Rabu, 20 Maret 2013

Titel Ibu, Perlukah?


“Saya tidak bekerja, hanya ibu rumah tangga biasa”
“Enak ya jadi ibu rumah tangga, bisa dekat sama anak terus”
“Kasihan ya anak-anak itu, ibunya kerja sih, jadi cuma dijaga pembantu aja”
“Wah, sudah sekolah tinggi-tinggi kok cuma jadi ibu rumah tangga
“Kalau ibunya kerja ya gitu itu, anaknya jadi ngga keurus”

Jika ada ibu-ibu yang merasa hebat karena mereka menjadi ibu bekerja, itu salah besar. Tapi jika ada ibu-ibu yang merasa paling hebat karena mereka memilih menjadi ibu rumah tangga, itu juga sama salahnya.
Semua ibu itu hebat. Catat, semua ibu, titik. Ibu, tidak perlu embel-embel “bekerja” atau “rumah tangga” untuk membuatnya menjadi hebat.
Seorang ibu rumah tangga, yang semenjak matahari belum muncul sudah bangun. Membereskan ini, menyiapkan itu, mengurus ini, membersihkan itu. Seorang ibu rumah tangga akan terus bekerja hingga anak-anak bangun, hingga mereka berangkat sekolah, hingga mereka pulang, hingga mereka berangkat les, hingga mereka pulang les, bahkan hingga mereka tidur. Pekerjaan seorang Ibu rumah tangga tidak akan pernah ada habisnya. It’s 24/7.
Lantas, bagaimana dengan golongan ibu bekerja? Apakah mereka tidak bangun di pagi buta? Apakah mereka lantas tidur sore-sore karena lelah seharian bekerja di kantor? Apakah mereka lantas sepenuhnya menyerahkan semua urusan rumah tangga pada sang asisten rumah tangga? Mungkin saja ada yang demikian, tapi yang tidak pun juga tidak kalah banyak. Sebab tidak semua ibu bekerja didampingi seorang asisten rumah tangga.
Banyak dari ibu bekerja yang juga bangun di pagi buta. Sebagian dari mereka terburu-buru ke pasar dan memasak untuk sarapan. Sebagian lagi masih menyempatkan diri untuk beres-beres rumah atau mencuci pakaian. Sepulang kerja pun, banyak dari mereka yang masih menyempatkan diri menemani anak-anaknya belajar. Dan setelah anak-anak berangkat tidur, mereka juga masih menyempatkan diri untuk setidaknya mencuci piring atau menata pakaian di lemari.
Bagi ibu bekerja pun tidak ada hari Minggu atau tanggal merah. Karena di hari-hari itulah kesempatan untuk membersihkan rumah secara paripurna, atau membuat kue atau membuat masakan istimewa untuk orang-orang tercintanya. Pada akhirnya sama saja, seorang ibu bekerja pun memiliki jam kerja yang 24/7.
Jika ada seorang Ibu bekerja yang hanya mementingkan karir dan tidak menghiraukan keluarga, maka golongan ibu rumah tangga yang lebih asyik menikmati sinetron dan ngerumpi juga banyak.
Oleh karena itu, sudahlah, kita stop saja perdebatan mana yang lebih baik; menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga.
Ibu ya ibu. Dari judulnya, sudah jelas tugasnya adalah merawat, membesarkan dan mendidik anak. Itu adalah hal yang mutlak tak bisa ditolak. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah proses perawatan dan pendidikan anak tidak butuh biaya? Bagaimana jika penghasilan sang ayah masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga? Bukankah itu juga tugas Ibu untuk membantu? Bukan demi sang ayah, tapi demi para buah hati.
Banyak ibu-ibu yang beruntung mendapatkan suami yang penghasilannya lebih dari cukup. Tapi yang tidak pun juga banyak, sehingga mereka dengan sangat berat hati, harus meninggalkan buah hatinya di rumah dan menjemput rejeki bagi keluarganya di tempat lain. Mereka dengan sangat berat hati pula terpaksa menitipkan mata pada orang lain agar tetap bisa mengawasi buah hatinya. Mereka merasa bersalah karena terpaksa mendelegasikan urusan perawatan anak-anak kepada orang lain. Tapi terkadang hidup tidak banyak memberikan pilihan.
Ketika sedang hamil, banyak Ibu-ibu yang beruntung bisa menjalani kehamilan dengan tenang di rumah. Tapi banyak juga yang harus melewati masa kehamilannya di jalanan, di kantor atau di pabrik. Namun apakah golongan yang terakhir ini lantas mengabaikan keselamatan dan kesehatan si jabang bayi dalam kandungan?
Ketika masa menyusui, banyak dari ibu yang beruntung dapat berdekatan sepanjang hari dengan buah hatinya, memberikan ASI kapan saja sang bayi meminta. Tapi banyak juga ibu-ibu yang dengan effort tak kenal lelah, melakukan pemerahan ASI  di sela-sela waktu bekerja, bahkan terkadang sampai mengorbankan waktu istirahatnya, demi memenuhi kebutuhan ASI eksklusif bagi bayinya.
Sama saja. Effort tiap ibu, mau ibu rumah tangga atau ibu bekerja, sama besarnya. Mereka akan melakukan apa saja demi yang terbaik bagi putra-putrinya.
