Minggu, 19 April 2015

[Cerpen] Angel's Trumpet

Senyum puas terukir di bibir lelaki itu ketika memandangi butiran kristal putih di dasar cawan porselen. Ia sudah memutuskan, butiran kristal itu akan bekerja malam ini.  
*
Beberapa sudut di Universitas itu memang masih terang walau malam mulai beranjak tua. Itu bukan pemandangan aneh. Hampir setiap hari, beberapa mahasiswa memilih tinggal di lab-lab Universitas untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir.
“Hffft...! Ini akan jadi malam yang panjang” keluh salah satu mahasiswa penghuni Laboratorium Kimia Organik seraya menguap. Matanya memindai deretan data-data penelitian pada selembar spreadsheet. Diraihnya mug berisi kopi pahit yang menjadi andalannya untuk melawan kantuk. Lantas seperti biasa, ia menghabiskan isinya dalam sekali tenggak.
Sejenak mahasiswa berparas tampan itu tertegun. Lidahnya merasa kopinya malam ini tidak biasa. Tapi ia tak sempat berpikir lebih jauh, karena tiba-tiba dia merasa seakan sebuah palu godam menghantam kepalanya. Dia pun ambruk dengan mata terbelalak dan pupil mata membesar.
“Ya Tuhan! Renooo....!!!” rekan-rekannya berteriak panik. Mahasiswa dari laboratorium lain mendengar teriakan itu dan berhamburan ke arah sumber kehebohan. Kejadian yang terlalu tiba-tiba itu membuat mereka hanya bisa berteriak panik, tak tahu apa yang harus dilakukan demi menolong Reno yang tengah meregang nyawa.
*
Empat hari yang lalu, lelaki itu sudah menggerus biji-biji bunga Angel’s Trumpet, dalam mortar porselen. Ia melarutkan hasil gerusan itu dengan methyl alcohol untuk mengekstrak senyawa atropine di dalam biji bunga berbentuk terompet yang banyak tumbuh di halaman Universitas.
Hari ini, sebagian besar atropine pasti telah larut dalam methyl alcohol. Lelaki itu kini tinggal menguapkannya untuk mendapatkan butiran kristal atropine yang tertinggal di dasar cawan. Hanya 50 miligram. Tidak banyak memang. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat seorang pria dewasa kehilangan nyawa.
Sebagai seseorang yang banyak menghabiskan waktu di Laboratorium Kimia Organik, mudah baginya untuk mengamati kebiasaan para mahasiswa di sana. Termasuk kebiasaan “si korban”.
Korbannya itu, seperti halnya mahasiswa lain, sudah menganggap lab-lab untuk penelitian tugas akhir sebagai rumah kedua. Itu sebabnya selama melakukan penelitian, mereka menginvetaris beberapa barang pribadi, semisal cangkir kopi atau sikat gigi. Semua di laboratorium itu tahu, cangkir milik calon korban adalah sebuah mug porselen putih bergambar sapi perah dengan tutup bergambar sama.
Sore itu, ketika lab sedang sepi, lelaki itu meletakkan 50 miligram kristal atropine di dasar mug. Ia tinggal berharap, malam ini “si korban” akan menggunakan mug itu untuk menyeduh kopi seperti biasa.
Sepanjang sore hingga malam, ia terus mengawasi mug tersebut dengan gelisah. Ia khawatir jika ada orang lain yang menggunakan mug itu tanpa sengaja. Ketika dilihatnya “si korban” mengambil mug, menuangkan bubuk kopi hitam dan air panas, barulah ia merasa lega. Selanjutnya ia sudah bisa menebak, korbannya akan mendiamkan cangkirnya selama beberapa menit lantas meminum habis isinya dalam sekali tenggak.
Ia memutuskan untuk meninggalkan laboratorium ketika dilihatnya “si korban” sudah mulai mengaduk kopi lantas meletakkannya di meja, menunggu suhu kopi agak dingin.
