Jika ada yang menyamai badai amuk
yang menggelora dalam dada Ni Luh Abhilasha saat ini, mungkin itu adalah amarah
yang dirasakan Kala Rau ketika mendapat hukuman dari Dewa Wisnu.
Abhilasha sadar dia tidak
sepenuhnya benar. Dia tahu ia telah melakukan sebuah kesalahan. Tapi
kesalahannya itu terlalu kecil dibanding hukuman yang kini harus diterimanya. Sama
dengan Kala Rau, yang harus menanggung konsekuensi berat karena ingin mencicipi
tirta amerta.
Tragedi yang dialami Kala Rau
itu bermula saat Dewa Wisnu tengah membagi-bagikan Tirta Amerta bagi para dewa.
Nyaris tak ada seorang pun mengetahui bahwa di antara barisan dewa-dewa yang
menunggu pembagian Tirta Amerta adalah Kala Rau yang menyamar. Sialnya, ada
seseorang yang menyadari hal itu. Dia lah Dewi Ratih, yang langsung mengadu
pada Dewa Wisnu. Akibatnya, Kala Rau harus menerima konsekuensi yang sangat
berat. Cakram Dewa Wisnu memenggal lehernya tepat ketika Tirta Amerta sempat mengaliri
tenggorokannya. Tubuh bagian bawah Kala Rau pun mati, namun kepalanya tetap
hidup dan terus melayang-layang di angkasa.
Alangkah kesalnya Kala Rau. Ia
tak mengerti mengapa para dewa itu bisa begitu arogan dan merasa mereka lebih
mulia ketimbang golongan raksasa seperti dirinya.
Apakah para dewa itu sudah lupa
dari mana asal tirta amerta? Apakah mereka lupa bahwa berkat bantuan para raksasa,
tirta amerta beserta harta karun yang bersemayam dalam lautan susu di
Sangkadwipa akhirnya muncul di permukaan? Apakah mereka tidak ingat ketika
mereka bekerja sama memindahkan Gunung Mandara dan mengikatnya pada tubuh Naga
Besuki demi mengaduk lautan susu? Apakah mereka lupa bahwa harta karun yang ada
dalam perut lautan juga telah mereka kuasai tanpa sedikit pun menyisakannya
untuk para raksasa? Kini, setelah tirta amerta berhasil mereka dapatkan,
mengapa hanya para dewa yang boleh menikmati air keabadian tersebut? Apakah karena
para dewa memiliki derajat yang lebih tinggi, yang membuat para raksasa seperti
Kala Rau tidak boleh menikmati segala keistimewaan yang dimiliki para dewa?
Ketidakmengertian Kala Rau itu
sama dengan yang dialami Ni Luh Abhilasha saat ini. Apakah karena terlahir di
tingkatan kasta yang berbeda, maka ia tidak boleh sedikit saja merasakan
kesenangan seperti yang dirasakan oleh Gusti Amita?
Abhilasha sering bertanya-tanya
dalam hati, sekalipun segala kemewahan yang ada di sekitarnya ini bukanlah
haknya, apakah ia tidak boleh mencicipi sedikit saja? Bukankah ia dan Gusti
Amita sama-sama perempuan Bali yang hidup jauh dari kampung halaman? Apakah Gusti
Amita yang dipersunting pengusaha kaya ibukota membuatnya menjadi lebih mulia
ketimbang Abhilasha yang terpaksa menerima pinangan lelaki yang dahulu pernah berusaha
memperkosanya di tepian Danau Kintamani?
Dulu, ketika hendak dinikahkan
dengan lelaki itu, Abhilasha sudah berusaha meyakinkan orang tuanya bahwa lelaki
itu bukan lelaki yang baik. “Dia laki-laki bajingan yang hendak memperkosaku!”
serunya dengan bulir air mata yang terus menganak sungai di pipinya.