Banyak dari ibu-ibu, yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, memilih tinggal di rumah untuk memastikan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang benar. Ibu-ibu ini mengabaikan cita-cita dan ambisi masa mudanya demi mendidik generasi penerus bangsa. Sementara kawan-kawan kuliahnya dulu mungkin saja telah menginjakkan kaki di banyak negara, ibu-ibu ini memilih untuk tetap tinggal di rumah, memastikan anak-anak dapat bertemu ibunya saat pulang sekolah.
Menjustifikasi ibu-ibu rumah tangga yang menyia-nyiakan pendidikan tingginya dengan hanya tinggal di rumah, sebenarnya sama kejamnya dengan menjustifikasi ibu-ibu bekerja yang menyia-nyiakan pendidikan tingginya dengan menyerahkan pendidikan anak-anaknya pada seorang pembantu rumah tangga.
Sebenarnya, masih perlukah kita memperdebatkan mana yang lebih baik? Ibu rumah tangga atau ibu bekerja? Masih perlukah kita memberikan titel “bekerja” atau “rumah tangga”?
Ibu, di manapun berada dan apapun profesinya, tetaplah seorang Ibu, yang telah Tuhan bekali naluri untuk membesarkan anak-anak. Naluri yang tidak bisa tergantikan oleh siapapun.
Ibu ya Ibu. Menjadi seorang Ibu jelas merupakan anugerah. Tapi menjadi ibu yang bekerja atau tinggal di rumah adalah sebuah pilihan. Mana yang lebih baik mungkin hanya Tuhan yang bisa menilai...

Sabtu, 16 Maret 2013

Bule


"Tulisan ini diperuntukkan untuk Indonesia, tanah kelahiranku dan tanah tempat kelak aku dimakamkan"

Aku benci bule. Menurutku mereka sombong, sok. Hanya karena mereka kebetulan berasal dari ras Kaukasian, mereka seolah menjadi Homo sapiens dengan bentuk paling sempurna di muka bumi.
Sayang faktanya memang begitu, wujud mereka rata-rata memang perfect; hidung mancung, kulit terang, mata dan rambut aneka warna, bibir tipis plus badan yang rata-rata tinggi menjulang.
Mereka datang ke negaraku, Indonesia, seakan-akan ini masih jaman kolonial dan kami adalah negara jajahan. Nanti akan kuceritakan pengalamanku ketika berhubungan dengan dunia perbulean ini, karena sebelumnya aku ingin menceritakan dulu bagaimana kami, orang Indonesia memperlakukan mereka.
Aku tidak mengerti kenapa kami sering menganggap bule bagaikan titisan dewa dewi. Apapun yang dibilang atau diminta orang bule, sekonyol apapun itu, akan langsung dianggap sebagai sabda yang harus ditunaikan. Di depan orang-orang bule, kami seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Sedih sebenarnya, tapi memang begitulah kenyataan yang sering terjadi di lapangan tempatku bekerja. Lapangan yang kumaksud bukan lapangan sepak bola atau lapangan upacara, melainkan sebuah bangunan beton setinggi 9 lantai. Di dalamnya terdapat ratusan motor-motor listrik yang menjalankan puluhan jenis mesin dengan tugasnya masing-masing. Bangunan itu bernama Mill, tempat penggilingan gandum menjadi terigu.
Aku sendiri bekerja sebagai salah satu Miller, alias tukang giling. Nama pekerjaan yang sama sekali tidak keren. Tugasku adalah memastikan gandum-gandum itu dibersihkan secara maksimal, diberi air dengan takaran yang pas, diperam selama waktu yang benar dan digiling secara maksimal, maksimal kualitasnya dan maksimal kuantitasnya.
Oke, balik ke masalah bule. Orang-orang bule sering datang ke pabrik, karena mesin-mesin kami memang semuanya berasal dari Eropa; Swiss, Itali dan Jerman.
Macam-macam tujuan mereka kemari yang secara umum dibagi menjadi 3 golongan.
Yang pertama adalah golongan teknisi, biasanya tukang listrik atau mekanik, yang datang karena diminta memperbaiki mesin yang kinerjanya tidak benar.
Yang kedua adalah  golongan penengok, golongan ini biasanya hanya melakukan kunjungan singkat. Mereka datang seakan mesin-mesin itu adalah anak mereka yang kami adopsi. Jadi mereka memastikan kami, orang tua angkatnya mampu merawat anak-anak mereka dengan baik.
Yang ketiga adalah golongan advisor. Mereka bisa tinggal agak lama, antara 1 bulan hingga setahun. Kerjaan mereka biasanya mengutak-atik mesin, mereview proses dan sumber daya lantas memberikan rekomendasi-rekomendasi perbaikan (yang seringkali berujung duka bagi kami, para Miller).
Paling sebal kalau kedatangan bule dari golongan terakhir. Contohnya adalah kasus Guiseppe Nolli, seorang Mill Advisor gaek asal Itali. Di hari pertamanya, seharian dia mengamati mesin-mesin penggiling kami, meminta gambar diagram alir proses produksi, mengernyitkan kening, mengecek data kualitas tepung dari lab, memandangi diagram-diagram ayakan, mencoret sana, mencoret sini dan akhirnya dia menyerahkan berlembar-lembar kertas berisi diagram ayakan baru. Menurutnya, tepung kami terlalu kasar sehingga ayakan-ayakan kami harus diganti. Atasanku menyetujui sarannya dan menugaskan aku untuk mengeksekusi rencana Nolli.
