Selasa, 01 April 2014

09. Malaikat Penjaga Gunung (The Real Idol Series)

Note: "The Real Idol" memang ditulis dalam rangka mengikuti lomba Teenligi 2014, namun sejatinya ide tulisan ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu saat membaca buku Uswatun Hasanah karya Haddad Alwi.

Walau pada akhirnya dinyatakan tidak menang, saya tetap senang karena bisa menyelesaikan proyek pribadi tentang manusia paling istimewa sepanjang sejarah; Rasulullah Muhammad SAW.

Nah, karena sudah terlanjur ditulis, sayang rasanya jika hanya mengendap di laptop. So, saya akan mempostingnya di blog ini secara bertahap. Siapa tahu, akan ada satu atau dua atau berapa pun pembaca yang bisa memetik manfaat. Aminn....

Keseluruhan tulisan ini nantinya akan berada dalam satu label/kategori (The Real Idol). Tak jadi masalah jika membacanya secara acak atau berurutan. Silahkan lihat Daftar Isi untuk melihat keseluruhan bagian "The Real Idol" untuk memilih bagian-bagian yang lebih menarik untuk dibaca.

Selamat membaca dan selamat jatuh cinta pada manusia teristimewa, kekasih Allah, Muhammad bin Abdullah :)

---


Malaikat Penjaga Gunung


Rasulullah tidak pernah memanfaatkan posisinya sebagai pihak yang tersakiti untuk memohonkan hal buruk menimpa kaum yang menganiayanya pada Allah. Beliau senantiasa mengharapkan dari keturunan orang-orang jahat tersebut ada yang mau menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan yang lain.
Kisah kelembutan hati Rasulullah juga bisa dilihat dari kisah beliau ketika berdakwah di Thaif.
Sepeninggal Abu Thalib, kira-kira di tahun sepuluh masa kenabian, Rasulullah berangkat untuk berdakwah di kota Thaif. Dengan ditemani budaknya, Zaid bin Haritsah, beliau mendatangi para pemuka Banu Tsaqif dan mengajak mereka masuk Islam. Beliau menerangkan Islam dengan cara yang baik sekali.
Namun ajakan Nabi ini disambut dengan tidak baik oleh mereka. Bahkan mereka seolah bersekongkol untuk menyakiti Nabi dengan melemparinya dengan batu. Zaid bin Haritsah pun sibuk menjadi tameng Rasulullah hingga dianya juga ikut terluka.
Ketika melarikan diri, beliau tiba di sebuah perkebunan korma tempat beliau beristirahat. Beliau berdoa pada Allah dengan doa yang sungguh menyayat hati;
“Allahumma ya Allah, kepada Engkau aku mengadu akan kelemahan kekuatanku, kekurangan kemampuanku, kelemahanku menghadapi manusia, wahai Tuhan yang Maha Pengasih. Engkau Tuhannya ornag-orang yang lemah, Engkau adalah Tuhanku, kepada siapakah Engkau serahkan aku? Kepada yang jauh yang bermasam muka kepadaku? Atau kepada musuh yang Engkau kuasakan untuk menguasai diriku? Jika bukan karena marahMu atas diriku, maka aku tidak ambil peduli, namun perlindunganMu jualah yang aku harapkan atas diriku. Aku mohon berlindung dengan sinar wajahMu yang menyinari kegelapan, sehingga menjadi baik atasnya urusan dunia dan akhirat, daripada tertimpanya diriku dengan kemaharahanMu atau terjadi atas diriku kemarahanMu. MilikMu lah segala petunjuk atau keridhaan sehingga Engkau menjadi ridha. Dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah jua...”
Doa Nabi mulia itu pun didengar Allah. Ia memerintah malaikat penjaga gunung untuk menimpakan gunung Thaif di atas penduduknya. Namun Allah juga meminta sang Malaikat untuk terlebih dulu meminta izin pada Nabi. Malaikat penjaga gunung pun menemui Rasulullah.
