Senin, 30 Desember 2013

Anak Yang Tak Mau Pulang



Kok aku bisa ada di sini?, Alfi termangu melihat sekelilingnya. Dia tak ingat kenapa tiba-tiba bisa ada di tempat ini atau di mana dia sebelumnya. Tahu-tahu dia sudah berdiri di mulut sebuah gang. Dia seakan menjadi boneka lego yang baru detik itu dibuat dan kemudian diletakkan oleh pembuatnya di sebuah maket, tanpa tahu mengapa dan untuk apa.
Tapi gang itu tampaknya tidak asing. Alfi melangkahkan kaki memasuki gang tersebut. Jalanannya masih berupa tanah makadam. Rumah-rumah mungil berderet-deret rapat. Deretan pot yang dicat dengan warna oranye menyala tampak menjadi pemanis gang sempit yang hanya selebar satu mobil ini.
“Ibuu...mau Miwon Bu...mau Miwon...”, tiba-tiba didenngarnya suara rengekan anak kecil. Alfi menghentikan langkahnya dan celingukan mencari tahu.
Suara itu ternyata berasal dari salah satu rumah. Seorang perempuan muda tampak sedang mencuci. Di hadapannya ada beberapa bak besar berisi air, baju kotor dan papan penggilasan. Dia duduk di sebuah dingklik pendek sambil mengucek. Sementara itu, seorang anak kecil menggelayuti punggungnya sambil  merengek.
“Miwon Bu...aku mau Miwon...”, anak kecil berusia 6 tahun itu terus merengek. Wanita itu kemudian menghentikan kegiatan mencucinya dan memandang anak itu sambil tersenyum lembut.
“Sebentar ya Nak”, ujarnya sebelum menghilang ke dalam rumah. Tak lama dia kembali sambil membawa bungkus plastik berisi kristal putih seperti gula. “Ini Miwonnya. Buat apa?”, tanyanya.
Si anak kecil bukannya menjawab malah merengek lagi. “Bukan itu...aku mau Miwon...mau Miwon”
“Iya, ini Miwon Nak”
“Bukan Bu...Mi...Won. Yang panjang-panjang itu lho Bu”
Dahi wanita itu berkerut tanda tak paham. Dia kembali duduk di dingklik dan meneruskan mencuci, sementara si anak kembali menggelayuti punggungnya sambil terus merengek. “Ya nanti kita beli Miwon ya...”, ujarnya dengan sabar.
Alfi geleng-geleng kepala melihat tingkah anak yang salah mengira bahwa Miwon adalah sejenis Mie. Tidakkah dia lihat Ibunya sedang sibuk? Bagaimana mungkin wanita itu bisa tahan mendengarkan rengekan anaknya yang di telinga Alfi terdengar sangat mengganggu?
“Adek sedang cari siapa?”, seseorang tiba-tiba bertanya padanya.
Alfi menoleh dan dilihatnya seorang perempuan berjilbab sedang tersenyum ramah. “Oh tidak. Saya cuma kebetulan lewat”. Alfi kemudian menjelaskan kejadian yang baru saja dilihatnya pada wanita berjilbab itu.
Wanita berjilbab itu manggut-manggut. “Iya, Fina memang anaknya begitu. Manjanya minta ampuun. Kerjaannya rewel dan merengek terus. Untung Bu Heru itu orangnya sabar”, komentar
Fina? Heru? Entah mengapa nama itu tidak asing di telinga Alfi.
“Oh ya. Saya Bu Ali. Ketua RT di sini. Adek mau ke mana?”
Alfi menggeleng. “Saya sepertinya nyasar. Ini namanya daerah apa ya Bu?
“Wonorejo, Surabaya Selatan. Adek datang dari mana?”
Surabaya? Bagaimana dia bisa ada di sini? Seingatnya, dia seharusnya ada di...“Jakarta Bu”, jawabnya. Akhirnya dia ingat dari mana dia berasal. Dia seharusnya sedang bekerja di ibukota. Kening Bu Ali bertaut. Dia merasa ada yang tidak beres dengan gadis yang tampak linglung itu.
