Minggu, 10 Juli 2011

Duka Nomor 3: Pola Tidur Bayi Baru


Jika posting sebelumnya adalah mengenai pola pup bayi baru (yang mana bagi saya itu adalah duka nomor 2 menjadi seorang ibu), tulisan kali ini adalah mengenai duka menjadi ibu baru yang nomor 3, yakni masalah tidur.

Setiap kali saya mengunjungi teman saya yang baru melahirkan, rata-rata mereka semua mengeluh kelelahan karena harus bergadang sepanjang malam. Tentu saja saya tidak heran karena saya juga mengalaminya saat merawat bayi pertama saya. Lagi-lagi saya buka primbon Baby Guide, dan ternyata ya memang begitu bayi baru: malam dan siangnya tertukar karena bagi mereka selama 9 bulan di dalam kandungan mereka tidak mengenal terangnya siang maupun gelapnya malam. Kabar baiknya kondisi ini tidak permanen.

Nah, di sinilah tantangannya menjadi ibu baru. Agar supaya kita sendiri bisa istirahat malam yang cukup, kita harus segera mengajarkan konsep perbedaan siang dan malam pada bayi.

Tentu saja ini tidak mudah dan butuh waktu. Usahakan mengurangi jam tidur siangnya dengan mengajaknya bermain lebih lama saat ia terjaga di siang hari. Namun jangan kelewatan juga karena jika mereka terlalu kelelahan di siang hari malah akan membuat mereka sukar tidur di malam hari.

Tapi jangan harap jika sudah berhasil mengajarkan konsep siang dan malam Anda akan bisa tidur nyenyak sepanjang malam. Selain tertukarnya siang dan malam, bayi juga sering terbangun karena dia butuh menyusu tiap 2 – 4 jam. Namun jangan kuatir, memasuki usia 4 tahun, anak akan siap tidur sepanjang malam tanpa minta minum susu atau pipis (pengalaman pribadi).

Fenomena ini yang membuat saya ingin segera punya anak kedua begitu anak pertama menginjak usia 2 tahun. Mumpung saya sudah terbiasa bangun di tengah malam, sekalian saja punya bayi lagi, agar tidak terasa berat melek tengah malam untuk menyusui atau mengganti popok. Alhamdulillah, anak kedua langsung bisa beradaptasi terhadap siang dan malam, dia bisa tidur sepanjang malam mulai pukul 8 malam hingga jam 4 pagi dengan frekuensi bangun untuk minum tiap 3 jam. Lumayan nggak pakai melekan walau tetep harus bangun juga untuk menyusui.

Nah, bagi para Ibu yang masih menghadapi problem “burung hantu kecil”, simak kiat-kiat berikut:
1. Buat dan patuhi jadwal tidur.
Jika bayi sudah biasa ditidurkan jam 7 atau jam 8 tiap malamnya, maka satu kali Anda melewatkan jam tersebut bayi akan semakin sulit tidur.

2. Buat sebuah kebiasaan
Beberapa bayi butuh ritual khusus sebelum tidur, misalnya mandi air hangat, lagu atau dongeng pengantar tidur, usapan atau tepukan lembut pada punggung. Kegiatan ini membuat bayi nyaman dan biasanya akan menjadi rutinitas menjelang tidur.

3. Perhatikan tanda-tanda bayi mulai mengantuk
Segera tidurkan bayi saat dia mulai rewel, menggosok-gosok mata, terkantuk-kantuk atau menguap.

4. Sesuaikan penerangan dan suhu.
Buat perbedaan penerangan dan suhu ruangan pada siang dan malam hari. Ruangan yang lebih terang dan hangat di siang hari serta ruangan yang lebih temaram dan dingin di malam hari akan semakin cepat membantu bayi mengenali perbedaan siang dan malam.

5. Pakai diapers di malam hari.
Yang satu ini sebenarnya di luar prinsip saya yang tidak mau pakai diaper sebelumnya. Tapi karena saya ingin bayi saya tidur lebih tenang dan lebih lama tanpa terganggu aktivitas pipis, akhirnya saya pakaikan saja diapers saat dia tidur. Dengan begini dia tidur lebih nyenyak dan demikian juga saya, hehe...