Aku tercengang melihat rancangan Nolli; 1200 buah ayakan yang sekarang sudah bersemayam dengan damai di chambernya masing-masing harus diganti. Ini bukan pekerjaan main-main mengingat ayakan yang kami pakai 10 kali lipat besar dan beratnya dibanding ayakan tepung ibu-ibu rumah tangga. Chamber yang kumaksud, tempat bersemayamnya ayakan-ayakan itu, jumlahnya ada 80, dan masing-masing harus dibuka oleh setidaknya 2 orang.
Jadi bisa dibayangkan betapa hebohnya kami waktu itu. Seribu lebih ayakan harus diganti. Jumlah itu bahkan lebih banyak dari jumlah candi yang diminta Rara Jonggrang. Untung aku diberi waktu 2 minggu, bukan semalam, untuk menyelesaikannya. Walaupun waktu 2 minggu itu berarti tidak makan siang dan kerja lembur.
Nolli mengangguk-angguk puas ketika kami berhasil selesai tepat waktu. Diperiksanya hasil tepung yang dihasilkan masing-masing chamber setelah perubahan besar-besaran itu dan semakin puas melihat hasil analisa laboratorium. Dengan bangga, dia kembali ke negaranya sehari setelah proyek penggantian itu selesai bagaikan prajurit yang menang perang.
Sebelum pulang, dia meninggalkan berlembar-lembar diagram yang bertuliskan;
To: Mr. Ilyas
To be applied in Mill B Section
Ilyas adalah namaku. Mengira rencana pertamanya berhasil, dia bahkan masih sempat menugaskan aku untuk mengeksekusi rencana keduanya di Mill sebelah. Aku hanya bisa memandang lembaran-lembaran itu dengan tidak mood dan mengatakan pada atasanku untuk mengevaluasi dulu perubahan yang lalu sebelum melakukan perubahan di tempat lain.
Keputusanku tidak salah, perubahan diagram ayakan ala Nolli membawa petaka. Pipa-pipa produksi kami buntu di mana-mana. Hampir tiap kali filter-filter kami yang berdiameter 2 meter  dan tinggi 3 meter dipenuhi tepung bercampur dengan kulitnya.
Saat meeting evaluasi, atasanku mengatakan bahwa hal ini sudah sejak awal diduganya. Menurutnya Nolli telah melakukan kesalahan besar dengan merombak diagram ayakan secara bombastis tanpa memperhitungkan parameter-parameter yang lain.
Aku terpana. Mengapa dari awal dia menyetujui saja draft tersebut dan tidak membantah? Apakah karena Nolli seorang bule? Seandainya saja saat itu aku bukan anak baru yang ilmunya baru seukuran kaki bayi. Hhh...aku hanya bisa mengelus dada.
Akhirnya saudara-saudara, diagram versi Nolli berakhir di mesin penghancur kertas. Mesin itu melahap diagram-diagram ayakan itu dengan rakus bak macan yang 3 hari belum makan. Memang mesin itu hanya digunakan sesekali untuk memusnahkan berkas-berkas confidential. Kertas-kertas bekas biasanya masih kami pakai lagi sebagai bentuk dukungan gerakan penyelamatan bumi dari ancaman global warming. Tapi saking sebelnya sama diagram yang membuat kakiku jadi kepala dan kepala jadi kaki, akhirnya kuikhlaskan mereka menjadi santapan mesin penghancur.
Lain lagi dengan Ingolf Sacha, teknisi dari Swiss yang sengaja dipanggil untuk membenahi problem di mesin penambah air. Aku sudah cukup sebal saat disuruh menjemputnya di kantor pak VP. “Dia kan sudah pernah ke pabrik, kenapa harus pakai dijemput kaya pejabat? Memangnya dia siapa sih? He’s just a technician!!!”. Kesebelanku semakin bertambah-tambah saat melihat raut mukanya yang sedingin es saat kami berjabat tangan.
Setibanya di lapangan, dia memandangi layar monitor dan menunjuk sebuah gambar persegi sambil menatap ke arahku; “Does this tank suppose to be empty?”. Yang dia maksud adalah gambar sensor penunjuk level tangki air yang menunjukkan kondisi tangki sedang dalam posisi penuh.
Aku yang mengikuti jalannya proses pemasangan mesin itu, tahu pasti bahwa sensor itu tidak pernah ada. Yang dilihat Ingolf di layar monitor hanya gambar belaka, sama sekali tidak menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan. Jadi jika di layar menunjukkan posisi penuh, sebenarnya di lapangan, tangki itu masih kosong. Aku berusaha menjelaskan; “It’s because....”, belum sempat aku meneruskan kalimatku, dia langsung memotong dengan kasar.
NO, it’s not “because”! I’m asking you whether this tank supposed to be empty. You should answer me with yes or no, not “because”!!”, katanya nyerocos sambil menunjuk-nunjuk layar monitor. Aku tak mengerti mengapa dia tampaknya sangat anti dengan kata “because”, yang jelas aku mangkel dan dengan cemberut menjawab. “Whatever the root cause of this machine’s problem, that tank is NOT certainly the suspect You better find out yourself whether that tank is full or not!”, lantas aku ngeloyor pergi membiarkan dia yang wajahnya mulai memerah menahan marah. Tampak tak mengira aku akan menjawab seperti itu.
