yang kesemuanya memiliki identitas berawalan @. Mulanya memang agak membingungkan sebab Bimo tidak terbiasa menyapa seseorang dengan sebutan “Hai @prettychick” atau “Halo @gagahprakosa”. Di Twitterland tidak ada nama-nama yang biasa Bimo kenal seperti Wahyu, Astri, Nanang, Linda atau Gusti.
Di sana, warganya tidak terbiasa berbicara panjang lebar. Bicara mereka pendek-pendek, persis suara kicauan burung gereja yang suka nangkring di kabel listrik. Jika sedang di Twitterland, Bimo tidak akan bilang “Sore ini saya sedang dalam perjalanan menuju arena basket untuk mengikuti Teenage Basketball League tingkat Provinsi”, melainkan “Otw tanding basket di TBL Arena”.
Nah, mengenai benar tidaknya Bimo bertanding basket, tidak ada yang benar-benar tahu. Twitterland tidak mengenal proses audit atau verifikasi keabsahan kicauan warganya. Jadi, setelah Bimo berkicau demikian, warga lain akan menyahut dengan kicauan pula; “Sukses ya Bro”, “Semangat ya” dan semacamnya.
Bimo memang sangat menyukai basket. Dari kecil, tepatnya sejak tahun pertamanya di SMP, Bimo sudah jatuh cinta pada olah raga “rebut bola masukkan ke keranjang” ini. Apalagi melihat kakak kelasnya yang jadi atlet basket nasional, kemudian terkenal, terus terus ditawari jadi bintang iklan dan bintang film. Bimo bermimpi untuk jadi atlet basket yang tidak hanya sukses, tapi juga ngetop. Seperti Michael Jordan dengan Space Jam-nya. Atau setidaknya seperti Denny Sumargo dengan 5 Cm-nya.
Dalam hal basket, Bimo termasuk gigih. Gigih berlatih, juga gigih menyediakan sendiri pernik-pernik untuk mendukung hobinya ini. Dia pernah suatu kali menjadi loper koran sore demi bisa membeli sepatu basket yang Ayahnya tak mampu membeli. Tapi sayangnya itu dulu. Semangat juangnya meraih impian di dunia basket terkubur dalam sudut tak terjamah ketika ia mulai mengenal Twitterland.
Semenjak mengenal dunia digital itu, Bimo lebih rajin berkicau ketimbang latihan basket. Ia kini menjadi semacam penulis novel yang bebas menentukan karakter dan sifat identitas kembarannya di Twitterland. Sehingga perlahan, diciptakanlah seorang @basketboy yang menjadi separuh Micahel Jordan, separuh Denny Sumargo.
Dari kicauan-kicauan @basketboy, warga Twitterland kini mengenalnya sebagai seorang atlet basket yang tajir dan populer. Hampir tiap hari kicauan Bimo di Twitterland selalu disahuti oleh warga-warga lain yang namanya beraroma perempuan, semisal @sweetjulia, @lilianamanis atau @maycantique.
Karena popularitas yang diperolehnya tanpa susah payah itu, Bimo lebih suka hidup di Twitterland sebagai @basketboy daripada hidup di dunia nyata sebagai Bimo yang anak pegawai kecamatan dan yang masih harus belajar keras demi masa depan.
Bapak dan Ibu tentu saja prihatin dan sudah berkali-kali berusaha memperingatkan anak semata wayang mereka. Berkali-kali mereka menegur, memarahi dan mengomeli Bimo agar tidak terlalu sering menjelajah Twitterland. Hingga akhirnya omelan mereka berhenti dengan sendirinya semenjak kehadiran Bagas. Remaja tanggung sebaya Bimo itu adalah keponakan Bapak yang secara tiba-tiba menjadi yatim piatu, dan kemudian menjadi anak angkat di keluarga mereka.
Bagas juga sesekali mengunjungi Twitterland. Tapi dia lebih senang menekuni buku-buku pelajarannya ketimbang memandangi laptop atau smartphone seperti sepupunya.
Hasilnya segera kelihatan. Nilai Bagas meroket, sementara nilai Bimo jatuh bebas laksana pemain bungee jumping. Bimo bahkan menyandang predikat sebagai juru kunci saat nilai UNAS diumumkan. Saat itu, memang sempat terselip rasa sedih di hati kecil Bimo. Tapi dia segera menampik perasaan itu dan tidak menghiraukan batinnya yang menjerit melihat kesedihan di mata Ibu. Dia segera kembali ke Twitterland untuk menjadi @basketboy yang populer. Kicauannya di hari pengumuman UNAS adalah; “Sepuluh besar untuk nilai UNAS itu sesuatu banget ya”. Puluhan kicauan yang senada dengan “Wah, selamat ya Bro” kontan bergema di Twitterland. Dan Bimo pun tersenyum puas.
Tapi beberapa bulan kemudian, tepatnya hari ini, beberapa saat yang lalu, ketika Bimo mulai terbengong-bengong di kamar dengan ekspresi putus asa, ada sesuatu hal yang membuat warga Twitterland berkicau riuh. Topik yang hangat diperbincangkan hari ini adalah salah satu warganya yang bernama @basketboy.
Berawal dari kicauan seseorang bernama @jagoaneon.
@jagoaneon: Shame on you @basketboy! Penipu! Kamu cuma bekas murid SMA yang pura-pura jadi atlet basket.
