Rabu, 19 Maret 2014

04. Pendeta Nasrani dari Busra (The Real Idol Series)

Note: "The Real Idol" memang ditulis dalam rangka mengikuti lomba Teenligi 2014, namun sejatinya ide tulisan ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu saat membaca buku Uswatun Hasanah karya Haddad Alwi.

Walau pada akhirnya dinyatakan tidak menang, saya tetap senang karena bisa menyelesaikan proyek pribadi tentang manusia paling istimewa sepanjang sejarah; Rasulullah Muhammad SAW.

Nah, karena sudah terlanjur ditulis, sayang rasanya jika hanya mengendap di laptop. So, saya akan mempostingnya di blog ini secara bertahap. Siapa tahu, akan ada satu atau dua atau berapa pun pembaca yang bisa memetik manfaat. Aminn....

Keseluruhan tulisan ini nantinya akan berada dalam satu label/kategori (The Real Idol). Tak jadi masalah jika membacanya secara acak atau berurutan. Silahkan lihat Daftar Isi untuk melihat keseluruhan bagian "The Real Idol" untuk memilih bagian-bagian yang lebih menarik untuk dibaca.

Selamat membaca dan selamat jatuh cinta pada manusia teristimewa, kekasih Allah, Muhammad bin Abdullah :)
---