Tapi mana ada yang percaya
padanya? Demikian juga dengan orang tuanya. Mana mungkin anak lelaki pemilik
kebun jeruk paling luas di desa mereka itu hendak memperkosa anak buruh tani
miskin seperti Abhilasha? Alih-alih melindungi putri mereka, kedua orang tua Abhilasha
malah memarahinya karena merasa Abhilasha telah menggoda anak lelaki orang. Tak
ada satu pun yang percaya bahwa sekalipun lelaki itu rajin pergi ke Pura,
sesungguhnya ia tidak sesaleh penampilannya. Sayangnya, ketika kata-kata
Abhilasha terbukti benar, semuanya sudah terlambat.
Setelah keduanya menikah, lelaki
itu ternyata kerap menyiksanya dan lantas pergi entah kemana, meninggalkan
Abhilasha yang tengah hamil muda.
Demi para dewa di nirwana,
wanita mana yang sudi melahirkan bayi tanpa suami? Apalagi anak itu adalah anak
dari lelaki yang dibencinya setengah mati. Sungguh, Abhilasa tidak sudi. Maka
dari itu, segala jenis ramuan dan jamu dia tenggak, berharap Dewa Brahma
mengambil kembali bayi dalam rahimnya. Tapi rupanya Dewa Brahma berkehendak
lain. Bayi itu lahir dengan satu daun telinga yang tak sempurna.
Namun bayi itu dikaruniai mata
cantik yang bersinar laksana kejora di langit malam, membuat Abhilasha yang
remuk raga dan hatinya tidak bisa tidak jatuh hati pada bayi yang dulu hendak
dibuangnya itu. Ia memberinya nama Luh Putu Dewi Swastika.
Abhilasha baru saja bertekad
untuk membuka lembaran baru dengan berjuang menjadi ibu yang baik bagi
Swastika, ketika lagi-lagi orang tuanya berniat menikahkannya lagi dengan pria
lain.
Trauma. Kesengsaraan yang
dialaminya di pernikahan sebelumnya menorehkan bekas luka yang tak pernah
tersembuhkan. Abhilasha yang tak mampu menolak kehendak orang tuanya memilih
melarikan diri dengan sebelumnya meletakkan Swastika yang masih berusia
beberapa bulan di depan pintu panti Asuhan. Ia berjanji dalam hati, kelak jika
mempunyai bekal yang cukup untuk hidup mandiri, ia akan kembali untuk menjemput
Swastika.
Tahun-tahun berlalu. Kehidupan
yang penuh cahaya terang tak pernah mendekati Abhilasha. Setelah berganti-ganti
pekerjaan, mulai dari berdagang jeruk Bali sampai menjadi tukang pijat di
Legian, perempuan yang kecantikannya mulai memudar tergerus kejamnya hidup itu
kini terdampar di ibukota. Di sebuah rumah mewah di bilangan Kelapa Gading. Di
rumah milik seorang pengusaha mebel dan ukir-ukiran khas Bali itu lah, untuk
pertama kalinya Abhilasha berjumpa dengan Gusti Amita, sang nyonya rumah.
Dulu Abhilasha berpikir, dengan
bekerja di rumah orang yang dimiliki orang yang sekampung dengannya, ia akan
mendapat perlakuan lebih baik. Nyatanya tidak begitu. Bagi Gusti Amita,
Abhilasha tetaplah seorang babu.
*
Alangkah beruntungnya perempuan
itu, batin Abhilasha tiap kali melihat nyonya rumahnya yang setiap hari selalu
berpenampilan layaknya artis-artis sinetron yang kerap ia lihat di televisi. Ia
tahu, jika ditotal, benda-benda yang dikenakan Gusti Amita bisa bernilai
puluhan juta rupiah. Sungguh jauh berbeda dengan dirinya yang hanya mengenakan
pakaian seadanya yang sudah tidak jelas warna aslinya.
Abhilasha juga selalu iri
melihat bagaimana mesranya hubungan Gusti Amita dan suaminya. Sungguh,
Abhilasha juga seorang perempuan. Ia juga ingin ditatap dengan pandangan penuh
cinta oleh lelaki yang juga menghujaninya dengan kemewahan, layaknya suami
Amita yang selalu menggamit mesra lengan istrinya setelah mereka makan malam.