@gagahparkosa: Tau dari mana Bro @jagoaneon?
@jagoaneon: @gagahprakosa Ud cek di TBL, ga ada atlet yg punya nama @basketboy.
@ronibass: Btl mas bro @gagahprakosa, semua atlet TBL, namanya selalu diakhiri inisial TBL.
@prettychick: OmG, padahal aku naksir berat sama dia. Da*n you @basketboy.
@sweetjulia: Pantesan dia ga pernah pasang foto close up.
@jeremiahok: Hoi @basketboy, mana suaranya kok ga berani muncul?
Sampai sini barulah Bimo tersadar. Identitas kembarannya ketahuan.  Warga Twitterland sudah menyadari kebohongannya.
Ternyata Twitterland bukanlah dunia fantasi yang selama ini dipikirkannya. Dia hanyalah dunia nyata dalam bentuk milyaran elektron. Manusia-manusia yang ada di sana, sebenarnya adalah manusia biasa yang membawa kehidupan nyatanya di dunia maya. Bukan sebaliknya seperti yang Bimo lakukan.
Dan ketika Bimo menyadari, semuanya sudah terlambat. Dia sudah terlanjur mendapat prestasi belajar yang amburadul dan juga sudah terlanjur tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri.
Dan yang paling parah, Bapak dan Ibu sudah tidak peduli lagi padanya, apalagi sejak hadirnya Bagas di keluarga mereka.  Sekali lagi Bimo membaca tulisan tangan Ibu di kertas Post It yang tadi tertempel di pintu kamarnya; “Kami semua pergi ke Jogja, tahlilan orang tua Bagas sekalian syukuran karena Bagas jadi pelajar teladan”. Pantas saja sedari tadi nomor telfon ketiganya tidak diangkat, mereka mungkin sekarang sedang berada di kereta api, di daerah yang tak terkena jangkauan sinyal.
Bimo menghela napas, orang tuanya bahkan tidak mau susah-susah bertanya apakah dia mau ikut atau tidak. Dengan bergidik, Bimo menyadari sesuatu. Di mata orang terdekatnya dia telah menjadi ada atau tiada tak ada bedanya. Dia melihat bulu kuduknya meremang.
Dalam hati dia bertanya; “Apakah kesalahannya ini masih bisa diperbaiki?”. Pertanyaannya itu tentu saja tak ada yang menjawab, kecuali suara cicak di dinding; “Ck ck ck...!!!”.
***
Jauh di sana, di negara yang tidak mengenal kemangi melainkan peterseli, juga tidak hanya memiliki dua musim melainkan empat, Roy tengah memandang layar ponselnya dengan tersenyum. Dia puas memantau apa yang tengah terjadi di Twitterland.
Dari dulu dia iri dengan Bimo, dengan kepintaran Bimo, dengan fisik Bimo yang atletis. Sementara dia sendiri susah payah mengejar nilai-nilai Bimo. Dia sendiri sudah belajar keras dan mengikuti les sana-sini. Nilai-nilai sekolahnya memang membaik, tapi tetap saja kalah dengan nilai Bimo. Roy juga tidak suka berolahraga dan sebaliknya lebih memilih hobi berkunjung dari satu dapur ke dapur yang lain. Tak heran jika tubuhnya kian tambun, jauh berbeda dengan sahabatnya yang langsing atletis.
Roy berpikir, jika dia tidak bisa menjadi seperti Bimo, maka dia ingin membuat Bimo menjadi seperti dirinya.
Roy masih ingat betul, waktu itu Bimo sedang down karena gagal mengikuti seleksi TBL, Teenage Baskeball League, sebuah event basket nasional. Keputusasaan sahabatnya itu digunakan Roy untuk memperkenalkan Twitterland dengan dalih agar kesedihannya beralih. Tapi dalam hati, Roy berharap agar Bimo bisa kecanduan menjelajah Twitterland dan sedikit banyak berdampak pada prestasi belajarnya.
Harapan Roy menjadi kenyataan, bahkan lebih dari yang diharapkannya. Bimo tidak hanya kecanduan dan malas belajar, tapi juga kecanduan untuk tidak menjadi dirinya sendiri.
Selama ini, Roy sengaja membiarkan kelakuan Bimo dan tidak mau membuka identitas Bimo yang sebenarnya di Twitterland. Dia berharap Bimo terlena lebih lama.
Melihat apa yang dialami Bimo di Twitterland hari ini, Roy merasa senang. Tapi tak urung terbit juga rasa khawatir di hatinya. Sebab, dengan terbukanya kedok Bimo di Twitterland, bisa dipastikan Bimo akan menghapus jejak bahwa dia pernah berada di sana. Suka tak suka, Bimo akan segera kembali ke dunia nyata yang hanya menawarkan dua pilihan; terus terpuruk atau bangkit dan memperbaiki kesalahan.
Roy bertanya-tanya, akankah Bimo terus berputus asa, seperti dulu saat dia gagal seleksi basket. Atau bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih lagi menata impian yang  baru dan dengan segenap daya upaya memperjuangkannya.
Saat ini Roy memang beberapa langkah di depan Bimo. Namun jujur ia takut, jika kelak Bimo yang dulu pernah dikenalnya muncul kembali. Yakni Bimo yang dengan gigih mengayuh sepeda agar kaki-kaki kecilnya bisa melangkah di atas bumi dengan bersepatu basket.