Lelaki itu sudah berada di dalam mobil ketika para mahasiswa seketika berhamburan keluar demi mendengar teriakan panik yang bersumber dari Laboratorium Kimia Organis. Ia menyeringai ketika beberapa mahasiswa meneriakkan nama korbannya. Reno. Rencananya berhasil. Racun itu tepat sasaran. Dengan perasaan puas, ia segera menyalakan mesin mobil dan memacunya membelah kegelapan malam.
*
Seminggu sebelumnya
“Jadi kamu benar-benar berhubungan dengan Bella, Ren?” tanya Robert serius.
Reno nyengir lebar. “Kalau iya, memangnya kenapa?”
“Gadis itu kan pendiam. Kutu buku pula. Beda sekali dengan tipe gadis-gadis yang selama ini kamu kencani. Lagipula penampilannya jauh dari standard minimal seleramu.” Robert mengangkat bahu.
Reno terbahak. “Biarpun begitu, dia anak owner perusahaan besar, Rob. Dekat dengannya akan mempermudah aku untuk mendapatkan posisi di perusahaan ayahnya” lanjut Reno dengan senyum culas.
“Sinting kamu, Ren...” sergah Robert sembari meninju lengan Reno. Tentu saja tinjunya tidak membuat Reno kesakitan melainkan membuatnya terbahak semakin keras.
Ketika itu keduanya tidak menyadari, jika sepasang telinga mendengar pembicaraan mereka.
Profesor Adrian menahan geram dengan tangan terkepal. Kurang ajar! Berani-beraninya dia mempermainkan Bella!” batinnya. Terbayang di matanya, sosok Bella, mahasiswa tingkat tiga yang kerap ditemuinya di Perpustakaan.
Bella memiliki rasa ingin tahu yang besar dan daya analisa yang luar biasa. Gadis berkacamata tebal itu sering bertanya berbagai hal padanya. Itu sebabnya, ia dan Bella kerap terlibat diskusi panjang.
Dengan semakin bertambahnya frekuensi pertemuan dengana Bella, Profesor termuda di Universitas itu merasa ada yang tidak biasa dengan perasaannya. Perasaan aneh itu belum pernah ia rasakan selama ini. Ia bahkan kerap membayangkan jari manisnya dan jari manis Bella mengenakan cincin yang sama. Tidak butuh waktu lama bagi Profesor yang menjadi kepala Laboratorium Kimia Organik itu untuk menyadari, bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya, ia jatuh cinta. 
Ini tidak bisa dibiarkan!” rahang Profesor Adrian mengeras.  
Profesor Adrian berjalan ke arah perpustakaan seraya berpikir keras. Sebuah rencana seketika muncul di kepalanya ketika melihat deretan bunga Angel’s Trumpet di pintu masuk perpustakaan. Tak banyak yang tahu jika seluruh bagian bunga putih berbentuk terompet itu mengandung atropine, racun yang bisa membahayakan nyawa manuasia hanya dengan dosis 16 miligram saja.
Ia menyeringai ketika teringat mug putih milik Reno yang selalu tertutup. Itu akan memudahkannya menempatkan racun di dalamnya tanpa disadari sang pemilik. Seringainya kian lebar ketika ingat kebiasaan Reno meminum kopi pahit. Itu akan sangat membantu menyamarkan rasa atropine yang agak pahit.
Sejenak ia ragu. Apa yang akan dia lakukan akan mengancam kehidupan dan nama baiknya. Namun bayangan wajah Bella seketika berkelebat dalam pikirannya dan tanpa ampun menepis segala keraguan. Seperti kuda pacu yang dicambuk sang joki, semangat membunuhnya terbit.
Profesor Adrian melangkah mantap mendekati salah satu pohon Angel’s Trumpet. Ya, tak lama lagi, bunga itu akan mengundang malaikat pencabut nyawa ke Laboratoriumnya.