“Adek bisa pulang ke Jakarta dengan kereta besok pagi. Malam ini Adek bisa tinggal di rumah Ibu. Besok Ibu antar ke stasiun”, Bu Ali menawarkan.
Alfi memandang wanita setengah baya itu dengan penuh terima kasih. Dia tak punya pilihan lain selain mengekor di belakangnya. Lagipula entah mengapa sedari tadi kepalanya terasa pening.
Senja menjelang. Matahari mulai memburatkan sinar oranye di langit.
“Adek mau shalat Magrib di Masjid? Kalau mau itu mukenah boleh dipakai”, tanya Bu Ali.
Alfi mengangguk. Diraihnya mukenah berbalut sajadah yang sudah disiapkan Bu Ali . Ketika mereka melewati rumah tempat mereka tadi bertemu, lagi-lagi dia mendengar suara.
“Ibu...beras kita habis”, terdengar suara seorang gadis.
Alfi dan Bu Ali menghentikan langkah mereka dan saling berpandangan. Tak lama mereka melihat Bu Heru keluar rumah sambil menenteng sesuatu berbentuk persegi yang dibungkus taplak meja bercorak batik. “Kalau ada yang cari, bilang Ibu sedang arisan ya...”, pesan Bu Heru pada anak perempuan lain yang lebih besar sebelum melangkah pergi.
“Yang itu namanya Denok, kakaknya Fina. Mereka sering begitu. Kalau sedang tidak punya uang, Bu Heru sering mencari pinjaman. Yang dibungkus itu...”, Bu Ali bercerita tanpa diminta.
“Televisi 14 inchi untuk jaminan dan Bu Heru akan berjalan cukup jauh, kira-kira 1 jam dari sini”, Alfi memotong cerita Bu Ali.
“Kok Adek bisa tahu?”, Bu Ali tertegun. Sama tertegunnya dengan Alfi, mengapa dia rasanya tahu ke mana wanita itu akan pergi..
“Hidup memang keras Dek. Tapi Bu Heru itu luar biasa tabah. Pak Heru dulu wartawan, tapi meninggal muda saat sedang tugas meliput bencana alam. Fina masih belum genap setahun waktu itu. Sejak itu, mau tidak mau istrinya harus jadi tulang punggung keluarga. Tapi karena dia cuma lulusan SD, ya akhirnya hanya bisa jadi tukang cuci baju tetangga”, lanjut Bu Ali sambil menepis keheranannya.
Alfi kian tertegun. Rasanya dia pernah mendengar cerita itu sebelumnya.
Malam itu Alfi tidur dalam kebingungan. Dia berharap, besok akan ada jawaban atas semua hal yang memusingkan kepalanya ini.
Tengah malam, Alfi terbangun karena suara isak perlahan. Matanya mengerjap berusaha membiasakan diri dalam temaram malam. Sesaat kemudian baru dia sadar ini bukan kamar di rumah Bu Ali. Ini kamar lain dan dia tidak sendiri. Ada orang lain di kamar itu. Ia bermukenah dan duduk bersimpuh di atas selembar sajadah. Tangannya menengadah.
“Ya Allah. Ampunilah hambaMu yang tak berdaya. Berilah hambaMu kekuatan dalam membesarkan anak-anak yang Kau amanahkan pada hamba. Jadikanlah mereka anak-anak yang sholehah. Berikanlah mereka kemudahan dalam menjalani hidup. Hanya padaMu hamba memohon perlindungan bagi mereka di saat Hamba tak bisa menjaga”, dan kemudian air matanya pun meleleh.
Lamat-lamat akhirnya Alfi bisa mengenali siapa perempuan itu. Bu Heru. Mengapa aku tiba-tiba bisa berada di kamar tetangga Bu Ali?, tanyanya dengan bingung. Kepala Alfi tiba-tiba terasa berat. Dia merasa sangat lelah. Matanya kembali terpejam.
