Rabu, 06 Januari 2016

Serpihan Surga Dan Negeri Di Atas Awan

Berlibur saat long weekend adalah hal yang paling saya hindari. Dengan naiknya volume kendaraan setiap tahun dan tidak bertambahnya ruas jalan membuat saya berpikiran bahwa liburan sama dengan macet. Belum lagi nanti begitu sampai di area wisata. Bukannya malah melihat obyek wisata, yang kita lihat malah pengunjung yang jumlahnya seabrek hingga menyerupai dawet. Itu sebabnya saya langsung menolak mentah-mentah ketika suami meminta saya untuk mengambil cuti sehari di hari Sabtu tanggal 26 Desember 2015 agar kami bisa pergi berlibur.
Tapi melihat argumen-argumen suami, mulai dari kesempatan tanggal merah yang jarang ada, liburan sekolah anak-anak, sampai para bosnya yang saat itu juga sedang menghabiskan natal bersama keluarga, saya menangkap adanya keinginan di matanya untuk melepaskan ketegangan kerja yang selama ini membelenggu teman hidup saya itu. Akhirnya saya pun mengalah. Saya bersedia cuti, namun dengan syarat; saya tidak mau berlibur ke tempat-tempat yang lazim didatangi, semisal Bandung, Jakarta, Batu atau Jogja, apalagi Bali.
Akhirnya suami menyebut satu lokasi; B29 Lumajang!
Oke, itu nama yang asing. Setidaknya bagi saya dan beberapa teman dekat saya. Karena kebanyakan dari mereka belum pernah mendengar nama B29, akhirnya feeling saya mengatakan inilah tempat liburan yang pas. Hanya saja, saya melakukan satu kesalahan kecil sebelum berangkat ke B29; saya tidak sempat membaca review mengenai tempat tersebut. 
Suami saya hanya memberi tahu bahwa untuk naik ke puncak B29 nanti kami akan naik ojek yang akan langsung membawa kami ke lokasi. Tanpa jalan kaki lagi. Pikir saya, berarti perjalanan ke B29 ini tidak seberat saat kami ke Penanjakan (Gunung Bromo) tempo hari. Maka saya pun memutuskan untuk tidak memakai sandal gunung (oke, ini ternyata kelak menjadi kesalahan kecil nomor 2).
Akhirnya hari Jumat pagi tanggal 24 Desember, kami pun berangkat dari Surabaya. Sempat mampir sarapan di Rawon Nguling (Probolinggo) sebelum sampai di Lumajang kurang lebih pukul sepuluh pagi. Kami langsung menuju rumah guide yang ditemukan suami saya melalui sebuah blog. Sebelum melanjutkan perjalanan ke B29, beliau menawarkan dua alternatif lokasi wisata; yakni Kebun Teh atau Air Terjun Tumpak Sewu.
Begitu saya mendengar nama air terjun, saya langsung membayangkan medan yang naik turun. Maka saya pun memilih kebun teh saja. Namun karena suami saya cenderung memilih air terjun dan si bapak guide bilang medannya bisa kok ditempuh oleh anak balita, maka saya pun tidak keberatan. Hanya saja, bapak guide tadi bilang bahwa nanti di lokasi kami akan butuh dua orang guide untuk membantu menuntun dua anak kami melewati sungai sebatas dengkul. Beliau bilang tarif guide adalah 50 ribu per orang, tapi terserah kami kalau mau menambahi sendiri.
Akhirnya kami pun berangkatlah ke lokasi air terjun Tumpak Sewu, dengan berbekal denah sederhana yang digambarkan sang guide.
Kami tiba di lokasi kurang lebih pukul satu siang (karena kami sempat mampir untuk solat Jumat dulu). Setelah membayar tiket masuk sebesar 5 ribu per orang, kami pun mulai diantar menyusuri jalan makadam menurun yang di kiri kanannya adalah kebun kopi, salak dan kelapa milik warga. Kami berjalan dengan sedikit susah payah (karena saking terjal dan curamnya. Di situlah saya merasa menyesal mengapa saya tidak memakai sandal gunung). Sambil berjalan, kami membayangkan betapa susahnya perjalanan kembalinya nanti (karena kami harus mendaki). Namun ternyata perjalanannya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 400 m kami sudah bisa melihat panorama air terjun yang di banner selamat datang tertulis: Serpihan Surga Itu Memang Ada.
Saya rasa tulisan di banner itu tidak berlebihan. Pemandangan yang kami lihat memang sungguh luar biasa indahnya. Puluhan air terjun yang berderet-deret menyerupai tirai yang membungkus tebing-tebing berbatu, membuat saya sejenak menahan napas. Cantik. Menawan. Misterius. Duhai, inikah caranya Sang Maha Perupa menjadikan bumi ini sebagai media menunjukkan ke-Maha Indahan-Nya?  