Belakangan baru dia bilang bahwa gambar penunjuk sensor itu hanya aksesoris yang tidak berhubungan dengan kondisi sebenarnya. “Well, of course I know, I was trying to tell you this morning, remember?”, jawabku sambil angkat bahu.
Ingolf tidak banyak melakukan apa-apa di lapangan. Hanya cek kabel di sana-sini. Kinerja Ingolf yang mengecewakan itu sama sekali tidak cocok dengan gayanya yang sok bossy. Permasalahan mesin penambah air kami terpecahkan justru karena bantuan tim teknisi dari Siemens Indonesia.
Tidak hanya Nolli dan Sacha; Elmar Nau, Thomas Widmer, Fabrizio Baccinelli dan Peter Kradolfer adalah sederet nama bule yang pernah mampir ke Mill kami dan bersikap seakan kami adalah bangsa terjajah. Karena itulah, aku benar-benar anti bekerja dengan orang-orang bule.
---
Sekarang aku harus siap-siap bertemu lagi dengan salah satu dari mereka. Manajemen telah berinverstasi pada sebuah mesin Mixer tepung berukuran jumbo. Mesin itu didatangkan langsung dari negara pembuatnya; Swiss.
Saatnya commisioning (uji coba). Lagi-lagi aku yang ditugaskan untuk in charge.
Aku cukup terkejut begitu tahu kali ini mereka mengirim seorang teknisi perempuan; Katrin Loew namanya. Rambutnya ikal kecoklatan, digerai di atas bahunya, warna matanya sedikit lebih gelap dari warna rambutnya. Hidungnya panjang dan mancung. Dan tubuhnya tinggi semampai. Aku sudah tergolong tinggi untuk ukuran orang Indonesia, 175 cm dan Katrin 5 cm lebih tinggi dari aku. Usianya kuperkirakan sebaya denganku. Melihat gayanya, aku langsung membayangkan Laura Ingalls di film tahun 80an, Little House on The Prairie. Gesit, lincah dan juga sangat murah senyum. Selain jenis kelaminnya, pembawaan bule yang satu ini memang agak beda dibanding bule-bule sebelumnya yang pernah singgah di lapangan.
Tapi mungkin karena pengalaman burukku dengan bule-bule sebelumnya, semanis apapun wujud bule perempuan yang ada di depanku ini, toh aku tetap bertengkar juga dengannya di hari pertama commisioning.
Katrin sedang memeriksa sebuah sekring dan tiba-tiba berseru; “You guys are crazy! you put the wrong fuse. Can’t you read this wiring diagram?!”, dia menuding-nuding sebuah diagram kelistrikan dengan ekspresi judes.
We didn’t even touch this giant since it was installed!”, kataku tidak kalah judes.
But somebody has changed this fuse with the wrong ampere”, Katrin ngeyel.
Anyone who did that, I guarantee that’s not one of my men. We’re busy with these relayout things. That tiny little part will surely not our priority”, kataku sambil melirik ke mixer raksasa yang berdiri diam di samping Katrin. Timku memang disibukkan dengan urusan tata ruang pabrik. Kehadiran mixer raksasa itu membuat bangunan pabrik kami menjadi lumayan berantakan.
All right, all right! Think I have to check all the wiring before starting the engine”, Katrin menghela napas berat, membayangkan ada pekerjaan tambahan yang di luar rencananya.
Yes please, that’s the reason why you’re coming here”, ujarku sinis. Katrin tidak lagi membantah. Dibukanya laptopnya dan melanjutkan pekerjaannya dengan diam.
Sisa hari itu dan keesokan harinya, aku dan Katrin tidak banyak bicara. Dia sibuk memeriksa wiring diagram dan program otomatisasinya.
Hari ketiga, Katrin mengajakku melakukan uji coba. Sebelumnya dia mengajariku sepintas tentang tata cara menjalankan program otomatisasinya. Aku terpaksa mengakui bahwa Katrin adalah orang yang sangat efektif. Dia pandai memilih kata-kata agar aku cepat mengerti prosedur produksi yang cukup njelimet. Keterbatasan bahasa antara kami berdua, karena kami sama-sama tidak berbahasa Inggris sebagai bahasa ibu, sama sekali tidak menjadi penghalang (Katrin berasal dari Swiss yang lebih sering memakai bahasa Jerman).
Terkadang dia sengaja memunculkan “masalah” dan membiarkanku mencari akar penyebabnya dan menyelesaikan masalah tersebut sendiri. Dia bersikap seolah-olah aku murid yang sedang dia uji. Dia akan mengangguk-angguk puas sambil mengacungkan jempolnya jika aku berhasil.