Matanya kembali terbuka karena kulitnya merasakan hembusan angin dingin. “Sudah Shubuh Dek”, kata Bu Ali seraya membuka jendela dan membiarkan udara sejuk Shubuh hari menerobos masuk. Suara Bu Ali mengembalikan kesadaran Alfi. “Setelah sarapan, nanti kita segera ke stasiun membeli tiket kereta”, lanjutnya. Alfi mengangguk menurut.
Mereka berjalan menuju mulut gang untuk mencari angkot yang akan mengantarkan keduanya ke stasiun. Ketika melewati rumah Bu Heru yang pintunya terbuka, mereka melihat wanita itu sedang berbicara dengan seorang gadis remaja. Wajahnya mirip dengan anak yang merengek meminta Miwon kemarin siang, seolah dia adalah versi remaja dari anak kecil itu.
“Kamu usahakan lulus UMPTN ya Fin. Ibu hanya mampu menyekolahkan kamu kalau kamu masuk Universitas Negeri seperti kakakmu. Perhiasan peninggalan Bapak tidak banyak, tapi insha Allah masih cukup untuk biaya masuk kuliah. Terus juga jangan pilih universitas di luar kota ya, biar tidak perlu keluar uang untuk kos”, katanya.
 “Tapi aku maunya ke UI Bu. Di Jakarta”, bantah gadis itu.
“Di sini kan juga ada Universitas Negeri, Fin. Lagipula biaya hidup di ibukota kan mahal”, jawab Bu Heru sambil menggeleng.
Gadis itu cemberut.
“Nanti kalau sudah kuliah. Kamu coba seperti kakakmu, cari program beasiswa dan murid les privat. Lumayan untuk bantu biaya kuliah dan uang sakumu”, tambah Bu Heru lagi.
Mendengar itu, si gadis meradang. “Ibu ini bagaimana sih? Biaya sekolah kan tanggung jawab Ibu. Tugas Fina itu belajar. Nanti kalau Fina macet kuliahnya gara-gara sibuk berburu beasiswa dan jadi guru les privat kan Ibu juga yang susah. Nanti Fina nggak lulus-lulus. Fina mau cepet lulus Bu. Biar cepet dapat kerja yang gajinya besar. Biar nggak jadi orang susah yang nyusahin anaknya kaya Ibu”, cerocos gadis itu.
Mendengar itu Bu Heru terhenyak. Alfi bisa melihat bibir wanita itu bergetar menahan tangis.
“Si Fina memang egoisnya minta ampun. Saya sih kalau punya anak kaya gitu sudah saya tampar. Tapi Bu Heru ini memang ajaib sabarnya”. komentar Bu Heru sambil geleng-geleng kepala. Alfi pun mengangguk tanda setuju bahwa ucapan anak itu sangat keterlaluan.
Namun dalam hati, Alfi merasa heran, bagaimana mungkin anak kecil yang merengek minta Miwon itu sudah bertumbuh segini besar dalam semalam. Yang lebih mengherankan lagi, Bu Ali juga tampaknya tidak menganggap itu sebagai hal yang aneh. Mendadak pusing di kepalanya kembali. Mereka segera meninggalkan rumah Bu Heru dan berangkat menaiki angkot menuju stasiun.
Alfi sedang sial. Ini masa libur lebaran. Tak ada tiket kereta api tersisa. Petugas loket menyarankan Alfi untuk kembali besok pagi-pagi sekali, siapa tahu ada penumpang yang tiba-tiba membatalkan tiketnya. Leher Alfi tertunduk lesu.
“Sudah tak apa-apa Dek. Adek boleh kok menginap semalam lagi di rumah Ibu. Atau sampai Adek dapat tiket ke Jakarta”, hibur Bu Ali. Alfi menatap perempuan itu dengan rasa terima kasih yang tak tergambarkan.
Malam itu Alfi ingin tidur lebih awal. Sejak pagi, kepalanya didera sakit luar biasa.