Hindari:
1. Mencampur sereal dalam susu bayi, ia akan semakin sulit tidur jika kekenyangan.
2. Menimang bayi. Cara ini memang cara paling mudah menidurkan bayi, tapi dia akan ketagihan dan Anda sendiri akan semakin kecapekan.

Tetap bersemangat dan menjaga stamina dengan makan makanan yang bergizi akan membantu para Ibu menghadapi problem pola tidur bayi baru. Yakinlah kondisi ini tidak permanen dan akan segera berlalu seiring dengan semakin bertambahnya usia si kecil.

Referensi: Baby Guide (Max Media)
Gambar ngopi dari sini

Sabtu, 09 Juli 2011

Pola (Maaf) Pup Bayi Baru Lahir

PERINGATAN: JANGAN TERUSKAN MEMBACA KALAU LAGI MAKAN.

Sudah jelas kalau punya bayi memang lebih banyak sukanya daripada dukanya. Tapi biarpun sedikit tetep ada dukanya juga kan. Salah satunya jika bayi kita sakit. Ya kalau itu sih sudah pasti ya, orang tua mana sih yang nggak sedih kalau anaknya sakit?

Na kalau saya ada satu lagi ni dukanya punya bayi. Mungkin bagi sebagian ibu ini bukan masalah besar, tapi kalau buat saya yang tergolong makhluk “jijikan”, membersihkan kotoran bayi adalah hal yang membuat saya tidak nyaman nomor 2 setelah anak sakit. Mengapa? Yes, karena bayi punya pola buang kotoran yang tidak sama dengan kita orang dewasa atau balita sekalipun. Yuk, simak pola buang kotoran bayi menurut buku baby guide yang jadi primbon lengkap saya selama merawat bayi:

Kotoran bayi baru lahir dinamakan meconium, warnanya hitam kehijauan dan teksturnya lembek dan lengket. Ini disebabkan karena selama berada dalam kandungan, bayi mengkonsumsi cairan ketuban yang kemudian disekresikan oleh tubuh dan menumpuk di usus. Frekuensinya bisa berkali-kali per harinya, bahkan bisa mencapai 15 kali lho. Alamak, kebayang kan gimana perasaan saya yang harus menahan rasa jijik saat membersihkan kotorannya....?

Soalnya masalahnya begini, karena kotoran bayi baru itu sangat lengket, konsekuensinya adalah itu popok musti kudu langsung dikucek, jika tidak maka warnanya akan membekas di popok alias semakin sukar dibersihkan. Memang problem ini bisa terselesaikan dengan memakaikan diapers sekali pakai, tapi mengingat di awal-awal kehidupannya, bayi saya bisa pup 10-15 kali/harinya, saya kasihan juga sama kondisi dompet saya, hehe...

Meconium akan berlangsung selama 2-3 hari, selanjutnya si bayi akan mengeluarkan yang namanya tinja peralihan yang warnanya kuning kehijauan, cair dan kadang-kadang agak berbiji (terutama pada bayi ASI). Tadinya si sempet kuatir juga melihat warna pup yang hijau, tapi menurut buku primbon baby guide, warna hijau justru bagus karena menandakan empedu bekerja dengan baik. Saya juga sempet kuatir melihat tekstur pup yang terus menerus cair, saya kira dia diare, ternyata lagi-lagi menurut primbon baby guide, kondisi ini normal kok. Yang perlu diwaspadai adalah jika frekuensinya tidak normal dan teksturnya sangat cair.

Setelah usia 3 minggu, bayi ASI akan mengeluarkan pup berwarna kuning agak orange, tidak terlalu lengket dan berbau agak asam. Sedangkan bayi yang mendapatkan susu formula cenderung mengeluarkan pup berwarna coklat pucat, lebih padat dan baunya lebih menyengat dibanding pup-nya bayi ASI.

The good news is, frekuensi pup bayi akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia, teksturnya juga semakin padat, terutama saat dia mulai mengkonsumsi makanan padat.