Untungnya setelah kejadian buruk dengan sekring itu, hampir tidak ada gesekan antara Katrin dan timku. Proses commissioning berjalan dengan harmonis. Kami mengamati performa tiap mesin dan melaporkan ke Katrin tiap ada yang tidak beres. Selanjutnya Katrin akan bersemedi di depan laptopnya selama beberapa jam. Terkadang jika tampak mengalami kebuntuan, dia akan bangkit dari kursinya, menghadap tembok dan mengetuk-ngetukkan dahinya di tembok. Lucu sekali. Tapi dengan cara itu sepertinya dia cepat mendapat ilham. Buktinya setelah beberapa lama melakukan pose aneh itu, dia lantas kembali ke kursi dengan setengah meloncat dan bersiul-siul riang. “Let’s try again, Ilyas”, katanya tiap kali selesai melakukan perbaikan.
Tak terasa, hampir 10 hari aku bekerja dengan Katrin. Hari ini hari terakhir Katrin di Indonesia. Mesin mixer jumbo ini sudah 99.9% siap dipakai berproduksi. Pagi itu aku datang ke lapangan dan melihat Katrin sedang menepuk-nepuk bahu Roni dengan pandangan bahagia. Roni adalah salah seorang staffku. Spontan aku berkata; “Hey you two, better find a room”. Tentu saja maksudku bercanda. Tercengang, Katrin melihatku dengan pandangan terharu dan kaget.
Jesus Christ! that’s a joke Ilyas!!”, katanya setengah teriak disambung dengan gelak tawanya yang renyah. “It’s your first joke since I came here. I thought you never will
I beg your pardon?”, aku benar-benar heran melihat tingkah Katrin.
Ilyas, you should see your face through the mirror, you just like a SHREK who doesn’t know how to smile”, Katrin berkata dengan ekspresi prihatin seakan aku seseorang yang sedang mengalami penyakit kronis.
Aku terpana. “I don’t think I have such a terrible look. Anyway, I’m a handsome Shrek, thank you
O my God, that’s the second one!! Two jokes in 2 minutes. Fantastic Ilyas”, Katrin histeris dan aku terkekeh melihat tingkahnya yang tiba-tiba jadi kekanakan. “All right handsome, let’s celebrate your achievement. Wanna have lunch with me this afternoon, I’ll buy you a glass of juice, the jumbo one?”, katanya. Aku tidak menolak. Lagipula, ini hari terakhir Katrin bekerja bersama kami. Hitung-hitung, sekalian acara perpisahan. Aku menyanggupi.
---
So, why do you hate foreigner?”, tanya Katrin sekonyong-konyong saat kami sedang makan siang.
Aku hampir tersedak mendengarnya, “I don’t”, elakku.
Liar, of course you do. Don’t you know I like to observe you all this time? I was working here for almost 2 weeks and pretty sure you don’t like me because I’m a foreigner. I can see it on your face”, ujar Katrin dengan ekspresi serius.
You speak like I am a science object”, ujarku sedikit tersinggung.
Human is the most interesting science object, Ilyas. They’re the most complicated creature of this universe. And just because I’m an electrical engineer doesn’t mean I don’t like observing human behavior
Aku menyerah, entah mengapa di hadapan Katrin aku tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya aku bilang kenapa alasanku tidak menyukai bule, adalah karena mereka memperlakukan kami seolah-olah kami adalah orang jajahan. Katrin tersenyum mendengar alasanku.
It’s only your perception Ilyas”, katanya berkomentar.
Sebenarnya aku mengira dia akan marah mendengar alasanku, tapi komentarnya barusan membuat aku terheran-heran, “What do you mean?
I mean, It’s not because they treat you as a colony, but it’s your people who think you are”, Katrin memberi penekanan saat mengatakan “think”. Lantas dia melanjutkan, “Do you want to hear my opinion about your people? I’ve learnt a lot about your country before I was landed”.
Dia sudah mempelajari orang-orang negaraku? Well, aku yakin dia akan berkata hal-hal yang buruk dan aku sudah akan bersiap-siap untuk marah nantinya. Tapi aku mengangguk tanda setuju agar dia melanjutkan kalimatnya.
You know what? Your people are very lack of self confidence. That’s your basic problem actually. You think that the foreigner like me knows more than you, but that’s not always true. We do come from a more developed country. But that doesn’t mean we know everything. We need to hear your opinion, your suggestion, whether you have problems or not, but sometimes it’s so hard to make you speak”, kata Katrin sambil menunggu reaksiku. Aku diam saja. Entah kenapa aku senang mendengar Katrin menggunakan istilah “negara yang lebih berkembang” ketimbang “negara maju” untuk menyebut negaranya sendiri.
Katrin melanjutkan, “You guys are so...over polite that you sometimes don’t have enough courage to express what you feel and what you think”.
Aku paham dengan yang dimaksud Katrin dengan over polite. Kami memang sedari kecil sudah diajari unggah ungguh. Berbicara yang sopan dan diwanti-wanti bahwa berbicara tanpa tedheng aling-aling adalah suatu hal yang tabu.
The worst case is, you don’t just trust yourselves, but you also don’t trust to your own people. I know some Indonesian guys when I was in college. They’re so brilliant. But why then they decided not to coming home and worked abroad instead? Because they don’t get the good appreciation in their own country. I didn’t make this story, one of my Indonesian friend told me this
Sejujurnya aku tidak suka mendengar Katrin mengungkapkan pendapatnya yang sangat lugas tentang negaraku, tapi harus kuakui yang dia katakan memang benar.