-selesai-


Diikutkan dalam tantangan Kampus Fiksi #FiksiRacun.

Cerpen ini adalah cerpen dengan ide lama yang ditulis ulang, versi pertamanya juga ada di blog ini dengan judul yang sama.

Sabtu, 18 April 2015

Loyalty Is (Not) Bullshit


“Loyalitas tanpa batas”
Demikian bunyi status BBM seorang kawan di hari Minggu. Saya tahu, tidak seperti karyawan lain, kawan saya itu adalah salah satu yang kehadirannya di hari Minggu tidak dibayar alias tidak dihitung sebagai overtime.
Tapi kehadirannya di hari Minggu bukannya tanpa kompensasi. Ia tetap mendapat ganti libur di hari kerja lain.
Pertanyaannya, apakah jika ia tidak mendapat ganti libur di hari lain, masih bersedia kah dia datang di hari Minggu?
Jujur, saya sendiri tidak berani menjawab mau. Karena itu saya belum berani mengatakan diri saya loyal. Lha iya kan? Mana mau saya kerja gratisan? Ini perusahaan swasta, Bro. Bukan lembaga sosial. Kalau saya ngga dapet uang lembur, ya ganti dong hari libur saya.
Hal yang sama juga saya yakini terhadap para atasan saya yang rela datang di hari Minggu tanpa dibayar dan tanpa mendapat ganti libur. Pertanyaannya, jika mereka digaji dengan gaji yang sama dengan para Operator atau Foreman, apakah mereka tetap bersedia datang di hari libur tanpa mendapat kompensasi apa-apa?
Well, saya tidak yakin jawabannya “Bersedia”. Karena tiap bulan mereka sudah mendapat gaji dengan jumlah digit berderet-deret, wajar jika sesekali waktu mereka mau datang di hari Minggu. Sekedar memastikan anak buahnya bekerja sesuai program lantas pulang kapan saja mereka mau.
Loyalty is bullshit! Selama loyalitas itu masih berpamrih, itu cuman loyalitas palsu. That’s why, saya sempet mikir nggak ada orang yang bener-bener loyal, apalagi hanya loyal terhadap sebuah perusahaan. Tak ada. Baik di level middle seperti saya yang mendapatkan ganti libur, atau di level bawah yang mendapatkan uang overtime, atau di level atas yang gajinya berdigit-digit.
Tapi ternyata saya salah besar! Ternyata ada orang yang membuktikan bahwa loyalty (terhadap sebuah perusahaan) is not bullshit!
Segalanya dimulai dari sebuah berita di hari Sabtu pagi; “Hari Minggu besok, Mill produksi!”
What?!
Seharusnya dalam keadaan normal, ini adalah sebuah berita gembira, setidaknya untuk golongan Foreman dan Operator. Sebab, masuk di hari Minggu berarti 7 jam extra overtime fee. Tapi yang jadi masalah adalah; 4 dari 9 crew saya keesokan harinya akan mengikuti rekreasi (program perusahaan). Rekreasi yang sudah sejak berminggu-minggu sebelumnya direncanakan dan tak mungkin dibatalkan. Baiklah, saatnya mempermainkan bidak-bidak catur agar 5 orang yang tersisa bisa memback up produksi selama 24 jam.
Dead end!
Tak ada personel yang bisa mengisi kekosongan di shift pagi! Itu berarti, hanya tersisa saya seorang. Saya. Ya, saya, yang sangat merasa keberatan masuk di hari Minggu karena satu alasan; “I don’t know how to operate this Pelletizing!”. Well, seandainya bisa mengoperasikannya seorang diri, saya akan jadi orang nomor satu yang tunjuk tangan sebagai bentuk kesediaan masuk di hari Minggu. Tapi, saya baru masuk di Pelletizing selama kurang dari 3 bulan, itu pun kurang dari sepertiga jam kerja dalam sehari.
Jujur, saya memang hanya seorang stuntman, karena aktor intelektual yang seharusnya in charge di Pelletizing sedang ditugaskan di tempat lain. Tadinya saya ditugaskan di sana hanya sekedar untuk memback up administrasi, pengaturan SDM, dan lain-lain. Selama 3 bulan, saya memang banyak belajar, termasuk operasional Pelletizing. Tapi mana cukup 3 bulan untuk mempelajari operasional dan segala troubleshootnya? Plus, masih harus in charge di seksi di mana nama saya secara de facto tertulis dalam struktur organisasi; Mill Support. Itu sebabnya saya hanya menghabiskan waktu paling lama sepertiga dari waktu kerja di Pelletizing, sementara sisanya untuk Mill Support.
Sekedar informasi, Pelletizing memang bukanlah core business di perusahaan tempat saya bekerja. Tapi ibarat sistem pencernaan, dia adalah sistem ekskresi, pembuangan akhir. Sama dengan selera makan yang akan bermasalah jika ada masalah dengan sistem ekskresi (entah mencret atau konstipasi), Pelletizing memagang kunci akhir apakah produksi bisa jalan terus atau tidak. Dan kunci itu, selama 8 jam akan berada di tangan saya yang tidak bisa apa-apa.
Tentu saja atasan saya tahu itu, dan ia telah mengupayakan segala daya upaya agar selama 8 jam di pagi hari, saya tidak perlu melakukan apa-apa. Hanya memastikan semua mesin transfer byproduct dari Mill ke Silo (penampungan by product) berjalan dengan seharusnya. Sisanya, berdoa agar rencana untuk mengulur waktu operasional Pelletizing selama 8 jam bisa berhasil.
*