-selesai-

ditulis untuk meramaikan Lomba Menulis Cerpen Remaja Rohto 2013.

Minggu, 22 September 2013

Dalam Ilusi



Burung alap-alap tak pernah berharap
Untuk menjadi penghuni samudra
Menyelam ke dalam laut biru
Menyapa kerang dan udang satu-satu
Karna dalam ilusinya yang indah hanyalah langit
Tempat ia menanti mentari tenggelam dan terbit

Air di danau tak pernah berhasrat
Untuk menjadi pepohonan di darat
Tempat bersemi kuncup-kuncup bunga
Dan disambangi serangga aneka rupa
Karna dalam ilusinya yang indah hanyalah telaga
Yang memantulkan busur pelangi dan alam raya

Biarkan aku menjadi alap-alap dan air telaga
Yang tak peduli gelora samudra dan seisinya
Juga tak acuh akan dedaunan yang berubah warna
Karna dalam ilusiku yang indah hanyalah kamu
Yang bersedia menerimaku tanpa ragu
Sementara yang lain hanyalah indah yang semu

ditulis untuk lelakiku

Catatan: Puisi ini adalah benang merah untuk cerita pendek "Pintu Besi", yang sekarang sedang menunggu untuk terbit dalam buku antalagi Cerita Puisi bersama @lembarpuisi. 