Namun lagi-lagi Alfi terbangun karena mendengar suara. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya. Ini bukan kamar rumah Bu Ali. Ini kamar tempat dia melihat wanita bermukenah yang berdoa sambil menangis malam sebelumnya. Rumah Bu Heru. Sayup-sayup didengarnya suara dari arah luar kamar. Dengan rasa ingin tahu, Alfi pun bangkit dan mengintip dari celah pintu dan kusen yang sedikit terbuka. Rupanya wanita itu belum tidur dan sedang menelepon  seseorang.
“Masih lembur di kantor Fin? Jangan pulang terlalu malam. Ibu dengar di Jakarta sering ada kejadian kriminal. Ibu takut ada apa-apa sama kamu. Ibu takut kamu...”, Bu Heru terdiam. Seseorang di ujung sana memutus ucapannya.
“Iya Ibu tahu kamu sudah besar. Tapi Ibu tetep khawatir. Sebab kamu sendirian di Jakarta”, suaranya mulai terdengar menganduk isak. “Oya lebaran besok kamu pulang kan? Fina mau dimasakkan apa?”, tanyanya penuh harap.
Fina? Baru tadi pagi Alfi melihat gadis itu mendebat Ibunya tentang memilih Universitas. Sekarang dia sudah bekerja di Jakarta?. Alfi hampir mengira dia sudah gila. Tapi keingintahuannya untuk sementara mengalihkan kebingungannya karena seharian ini melompat-lompat dalam ruang waktu.
“Lho, kenapa nggak pulang Fin? Ibu kangen”, tanyanya dengan air mata mulai mengambang. “Liburan ke Bali? Ya sudah, lain kali saja kamu sempatkan pulang ya”, kali ini air matanya tak tertahankan lagi.
Bu Heru meletakkan gagang telepon dengan wajah berduka. “Ya Allah, lindungi putri hamba; Alfina Putri Gemintang. Hanya kepadaMu hamba bisa menitipkan keselamatannya yang sedang jauh di ibukota”, dia berdoa di antara isaknya.
Kepala Alfi bagai dihantam palu godam. Alfina Putri Gemintang. Itu namanya. Tiba-tiba lututnya terasa lemas hingga dia jatuh terduduk di lantai. Akhirnya kini dia mengerti mengapa rasanya dia begitu mengenal kampung ini serta bagaimana dia bisa tahu bahwa Bu Heru akan menenteng televisi berbungkus taplak batik sejauh 1 jam jalan kaki. Akhirnya dia sadar siapa wanita itu. Heru adalah nama ayahnya, seorang jurnalis yang sudah lama meninggal.  
Sekonyong-konyong dia ingat semuanya. Dia ingat betapa dia sangat malu. Malu karena memiliki Ibu yang papa tak berdaya sepeninggal ayahnya. Dia malu karena Ibunya hanya seorang tukang cuci yang sering menjaminkan televisi 14 inchi untuk membeli beras. Dia ingat dia tak lagi mau menggunakan nama kecilnya ketika mulai bekerja di sebuah perusahaan mentereng di Jakarta. Dia ingin terlahir baru sebagai Alfi, gadis lulusan universitas negeri ternama di Surabaya. Bukan lagi menjadi Fina, anak seorang tukang cuci.
Dia baru sadar arti segala hal yang dilihatnya dua hari terakhir. Dia yang begitu manja saat kecil, sementara Ibunya tak pernah sekalipun memarahinya. Dia yang begitu egois saat remaja, sementara Ibunya senantiasa mendoakannya tiap malam sambil menangis. Ketika dewasa, dia memilih berlibur ke Bali saat lebaran ketimbang sujud di kaki Ibunya untuk memohon ampun.
Sepenggal ingatan yang menyedihkan menerobos masuk dalam liang-liang memorinya. Liburan ke Bali itu berakhir tragis karena mobil travelnya mengalami kecelakaan. Ingatan akan kecelakaan itu sekonyong-konyong berganti dengan gelombang rasa bersalah yang menyesakkan dada.
Alfi semakin tak kuat menahan deraan sakit di kepalanya. “Ibuuu....!!!”, erangnya sebelum jatuh pingsan.