Hari Minggu itu, saya datang satu jam lebih awal. Tentu saja saya masih berjumpa dengan crew shift malam yang memandang saya dengan cemas ketika hendak pulang. Saya memaksa mereka agar segera pulang karena pukul 3 sore, mereka harus kembali ke pabrik untuk melanjutkan memegang kunci estafet.
Akhirnya saya seorang diri. Benar-benar seorang diri, dengan hanya ditemani deru lembut motor-motor bucket elevator dan chain conveyor .
Tiap jam, saya naik untuk memastikan segala sesuatunya masih berjalan sesuai rencana, termasuk mengecek kondisi silo.  
Pukul 9 pagi lebih sedikit, alangkah kagetnya saya ketika Foreman shift malam tiba-tiba nongol di ruangan saya.
“Kenapa belum pulang? Bapak kan harus kembali jam 3?”, tanya saya dengan panik.
“Saya tidur saja di belakang. Saya standby Bu. Jaga-jaga kalau ada apa-apa”
Puji Tuhan! Ternyata dia jawaban doa-doa saya sejak semalam, “Dear God, please don’t leave me alone”!
Tapi mengingat yang bersangkutan sudah sepuh, tak urung muncul ketidaktegaan juga. Setengah mati saya memaksanya pulang dengan memaparkan berbagai alasan. Mulai dari perhitungan aliran produk yang masih aman hingga jam 3 nanti, hingga ke kemungkinan terburuk, yakni membiarkan produksi down selama beberapa jam jika saya tidak berhasil melakukan start up Pelletizing.
Tapi intuisi sang Foreman yang sudah terasah puluhan tahun tak mungkin bisa mengalahkan segala data empiris seorang saya yang baru 3 bulan in charge di sana. Dia menolak pulang.
Saya menghela napas panjang melihat kekeraskepalaannya. Lantas saya ambil buku laporan yang ada di tangannya, membuka pintu kantor dan mempersilakannya keluar untuk segera mencari tempat istirahat yang layak agar bisa tidur nyenyak. Betapa tidak? Dia baru saja bekerja 8 jam penuh dari jam 11 malam hingga jam 7 pagi. Tugasnya seharusnya berlanjut pukul 3 sore hingga pukul 11 malam. Hari Senin keesokan harinyanya, dia harus masuk pukul 7 pagi dan pulang pukul 7 malam. Bagaimana mungkin saya tidak mengkhawatirkan kondisi fisik pria sepuh berbadan mungil ini?
Sepeninggalnya, saya kembali seorang diri dan mengerjakan hal yang sama seperti sebelumnya. Memastikan satu conveyor masih kosong yang berarti rencana kami masih berjalan baik.
Pukul setengah 12, tepat ketika jam makan siang, sang Foreman masuk ke ruangan saya dengan panik. “Saya akan start! Silo sudah penuh” ujarnya.
What?! Sejam yang lalu masih baik-baik saja, pikir saya. Tak ada yang bisa saya lakukan selain membiarkannya bergegas menuju ruang panel untuk mulai menjalankan mesin satu per satu. Tapi tiba-tiba saya teringat sesuatu.
“Tunggu, Pak!”, panggil saya. “Sudah absen belum?”
Dia menggeleng. “Kan hari ini harusnya masuk sore, Bu. Jadi absennya jam 3 nanti”
Astaga! Ternyata dia melakukan ini semua tanpa harapan kompensasi apapun. Setelah sempat bengong beberapa detik karena menyadari kenyataan yang di luar dugaan ini, saya langsung menyergah. “Tinggal dulu Pelletizingnya, Bapak absen aja dulu.”
“Memangnya tidak apa-apa, Bu?”
“Tidak apa-apa. Tolong sekalian panggil anak buah Bapak untuk membantu. Tadi dia bilang akan standby kalau dipanggil kapan saja,” pinta saya yang tiba-tiba teringat pesan salah satu crew shift malam sebelum pulang. Kebetulan juga rumahnya tidak jauh dari pabrik.
Foreman saya itu memasang wajah lega. Entah karena diijinkan absen sehingga kehadirannya siang ini di pabrik diperhitungkan atau karena diijinkan memanggil bala bantuan untuk menjalankan unit Pelletizing.
Setengah jam kemudian, lagi-lagi saya mendapat kejutan. Operator yang dipanggil sudah datang dan baru selesai berganti pakaian ketika saya datangi. “Sudah absen?”
Jawabannya sama dengan sang Foreman. “Belum. Kan belum jam 3, Bu”
O My, baru sekali ini saya bertemu operator yang dipanggil di luar jam kerja tanpa bertanya apakah dia mendapat kompensasi atau tidak. Langsung saja saya suruh dia untuk menunda pekerjaannya dan absen terlebih dahulu.
*
Nah, dari pengalaman bekerja dengan sang Foreman dan Operator Pelletizing ini, saya baru sadar. Ternyata loyalitas bukanlah omong kosong. Ada kok orang-orang yang bekerja (bukan untuk kegiatan sosial) namun menempatkan kepentingan pribadinya pada prioritas terendah. Bagi kedua crew Pelletizing itu, menjaga agar produksi tetap berjalan lancar adalah segalanya. Tidak peduli badan letih karena baru saja selesai shift malam dan harus kembali bekerja di shift sore, mereka tetap rela bekerja di shift pagi tanpa menuntut uang lembur.
Dan orang-orang yang memiliki keloyalan itu, bukan orang-orang di level saya atau level di atas saya. Melainkan mereka yang berada satu dua level di bawah saya, yang seharusnya mendapatkan kompensasi berupa uang lembur yang jumlahnya cukup menggiurkan.
Mereka lah, yang lebih pantas memasang status; “Loyalitas Tanpa Batas” J