Sabtu, 21 September 2013

Lensa Merah Muda Untuk Sahabat Kecilku




Hai, makhluk mungil yang sedang bersemayam dalam kandungan
Tahukah kamu bahwa dunia yang sebentar lagi akan kau sapa
Adalah tempat yang indah sekaligus penuh angkara

Tapi tak perlu kau khawatir sahabat kecil
Karena aku sudah menyiapkan hadiah ajaib
Sebuah lensa merah muda yang kan tersemat selamanya
Agar engkau siap menghadapi hitam putih dunia

Suatu hari nanti mungkin kau akan menghadapi pekat malam
Tapi dengan lensa itu yang terlihat adalah kilau gemintang
Suatu waktu kelak kau bisa saja memandang silau mentari
Tapi lensa itu akan membuatmu melihat indah pelangi

Lensa merah muda akan membantumu melihat kebaikan yang tersembunyi
Dalam diri seseorang yang mungkin saja terbelenggu perasaan iri dan dengki
Maka bagimu tak kan ada lagi duka lara
Dan kau kan senantiasa sebarkan aroma cinta ke seantero jagad raya

Ditulis untuk sahabat kecilku, Rosabrille

Untuk event menulis puisi bertema: Merah Muda by Redaksi Meta Kata

Catatan:
Nama Rosabrille diambil dari bahasa Jerman (Rosa: merah muda, Brille: kacamata).
Di Jerman, frase ini lebih populer digunakan sebagai ungkapan: "durch die rosarote Brille sehen", atau dalam bahasa Inggris "seeing through the pink glasses".
Maksudnya, jika seseorang melihat segala sesuatu melihat melalui kacamata merah muda, maka segalanya akan terlihat lebih indah.
Nama ini saya pilih agar gadis kecil saya selalu melihat dunia dengan positive thinking, atau dalam bahasa spiritualnya; selalu ber-khusnudzon. 

