Selasa, 30 Desember 2014

Pak Herumanto Tanus, Sebuah Memoar

 Sabtu pagi di akhir tahun 2003, saya duduk di sebuah ruangan rapat. Ruangan dengan pendingin udara yang disetting bersuhu rendah itu membuat telapak tangan saya yang sudah dingin karena nervous, semakin dingin. Betapa tidak? Saya sedang menghadapi wawancara. Itu adalah tahap akhir dari serangkaian wawancara untuk bisa diterima di perusahaan tempat saya bekerja sekarang.

Di hadapan saya duduk tiga orang laki-laki, salah satunya adalah Bapak Herumanto Tanus (yang waktu itu saya belum tahu nama dan jabatan beliau).

Saat itu, yang banyak menanyai saya adalah lelaki yang terlihat paling sepuh di antara ketiganya. Belakangan saya tahu, pria itu menjabat sebagai VP Manufacturing. Ya sebenarnya wajar kalau beliau yang paling banyak bertanya, karena wawancara ini adalah rekrutmen untuk program Manufacturing Apprentice.

Sementara itu, Pak Herumanto, yang belakangan saya tahu menjabat sebagai VP Finance, tidak banyak bicara. Beliau hanya bertanya sedikit-sedikit (saya bahkan sudah lupa beliau bertanya apa). Tapi walaupun demikian, beliau memberikan tatapan mata bersahabat plus senyum ramah, yang sedikit banyak membuat telapak tangan saya kembali menghangat dan debar di dada perlahan mereda. Ruangan wawancara itu pun mulai terasa nyaman.

Diterima di bagian produksi membuat saya tak banyak berjumpa dengan Pak Heru (nama panggilan beliau). Wajar saja, selain karena pekerjaan kami memang tak pernah beririsan, lokasi kerja kami terpisah jauh. Pak Heru berkantor di lantai 3 gedung Gunung Bromo dan termasuk golongan orang “office”. Sedangkan saya sehari-hari beredar di Mill dan termasuk golongan orang “pabrik”. Lokasi “office” dan “pabrik” yang terpisah oleh jalan umum membuat saya hanya sesekali saja berjumpa dengan beliau. Paling-paling berpapasan saat usai makan siang, atau ketika sedang sama-sama ada acara yang melibatkan orang “office” dan orang “pabrik”.

Dan seperti saat pertama kali berjumpa, Pak Heru tidak pernah tidak menghadiahkan senyum hangat plus tatapan mata yang ramah, tiap kali kami berpapasan. Sekalipun mungkin bagi beliau, saya ini bukan siapa-siapa. Pak Heru, dengan senyum dan tatapannya yang hangat, seolah mendobrak jarak antara beliau yang menduduki posisi manajemen puncak, dengan saya yang hanya seorang staff biasa. Tak jarang, di beberapa kesempatan, beliau juga sempat mengajak saya bercanda dan berbincang santai, seolah saya ini orang yang tiap hari berjumpa dengannya.

Pernah suatu siang, saya masuk ke ruang meeting utama di lantai 6. Saat itu adalah jadwal latihan menjelang konvensi Kelompok Kerja Mutu. Saya bertugas menyiapkan ruangan, komputer dan proyektor untuk latihan presentasi. Alangkah terkejutnya saya ketika mendapati ruangan meeting itu dipakai untuk acara makan-makan.

Dua meja prasmanan tampak penuh berisi makanan. Beberapa petugas dengan logo sebuah restoran terlihat mondar-mandir. Saya baru ingat, bahwa hari itu memang tengah digelar makan siang bersama untuk mengapresiasi teman-teman yang hendak berkonvensi di Jakarta. Dengan wajah (pura-pura) cemberut, saya (pura-pura) mengomel pada salah satu rekan kerja saya; “Duh, kenapa makan-makannya mesti hari Senin sih? Kan jadi nggak bisa ikutan.” 

Rupanya kata-kata saya itu didengar oleh Pak Heru dan beliau (yang seorang Nasrani) langsung paham mengapa saya berkata demikian.

Karena sisa makanan yang cukup banyak dan hanya saya yang belum makan di ruangan itu, saya langsung disuruh membereskan sisa makanan. Maksudnya membungkus sisa makanan untuk dibawa pulang. Ketika saya sedang memasukkan makanan ke dalam plastik, Pak Heru menghampiri saya lantas “mengomel”.

“Kok sedikit sekali yang kamu bungkus? itu nasi gorengnya dibawa sekalian. Eman masih banyak.”

“Waduh, ini sudah banyak, Pak,” jawab saya.

“Ya kan nanti untuk kamu buka puasa.”

“Biar buka puasa juga nggak sebanyak ini, Pak.” Dalam hati saya bertanya-tanya, masa sih Pak Heru 
ini tidak bisa mengukur kapasitas perut saya?

“Tapi ini brengkesannya enak lho, ayamnya juga,” kata beliau sembari menunjuk-nunjuk nampan berisi lauk.

Demikianlah beliau menunggui saya membungkus semua sisa makanan hingga tandas. Sebuah kegiatan yang sama sekali tidak penting sampai seorang VP harus ikut mendampingi seorang staf membungkus makanan.

Kalau dipikir-pikir sekarang, mungkin itu adalah bentuk kerendahhatian beliau, bentuk perhatian dan kepedulian beliau terhadap orang lain.