Nah, itu tadi duka saya nomor 2 saat merawat bayi. Tapi mau bagaimana lagi? Suka tidak suka, jijik tidak jijik tetap harus dijalani karena ini masalah tanggung jawab. Ya itung-itung uji nyali atau fear factor (hehe, maksa...)

Referensi: Baby Guide (Max Media)
Gambar dikopi dari sini

Senin, 04 Juli 2011

Anakmu Bukanlah Anakmu


Anakmu bukanlah anakmu
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka datang melalui engkau tapi bukan dari engkau
Dan walaupun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan kepunyaanmu
Kau dapat memberi mereka cinta kasihmu tapi tidak pikiranmu.
Sebab mereka memiliki pikirannya sendiri.
Kau bisa merumahkan tubuhnya tapi tidak jiwanya
Sebab jiwa mereka bermukim di rumah masa depan, yang tiada dapat kausambangi, bahkan tidak dalam impian-impianmu.
Kau boleh berusaha menjadi seumpama mereka, tapi jangan berusaha membuat mereka seperti dirimu.
Sebab kehidupan tiada surut ke belakanga, pun tiada tinggal bersama hari kemarin.
Engkaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah membidik tanda sasaran di atas jalan nan tiada terhingga, dan Dia menekukkan engkau dengan kekuasan-Nya agar anak panah-Nya dapat melesat cepat dan jauh.
Meliuklah dengan riang di tangan Sang Pencipta.
Sebab sebagaimana Dia mengasihi anak panah yang melesat, demikian pula Dia mengasihi busur yang mantap.

Kahlil Gibran
"Sang Nabi"

gambar dari sini

Sabtu, 02 Juli 2011

2 Dosa(ku) Sebagai Seorang Ibu

Orang tua manapun pasti menginginkan punya anak yang penurut (bahasa Jawanya: manut) alias mau mengikuti apa yang diinginkan orang tua. Alangkah mudah kalau anak-anak kita (minimal anak-anak saya) tidak banyak membantah, tidak banyak merengek, diminta melakukan ini itu mau-mau saja dan tidak banyak protes. Potret anak-anak seperti itu, kata Ibu saya, banyak dimiliki oleh anak-anak produk keluaran lama. Termasuk generasi saya.

Bukannya mencap saya sebagai anak yang penurut, tapi kalau diingat-ingat sih saya memang mendekati ciri-ciri anak yang saya sebutkan di atas. Memang saya nggak baik-baik amat, sedikit nakal juga si, tapi kalau sudah dimarahi biasanya langsung kapok. Hehe...

Oke, sebelum kita berlarut-larut membahas masalah masa kecil saya, mari kita kembali ke topik bahasan utama, yakni masalah dosa. Jujur saya pilih kata yang sedemikian hiperbolik agar 2 hal yang akan saya tulis ini menjadi pengingat, paling tidak bagi saya sendiri, agar saya terhindar dari kesalahan fatal sebagai orang tua. Ya, karena anak-anak keluaran terbaru cenderung lebih banyak protes dan punya banyak kemauan hingga jika tidak di-handle with care, saya kuatir akibatnya akan jadi salah asuhan. Nah, ujung-ujungnya kita sebagai orang tua akan gagal mengemban amanat yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa, yakni mendidik dan membina anak-anak. Itulah juga salah satu alasan mengapa saya memilih kata “dosa” dan bukan kata “kesalahan”.

Dosa sebagai Ibu yang saya maksudkan bukan karena Ibu tidak bisa masak, tidak bagus menata rumah, atau Ibu yang terlalu sibuk bekerja, tidak bisa mengantar ke sekolah atau tidak bisa tidak bisa lainnya. Dosa ini sepele, namun sering terlupakan dan fatal jika kita lalai dan menganggapnya remeh, yaitu:

1. Tidak mau menunggu
“Bril, ayo mandi!”
“Sebentar Ma”
“Ayo cepet udah jam brapa ini, nanti terlambat”
“Sebentar Ma”
“Udah to, jangan nonton TV terus, ayo mandi”, sambil saya mematikan TV.
“Huaaaa.....!!!!, aku masih mau nonton....!!!”
Selanjutnya bisa ditebak, saya akan langsung nyerocos mengomeli Abril bahwa dia harus disiplin waktu dan Abril akan memprotes tindakan saya yang langsung mematikan TV. Kejadian itu akan bermuara menjadi serangkaian kata-kata amarah yang keluar dari mulut saya, tangisan Abril yang semakin keras dan yang paling parah bisa-bisa saya menampar pipinya (walau tidak terlalu keras). Akhirnya keinginan saya agar dia segera mandi tidak tercapai serta yang saya sesalkan, bisa jadi saya telah menggoreskan luka di hatinya dengan amarah dan tamparan saya.
Kejadian di atas tidak perlu terjadi seandainya saya mau sebentar saja menunggu barang sejenak. Maksudnya di sini bukan menunggu hingga acara TV kesukaannnya selesai, melainkan menunggu hingga mendapat timing yang pas. Saya bisa saja melihat apa yang dia tonton dan bernegosiasi bahwa dia harus segera mandi setelah jeda iklan, atau saya beri waktu menonton 5 menit lagi baru kemudian dia harus mandi. Ternyata sebenarnya dia mau kok mematuhi kesepakatan yang dibuat, asalkan kita sendiri juga konsisten.
Itulah problemnya. Terkadang saya (atau mungkin kita) begitu tidak sabaran sehingga tidak mau mengerti kepentingan mereka. Sebagai Ibu, saya seringkali punya kemauan agar anak melakukan perintah saat itu juga, dan tatkala mereka tidak mau melakukan, saya langsung menganggapnya tidak patuh padahal sebenarnya yang dia inginkan adalah “sedikit penundaan”. Bukankah kita sendiri juga seringkali seperti itu? Kita pun juga tidak suka jika diperintah melakukan sesuatu saat sedang berkutat dengan suatu hal. Paling tidak kita juga ingin diberi waktu sejenak untuk menswitch tenaga dan pikiran dari satu job ke job yang lain.

2. Tidak mau mendengar
Kalau saya sedang berbicara atau menasehati anak dan dia cuek saja, tentu saja saya akan marah dan sudah dipastikan saya akan mulai mencerewetinya dengan omelan.
Saya akan menganggapnya nakal karena tidak mau mendengar.
Padahal jika yang terjadi adalah sebaliknya, jika dia sedang berbicara, saya pun seringkali menganggapnya sebagai angin lalu. Ya, karena yang dibicarakan olehnya saya anggap hal yang sepele dan tidak penting.
Ya, satu lagi dosa sebagai orang tua adalah selalu menganggap omongan kita penting untuk dia dengar dan omongan anak tidak penting untuk kita dengar. Padahal anak juga butuh didengar, walaupun itu hanya sekedar pertanyaan yang menurut kita konyol atau cerita tentang teman sepermainannya. Bagi dia, ulah temannya di sekolah adalah hal super penting yang kita harus tahu.
Anak berbicara atau bertanya pada kita karena dia menghargai kita sebagai teman berbagi (sebaiknya poin ini jangan sampai dilupakan). Fatal akibatnya jika kita terlalu sering cuek terhadap ocehannya. Dia akan menganggap kita bukan lagi sebagai teman sharingnya dan dia akan mencari teman lain yang bisa dianggapnya lebih mau mendengar. Apakah dengan begitu tidak akan membuat kita semakin nelongso? Bahwa anak kita lebih memilih orang lain ketimbang orang tuanya sendiri untuk berbagi? Belum lagi kemungkinan dampak negatifnya jika dia memilih teman yang salah?

Hal yang saya tulis di atas lebih merupakan refleksi diri selama lebih dari 4 tahun menjalani peran sebagai orang tua. Mohon maaf kalau salah karena waktu 4 tahun memang masih usia kanak-kanak, jadi belum pantas kiranya kalau saya sudah menuliskan hal-hal berbau parenting advice. Syukur-syukur tulisan ini bisa bermanfaat bagi para ibu untuk kembali mengintrospeksi diri agar bisa menjadi orang tua, teman dan sahabat yang lebih baik bagi anak-anak.

Gambar diambil dari sini
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)