Jumat, 20 September 2013

Tidak Selalu Antara Aku dan Tuhan, Bunda



(1)
Untung aku mengenakan pakaian putih dan kerudung hijau hari ini. Warna putih yang melambangkan kesucian Dzat Ilahi dan warna hijau yang konon menjadi warna favorit Nabi Muhammad. Pas sekali dengan momen perpisahan yang baru saja terjadi antara aku dan dia. Padahal, ketika aku memilih busana itu pagi ini, aku sama sekali tidak menyangka akan mengenakannya untuk mengucapkan selamat tinggal pada sahabat lama.
Aku mengenalnya nyaris 5 tahun yang lalu, persis semenjak aku diterima di pabrik penggilingan terigu terbesar di kota ini. Tapi kami baru benar-benar akrab sekitar 4 tahun terakhir. Bisa dibilang, aku adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengannya. Memang sih, beberapa perempuan memang terlihat beberapa kali mendatanginya. Tapi aku yakin, aku lah perempuan yang paling setia mengakrabinya, bahkan sejak dia ada di tempat ini.
Dulu aku sempat merasa kebingungan saat berusaha mendekatinya. Semua kawannya laki-laki. Catat, semuanya. Seolah dia lupa bahwa makhluk ciptaan Tuhan juga ada yang berjenis kelamin perempuan.
Tapi kondisi itu tidak lantas membuatku mengurungkan niat untuk mendekatinya. Awalnya terasa rikuh. Apalagi melihat mata para lelaki yang menatapku aneh saat aku mulai perlahan mendekatinya. Ditambah lagi, dia sendiri juga rasanya menyambut kehadiranku dengan dingin. Buktinya aku sampai salah tingkah harus berbuat bagaimana di awal-awal hubungan kami. Terus terang, situasi tersebut sempat membuatku ragu untuk meneruskan niat berteman dengannya.
Satu dua bulan berlalu, hubungan kami pun mulai terjalin, walau awalnya hanya sebentar-sebentar saja tiap harinya. Tapi aku berusaha setidaknya menyapanya sehari sekali. Akhirnya setelah sekian lama, aku berhasil mendapat tempat di salah satu sudut hatinya. Hanya sebuah sudut kecil, tapi tak mengapa. Itu sudah lebih dari cukup.
Melihat aku mulai berani berkawan dengannya, satu dua perempuan terlihat mulai ikut-ikutan mendekatinya. Aku tidak keberatan ketika sudut kecil itu sesekali harus kubagi dengan perempuan lain. Toh sudut kecil itu masih terasa leluasa mengingat tak banyak perempuan yang bersedia mendatanginya. Tapi biar bagaimana, aku lebih senang jika sudut itu hanya terisi aku seorang, hingga aku dan dia benar-benar bisa menikmati momen-momen eksklusif bersama.
Empat tahun ini aku dan dia berteman akrab. Telah banyak momen-momen penting yang kubagi hanya dengannya. Dia lah tempat aku menyandarkan kepala saat benar-benar sedang merasa kelelahan. Dia bahkan beberapa kali membiarkan aku tertidur dalam dekapannya. Dia juga menjadi tempatku membagi kebahagiaan dan rasa syukur jika suatu ketika mendapatkan rejeki. Bersamanya, aku melewatkan waktu untuk memikirkan Tuhan dan bersama-sama membaca kitab suciNya. Dia lah tempatku melampiaskan amarah dan kesedihan yang terkadang tak kuasa kukendalikan.
Aku mencintainya. Semakin lama mengenalnya, semakin aku tak kuasa meninggalkannya. Bahkan di waktu istirahat, aku lebih memilih untuk mendatanginya ketimbang menghabiskan waktu bersama teman-temanku yang lain. Karena dengannya aku memperoleh makna kedamaian.
Tapi hari ini aku terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada sahabatku itu. Pada Masjid berkubah hijau yang terletak persis di depan pabrik tempatku bekerja.
Masjid itu memang bukan seperti masjid kebanyakan. Dia tidak memiliki tempat wudhu maupun tempat shalat khusus wanita. Sehingga tidak heran jika tidak ada seorang pun perempuan yang mau mendatanginya.
Dan perihal aku, bagi kebanyakan orang, aku adalah anomali. Tiga puluh tahun lebih semenjak pabrik ini berdiri, aku lah karyawan perempuan pertama yang menodai dominasi kaum adam di tempat ini. Lima tahun lalu, aku diterima di perusahaan ini dan ditempatkan di sebuah departemen yang terdiri atas ratusan karyawan laki-laki dan tentu saja, tidak memiliki toilet perempuan.
Pabrik ini memang bukan tempat yang lazim bagi kaum hawa. Mungkin itulah sebabnya masjid berkubah hijau yang dibangun beberapa tahun setelah pabrik ini berdiri itu tidak punya tempat untuk jamaah perempuan.
Mungkin karena aku bersikeras untuk menunaikan shalat di sana, akhirnya pengurus masjid menyerah dan membuatkan dua lembar kain putih untuk menjadi penyekat tempat shalatku dengan jamaah laki-laki. Tempat itu adalah salah satu sudut kecil di dekat Grandpa’s Clock yang sudah tak berfungsi lagi.
Tapi masih ada dua masalah. Masjid itu hanya punya satu pintu, jadi akses untuk menuju ke bilik kecilku itu tetap saja harus melewati pintu bagi jamaah laki-laki. Masalah kedua, karena tidak ada tempat wudhu khusus perempuan, aku terpaksa bergantian dengan para jamaah laki-laki atau memohon mereka untuk menunggu agar aku selesai berwudhu terlebih dulu.
Tapi bagiku kedua kendala itu hanyalah masalah kecil. Awalnya memang banyak komentar miring, tapi aku tak peduli. Kupikir, apa yang kulakukan itu murni urusan antara aku dan Penciptaku. Jadi terserah lah mereka mau berkata apa.
Akhirnya lama kelamaan, mereka mulai terbiasa dengan kehadiranku dan mulai sedikit demi sedikit memberiku ruang. Masjid itu juga terasa lebih hangat ketimbang sebelumnya, saat untuk meletakkan kepalaku ketika sujud saja aku kebingungan harus di mana?
Tapi aku tak pernah menyangka jika keakrabanku dengan rumah Tuhan itu rupanya menimbulkan mudharat bagi seseorang. Seseorang yang juga mengakrabkan diri dengan tempat itu karena juga ingin mengakrabkan diri denganku. Orang itu, tanpa kusadari, juga mendatangi masjid itu demi melihatku atau mendengar suaraku mengaji.
Ketika dia menyatakan isi hatinya padaku, yang terbersit dalam pikiranku adalah rasa bersalah yang teramat dalam. Selama ini aku bertahan dengan keegoisanku, mengira keakrabanku dengan masjid itu adalah semata-mata karena ikatanku dengan Tuhan. Aku melupakan fakta penting bahwa di masjid itu bukan hanya aku, tetapi juga hamba-hamba lain yang berusaha mengikatkan diri dengan Tuhan. Dan tanpa sanggup kucegah, salah satu ikatan itu beririsan dengan ikatanku.
Ah, seandainya saja aku bisa bertemu dengan almarhumah Ibu Theresa yang mengabdikan hidupnya untuk orang-orang miskin di Calcutta sana, mungkin aku akan membantah puisinya. “Tidak Ibu, ternyata tidak selalu antara aku Tuhan. Sebab antara aku dan Tuhan, juga ada dia. Dia yang juga mencari Tuhan, namun sayangnya niatnya tak lagi lurus. Hanya karena dia melihatku juga sedang mencari Tuhan”. (puisi terkenal yang ditemukan tertulis di dinding rumah Bunda Theresa untuk anak-anak miskin di Calcutta dengan judul asli “Its Between You and God”-penulis)
Jadi hari ini kuputuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Masjid itu. Agar dia berhenti mengharapkanku dan berganti dengan harapan untuk hanya bertemu dengan PenciptaNya, Dzat Maha Mulia yang sama dengan yang menciptakan aku.
Menyadari bahwa hari ini adalah hari terakhirku di sini, kupandangi tiap jengkal sudut kecilku dan hal-hal yang terlihat dari sana. Aku tak mampu menahan keluarnya butiran air dari kedua mataku ketika menyadari inilah duduk terakhirku di tempat ini. Ini lah butir air mata terakhir yang membasahi lantai Masjid sejuk berdinding hijau ini.
Hari ini, aku sengaja berlama-lama di dalamnya dan menempelkan pipiku di lantainya. Sebab esok hari aku sudah tak akan menginjakkan kaki lagi di sana.
Selamat tinggal, sahabatku. Dulu aku mendatangimu karena Tuhan. Dan kini, aku meninggalkanmu pun karena Dia.
Karena takut akan segala niat yang tak lagi lurus untukNya.