Di kamarnya yang lembab dan
sempit, Abhilasha kerap membayangkan apa yang keduanya lakukan di kamar mereka
yang luas dan berpendingin udara setelah makan malam. Gusti Amita pastilah
mendapatkan sentuhan penuh cinta dan kenikmatan tiada tara dari suaminya yang
tampan dan gagah.
Sungguh, Abhilasha juga
menginginkan itu. Ia juga perempuan biasa yang seumur hidup tidak pernah
merasakan sentuhan lelaki yang memandangnya dengan pandangan seolah ia adalah
seorang Dewi. Yang ada, adalah sentuhan beringas mantan suaminya yang hanya
sekedar menitipkan benih di rahimnya lantas pergi. Atau sentuhan lelaki-lelaki
nakal di pasar yang meremas payudaranya ketika ia berjualan jeruk Bali. Atau
tindihan lelaki-lelaki di panti pijat yang disertai dengan hembusan napas
serupa banteng jantan yang tengah birahi.
Abhilasha tak mengerti, mengapa
nasib manusia bisa sedemikian berbeda? Bukankah ia dan Gusti Amita diciptakan
oleh Tuhan yang sama? Bukankah ia dan Gusti Amita sama-sama pergi ke Pura untuk
menyembah Tuhan yang sama?
Apakah ia telah berbuat dosa
yang membuat murka para Dewa? Ataukah ia terkena karma akibat dosa yang telah
diperbuat oleh leluhurnya? Atau apakah memang ia telah ditakdirkan menjadi manusia
yang tak pernah bergelimang cahaya seperti yang dirasakan Gusti Amita?
Ah, betapa bahagianya menjadi
perempuan yang memiliki segalanya seperti Gusti Amita. Perempuan itu cantik,
bahkan tanpa pulasan make up dan benda-benda mahal yang menempel di tubuhnya.
Perempuan itu hidup enak, bermandikan kemewahan dan tak pernah merasakan panas
dan bersimbah keringat karena bekerja keras sepanjang hari seperti Abhilasha. Perempuan
itu bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan dengan mudah, tidak seperti
Abhilasha yang harus banting tulang sepanjang hari demi kehidupan yang lebih
baik dan modal untuk membawa kembali Swastika ke pelukannya.
Begitu teringat Swastika,
lagi-lagi hati Abhilasha didera rasa iri. Tidak seperti dirinya yang harus rela
berjauhan dengan putri kecilnya, alangkah beruntungnya Gusti Amita bisa
berdekatan sepanjang hari dengan gadis kecilnya yang juga bermata serupa kejora
di langit malam, Salila.
Perempuan mana yang tidak ingin
menjadi Gusti Amita? Abhilasha pun ingin. Tapi ia tahu diri. Di rumah ini, ia
tak lebih dari seorang babu. Maka dari itu ia, selama ini tak berani menyentuh
barang-barang milik Gusti Amita, sekalipun ia ingin sekali mencoba mengenakan
lingerie seksi seperti yang dijemurnya pagi ini, sembari membayangkan bagaimana
jika ia mengenakannya di hadapan lelaki yang memandangnya seperti memandang
seorang bidadari. Abhilasha juga setengah mati menahan diri untuk tidak mencoba
mengenakan kebaya mahal yang semalam baru saja dipakai Gusti Amita ke resepsi
pernikahan. Ia hanya bisa mengaguminya sejenak, sebelum dengan hati-hati
melipatnya dan memasukkannya ke dalam plastik untuk di-dry clean di laundry.
Tapi hari ini, ia ingin sekali,
mencicipi kebahagiaan yang dimiliki Gusti Amita. Walaupun sudah mewanti-wanti
dirinya agar tidak melakukan itu. Bukan, Abhilasha tidak ingin macam-macam. Ia
toh tidak menginginkan perhiasan bertatahkan batu-batu mulia yang membuat
kecantikan Gusti Amita kian bersinar. Ia juga tidak menginginkan memakai
pakaian bagus dan make up mahal milik Gusti Amita.