 *
Tulisan ini didedikasikan untuk Bapak Supartono dan Mas Hasanuddin. Walau mungkin mereka tidak pernah membaca tulisan ini, tapi nyatanya mereka telah memberikan pelajaran berharga untuk saya tentang apa itu arti "Loyalitas pada pekerjaan".

Selasa, 14 April 2015

Aplikasi 5S Tidak Sesulit Membuat Roket

Kalau ada yang bilang menerapkan 5S di tempat kerja itu sulit, apalagi jika tempat kerjanya sudah terlanjur berantakan bin chaos tak karuan, saya berani bilang bahwa itu tidak benar. Soalnya saya sudah buktikan sendiri, bahwa 5S tidak sesulit membuat roket, walau memang tidak semudah membalik telapak tangan.
Nah, di postingan kali ini, untuk pertama kalinya sejak saya mengenal blogging, saya ingin sharing tentang hal-hal yang berbau pekerjaan, yakni langkah-langkah penerapan 5S yang sudah dan sedang kami terapkan di tempat kerja. 
Tujuan saya hanya satu, mematahkan pemahaman bahwa aplikasi 5S di tempat kerja itu sulit.
*
Saya bekerja di bogasari flour mills, sebuah pabrik penggiling gandum menjadi terigu yang berlokasi tepat di tepi pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Saya bertanggung jawab mengelola sebuah workshop yang bernaung di bawah Departemen Produksi, bernama Mill Support.
Akan memakan waktu yang lama dan panjang untuk menceritakan apa sesungguhnya yang saya kerjakan di Mill Support. Pokoknya dari namanya, sudah jelas tugas seksi kami adalah memberikan support untuk Mill (Penggilingan). Support apa? Apa saja selama kedua tangan dan kaki-kaki kecil kami sanggup mengerjakan. #halah. Oke bercanda. Kami punya jobdes (job description) kok. Tentu saja, jika datang pekerjaan yang di luar jobdes, kami berwenang untuk menolak.  Tapi seringnya, karena saking multi taskingnya para anggota tim Mill Support, yang ada kami lebih sering menerima job daripada menolaknya. Hihi...
Bengkel Mill Support berukuran kurang lebih 20 x 8 meter dengan 9 orang karyawan (termasuk saya). Saya membaginya menjadi 5 area, dengan mempertimbangkan jenis dan sifat pekerjaan;
1.       Area Outdoor (untuk pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan debu)
2.       Area Sewing (untuk pekerjaan dengan mesin jahit)
3.       Area Mesin Press (untuk pekerjaan pembuatan ayakan tepung)
4.       Area Pneumatic (untuk pekerjaan servis pneumatic Roll)
5.       Area Carpentry (untuk pekerjaan pertukangan).
Ups lupa, ada tambahan satu area lagi yakni Area Meeting (yang menjadi tempat saya menerima teman-teman, dan bahkan calon supplier, yang lagi pengen curhat, hehe).
Nah, sebelum saya cerita lebih jauh, mungkin ada pembaca yang belum mengerti apa itu 5S. Jadi kita tinggalkan sejenak workshop Mill Support untuk membahas selayang pandang tentang 5S.
5S sebenarnya berakar dari Jepang, dengan singkatan Seiri, Seiso, Seiton, Seiketsu, Shitsuke, merupakan metode pengorganisasian lokasi kerja. Tujuannya membuat area kerja menjadi lebih teratur, tidak berantakan, segala sesuatu mudah ditemukan dan membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Konon, dengan Metode 5S ini lah, Jepang yang di tahun 1945 menjadi negara yang mengalami kehancuran karena tragedi Hiroshima dan Nagasaki, kini bisa menjadi salah satu negara maju. Konsep 5S ini pertama kali digagas di Toyota.
Sesuai namanya, ada 5 langkah dalam 5S (atau ada juga yang menyebut 5R dalam versi bahasa Indonesia);