Ketika sadar, lagi-lagi dia kebingungan. Di mana ini? Butuh waktu agak lama untuk menyingkirkan kabut yang mengambang di pelupuk matanya.
“Alhamdulillah...kamu sudah sadar Fin? Ini di rumah sakit di Bali. Kamu kecelakaan ”, itu suara Mbak Denok.
“Mbak...kok Mbak di sini?”, tanyanya pada kakaknya yang juga sudah bekerja sebagai psikolog di Surabaya.
“Untung Mbak yang angkat telepon saat ada kabar kamu kecelakaan. Mbak nggak kasih tahu Ibu, takut Ibu kuatir. Makanya Mbak langsung ke sini memastikan keadaanmu”
“Jadi Ibu nggak tahu aku kecelakaan?”
“Enggak lah. Ibu pasti pingsan kalau tahu. Ibu itu sayang banget sama kamu. Tiap hari yang diomongin kamuuu terus. Apalagi pas kamu sudah pindah ke Jakarta. Yang kuatir lah, yang mikirin kamu sudah makan apa belum lah. Lagian kenapa sih kamu lebih memilih ke Bali daripada pulang? Kamu sudah setahun lho nggak pulang ke Surabaya”, cerosos Denok.
“Iya Mbak. Aku menyesal. Aku pingin pulang sekarang. Aku pingin ketemu Ibu, pingin cium kaki Ibu, pingin mohon ampun sama Ibu. Aku sudah jadi anak yang durhaka sama Ibu Mbak”, Alfi terisak sampai pundaknya bergetar.
“Sudah...yang penting...sekarang kamu pulihkan dulu keadaanmu”, jawab Mbak Denok kalem. Betapa senang dia akhirnya adiknya sudah menyadari kesalahannya.
“Mbak, ponselku?”, tanya Alfi setelah isaknya mereda.
Denok mengulurkan smartphone milik Alfi. “Jangan telepon Ibu. Nanti dia khawatir. Biarkan kepulanganmu nanti jadi kejutan”
“Aku nggak telepon Ibu Mbak, aku mau tulis email ke kantor”.
Denok angkat bahu. Heran dia melihat adiknya yang satu ini. Baru saja siuman dari tidur yang panjang, langsung ingat pekerjaan. Namun Denok tak tahu apa yang dialami adiknya ketika koma, yang lantas memicu Alfi membuat sebuah keputusan besar. Kini, Alfi sedang mengetikkan surat pernyataan mengundurkan diri dari perusahaannya. Dia tak kan mau jauh lagi dari Ibu dan bertekad untuk mencari pekerjaan yang bisa ditempuh dari rumah mereka di Surabaya.
Usai mengirim email. Alfi menghela napas lega. Dia memandang Denok dan berkata; “Aku tidak akan tinggalkan Ibu lagi Mbak, walaupun itu mungkin tak kan pernah cukup untuk menebus semua dosaku sama Ibu”.   -end-

Sabtu, 21 Desember 2013

Tiga Jam Menunggumu



Kamu melirik arloji untuk yang ke sekian kali dalam tiga jam terakhir. Selama kurun waktu itu pula kamu sudah duduk di sini dengan hanya ditemani beberapa cangkir teh melati. Tadinya kamu datang ke tempat ini sambil membawa sebongkah rindu yang melesak dalam relung jiwamu.  Aku tahu kamu kangen padaku yang seharusnya sudah menemuimu tiga jam yang lalu. 
Kulihat kamu mendesah pertanda kamu menyerah. Dengan gontai kamu bangkit berdiri dan berjalan sendiri menembus malam yang kelam. Aku tak kuasa menahan jatuhnya air mata melihatmu meninggalkan tempat ini tanpa pernah menyadari satu hal. 
Sedari tadi aku pun ada di sini, begitu dekat denganmu hingga aku bisa mencium aroma colognemu. Aku bahkan sudah ada di sini lebih dari tiga jam yang lalu, tepat setelah sebuah mobil menghantam ragaku. Raga yang berjalan terburu-buru karena jiwaku begitu ingin segera menemuimu.