Ayolah,
tidak apa-apa. Ini hanya beberapa tetes minyak wangi. Abhilasha
tidak bisa melawan dorongan dari dalam dirinya untuk meraih botol eau de perfume di atas meja rias sang
nyonya rumah. Botol kristal berbentuk bulat berisi minyak wangi beraroma melati
dan jeruk itu membuat Abhilasha ingin mencoba menyeprotkannya ke tubuhnya
sendiri, berharap aroma tubuhnya yang didominasi aroma keringat, detergent dan
obat pel desinfektan itu menjadi lebih mendingan.
Abhilasha menggenggam botol
kristal itu dengan tangan gemetaran. Seumur hidupnya, itu lah benda termahal
yang pernah dipegangnya. Dengan ragu tapi penuh rasa ingin tahu, dicobanya
menyemprotkan minyak wangi itu di balik telinganya, seperti yang sering ia
lihat di televisi. Seumur-umur, Abhilasha tidak pernah menyemprotkan minyak
wangi. Tawas murahan yang dibelinya di toko kelontong adalah satu-satunya
andalannya untuk mencegah bau badan. Bedak talk saja ia tidak pernah
menggunakan, apalagi minyak wangi mahal yang hanya bisa diperoleh di luar
negeri.
Kemudian ia juga menyemprotkan
satu semprotan lagi di bawah telapak tangannya dan menggosokkannya dengan bawah
telapak tangan yang satunya. Dihirupnya dalam-dalam lembutnya melati bercampur
segarnya citrus.
Untuk sesaat, aroma itu seolah
menghipnotisnya. Untuk sesaat, ia merasa bukan menjadi Abilasha yang seorang
babu. Ia perempuan gedongan yang bergelimang perhiasan dan kemewahan.
Khayalannya itu membuat
Abilasha tak sadar bahwa Gusti Amita sudah berdiri di depan pintu. Memandangnya
dengan tatapan jijik.
“Berani-beraninya kamu
menyentuh barang-barang saya!” bentak Gusti Amita, membuat Abhilasha terkesiap
dan tak sadar menjatuhkan botol minyak wangi yang harganya bisa dipakai untuk
membeli beras selama setahun.
Pyar! Seluruh isi botol kristal
itu berhamburan dan menguarkan aroma pewangi ke seluruh penjuru kamar. Bau yang
harum itu membuat perut Abhilasha mual. Bukan karena harumnya terlalu tajam
mencucuk hidungnya, namun karena bau itu seolah menghipnotis Gusti Amita
menjadi seperti seorang raksasa yang murka. Abhilasha tak kuasa memandang Gusti
Amita yang memandangnya dengan ekspresi seperti raksasa yang hendak menelannya
bulat-bulat.
Sang nyonya rumah murka luar
biasa. Bukan karena ia harus merelakan minyak wanginya pecah berantakan. Bukan
itu, karena toh dia bisa mendapatkan berbotol-botol minyak wangi yang sama
hanya dengan menggesekkan kartu plastik di pusat perbelanjaan. Yang membuat Gusti
Amita meradang adalah karena ia tidak rela kehormatannya sebagai nyonya rumah
ternoda oleh ulah pembantunya. Sebab nyonya rumah mana yang rela jika penampilannya
disamai oleh si pembantu rumah tangga?
“Kamu harus ganti itu. Sebagai
hukuman, gaji kamu tiga bulan lalu tidak akan saya bayar dan tiga bulan ke
depan, kamu tidak dibayar!” bentak Gusti Amita lagi, membuat tubuh Abhilasha
yang tadinya gemetar ketakutan luruh ke lantai seolah kehilangan tulang-tulang
penyangga tubuh. Ketakutannya berubah menjadi kesedihan. Dan kesedihannya
perlahan menjadi amarah.
Alangkah teganya Nyonya Gusti
Amita. Alangkah tidak adilnya para Dewa.
Mendadak Abhilasha merasa ia
seperti kisah Kala Rau yang harus merelakan tubuh dan kepalanya terpisah karena
terkena cakra Dewa Wisnu. Hanya karena ia ingin mencicipi Tirta Amerta, Kala
Rau harus mendapat murka Dewa Wisnu. Sungguh tak sebanding.