(2)
Dari dulu aku heran, kenapa kamu tidak marah? Atau setidaknya memasang muka cemberut kepadaku. Padahal kemarahan dan kecemberutanmu itu sudah sewajarnya karena aku sudah melakukan hal yang tidak pantas.
Sederhana sebenarnya. Aku menyatakan perasaan cinta padamu. Padahal aku tahu beberapa bulan lagi kamu akan mengikat janji dengan seseorang.
Tapi aku tidak bisa mencegah perasaan itu. Sebagaimana aku tidak mampu mencegah matahari agar tidak terbit dari timur. Perasaanku merekah seperti mentari yang muncul perlahan dari balik cakrawala. Hanya bedanya, matahari bisa tenggelam jika senja tiba. Namun tidak dengan perasaanku. Ia nya terus terbit. Kian lama kian terang. Seperti bunga yang merekah dan merebakkan harum wangi cinta yang memenuhi setiap sudut hatiku.
Aku jatuh cinta pada wajahmu yang selalu terlihat tersenyum. Begitu berpapasan dengan siapa saja, entah kamu mengenalnya atau tidak, kamu pasti menyunggingkan senyum.
Aku jatuh cinta pada wajahmu yang tidak pernah terlihat bersedih hati. Aku selalu melihat siang hari yang cerah di matamu yang berhiaskan bulu mata yang lentik. Sadarkah kamu bahwa bahagiamu itu menular padaku?
Aku jatuh cinta pada wajahmu yang nyaris tak pernah disentuh riasan, melainkan air wudhu. Pagi, siang dan sore, tiap kali aku melihatmu sedang mengakrabkan diri dengan Masjid di depan pabrik tempat kita bekerja.
Aku bekerja di tempat ini lebih dulu beberapa tahun sebelum kamu. Selama ini aku sudah terbiasa hanya melihat laki-laki. Tapi semenjak kamu tiba-tiba bekerja di sini dan dengan keras kepala meminta pengurus untuk membuatkanmu tempat untuk jamaah wanita di dalam Masjid, ada perasaan lain yang muncul perlahan. Rasa rindu aneh yang mulai timbul tiap kali tak melihatmu. Perasaan itu tipis dan perlahan menebal. Bagai batu yang sedikit demi sedikit berlubang karena tetesan air.
Di tempat ini, pekerjaanku dan pekerjaanmu memang nyaris tak pernah berhubungan. Tapi aku kerap melihatmu mengunjungi masjid. Satu-satunya perempuan di tempat ini yang mau berkawan dengan masjid berkubah dan berdinding haijau itu. Entah sejak kapan, kamu dan masjid itu, telah menjadi candu bagiku.
Seharusnya cukup banyak alasan untuk tidak jatuh cinta padamu. Namun kenyataannya cukup banyak alasan juga untuk jatuh cinta. Seperti halnya orang-orang di sekitarmu yang dengan berani menyatakan kekaguman mereka padamu.
Seandainya saja aku seperti mereka, yang bisa mengagumi tanpa melibatkan perasaan cinta. Sehingga aku tak perlu didera merasaan rindu dan cemburu yang kian menyiksa. Karena sejak awal aku tahu tak ada tempat untukku di hatimu.
Namun ketika suatu hari kunyatakan perasaan itu padamu, kamu tidak marah. Ada sinar sedih di matamu, tapi kamu tetap tersenyum ramah. Pun berhari-hari semenjak itu, kamu masih saja menyunggingkan senyum manis seolah kamu tak pernah mendengar hal-hal remeh yang pasti membuatmu perasaanmu tak nyaman semacam rasa cintaku padamu.
Tapi ada yang lain pagi ini, aku tidak melihatmu di masjid tempat kamu biasa mendirikan shalat sebelum mulai bekerja. Aku juga tidak melihatmu di sana saat waktunya shalat di siang hari dan sore hari. Juga tak melihatmu di kantin saat makan siang.
Kamu di mana? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Tidak tahukah kamu bahwa aku sangat merindukan senyumanmu? Tidak tahukah kamu bahwa senyummu itu laksana sinar mentari yang menyinari hari-hariku?
Seminggu, dua minggu, setiap hari aku menunggumu di masjid, di tempat parkir, di kantin, juga menelponmu tiap hari. Tapi jangankan melihat senyummu, mendengar suaramu pun aku tidak pernah. Kamu seperti lenyap ditelan bumi. Padahal pabrik ini hanya selebar daun kelor jika dibanding dengan luasan pulau Jawa. Nabi Adam saja pada akhirnya bisa berjumpa dengan Hawa di Jabal Rahmah setelah terpisah jarak jutaan kilometer. Masa berjumpa denganmu di pabrik seluas beberapa hektar ini saja aku tidak bisa?
Minggu ketiga, aku tidak tahan lagi. Kerinduanku membuncah. Aku harus bertemu denganmu entah bagaimana caranya. Sebenarnya aku bisa saja segera mendatangi ruanganmu tapi aku yakin kamu tak akan mau membicarakan masalah pribadi di ruangan kantor yang hiruk pikuk. Akhirnya aku memutuskan untuk datang bermenit-menit lebih awal dan menunggu di tempat parkir.
Seperti dugaanku, kamu datang jauh lebih pagi dari yang biasanya kamu lakukan. Tapi kali ini aku lebih pagi darimu. Kamu terkejut melihatku sudah menanti di tempat parkir favoritmu.
“Kamu menghindar ya?”, tanyaku tanpa basa-basi.
“Nggak”, jawabmu, masih dengan senyuman yang membuat hatiku menjerit pilu melihatnya. Pilu karena menyadari tak kan pernah memiliki senyuman itu untukku sendiri.
“Bohong. Aku tahu kamu sudah tidak pernah ke Masjid lagi. Kamu melakukan itu karena tidak ingin bertemu dengan aku kan?”, sergahku.
Senyumanmu memudar. Kamu menggeleng perlahan.
“Bukan karena itu. Sebab kalau tidak begitu, kamu tidak akan bisa melupakan aku”, jawabmu pelan.
Gantian aku yang terdiam.
“Kalau tidak begitu, alasanmu pergi ke masjid adalah untuk bertemu aku, bukan untuk bertemu dengan Tuhan”, jawabmu lagi. Bibirmu menyungging senyum lagi, tapi kali ini aku melihat sinar sedih di matamu.
Aku masih tak tahu harus berkata apa. Kemudian kamu melangkah pergi meninggalkan tempat parkir.
“Tunggu!”, panggilku. Kamu berhenti melangkah dan menoleh. “Aku belum siap”, kataku.
“Belum siap apa?”
“Belum siap tidak ketemu kamu”
Kamu menghela napas. “Tapi kamu harus siap menghadap Tuhan kapan saja Mas. Jangan sampai kamu menghadapNya di saat hatimu tidak sedang mengingatNya”
“Kamu tak perlu mengurusi agamaku”, kataku lagi, kali ini dengan nada hati-hati.
“Aku tidak mengurusi agamamu. Aku melakukan itu justru karena aku mengurusi agamaku sendiri”.
Aku terhenyak. “Apa maksudmu?”
“Aku juga takut niatku berhubungan dengan Masjid itu bukan semata-mata karena Dia”, bisikmu pelan. Aku bisa mendengar suaramu yang menahan isak.
Apa? Aku tak berani menyangka yang bukan-bukan. Tapi, apakah itu berarti kamu juga....
“Maafkan aku”, bisikku. Maafkan aku yang telah lancang hadir di antara hatimu dan hatinya. Maafkan aku juga karena telah merusak hubunganmu dengan Tuhan.
Kamu mengangguk dan tersenyum samar. Kamu seolah maklum bahwa cintaku ini adalah di luar kendaliku.
“Aku yang seharusnya minta maaf. Selama ini aku selalu mengira bahwa apapun yang aku lakukan, itu selalu hanya urusan antara aku dan Tuhan. Aku tak perlu mengurusi atau memikirkan apa yang orang lain katakan. Tapi aku lupa, bahwa aku bukan satu-satunya hamba. Di antara aku dan Tuhan juga ternyata terdapat hubungan antara kamu dan Tuhan. Dan selama ini tanpa sengaja aku sudah menodainya”
 “Kita masih berteman kan?”, tanyaku lirih.
Kamu tersenyum, kali ini binar matamu kembali. “Iya...selamanya kita teman”.
“Kamu tidak akan menghilang lagi kan?”, tanyaku lagi.
“Mungkin”.
“Kalau aku berjanji untuk berhenti mencintaimu, maukah kamu kembali ke Masjid lagi”.
Kamu tersenyum sambil mengangkat bahu. “Mungkin saja, suatu hari nanti”, lalu kau melambaikan tangan sebelum akhirnya benar-benar berlalu.
Mataku berkaca-kaca. Iya, selamanya kita teman. Aku tak kan pernah bisa menjadi lebih dari sekedar teman untukmu. Ada tembok tebal yang bernama pernikahan yang sebentar lagi akan terbentang di antara kita.
Tapi aku tak menyesal. Aku telah jatuh hati pada sebentuk ciptaan Ilahi dan perasaan itu pun juga muncul atas seijinNya. Untuk mengujiku. Untuk mengujimu.
Biarlah aku selalu menjadi sang Bumi yang selalu mendamba hangat sinar Mentari, sekalipun Mentari tak kan pernah bisa menjadi milik Bumi. Dia milik alam semesta.
Biarlah aku menjadi temanmu, karena dengan begitu lah aku bisa tetap bertemu dan memandang indah senyumanmu. Senyum yang menjadi alasan untuk memandang hari dengan bahagia.
Hanya satu yang aku tak pernah tahu, bahwa saat itu kamu baru saja memutuskan untuk tak kan pernah kembali menginjakkan kaki di masjid tempat aku seringkali mendengar suara mengajimu. Aku sama sekali tidak tahu, bahwa kamu sudah mengucapkan selamat tinggal pada rumah suci Tuhan berkubah hijau yang sebenarnya sangat kau cintai. Demi bisa membenarkan puisi Bunda Theresa; “Memang selalu antara aku dan Tuhan, Bunda”.
.
--selesai-