“Ya Rasulullah, perlakuan penduduk Thaif sudah benar-benar keterlaluan. Allah memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Izinkan aku menghukum kejahatan mereka. Jika engkau berkenan, biarlah aku jatuhkan gunung itu kepada mereka sehingga mereka semua binasa”
Manusia biasa mungkin akan menyambut gembira tawaran seorang malaikat yang memang sengaja diutus Allah untuk membalaskan sakit hati akibat hinaan yang menyakitkan dan sakit fisik akibat lembaran batu yang juga tak kalah perih. Namun karena Muhammad bin Abdullah memang bukan manusia biasa, dia langsung menjawab; “Tidak wahai Malaikat, jangan engkau lakukan hukuman seperti itu. Aku melihat di antara penduduk Tha’if itu masih ada sedikit kebaikan. Lagi pula, kalaupun mereka belum mau beriman kepadaku saat ini, aku berharap anak-anak mereka kelak akan menjadi orang-orang beriman”. Lantas Rasulullah pun melanjutkan kata-katanya dengan do’a; “Ya Allah, ampunilah mereka, karena sesungguhnya mereka itu belum mengetahui”.
Malaikat penjaga gunung tertegun mendengar jawaban manusia yang agung itu; “Engkau benar-benar seperti yang disebut Tuhanmu”.
Nah, mungkin manusia yang mampu melakukan hal semacam itu hanyalah Nabi Muhammad seorang. Hanya di zaman Nabi Muhammad, Allah tak pernah menimpakan azabNya pada kaum yang ingkar pada manusia utusanNya. Masih ingat kan ketika Allah menimpakan azab pada kaum Nabi Nuh dengan membuat banjir terbesar sepanjang sejarah? atau ketika Allah mengutus malaikat menghancurkan desa Nabi Lut dengan menghujaninya dengan batu dari tanah yang terbakar? atau ketika Allah menenggelamkan pasukan Firaun yang mengejar Nabi Musa dalam laut Merah?
Sebagai manusia pilihan, apalagi sebagai kekasih yang sangat disayang Allah, sudah sewajarnya semua pengharapan dan doa Nabi Muhammad akan dikabulkan oleh Allah. Sah-sah saja seandainya Nabi Muhammad merasa kesal atas perlakuan buruk yang diterima dan lantas memanfaatkan posisinya sebagai kekasih Allah untuk membalaskan sakit hatinya. Tapi kenyataannya beliau tidak pernah melakukan itu.
Pernah dalam suatu riwayat yang dikisahkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah diminta oleh seseorang untuk mendoakan kehancuran kaum Musyrikin. “Wahai Rasulullah, mohon engkau berdoa kepada Allah agar menurunkan adzab kepada kaum musyrikin”, katanya.
Lantas Rasululullah menjawab; “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk menjadi tukang melaknati, tetapi aku hanya diutus untuk menjadi rahmat”.
Belajar dari kisah di Thaif, jika suatu waktu kawans dibuat kesal oleh seseorang, dibuat marah karena sesuatu, cobalah tiru Rasulullah. Anggaplah orang-orang yang menyakiti itu belum terbuka hatinya, hingga mereka tega berbuat hal yang menyakitkan. Mohonkan pada Allah ampunan bagi mereka dan doakan agar Allah membuka hati mereka. Sebab hanya Allah lah satu-satunya penguasa hati, Sang Maha Pembolak-Balik Hati. Memang tidak mudah, karena biasanya nafsu membalas dendam dan rasa sakit hati itu lebih besar. Cobalah mengingat satu hal, jika dendam dan rasa ingin balas menyakiti muncul di benak kita, itu berarti Setan telah berhasil menggunakan tipu dayanya untuk menjurumuskan manusia. Pasti kita tak mau kan diperdaya oleh makhluk ciptaan Allah yang super duper licik ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)