Pendeta Nasrani dari Busra


Selain tertulis dalam Taurat. Kenabian Muhammad juga telah tertulis dalam Injil. Kisah pertemuan Nabi Muhammad saat beliau masih kecil dan seorang pendeta Nasrani membuktikan hal tersebut.
Nabi sudah menjadi yatim sejak masih dalam perut Ibunya. Ketika masih kecil, sang Ibu pun ikut menyusul ayahnya sehingga Nabi kecil pun diasuh oleh kakeknya Abdul Munthalib.
Sepeninggal Abdul Muthalib, pengasuhan Nabi diserahkan pada pamannya yang bernama Abu Thalib. Abdul Muthalib sengaja mewasiatkan pengasuhan Nabi pada Abu Thalib yang sesungguhnya tidak begitu berharta karena tahu baiknya akhlak saudara kandung ayah Nabi tersebut.
Pilihan tersebut tidak salah. Abu Thalib sangat menyayangi Nabi bahkan melebihi putranya sendiri. Ke manapun Nabi keluar rumah, ia pun ikut untuk menemaninya. Kerinduan terhadap putra Abdullah itu melebihi kerinduannya terhadap keluarganya sendiri.
Dalam sebuat riwayat dikisahkan bahwa jika keluarga Abu Thalib makan bersama atau sendiri tanpa adanya Nabi, mereka tidak merasa kenyang. Namun jika Nabi makan bersama mereka, mereka merasa kenyang. Abu Thalib pun meyakini bahwa keponakannya itu membawa berkah.
Dalam riwayat lain dikisahkan, ketika Abu Thalib sedang berada di kota Dzulmajaz bersama Nabi, ia merasa sangat kehausan. Lantas ia mengadukan hal itu pada Nabi; “Wahai putra saudaraku, aku dahaga”. Mendengar itu, Nabi langsung menancapkan tumitnya ke tanah dan dari sana muncullah air. Abu Thalib pun bersuka cita dan langsung meminum air dari sana.
Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam  dan dalam banyak kitab sejarah yang lain, terdapat kisah rombongan Abu Thalib yang bertemu dengan seorang pendeta Nasrani. Cerita ini telah disepakati oleh banyak ulama mengenai kebenarannya dan dipercaya bahwa kisah berikut ini memang benar-benar terjadi.
Suatu hari, Abu Thalib pergi berdagang ke negeri Syam. Nabi kecil yang waktu itu baru berusia 9 tahun pun turut serta dalam rombongan.  Sesampainya mereka di kota Busra, mereka melewati sebuah gereja yang di dalamnya tinggal seorang Rahib Nasrani  yang saleh dan gemar menjamu rombongan kafilah dagang. Rombongan Paman Nabi pun salah satu yang dijamunya.
Tidak seperti saat menjamu rombongan yang lain, kali ini Sang Rahib melihat suatu hal yang tidak biasa dari rombongan dagang Abu Thalib, yakni segumpal awan yang selalu berjalan di atas rombongan kafilah tersebut.
Ketika rombongan tersebut dijamu oleh sang Rahib, Nabi ditinggalkan seorang diri di bawah pohon. Sang Rahib pun keheranan karena segumpal awan itu tak lagi tampak menaungi tamu-tamunya. Lantas dia bertanya; “Apakah ini sudah semua? Apakah tak ada lagi orang yang tertinggal di belakang?”
“Ya, tapi hanya seorang anak kecil”, jawab seorang anggota kafilah.
“Demi Tuhan, panggillah dia kemari wahai penduduk Quraisy. Jangan sampai ada seorang pun yang tertinggal untuk menikmati hidanganku”, kata sang Rahib.
Saat itu lah Rahib tersebut menyadari bahwa segumpal awan itu berjalan tidak menaungi semua anggota kabilah, melainkan hanya menaungi seorang bocah lelaki yang sempat tertinggal. Maka pendeta itu pun memperhatikan anak kecil dengan seksama.
Ketika jamuan itu bubar, sang Rahib memanggil bocah tersebut. Ia memperhatikan kening sang bocah dan memaksanya untuk menunjukkan punggungnya. Muhammad kecil pun menurut walau benaknya dipenuhi tanda tanya. Alangkah takjubnya sang Pendeta melihat tanda kenabian yang berbentuk seperti buah apel di antara kedua pundak bocah lelaki tampan tersebut. Ciri-ciri yang ada dalam diri anak kecil itu semuanya cocok dengan ciri-ciri munculnya Nabi akhir zaman seperti yang tertulis dalam kitab Injil yang diimaninya. Saking terharunya, sampai-sampai dia menciumi tanda tersebut. Tentu saja sang paman, Abu Thalib, merasa kuatir melihat bagaimana Rahib tersebut memperlakukan keponakannya.
Pendeta yang saleh itu kemudian berkata pada Abu Thalib; “Bawalah pulang kemenakanmu itu. Jangan sampai anak itu ditemukan orang Yahudia agar tidak dibunuh. Anak kecil itu kelak akan menjadi Nabi akhir zaman”. Mendengar perkataan Rahib yang ikhlas itu, pamanda Nabi langsung cepat-cepat pulang dan melindungi Nabi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Hingga di akhir hayatnya, Abu Thalib senantiasa melindungi Nabi bahkan hingga keponakannya itu untuk pertama kalinya menerima wahyu dari Allah.
Kisah di atas juga dikenal di kalangan kaum Nasrani. Sayangnya, kisah tersebut dijadikan dasar untuk menuduh Nabi Muhammad sebagai Pengarang Alquran. Nabi dituduh mendapat pelajaran tentang apa yang tertulis dalam Al Quran berdasarkan pertemuannya dengan seorang Rahib Nasrani di kota Busra.
Tentu saja tuduhan itu jelas tidak berdasar dan hanya berniat untuk menyerang kerasulan Nabi Muhammad. Mana mungkin akidah Tauhid yang diajarkan Rasulullah disamakan dengan ajaran Trinitas yang sudah jauh berbeda? Mana mungkin seorang Rahib Nasrani dapat menceritakan kejadian 40 tahun yang akan datang mengenai kemenangan Bangsa Romawi atas Persia yang sebelumnya pernah mengalahkan bagsa Romawi, seperti yang tercantum dalam Surat Ar Ruum?
“Bangsa Romawi telah dikalahkan. Di Negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan mendapat kemenangan. Dalam beberapa tahun lagi, bagi Allah lah urusan sebelum dan sesudahnya. Dan pada hari itu, bergembiralah orang-orang yang beriman” – Ar Ruum (2-4)
Ketika ayat itu diturunkan, bangsa Romawi yang kala itu beragama Nasrani dan memiliki Kitab Suci dikalahkan oleh bangsa Persia yang beragama Majusi dan menyembah berhala. Ketika tersiar kabar bahwa Romawi telah dikalahkan oleh Persia, kaum Musyrikin Mekkah bersuka cita karena mereka memihak bangsa Persia. Sebaliknya kaum Muslimin berduka cita karenanya. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat ini yang menerangkan bahwa beberapa waktu setelah kekalahannya, bangsa Romawi akan mendapatkan kemenangan. Dan benar saja, beberapa tahun kemudian, Raja Heraclius dari Romawi dapat merebut kembali daerah Byzantium yang direbut orang Persia. Kejadian ini terjadi pada tahun ke dua setelah Nabi berhijrah ke Madinah, sementara surat Ar Ruum adalah surat Makkiyah alias diturunkan di Mekkah.
So, bagaimana mungkin seorang Muhammad yang hidup di tanah Arab dapat mengetahui kabar kejadian di masa depan jika tidak diberitahu oleh sang Arsitek Kehidupan? Surat ini seakan menegaskan kenabian dan kerasulan Muhammad bin Abdullah yang memang benar-benar mendapat wahyu dari Allah dan bukannya didiktekan oleh seorang Rahib Nasrani bernama Buhaira yang pernah menjumpainya di kota Busra.
Namun lepas dari tuduhan tak berdasar yang menggunakan pertemuan Nabi kecil dan Rahib Nasrani di kota Busra, kisah tersebut menunjukkan bahwa kehadiran Muhammad bin Abdullah sebagai Nabi akhir zaman sebenarnya telah tertulis dalam Injil, hal yang seharusnya tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)