Dari tempat kami melihat air terjun tersebut (mereka menyebut lokasi tersebut  dengan "Panorama"), kami bisa melihat di kejauhan, deretan bambu yang disusun memanjang dari atas tebing menuju ke bawah air terjun. Ternyata itu lah akses masuk menuju air terjun jika pengunjung datang dari arah Malang. Saat itu saya belum sadar bahwa jalur yang sama dengan deretan bambu juga telah menanti kami tak jauh dari lokasi kami berdiri.

Tangga Bambu di kejauhan tampak di belakang kami (kiri)

Ngomong-ngomong, kami sempat mengira bahwa titik Panorama adalah akhir kunjungan kami ke Tumpak Sewu. Hingga kami sempat berpikiran untuk apa menyewa dua orang guide dengan tarif 50 ribu per orang hanya untuk mengantar kami sejauh 400 meter dari tempat parkir yang petunjuk arahnya sudah jelas. Tapi rupanya, Panorama bukanlah akhir perjalanan. Setelah puas mengambil foto dan mengagumi keindahan air terjun Tumpak Sewu, kami pun diajak turun menuju sungai, yang berarti kami harus melalui medan yang lumayan ekstrim, yang membuat saya kian menyesal meninggalkan sandal gunung saya di rumah.
Dari hasil bincang-bincang dengan bapak guide yang sudah setengah baya dan berwajah ramah itu, tempat wisata ini memang baru dibuka lima bulan terakhir. (Kalau yang dari arah Malang sepertinya sudah lebih lama). Jadi bisa dibayangkan bagaimana sulitnya medan yang kami lalui karena masih berupa tanah yang dibentuk menyerupai anak tangga dengan pagar pengaman darurat dari jalinan bambu. Di beberapa tanjakan bahkan kami harus menuruni tangga-tangga bambu dengan tali-tali tampar yang disediakan untuk membantu kami berpegangan. Di beberapa jalur, kami bahkan harus berjalan bergantian dengan pengunjung yang datang dari arah berlawanan, karena jalannya hanya cukup untuk satu orang saja.

Salah satu medan menuju sungai di bawah air terjun
Akhirnya kami tahu mengapa kami disarankan untuk minta disediakan dua orang guide. Bukan untuk menunjukkan jalan (karena petunjuk jalannya sudah sangat jelas), melainkan untuk menggendong anak-anak kami. Adik bahkan harus digendong ketika perjalanan turun, sedangkan Kakak masih bisa berjalan sendiri hingga nyaris ke bibir sungai, walaupun mulut mungilnya mengeluarkan keluhan dan omelan akibat jalanan yang memang berat untuk ukuran anak SD kelas 3.
Saya tidak tahu dan tidak sempat bertanya berapa jauh jarak yang harus ditempuh untuk menuruni punggung bukit hingga sampai ke sungai. Yang jelas perjalanan menuruni punggung bukit itu sangat melelahkan hingga membuat lutut kami gemetaran. Untunglah sebelum turun tadi kami sempat makan dulu.
Jika perjalanan turunnya saja sedemikian melelahkan, bisa dibayangkan bagaimana perjalanan naiknya bukan? Saya menyebutnya jalur pemecah jantung. Karena begitu kita sampai di ujunng salah satu tanjakan, tanjakan berikutnya sudah menanti dan rasanya tanjakan-tanjakan itu tiada habisnya. Duhai, sedemikian susahnya kah ternyata memasuki surga? Walaupun itu hanya serpihannya saja?
Tapi saya tidak boleh mengeluh dong. Lha mau mengeluh bagaimana wong di depan mata saya ada yang jauh lebih sengsara. Siapa? Ya dua orang guide yang kami minta bantuan tenaganya untuk membopong Kakak dan Adik di punggungnya sembari melintasi jalur mendaki tanpa alas kaki! Akhirnya mana tega kami hanya memberi 50 ribu rupiah sebagai pengganti jasa mereka?
Walaupun perjalannya sedemikian melelahkan, percayalah pada saya wahai pembaca yang budiman, semua jerih payah itu terbayar lunas kok. Baik ketika di titik panorama, juga ketika naik turun menyusuri punggung bukit. Lihatlah pemandangan yang mempesona, tirai air dipadu hijaunya pepohonan. Dengarlah suara gemericik air berpadu dengan nyanyian serangga yang entah apa namanya. Rasakan belaian hawa sejuk khas pegunungan dan sejuknya air gunung yang menyapu kulit. Serta keramahan penduduk lokal yang dengan sabar menuntun dan memandu pengunjung. Semua itu nyaris tidak kita dapatkan di kota besar bukan?