ditulis untuk kompetisi Cerpen "Opera Cinta" part II
merupakan penggabungan dari dua cerpen yang pernah ditulis sebelumnya "Selamat Tinggal, Sahabat" dan "Biarkan Aku Menjadi Temanmu"
Cerpen ini ditulis ulang dengan beberapa perubahan plot dan karakter tokoh agar terasa lebih bisa menyatu.

Rabu, 04 September 2013

Dan Aku Memang Sempurna



“Arden sudah makan?”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata dia lagi. Gadis berpipi kemerahan seperti apel yang matanya bulat dan bening. Aku mengangguk, namun detik berikutnya langsung menyesal melakukannya. “Belum”, jawabku.
“Kita makan sama-sama ya”, ajaknya.
“Boleh”, jawabku lagi. Matanya menatapku. Aku melihat binar senang di matanya yang indah. Dua sudut bibirnya tertarik membentuk segaris senyum tipis.
Ternyata dia cantik. Selama ini aku tidak benar-benar memperhatikannya  sampai...well...sampai aku terpaksa harus memperhatikannya karena belakangan ini sering berjumpa dengannya di tempat ini.
Kami berdua, dan beberapa puluh orang lainnya, sama-sama berada di sini dengan satu tujuan; beradaptasi dengan kondisi yang baru.
Kami sampai di kantin dan langsung mengambil makanan yang sudah disediakan di atas nampan-nampan. Menu hari ini; nasi goreng Cina, lengkap dengan acar mentimun dan cabe hijau di pinggirnya. Kami membawa nampan dengan hati-hati dan mencari tempat duduk.
Entah di suapan ke berapa, mau tidak mau aku terpekik. “Awas, cabe!”, teriakku saat melihat sebuah cabe hijau gemuk nangkring di atas nasi goreng di sendoknya. Aku tahu lidah dan perutnya tidak dapat menerima kehadiran buah eksotis yang pedas tersebut.
“Aduh hampir saja, terima kasih ya”, katanya, lagi-lagi sambil menatapku dengan bola matanya yang bening dan senyuman yang menawan. Ah, tatapan dan senyuman itu lagi. Diam-diam aku bersyukur karena di tempat ini aku bertemu bidadari. Jika tidak, aku tidak tahu apakah aku bisa segera bangkit dari keputusasaan akibat kejadian yang mengharuskan aku berada di sini.
Aku tersenyum dan lagi-lagi menyesalinya. Tentu saja dia tidak akan pernah melihat senyumanku. Dia hanya bisa mendengar suaraku dan aku tahu dia suka mendengar suaraku.
“Sama-sama”, jawabku.
Lantas bola mata itu memandangku lagi. Bola mata yang kehilangan fungsinya karena kecelakaan lalu lintas yang menimpanya.
Aku melihat binar di bola mata itu tiap kali gendang telinganya menangkap frekuensi suaraku. Binar mata yang menantapku seolah aku perjaka surga yang sempurna, padahal aku sendiri baru saja kehilangan sebelah lengan, juga karena kecelakaan.
Di tempat ini, di panti rehabilitasi penyandang cacat ini, aku masih bertemu seseorang yang menatapku dalam ketidaksempurnaannya. Ketidaksempuranaan yang justru menyempurnakan aku. 

ditulis untuk tema kedua FF 2 in 1 by @nulisbuku (tapi sayang sudah 10 menit lewat dari deadline). 
FF 2 in 1 adalah event mingguan yang diadakan @nulisbuku berupa kompetisi menulis Flash Fiction yang hanya diberi waktu 30 menit sejak dilemparkan tema hingga dipostkan di blog hingga memasang link via twitter. 

Minggu, 01 September 2013

Dua Amplop Putih



Anggan masuk ke dalam rumah sambil membawa amplop putih. Tak sabar ia ingin menunjukkan isi amplop itu pada Rima, istrinya.
Namun yang didapatinya adalah Rima yang tengah terbaring dengan wajah pucat di ranjang. Di sampingnya, terdapat sebotol pil-pil kekuningan dan sebuah amplop putih.
Tergesa, Anggan membuka amplop tersebut. Isinya dua lembar. Yang pertama berisi istilah kedokteran yang ia tak mengerti maksudnya. Yang kedua berisi tulisan tangan istrinya.
“Maafkan aku Mas. Dokter bilang aku tidak mungkin bisa punya anak. Jadi sekarang aku memilih pergi. Supaya Mas bisa mencari perempuan lain yang bisa kasih cucu buat Bapak dan Ibu. Rima”
Anggan terduduk lemas di samping tubuh kaku istrinya. Dengan air mata meleleh, dibukanya amplop yang sedari tadi digenggamnya. Apa yang ada dalam amplop itu sudah tak ada gunanya karena semua sudah terlambat.
Isinya hanya selembar, juga berisi istilah kedokteran. Di sana tertulis: Azoospermia.

-selesai-

*Azoospermia: kondisi di mana cairan sperma tidak mengandung sel sperma (spermatozoid/spermatozoa)