Menurut cerita yang didengar
Abhilasha saat masih kanak-kanak, sebagai bentuk balas dendam, Kala Rau tak
henti-hentinya mengejar Dewi Ratih, Dewi yang ia anggap sebagai biang keladi
terpisahnya tubuh dan kepalanya. Ketika Dewi Ratih sang dewi bulan itu
tertangkap, Kala Rau segera menelannya bulat-bulat. Walau Dewi Ratih selalu
dapat meloloskan diri karena perut dan kepala Kala Rau yang sudah terpisah,
namun momen saat Kala Rau menelan Dewi Ratih itu dipercaya sebagai penyebab
terjadinya gerhana bulan.
Kini Abhilasha paham, mengapa
Kala Rau sedemikian murka, sebab ia pun saat ini merasakan hal yang sama. Hukuman
yang ia terima sama sekali tak sebanding dengan kesalahan yang ia lakukan. Padahal
ia tadi hanya ingin mencoba setetes dua tetes minyak wangi. Hanya itu. Tidak
lebih. Sungguh kelakuannya tadi seharusnya tidak membuat nyonya rumahnya
merugi. Hanya setetes dua tetes minyak wangi, apakah itu artinya dibanding
dengan tumpukan berlian yang ada dalam lemari besi yang selalu terkunci? Ah, seandainya
Gusti Amita tidak tiba-tiba muncul dan mengagetkannya, pastilah botol minyak
wangi itu masih utuh hingga kini.
Abhilasha tak bisa mencegah
dendam yang mulai membara di hatinya. Ia tak terima diperlakukan seperti itu
dan untuk itu, Gusti Amita harus mendapat balasannya.
Gusti Amita harus merasakan
seperti apa rasanya gerhana. Dia harus tahu bagaimana rasanya jika cahaya yang
di sekitarnya diambil secara paksa. Dan Abhilasha tahu, salah satu cahaya yang
dimiliki Gusti Amita adalah Salila, gadis kecil bermata laksana kejora yang
bersinar di langit malam.
Abhilasha bukannya membenci
Salila. Ia pun sangat menyayangi gadis kecil itu, karena gadis itu
mengingatkannya akan Swastika. Namun hari ini amarahnya sungguh tak terkendali.
Ia tahu, ia terlalu lemah untuk melawan Gusti Amita. Dan satu-satu cara untuk
menyakiti nyonya rumahnya itu adalah melalui orang-orang yang dicintainya.
Salila salah satunya.
Malam itu, ketika membuatkan
segelas susu untuk Salila, Abhilasha membubuhkan racun ke dalamnya. Ia tak
perlu menunggu terlalu lama ketika Salila roboh dan kejang-kejang dengan mulut
berbusa. Senyum puas tersungging di bibirnya.
Ia mungkin tak akan bisa lepas
dari kecurigaan jika ketahuan bahwa kejadian yang menimpa Salila adalah akibat
racun. Tapi setidaknya ia sudah puas, karena apa yang menimpa Salila hari ini
sudah pasti akan merenggut cahaya yang dimiliki Gusti Amita.
Lagi-lagi, Abhilasha dapat
merasakan kepuasan yang dirasakan Kala Rau ketika berhasil menelan Dewi Ratih.
Ketika Salila roboh, rambutnya
tersingkap dan Abhilasha bisa melihat jelas telinga dan tengkuk Salila yang
selama ini tertutup rambut. Ia melihat
sesuatu yang sukar dipercaya. Senyum puas di wajahnya menghilang, berganti
cemas dan pias.
Salila yang cantik dan bermata
jernih seperti bintang kejora itu ternyata memiliki daun telinga yang sama tak sempurnanya
dengan daun telinga bayi kecilnya dulu. Tapi bukan hanya itu yang membuat
Abhilasha tertegun. Salila juga mempunyai tanda lahir dengan bentuk yang unik tepat
di tengah tengkuknya. Ya, Abhilasha tak mungkin salah, itu tanda lahir dengan
bentuk dan posisi yang sama dengan yang dimiliki bayi perempuannya. Tanda lahir
berbentuk swastika dan membuat Abhilasha memilih nama simbol itu untuk menamai
bayi mungil yang dulu ia letakkan di panti asuhan.
-selesai-