Menikmati kesejukan air sungai setelah berlelah-lelah menyusuri punggung bukit
Oh ya, anak-anak bahkan sempat merasakan sensasi mandi di kebun salak di belakang rumah bapak guide berwajah ramah yang memandu kami, karena air di kamar mandi umum kebetulan habis.
Saya sendiri terus terang sama sekali tidak merasa kapok berkunjung ke Tumpak Sewu. Kelak, saya ingin kembali ke sana lagi. Tentu saja dengan persiapan yang lebih matang, semisal melakukan stretching dan jogging dulu biar badan lebih fit :D
*
 Selepas dari air terjun Tumpak Sewu, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan kami semula; B29, Negeri di Atas Awan! Sebenarnya kami cukup percaya diri bahwa kami bisa menemukan lokasi B29. Wong sudah biasa ngebolang dan nyasar-nyasar. Tapi sang guide menyarankan agar kami memakai jasa pemandu begitu kami sampai di Senduro. Sebab beliau khawatir kami tidak bisa menemukan jalanan menuju ke desa selepas dari jalan utama. Akhirnya kami menurut saja. Tak ada salahnya memakai pemandu walau itu berarti ada additional cost untuk jasa penunjuk jalan.
Keputusan untuk memakai jasa pemandu ternyata tidak salah. Jalanan menuju desa B29 cukup meragukan, walau kami yakin kami bisa menemukannya dengan bantuan papan penunjuk jalan dan Google Map. Kami melewati jalanan perbukitan yang beberapa di antaranya cukup terjal dan curam. Dengan adanya pemandu, kami jadi lebih yakin bahwa kami tidak salah jalan dan tidak takut bertemu jalan buntu dan harus putar balik di jalanan yang berada persis di bibir jurang.
Kami sampai di desa B29 tepat ketika adzan Magrib berkumandang dan langsung diantar menuju penginapan. Yang dimaksud penginapan sebenarnya adalah rumah penduduk yang dijadikan guest house. Tempatnya cukup nyaman. Terletak di antara kebun-kebun sayur dengan fasilitas yang cukup memadai. Ada kamar mandi dan dapur. Biaya menginap juga tidak terlalu mahal. Hanya sekitar 60 ribu per kepala. Namun karena rumah tersebut terdiri dari 3 kamar dan kami harus bersedia sharing dengan penyewa lain jika ada, maka suami memutuskan untuk membooking satu rumah tersebut untuk kami sendiri saja (dengan biaya 400 ribu per malam).