Aku Mau Ke Amerika



“Bunda, aku mau ke Amerika”, kata anakku yang paling besar.
“Amerika itu jauh Nak”, jawabku sambil mencuci piring.
“Kalau sudah besar, aku boleh ke Amerika?”
“Ya boleh aja”
“Bunda, Amerika itu di mana?”
“Di sana, jauh, di seberang laut”
“Kalau ke Amerika naik mobil ya?”
“Ya nggak bisa, harus naik pesawat”
“Aku mau ke Amerika sekarang Bunda”
“Ya nggak bisa Nak. Bunda nggak punya uang”
“Uang di celenganku kan ada Bunda”
“Ngga cukup Nak, kurang banyak!”, aku mulai menjawab dengan tidak sabar. Bosan aku membahas tentang Amerika ini.
“Banyak kok Bunda. Ini sampai berat gini”
“Iya Nak, tapi itu isinya uang receh”
“Kalau gitu Bunda ambil uang di ATM, terus kita bisa ke Amerika”, dia masih terus merengek. Entah dari mana gadis pra sekolahku ini tahu perihal Amerika dan tertarik pergi ke sana.
“Uang Bunda nggak cukup Nak. Makanya kakak belajar yang rajin ya biar pinter, terus bisa punya uang banyak terus pergi ke Amerika”, jawabku sambil mengelap meja dapur. Mataku melirik ke lantai rumah yang berantakan. Saatnya mengepel.
“Bunda, Amerika itu di luar kota ya?”, tanyanya lagi tanpa menghiraukan aku yang kerepotan membereskan rumah.
That’s it! Aku sudah bangun jauh lebih pagi dari sang muadzin pemanggil jamaah shalat Shubuh terbangun. Mengerjakan ini mengerjakan itu sampai-sampai belum sempat sarapan. Dan pekerjaan rumah tangga ini tidak tampak ada tanda-tanda selesai. Baru saja dibereskan di sana. Yang di sini berantakan. Dan sekarang aku harus melayani pertanyaan tentang Amerika yang tak kunjung ada ujungnya.
“Kakak bisa diem nggak? Bunda lagi repot! Dari tadi Bunda udah bilang Amerika itu jauh. Ke sananya mahal. Sudah jangan tanya-tanya terus. Kamu nggak liat Bunda ini lagi ngapain?!”, semprotku.
Akhirnya gadis kecilku itu diam dan ngeloyor pergi. Aku menghela napas lega dan mulai mengambil ember dan air untuk mengepel.
Sepuluh menit setelah selesai mengepel dan sarapan, kudengar bel pintu berbunyi. Ternyata itu teman kuliahku dulu. Rina namanya.
“Haaaiii...apa kabar jeng?”, sapanya dengan ceria sambil menempelkan pipinya di pipi kiri kananku.
“Baik. Ayo masuk yuk. Udah lama nggak ketemu ni. Kangen”
“Ini lo say. Aku ada penawaran menarik ni buat kamu. Bisnis seru buat ibu-ibu rumah tangga macam kita”
Mataku langsung bersinar. Bisnis? Wah, lumayan ni buat nambah anggaran hepi-hepi sama anak-anak. Aku tidak bisa menutupi ketertarikanku.
“Bisnis apaan jeng?”
“Udah pernah dengar ABC Network?”
Aku menggeleng.
Seperempat jam berikutnya, yang terdengar di ruang tamuku adalah suara Rina yang asyik menerangkan apa itu ABC Network. Yang hasilnya adalah membuat kepalaku munyeng nggak karuan.
“Ada pertanyaan?”, tanya Rina.
“Jadi maksudnya aku harus nyari kaki-kaki sebanyak mungkin?”.
“Ya, sebenarnya bisnis ini bukan hanya sekedar mencari kaki, melainkan mengumpulkan poin sebanyak mungkin biar bisa dapet bonus bulanan. Tapi bonus itu akan semakin berlipat kalau kakimu banyak”
“Trus poin ini bisa aku dapet dari jualan produk?”
“Salah satunya. Salah duanya dengan cari member baru”
“Apa bedanya member dan kaki dan downline”
“Bedanya kalau member itu customer tetap kamu untuk produknya ABC Network dan nggak wajib cari kaki baru. Sedangkan kalau downline atau kaki itu semacam bawahan kamu di bisnis ini gitu lo. Kalau pilih jadi kaki harus mau usaha cari kaki-kaki lagi”
“Jadi ntar kalau aku join, aku jadi kaki kamu?”
“Iya”.
“Kakimu sudah banyak?”
“Ya lumayan sih”
“Trus aku kan nggak gaul ni. Gimana kalau aku kesulitan cari kaki?”
“Nah, ini kan di sini kita kan kerja tim. Kita nanti bisa saling bahu membahu untuk mencarikan kaki untuk kaki-kaki kita”
Aku manggut-manggut pura-pura ngerti sambil menatap bagan dan piramida yang ditunjukkan Rina. Otakku masih belum bisa mencerna bagaimana bisa hanya dengan mencari kaki, kita bisa dapat pendapatan jutaan rupiah tiap bulan.
Tapi sedetik kemudian, seperti ada yang menyalakan lampu dalam otakku yang sedang ruwet, tiba-tiba aku tersadar akan suatu hal yang penting. Dan itu bukan perkara bisnis rumahan yang menggiurkan, atau bagaimana caranya mendapat kaki-kaki. Ini menyangkut hal yang jauh lebih penting dari itu semua.
“Eh Rin. Aku pikir-pikir dulu ya. Nggak bisa jawab sekarang. Soalnya investasinya lumayan juga ni. Aku bicarakan sama suamiku dulu ya”, jawabku akhirnya. Berharap kawanku itu segera pamit karena ada hal penting yang harus segera kulakukan terkait dengan lampu yang tiba-tiba menyala di otakku barusan.
Tak lama setelah kawanku berpamitan, aku segera masuk ke ruang baca dan mencari dua benda yang sudah lama tak kulihat. Aku berharap semoga benda itu belum kubuang.
“Ahaaa...itu dia!”, aku bersorak ketika melihat sebuah globe ukuran sedang di pojokan lemari buku.
Butuh waktu agak lama untuk menemukan benda yang satunya karena dia kuletakkan bersamaan dengan barang-barang lama. Puji Tuhan, setelah beberapa lama, aku berhasil menemukan buku Atlas Dunia yang sampulnya sudah mulai menguning tapi kualitas jilidannya masih oke.
“Kakaaaak!!!”, panggilku. “Lihat ni Bunda punya apa???”
Gadis kecilku datang tergopoh-gopoh. Mata bulatnya menyiratkan ingin tahu.
“Kakak mau tahu Amerika di mana? Ni Bunda tunjukin....”
Anak sulungku bersorak.
Aku tersenyum geli. Bagi gadis kecil ini, lokasi Amerika sama membingungkannya dengan sistem kerja ABC Network. Pertanyaannya yang tak putus-putus tentang Amerika adalah usahanya untuk menggali informasi seberapa jauh Amerika itu dari rumahnya. Sama dengan aku yang terus bertanya bagaimana agar bisa kaya melalui bisnis yang ditawarkan Rina.
Tugasku sebenarnya bukan menjawab tentang bagaimana agar anakku bisa ke Amerika, melainkan memberi tahunya di mana posisi rumahnya sekarang dan posisi Amerika. Mungkin dalam benaknya, Amerika sama dengan pasar malam yang kerap kami kunjungi atau rumah Eyang yang terletak agak di luar kota. Makanya dia nggak ngeh mengapa perlu uang banyak untuk ke Amerika.
Setelah kuterangkan dengan dibantu globe dan Atlas, yang kuharap bisa membuatnya mengerti konsep jarak, dia tampak mulai paham bahwa Amerika dan Indonesia berada di benua yang berbeda.
“Jadi gimana? Masih mau ke Amerika?”, tanyaku.
“Nggak jadi ah. Ternyata Amerika jauh. Nanti kasihan Ayah kalau aku pergi jauh-jauh”, jawabnya cuek sambil memutar-mutar globe.

-selesai-
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)