Jumat, 20 Desember 2013

Dongeng: Kisah Awan dan Angin



 Alkisah, ada dua sahabat bernama Awan dan Angin.  Awan bertugas membawa butir-butir air dalam tubuhnya dan kemudian menumpahkannya ke Bumi jika sudah penuh. Manusia mengenal saat itu sebagai hujan.
Sementara itu Angin bertugas meniup Awan ke sana ke mari. Jika sudah sampai di atas daerah yang tepat, Angin akan berhenti bertiup agar Awan bisa mencurahkan airnya. Keduanya mengitari Bumi agar seluruh bagian Bumi dapat merasakan hujan secara bergiliran.
Pada suatu hari, keduanya tiba di atas tanah persawahan sebuah negeri.  Awan sedang bersiap-siap menumpahkan airnya ketika tiba-tiba Angin berteriak.
“Tahan dulu Awan! Jangan kau tumpahkah airmu di sini!”
“Mengapa?”, tanya Awan keheranan. “Bukankah sekarang giliran sawah-sawah ini yang mendapatkan hujan?”
“Tidak! Turunkan saja airmu di sana. Di ladang bunga itu. Aku akan segera meniupmu ke sana. Hffft…!!!”.
Awan tak bisa membantah. Angin berhenti bertiup saat Awan telah berada tepat di atas ladang bunga yang indah. Hujan pun akhirnya turun di atas ladang yang ditumbuhi bunga aneka warna itu.
“Lihat Awan, ladang bunga itu jadi tampak jauh lebih segar setelah kau sirami. Cantik sekali bukan? Jauh lebih cantik daripada tanah sawah yang tadi hendak kau curahi air hujan”, ujar Angin.
Awan tak menjawab karena dia sibuk mengosongkan muatan air dari dalam tubuhnya.
Sejak saat itu Angin tak mau lagi membiarkan Awan mencurahkan airnya di atas tanah persawahan. Angin selalu meniup Awan agar mengarah ke ladang bunga. Baginya ladang bunga terlihat lebih cantik dan menarik daripada tanah sawah.
Akibatnya tanah sawah itu menjadi kering dan panen pun gagal. Tapi Angin tak peduli. Baginya, ladang bunga yang cantik itu harus terus mendapatkan air hujan agar tidak kering seperti tanah sawah. Dia senang melihat batang-batang bunga yang meliuk-liuk seperti penari ketika Angin berhembus pelan.
Suatu hari ketika Angin dan Awan kembali ke negeri itu, alangkah terkejutnya mereka melihat ladang bunga itu tidak seperti dulu lagi. Rumput liar tumbuh semakin meninggi dan mendesak batang-batang tanaman Mawar dan Anyelir. Sementara daun tanaman Melati dan Krisan tampak kecoklatan dan berlubang karena dimakan ulat. Betapa sedihnya Angin melihat ladang bunga itu tak terurus.
“Apa yang terjadi?”, tanya Angin pada seekor Kupu-Kupu yang kebetulan terbang melintas.
“Gara-gara hujan tak pernah turun di atas sawah, panen pun gagal. Pak petani jadi tak punya persediaan makanan. Sekarang dia sibuk mencari sumber makanan lain untuk keluarganya. Pak Petani tak lagi sempat mengurus ladang bunga ini. Rumput liar tak pernah disiangi, ulat-ulat pemakan daun pun tak ada yang membasmi. Ladang bunga ini akhirnya jadi rusak.
Alangkah menyesalnya Angin begitu mendengar jawaban Kupu-Kupu. Dia lah yang telah mencegah Awan supaya tidak menurunkan hujan di atas tanah sawah sehingga akhirnya sawah-sawah itu gagal menghasilkan panen. Dia tak menyangka perbuatannya yang berat sebelah malah mengakibatkan ladang bunga yang disukainya itu rusak.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Sekarang Angin berjanji, dia akan bersikap lebih adil dan membagi rata air hujan yang dibawa oleh Awan.

-selesai-
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)