Suasana Pagi Di Depan Rumah Penginapan

Kenapa kami tidak memilih menginap di hotel saja? Ya karena di sana memang belum ada hotel.
Tapi rumah sederhana itu menurut kami sudah lebih dari cukup untuk melepas lelah setelah sesiangan berjibaku di sepanjang punggung bukit nan curam demi melihat air terjun Tumpak Sewu. Hanya beberapa menit setelah menjalankan shalat Isya, makan malam seadanya dengan lauk pecel dan mie instan, kami semua sudah terlelap.
Oh ya, mengenai suhu udara di desa B29, memang tidak lebih dingin daripada suhu udara di Bromo. Setidaknya saya tidak sampai harus bertayamum atau memakai alas kaki saat ke kamar mandi, seperti yang saya lakukan di Bromo tempo hari. Tapi tetap saja, walaupun dinginnya suhu udara di B29 masih bisa tertahankan, saya masih harus mengenakan kaus kaki dan sarung tangan saat tidur.
Pukul empat lebih lima belas menit dini hari, setelah shalat Shubuh, kami sudah dijemput rombongan ojek yang akan mengantar kami ke puncak B29. Perjalanan ke sana kira-kira memakan waktu sekitar 30 menit, melalui jalanan yang curam dan terjal. Mobil pribadi sudah dipastikan tidak bisa melalui jalur ini. Jadi jika tidak ingin kelelahan, untuk menuju puncak B29, pengunjung bisa menggunakan ojek seperti kami dengan tarif 90 ribu rupiah/per ojek (untuk perjalanan pergi pulang kembali ke penginapan).
Matahari mulai terbit ketika kami masih di atas ojek. Langit yang semula gelap bergemintang perlahan mulai dihiasi semburat warna oranye di sebelah timur. Saat itu lah kami mulai bisa melihat pemandangan sekeliling yang ternyata ngeri-ngeri memukau. Kami baru sadar bahwa jalanan yang sedari tadi kami lalui tidak hanya berbatu dan terjal, namun juga hanya berjarak beberapa puluh senti dari bibir jurang. Namun punggung bebukitan yang hijau serta ladang-ladang sayur yang tampak dalam keremangan cahaya pagi membuat suasana pagi itu terasa misterius. Untuk sesaat saya seakan berada di dunia lain. Hingga suara mas Slamet, sang supir ojek, yang mengingatkan agar saya duduknya tidak miring-miring karena saat itu angin bertiup cukup kencang, membuyarkan lamunan saya. Demi mendengar suara peringatannya dan jurang yang berada tak jauh dari telapak kaki saya membuat saya kembali berkonsentrasi pada bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir yang sedari tadi saya gumamkan dalam hati. Aneka perasaan semacam pasrah, takjub dan excited bercampur baur.
Sampai di puncak B29, rupanya kami kurang beruntung. Gumpalan awan menutupi puncak B29 sehingga kami nyaris tidak bisa melihat apa-apa. Lantas suami memutuskan agar kami melanjutkan ke P30. Dari namanya, sudah bisa diduga bahwa P30 berlokasi di tempat yang lebih tinggi lagi.
Oya, nama B29 berarti desa di atas Bukit dengan ketinggian 2900 meter di atas permukaan air laut. So, P30 berarti berlokasi 100 meter lebih tinggi lagi. Untuk menuju ke sana, lagi-lagi kami harus menaiki ojek sejauh 2.5 kilometer (sekitar 15 menit perjalanan). Medannya sudah lebih landai ketimbang saat menuju puncak B29, hanya saja sudah tidak ada lagi jalanan beraspal atau berpaving seperti sebelumnya. Jalan yang kami lewati benar-benar hanya cukup dilewati satu sepeda motor melewati gerumbulan tanaman gunung yang daun dan rantingnya menampar-nampar tubuh kami ketika kami melintas. Karena jalan yang cukup sempit itu, jika kebetulan ada sepeda motor lain yang datang dari arah berlawanan, maka salah satu motor harus rela menunggu sembari meminggirkan motornya ke arah rerimbunan tumbuhan.
Saat kami ke sana, Gunung Bromo sedang "batuk". Itu sebabnya area di sekitarnya (termasuk B29) pun terpapar abu gunung. Kami cukup beruntung karena saat kami ke sana, angin sedang berbaik hati untuk tidak meniupkan gumpalan abu vulkanis Bromo ke arah B29 dan P30. Kami juga beruntung selama di sana, hujan tidak turun, sehingga medan yang kami lalui tidak licin.
Nah, begitu kami sampai di P30, rupanya cuaca pagi masih belum mau bersahabat. Sepanjang mata memandang, kami hanya bisa melihat kabut putih. Kami tak berlama-lama berada di sana karena Kakak tiba-tiba menggigil kedinginan. Setelah mengambil foto sebentar, kami segera turun kembali ke puncak B29 dengan harapan cuaca di sana segera membaik sehingga kami bisa melihat pemandangan. Di sana juga ada beberapa warung agar Kakak bisa menghangatkan diri dengan menghirup teh hangat.
P30 dan kabut yang menyelimutinya
Alhamdulillah. Setelah beberapa menit menunggu di warung kopi sembari menghangatkan diri. Kabut pun mulai sirna dan pemandangan Gunung Bromo dan sekitarnya mulai tampak. Dari Puncak B29 kami bisa melihat dengan jelas erupsi Gunung Bromo dengan gumpalan abu vulkanis yang terus menerus merangsek keluar dari dalam perut gunung.
Erupsi Gunung Bromo
Puncak B29 Ketika Kabut Mulai Tersingkap



Kami kembali dimanjakan oleh pemandangan yang mempesona ketika dalam perjalanan kembali ke penginapan. Pemandangan yang membuat kami enggan meninggalkan Negeri Di Atas Awan.
Tapi kami tahu diri kok. Walau tempat ini sedemikian cantiknya, we are not belong to this place. Tumpukan tanggung jawab dan tugas-tugas sudah menanti kami di Surabaya.
Tapi setidaknya, kami telah membawa beberapa potong kenangan. Tentang serpihan surga dan segala tantangannya untuk menuju ke sana. Tentang negeri di atas awan dan penduduknya yang ramah. Tentang tangan Tuhan yang menjadikan semesta ini menjadi kanvas yang dilukis dengan indah.
Potongan-potongan memori itu akan selalu membuat kami ingat, ke mana kami harus pergi, jika kelak di Surabaya, kami mulai jenuh oleh segala rutinitas.
Panorama Desa B29




Gunung Semeru Tampak di Belakang


Nah, untuk temen-temen yang ingin berkunjung ke Negeri Di Atas Awan, silahkan menghubungi nomor-nomor di bawah ini untuk mendapatkan informasi seputar B29. Mulai dari arah-arah menuju ke sana, penginapan sampai penyediaan tenda untuk berkemah jika seandainya temen-temen berniat camping di sana.

Mas Slamet, ia penduduk B29 sekaligus pemandu kami selama di sana. Bisa dihubungi di 0822-3086-9122.


Pak Mashudi, beliau adalah guide yang ditemukan suami saya melalui sebuah blog. Bisa dihubungi di 081234-92918.

Happy Vacation, teman-teman...!!! ^-^
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)