Aku jadi teringat film Habibie dan Ainun yang beberapa waktu sempat booming di bioskop. Aku pun menangis melihat film tersebut, tapi alasannya tidak sama dengan air mata para wanita yang menangisi BCL yang sekarat. Aku menangis dalam hati saat adegan wartawan yang mengejek pesawat Pak Habibie, mengatai pesawat dari Indonesia akan jatuh duluan sebelum ditembak. Adegan itu adalah potret situasi negeriku yang memang tidak punya rasa percaya diri, bahkan pada rekan senegaranya. Katrin benar.
To be honest, I don’t like the way you’re commenting about my country. But I must admit, you’re right”, kataku pelan. Aku yakin Katrin menangkap nada sedih dalam kata-kataku.
But I like you Ilyas. You’re different. You’re so expressive! And you’re brilliant too, you made my job here a lot easier”, kata Katrin cepat dengan nada menghibur.
But you said I was like a beast. How come you like a guy who already show his hatred on his face?”, tanyaku. “You’re weird Katrin. It’s the first time I met someone who prefer meeting a sour face than the sweet one”, sebelum Katrin menjawab aku sudah berkomentar.
Katrin tergelak, “Sour, but original. Better than sweet, but false”, ujarnya cuek. “Hey, do you know that Roni has just become a new father?”, Roni adalah staffku yang bahunya ditepuk-tepuk Katrin tadi pagi.
Yeah, I plan to visit his baby this afternoon. Wanna join? Still have time before your flight?
Sure, I’d love to”, katanya sambil meninggalkan kursi makan siang kami.
---
Aku memandangi Katrin yang sedang mengagumi bayi Roni di rumah sakit. Otakku masih sibuk memikirkan perbincangan saat makan siang tadi. Bagiku kata-kata Katrin tadi bagaikan puluhan anak panah yang menghunjam tepat di jantung. Menyakitkan. Tapi anehnya, aku tidak bisa marah mendengar kata-katanya. Aku lebih merasa sedih menerima kenyataan tentang bangsaku ketimbang marah. Dan kenyataan itu justru disampaikan dari orang dari ras Kaukasian, golongan yang seharusnya aku benci.
Mengingat kebencianku pada orang bule, selama ini aku terlalu terpaku pada presepsiku, prasangka yang salah. Pada akhirnya, aku sendiri yang menciptakan sekat sebagai bangsa terjajah dan orang bule sebagai penjajah.
Kini di hadapanku ada Katrin, seorang perempuan bule yang asyik menggendong bayi Asia, membuatku tersadar bahwa aku dan Katrin sebenarnya sama. Kami diciptakan dari substansi dasar yang sama oleh Tuhan yang sama, terlepas dari perbedaan kami menyebutNya; Allah, Yahwe, Christ. Kami mengalami siklus hidup yang sama; lahir-dewasa-mati. Kami memiliki kebutuhan dasar yang sama; makan, minum, kasih sayang. Kami sama-sama diajarkan untuk berderma dan saling menyayangi. Kami sama-sama dilarang menyakiti, mencuri dan membunuh. Sampai di sini aku menyadari bahwa kebencianku terhadap bule sama sekali tidak beralasan.
Tiba-tiba aku merasa diriku sangat rasis. Aku telah menciptakan kotak-kotak yang sebenarnya tidak perlu ada. Kami hanya beda bahasa, beda agama dan beda budaya. Kami sama-sama bergenus Homo dan berspesies sapiens, hanya kebetulan berbeda gen. Perlakuan menyebalkan yang pernah kualami bersama Guiseppe Nolli dan Ingolf Sacha bisa saja kudapatkan dari teman-teman Indonesia-ku. Dan aku, mungkin saja melakukan hal yang sama menyebalkannya dengan mereka.
Ya manusia memang begitu, bisa kapan saja menjadi menyebalkan dan menyenangkan, tanpa memandang dia berasal dari suku apa atau agama apa atau ras apa.
Katrin telah memberitahuku bahwa masalah bangsaku adalah satu; percaya diri. Itu yang membuat kami tidak berani berpendapat, tidak mau membantah, di hadapan orang-orang bule yang pernah datang ke pabrik. Sehingga pada akhirnya, kami sendiri menjadi seakan-akan orang yang terjajah.
Ilyas”, panggil Katrin membuyarkan lamunanku. “I’m going home tonight. Is there anything I can do before I left? I’m a genie you know? You can ask me anything”, katanya jenaka.
Aku diam sambil berpikir sejenak, “All right genie, I order you to send me email or post card soon you arrive. Your master need to make sure you go home safely
Katrin melipat kedua tangannya di dada dan menganggukkan kepalanya, berlagak seperti jin di film Aladdin. “Your wish is my command, Master”, tapi kemudian tiba-tiba ekspresinya berubah sedih. “Ow Master, I forget something, I’m a forgetful genie. Genie needs her master to send her an email to remind her to send email to her Master
Aku tergelak, “You’re not forgetful genie, you’re a tricky genie”. Lantas Katrin pun ikut terbahak.
---
Katrin menjabat tanganku erat saat aku mengantarkannya ke bandara. “I’m so glad to meet you Mohammad Ilyas. Looking forward to see you again
Me too, Katrin Loew. Have a safe flight”, kataku sebelum dia berlalu.