1.       Seiri/ Ringkas, adalah kegiatan pemilahan. Yakni menyimpan barang-barang yang diperlukan dan menyingkirkan sisanya.
2.       Seiton/Rapi, adalah kegiatan penataan material sehingga tempat kerja menjadi lebih rapi, material mudah ditemukan dan jumlah stok lebih terkontrol. Contoh aplikasi Seiton ini ada di film Big Hero Six, saat adegan Hiro berkunjung ke Lab di kampus Tadashi. Di sana, ada seorang tokoh bernama Wasabi yang begitu telitinya menata alat-alat kerjanya. Dia bahkan berkata; “There are place for everything and everything in its place” (ya sort of that lah, maap kalau salah).
3.       Seiso/ Resik, adalah kegiatan pembersihan. Yakni membersihkan lokasi kerja agar bebas dari kotoran, sampah, debu, sawang, ceceran oli, genangan air dan lain-lain.
4.       Seiketsu/Rawat, adalah sebuah usaha agar 3S yang sudah dijalankan sebelumnya senantiasa terjaga keistiqomahannya.  Jangan sampai, area kerja yang sudah dirapikan dan dibersihkan kembali berantakan.
5.       Shitsuke/Rajin adalah menjadikan 5S sebagai sebuah budaya.
Nah, kenapa sih 5S ini begitu penting untuk diterapkan di sebuah organisasi? Bahkan untuk organisasi kecil semacam sebuah rumah tangga? Coba deh, bayangkan sebuah toko alat tulis yang tidak terorganisir, dimana buku, bolpoin, penggaris, kertas krep bercampur baur. Apa akibatnya? Pembeli akan sulit menemukan barang yang dicari, beberapa item barang akan terakumulasi secara berlebihan dan beberapa lainnya akan stock out tanpa ketahuan. Dan yang sudah pasti, melihat segala sesuatu yang berantakan sudah pasti membuat mood jadi turun. Belum apa-apa, pembeli udah kabur duluan melihat penampilan toko yang acakadul. Jadi, sebenarnya kalau mau ditarik benang merah, 5S itu erat sekali kaitannya dengan duit! Masih nggak paham, saya kasih contoh lagi yah;
a.       Karena akumulasi barang yang berlebihan, sebuah perusahaan sampai harus membeli lemari atau kontainer baru atau bahkan menyewa gudang baru. Padahal, belum tentu barang-barang yang ada memang harus disimpan.
b.      Sebuah bengkel sepeda motor yang seharusnya bisa melayani pelanggan dalam waktu singkat membutuhkan waktu lebih lama karena alat kerja yang berantakan dan sulit ditemukan. Akibatnya, jumlah pelanggan pun berkurang.
c.       Sebuah perusahaan pengolah makanan ditinggalkan pelanggannya karena menganggap perusahaan tersebut tidak menerapkan program kebersihan sebagaimana mestinya.
Nah balik lagi ke Mill Support. Bangunan workshop Mill Support boleh dibilang punya kisah seperti Cinderella. #halah.
Dulu, sekitar tahun 2007 sampai sekitar awal 2011, bangunan workshop kami hanya berupa dinding-dinding kayu dan papan-papan bekas mengangkut mesin dari Swiss. Beberapa bagian yang bocor kami tambal dengan kardus. Duh, mirip banget kaya bangunan stren kali. Melas banget. Sungguh tak sepadan dengan bangunan-bangunan Mill di kanan kirinya yang berdiri megah. 



Gambar-gambar Kondisi Workshop Mill Support era Gubug Derita

Akhirnya, setelah merengek-rengek (bahasa alaynya negosiasi) pada atasan, akhirnya pembangunan workshop Mill Support dengan dinding permanen dimulai. Sekarang, Mill Support menjadi bangunan pertama di bogasari yang warna catnya boleh pilih sendiri (sehingga sempet bikin beberapa orang jadi iri, hihi). Saya pilih kombinasi warna peach dan orange untuk warna dinding workshop. Sebab konon, nuansa warna orange merangsang kreatifitas. 