Saya yakin, tidak hanya terhadap saya saja beliau bersikap demikian. Terbukti dari betapa banyaknya rekan-rekan yang merasa terpukul mendengar beliau ikut naik di penerbangan Air Asia QZ 8501 yang hilang di sekitar perairan Bangka Belitong. Mustahil seseorang bisa begitu dicintai jika dalam kesehariannya tidak menjalin hubungan baik dengan sesama.

Ketika tulisan ini dibuat, sudah lewat dua malam semenjak berita hilangnya burung besi yang terbang dari Surabaya menuju Singapura itu beredar luas. Pesawat itu berisi sekitar 150 penumpang, termasuk Pak Heru, istri beliau dan dua putra lelaki mereka. Menghabiskan masa liburan sekalian menjenguk putrinya yang sedang menempuh studi Singapura mungkin adalah tujuan mereka pergi ke sana.

Belum ada kepastian mengenai bagaimana nasib pesawat beserta penumpang, pilot dan para kru hingga saat ini. Harapan untuk bisa berjumpa dengan mereka dalam keadaan selamat kian menipis seiring dengan berdetiknya jarum jam. Dan para keluarga yang sedang menanti kabar berita, harus setengah mati menabahkan hati untuk segala kemungkinan terburuk.

Termasuk kami, yang harus bersiap-siap menerima kenyataan bahwa di masa-masa mendatang, kami tak kan pernah lagi menjumpai sosok ramah,  hangat dan bersahabat khas Pak Herumanto Tanus.

*

Tuhan,
Kami tahu tak ada rencanaMu yang tak sempurna
Kami tahu kelak kami semua akan kembali padaMu
Kami tahu pertemuan dan perpisahan itu seiring sejalan
Kami tahu kehendakMu tak mungkin kami tolak
Termasuk jika #MissingAirAsia menjadi misteri yang tak pernah terungkap

Tuhan,
Ampuni jika kami masih terus mengharap keajaiban
Ampuni jika kami sulit menerima kenyataan
Ampuni jika kami terus menangis untuk sesuatu yang telah Kau takdirkan
Ampuni jika kami masih sulit melihat keindahan di balik rencanaMu

Tuhan,
Kami hanyalah makhluk lemah tak berdaya
Yang membutuhkan sedikit tambahan waktu
Agar kami bisa menghadapi kehilangan ini
Yang terlalu tiba-tiba ini
Dengan senyuman....

*
Surabaya, 29 Desember 2014
10:22 PM


(atas nama kami yang merasa kehilangan)

Selasa, 23 Desember 2014

Kembali Padanya

Aku sudah lama tersesat. Entah karena apa. Entah berapa lama. Entah membuatku berada di mana.

Aku tak kenal tempat itu. Sebagaimana aku tak kenal diriku lagi. Negeri itu membuatku lupa. Bahwa ada suatu masa aku pernah sangat bahagia. Masa ketika aku sendiri, tapi tak pernah merasa sepi.

Sebab dulu aku memiliki dia. Aku terikat dengannya. Sepanjang hari dia mengajarkan aku apa artinya rindu. Dia selalu ada menemani lelahku. Seharusnya aku tahu itu. Bahwa dia akan selalu menunggu, walau aku kian tenggelam dalam pusaran waktu.

Aku tahu ini bukan salah siapa-siapa. Bukan salahmu, bukan salahnya, bukan  salah mereka. Melainkan aku. Aku lah yang jadi biang perkara. Dengan penuh kesadaran, aku melepaskannya. Sebagaimana dulu aku dengan suka cita, mengikatkan diri padanya.

Aku terlepas. Tapi itu tidak lantas membuatku bebas. Nyatanya aku malah jatuh dalam belenggu. Belenggu yang tanpa ampun menderaku dengan sepi. Walau aku tak pernah sendiri. Walau sekitarku penuh hiruk pikuk. Membuatku hanya bisa menahan sedu sedan ketika malam.

Nyaris terlambat. Aku sudah terlalu lama lepas. Seperti anak domba yang ditinggal sang gembala begitu saja. Setengah mati aku berusaha mencari jalan kembali. Namun semua sia-sia. Aku tak bisa kembali. Dan hanya menyisakan sesal tak berkesudahan.

Siapa sangka Tuhan ternyata masih sayang? DikirimNya seorang penolong. Seorang penunjuk arah. Tangannya yang kokoh menarikku keluar dari belenggu. Suaranya yang lembut berbisik menenangkan. “Kamu akan pulang”.

Sang penunjuk arah membawaku ke arah yang tepat. Sampai aku menemukan dia lagi.

Dia masih sama seperti dia yang sejak dulu kukenal. Yang setia menungguku. Yang siap mengikatku. Bukan dengan belenggu. Melainkan dengan dekapan yang menentramkan. Dengan dia, aku terikat dan terbebas di saat yang sama.

Hamba Tuhan yang tersesat kini telah pulang. Hari ini baru kusadari. Segalanya terjadi karena kasih sayangNya. Karena Dia menjawab sebuah doa lama. Doa bertahun-tahun lalu. Doa yang nyaris kulupakan. Doa yang pernah kuselipkan dalam sebuah kitab suci. 

“Tuhan, mohon pereratlah ikatanku dengan lembaran-lembaran sabdaMu”


Surabaya, 23 Desember 2014
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)