Ingin rasanya memberi tahu Katrin tahu betapa besar dampak perbincangan singkat kami tadi siang terhadap pola pikirku yang selama ini terperangkap dalam kebencian tak beralasan. “Thank you Genie”, bisikku. Aku tak mengira Katrin mendengarnya dan sekali lagi dia berbalik, melambai sampai akhirnya benar-benar menghilang di balik ruang tunggu.
 Terima kasih jin bule yang bermata coklat, untuk mengingatkanku akan hal yang paling mendasar tentang bangsaku yang harus kami perbaiki bersama; rasa percaya diri yang berantakan.
Terima kasih jin bule berambut ikal. Berkat kamu, aku tidak lagi membenci bule.

Catatan: Guiseppe Nolli dan Ingolf Sacha adalah tokoh nyata. Selain mereka berdua, seluruh tokoh dalam tulisan ini adalah fiksi belaka.

Selasa, 12 Maret 2013

Dermaga dan Samudra


“Teeeet...”, suara alarm menyalak membelah hingar bingar deru mesin penggiling. Jutaan bahkan milyaran biji gandum digiling di tempat itu tiap harinya, menghasilkan ribuan kwintal tepung terigu yang siap dipasarkan ke seluruh penjuru Nusantara. Suara alarm seperti itu adalah penanda ada yang tidak beres.
Mata perempuan itu segera memindai layar monitor, mencari sebuah titik yang berkelip-kelip. Hanya beberapa detik kemudian, tangannya meraih walky talki, berbicara cepat dan pendek-pendek. Tak lama, masih dengan menggenggam walki talki, dia bergegas keluar dari ruang panel. Tanpa banyak bertanya, Rashad mengekor di belakang perempuan yang rambutnya diekor kuda itu dengan rasa penasaran.
Rashad tercengang melihat perempuan itu dengan sigap menaiki tangga monyet, ke atas tangki stainless setinggi 5 meter. Tanpa disuruh, Rashad juga melakukan hal yang sama.
Rashad melihat perempuan itu memeriksa pipa-pipa berdiameter setengah inci dan slang-slang polyurethane berdiameter 6 mili yang saling silang di atas tangki. “Sensornya macet, makanya valvenya tidak bisa otomatis terbuka, kalau dibeginikan biasanya bisa bertahan sampai beberapa batch mixing”, katanya sambil menekan sebuah roda kecil dan kemudian terdengarlah bunyi “cesss...” seperti suara kentut.
“Nanti tolong hubungi orang maintenance untuk cek sistem pneumatiknya. Posisi bypass gini biasanya ngga tahan lama”, katanya lagi sambil memandang ke arah slang pneumatik itu dengan tatapan prihatin. Lantas pandangannya beralih ke Rashad.
Rashad sedikit tergagap, karena sebenarnya sedari tadi dia tidak benar-benar memperhatikan apa yang dilakukan perempuan itu dengan pipa angin, slang polyurethane dan roda kecilnya. Seorang perempuan bertubuh mungil yang nangkring di atas tangki besi dengan bakground pipa-pipa berisi terigu lebih menarik perhatiannya.
Alih-alih menyentuh benda-benda yang lebih feminin seperti bedak atau lipstik, dia malah sibuk mengutak-atik jalur pneumatik yang memungkinkan proses produksi terigu di tempat itu berjalan otomatis.
Sesungguhnya perempuan itu berwajah biasa saja. Perempuan-perempuan yang selama ini dikencaninya jauh lebih cantik. Tapi yang satu ini sungguh menarik. Walaupun bedak di wajahnya sudah luntur karena pabrik ini memang sangat panas, entah kenapa Rashad tidak kuasa melewatkan pemandangan yang tidak biasa itu.
“Hoi...!”, suara itu membuyarkan lamunan Rashad.
“Eh iya Bu”, Rashad tergagap. Dan semakin gagap kala perempuan itu mencondongkan tubuhnya ke arah Rashad. Sangat dekat hingga Rashad bisa mencium aroma cologne-nya. Jarak bibir perempuan itu dengan pipi Rashad hanya beberapa senti saja sekarang.
“Tolong kasih tahu maintenance! Kita punya masalah dengan valve pneumatiknya!”, setengah teriak, perempuan itu memberikan instruksi. Rupanya dia mengira Rashad tidak mendengar suaranya karena tertelan deru puluhan mesin-mesin yang berintensitas lebih dari 100 desibel.
Rashad mengangguk, masih tidak bisa melepaskan pandangannya.
Perempuan itu, Indi namanya, di mata Rashad adalah anomali.
Sebagai lulusan teknik mesin, Indi adalah perempuan satu-satunya yang pernah direkrut di bagian produksi pabrik penggilingan terigu terbesar di Indonesia ini. Selama lebih dari 3 dekade pabrik ini berdiri, Indi seakan menodai sejarah panjang dominasi kaum laki-laki di bagian produksi dengan kehadirannya. Selama 4 tahun, Indi menjadi bagian dari sebuah tim yang semuanya punya jenis kelamin yang berlawanan dengannya. Termasuk Rashad, yang baru saja bergabung sebulan yang lalu.