Workshop Mill Support Sekarang

Pokoknya, bangunan seksi kami kini sudah jauh lebih cantik ketimbang beberapa tahun sebelumnya. Namun sayang, kecantikan bangunan Mill Support tidak diikuti dengan keelokan pengorganisasian alat-alat di dalamnya.
Saya masih sering mendapati alat-alat kerja yang berserakan, kain-kain majun berklimbrukan dan sering juga ditegur atasan karena rak-rak yang berdebu dan ditumbuhi sawang. Bahkan atasan dari atasan saya kerap menyindir; “Kapan Mill Support mau dijadikan percontohan untuk 5S?”
Oh my dear Sir, tidakkah kau lihat anak buahmu ini banyak pekerjaan? Begitu sering saya menjawab dalam hati. Mana sempet saya menata workshop kalau tiap hari dihajar pekerjaan tiada henti?. Namun akhirnya saya sadar, pekerjaan di Mill Support tidak akan pernah ada habisnya dan 5S tidak akan pernah teraplikasikan jika saya tidak memulai melakukan sesuatu. Maka dari situ lah, saya bulatkan tekad untuk mulai ber-5S, tak peduli saat itu pekerjaan saya luar biasa bejibun.
Nah, saat-saat bersejarah itu dimulai di hari Senin. Kira-kira Senin sebulan yang lalu. Itu adalah hari Senin yang sudah saya niatkan untuk menjadi titik balik Mill Support dalam hal 5S. Sialnya, Senin itu tim Mill Support hanya berlima termasuk saya L Tapi saya sudah meniatkan itu jauh-jauh hari sehingga saya tidak mau mundur. So, dengan tekad membara, saya mulai menerapkan sebuah siklus; Motret-Briefing-Evaluasi.
Detailnya adalah begindang;
1.       Di hari pertama, saya pilih satu sudut workshop yang ingin saya benahi. Sebab kalau tidak begitu, jujur saya bingung harus mulai berbenah dari mana karena hampir seluruh sudut workshop dalam keadaan berantakan (termasuk meja kerja saya). Sebagai permulaan, satu sisi di Area Carpentry menjadi sasaran.
2.       Saat briefing pagi (berdoa dan briefing memang sudah secara rutin kami lakukan tiap pagi), saya intruksikan pada tim Carpentry untuk tidak menerima job order apa pun hari itu. Kecuali order yang sangat urgent. Saya minta mereka untuk memilah barang-barang di workshop, menyimpan yang masih dipakai dan membuang sisanya. Tentu saja saya juga menjelaskan kriteria barang seperti apa yang boleh disimpan dan tidak. Saya menggunakan foto-foto yang saya ambil untuk menjelaskan rencana saya.
3.       Di hari pertama itu, saya sendiri melakukan pemilahan dokumen di Ruang Meeting. Hasilnya, lebih dari 3 kardus besar akhirnya berakhir di TPS ^-^ (Oh my God, ternyata selama ini saya hidup berdampingan dengan sampah).
4.       Hari berikutnya, saya mengevaluasi hasil pekerjaan kemarin. Lumayan, tempat penyimpanan terlihat lebih lega. Tapi alat-alat kerja, mur, baut, paku dan kawan-kawan masih campur baur. Lagi-lagi saya mengambil foto. Kali ini saya juga membuka seluruh lemari dan laci kerja.
5.       Saat briefing, saya menggunakan foto-foto itu untuk meminta mereka melakukan penataan alat-alat kerja. Saya terangkan di mana peralatan harus diletakkan dan meminta mereka memasang label pada tiap laci dan memberi tanda untuk penempatan alat kerja.
6.       Secara bersamaan, hari itu saya melanjutkan melakukan pemilahan dan penataan ruang meeting. Kali ini sasaran saya adalah lemari peralatan dan spare part. Hasilnya, lagi-lagi berkardus-kardus sampah berakhir dengan manis di TPS.
7.       Begitulah saya mengawali hari selama 2 minggu berikutnya. Pagi-pagi sebelum briefing, saya memotret. Lantas menerangkan rencana saya saat briefing. Memberi kesempatan pada tim untuk mengeksekusi tanpa membebani mereka dengan pekerjaan rutin. Setelah selesai di bagian Carpentry, pekerjaan itu terus merambat ke arah Area Pneumatic, Mesin Press, Sewing hingga ke Outdoor.
Di hari pertama minggu ketiga, saya merasa sudah cukup puas dengan kegiatan Pemilahan dan Penataan. Tibalah saatnya melakukan Seiso, kegiatan pembersihan ekstrim!
Kami melipatgandakan jumlah anggota tim untuk melakukan Seiso (Pembersihan). Kegiatan pembersihan yang biasanya dilakukan tiap hari Senin oleh 2 orang itu saya tambah menjadi 4 orang. Demi kegiatan pembersihan yang ekstrim, besar-besaran dan paripurna, saya tunda satu agenda yang sudah menjadi kegiatan rutin kami tiap Senin; distribusi ayakan ke semua Mill.
Hasilnya memuaskan!
Setidaknya beberapa orang yang bertandang ke Mill Support sempat berkomentar; “Kok sekarang Mill Support jadi beda ya?”. Saya sendiri sempat merasa agak surprise ketika sekitar minggu ketiga saya datang ke workshop. Saya merasa ruangan kami terasa begitu lega, begitu terang, begitu luas. 
Berikut ini dokumentasi kegiatan Seiri, Seiton dan Seiso di Mill Support

Area penempatan plat, acrylic dan teflon sheet



Area Carpentry

Lemari Alat

Oke, tapi kami masih belum boleh berpuas diri. Masih ada S yang ke-4 dan ke-5. Dua S yang terakhir ini menjamin agar lokasi kerja kami tidak kembali amburadul, sekaligus membangun sebuah habit baru yang lebih baik dalam memperlakukan tempat kerja menjadi rumah kedua bagi para karyawannya.
Jadi, demi menjaga konsistensi Seiri, Seiton dan Seiso, setiap hari saya datang lebih pagi. Dengan bekal kamera hape, saya menginspeksi tiap sudut dan area kerja, lantas mengambil foto jika diperlukan. Ketika briefing, setelah Foreman selesai membagi jobdes, giliran saya yang bicara. Selain tambahan-tambahan detil tentang pekerjaan, saya juga menambahkan poin-poin terkait kegiatan 5S. Yang paling sering adalah membicarakan finding dari inspeksi pagi yang saya lakukan di hari itu.
Agak geli kalau melihat ekspresi anggota tim ketika saya mulai membuka HP. Sebab, foto yang akan saya tunjukkan secara tidak langsung akan menunjukkan personel yang bertanggung jawab terhadap area kerja yang menurut saya tidak benar. Misalnya; peralatan kerja yang tidak dikembalikan ke tempatnya atau jika masih ada sampah yang tidak masuk di tempat sampah.
Awalnya, setiap hari pasti saya masih menemukan sesuatu. Kaleng thinner yang masih di atas meja, celemek yang diselipkan di rak kawat, kain majun di bawah kursi, slang air bergelantungan di wastafel, sapu laba-laba yang disandarkan di dinding, kabel-kabel jigsaw dan gerinda bergelantungan, tempat alat yang tidak sesuai penempatannya, seal-seal bekas di lantai, mesin gerinda yang berdebu tebal, bahkan lap bekas oli di tempat spon cuci gelas milik saya! #hadeeeh. 
Tapi belakangan ini, jujur saya mulai kesulitan mendapatkan temuan. Mungkin karena anggota tim tidak ingin "dipermalukan” saat briefing karena lokasi kerjanya berantakan. 
Sejalan dengan bergulirnya waktu, temuan pagi saya kian "ngaco". Saya mulai mempermasalahkan hal-hal kecil yang dulu dengan mudah saya tolerir. Misalnya; prosedur mencuci tangan yang salah, yakni dengan mencipratkan air bekas cuci tangan di lantai, atau juga habit mengaduk kopi dengan plastik sachet yang digulung kemudian dibuang begitu saja ke tempat sampah sehingga menyebabkan tutup tempat sampah di dekat meja kerja saya bernoda. #duh
Setelah kurang lebih sebulan berlalu sejak hari Senin yang menjadi turning point itu, saya belajar beberapa hal terkait penerapan 5S;
1.       Bahwa 5S tidak akan pernah bisa dijalankan jika tidak ada komitmen dari pimpinan.
2.       Bahwa 5S memang tidak bisa dijalankan seorang diri.
3.       Bahwa 5S memerlukan konsistensi pimpinan untuk menjaga budaya kerja yang baik.
Jika satu saja dari ketiganya tidak ada, maka 5S hanya akan menjadi sebuah kegiatan yang hangat-hangat pisang goreng, hanya ramai jika akan kedatangan tamu atau auditor saja, hanya akan menjadi materi in class training yang menguap begitu kelas usai, hanya menjadi sebuah teori belaka.
Sekarang, setelah 5S mulai teraplikasi di Mill Support, saya merasa jauh lebih berbahagia dibanding sebelumnya. Dan semoga demikian juga yang dirasakan anggota tim Mill Support yang lainnya J

Because we never rest, for 5S!
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)