Tugas Rashad di bulan-bulan pertamanya menjadi karyawan di departemen Flour Blending ini cukup berat. Dia harus mampu menguasai teknologi produksi sekaligus pengemasan tepung “tailor made” dalam waktu 3 bulan. Hanya 3 bulan, dan setelah itu dia harus mampu mengambil alih posisi Indi sebagai pemimpin di departemen tersebut. Sementara Indi harus menerima tugas dan tanggung jawab di departemen lain. Namun sebelum Indi resmi dimutasi, sebagai satu-satunya orang yang menguasai detil proses di Flour Blending, dia harus mendampingi Rashad selama masa percobaannya, melakukan alih pengetahuan dan memastikan Rashad siap menggantikan dirinya 3 bulan ke depan.
Judul departemennya memang tampak mudah. Flour Blending. Tinggal diaduk lantas dikemas, beres kan? Tapi ternyata semua di luar dugaan. Rashad harus memahami cara perhitungan formula (yang menurut Indi gampang sekali, cuma soal tambah kurang kali bagi seperti pelajaran sekolah dasar), menjalankan mesin-mesin yang katanya otomatis tapi ternyata tidak seotomatis yang dia bayangkan, belum lagi segala macam troubleshoot yang di luar dugaan, plus urusan sumber daya manusia yang juga cukup menguras pikiran.
Namun urusan pekerjaan sama sekali tidak mengganggu pikiran Rashad. Ada 2 masalah yang membuat Rashad kebingungan. Sepele sebenarnya, Rashad jatuh cinta, pada mentor, guru dan satu-satunya rekan kerja berjenis kelamin perempuan di pabrik itu. Sebenarnya masalah pertama ini tidak akan jadi masalah jika tidak ada masalah yang kedua; Indi sudah menikah.
Sejak awal pertama mereka berkenalan, Rashad sudah menyadari cincin polos yang melingkari jari manis Indi. Tapi itu tidak bisa mencegah Rashad untuk tidak jatuh cinta pada pandangan pertama dan pandangan-pandangan berikutnya. Rashad telah jatuh cinta pada sebentuk anomali di tengah-tengah rimba mesin penggiling biji gandum yang menderu-deru.
Tapi cincin di jari manis itu adalah penghalang yang lebih tebal dibanding tembok Cina. Sebaris kalimat singkat yang biasanya dengan gampang Rashad ucapkan pada gadis-gadis yang dikencaninya semacam; “Aku cinta kamu” atau “Aku sayang kamu” seakan terbungkam hanya oleh sebuah logam berbentuk lingkaran. Rashad tahu cincin itu menandakan banyak hal. Dan sebagian besar menyiksa perasaan Rashad.
Cincin itu membuat Rashad membenci malam. Rashad sadar, kapan saja di malam hari, pemilik cincin itu tengah menyerahkan segenap raga dan meledakkan perasaan cintanya pada seseorang. Seseorang yang sayangnya bukan dia.
Sebenarnya Rashad sudah berusaha menggunakan logikanya, yang selama ini telah membawanya lulus kuliah sebelum waktunya, berpredikat Cum Laude dan langsung direkrut perusahaan besar menjadi pemimpin sebuah departemen. “Please Rashad, she’s years older than you”, sebuah suara pernah berbisik seperti itu di kepalanya. “Besides, she’s married”, suara itu berbisik lagi. Rashad mahfum. Suara itu benar. Ada banyak gadis-gadis muda berstatus lajang yang pasti mengantri untuk dipacarinya. Mengapa dia harus jatuh cinta pada orang yang sudah menikah?
Tapi cinta tidak pernah bisa dilogika. Rashad tidak butuh banyak alasan untuk jatuh cinta. Hanya karena Indi adalah sebuah anomali. Outstanding. Tidak wajar. Itu saja.
Untungnya Rashad masih cukup waras untuk tidak frustrasi. Dia juga cukup cerdas untuk tetap terlihat profesional walaupun dengan perasaan yang amburadul.
Sayangnya Rashad melupakan satu hal. Serapat-rapatnya dia berusaha menutupi perasaan, ada satu celah yang tidak mampu dia tutupi, sorot mata. Mata yang lekat memandang Indi tiap kali Indi bicara, Indi bergerak, Indi memberi intruksi, Indi membuat laporan, Indi mengemasi tasnya, Indi memakai jaketnya. Rashad hampir tak pernah melawatkan tiap transisi gerakan otot dan sendi di tubuh Indi, walaupun itu hanya sekedar tarikan sudut bibir yang membentuk senyum tipis.
Namun tanpa Rashad sadari, Indi menyadari itu semua.
Sebenarnya Rashad bukan orang pertama yang melayangkan pandangan seperti itu padanya. Apalagi saat masuk di perusahaan ini dulunya dia masih berstatus lajang. Tidak hanya sorot mata, dulu Indi sering menerima puisi, sms cinta, surat cinta, dan bahkan wedding proposal. Namun dia tak acuh hingga akhirnya semua berakhir dengan sendirinya semenjak dia menikah. Tepatnya sejak benang merah tak kasat mata membentang menghubungkan jari manisnya dan jari manis suaminya.
Tapi ketika Rashad hadir, ketika Rashad menghujaninya dengan sorot mata yang tidak biasa, entah kenapa Indi mulai melihat benang merah kedua. Dan benang merah itu terhubung dengan anak kemarin sore yang ujug-ujug datang mengobrak-abrik ruang hatinya.
Sama dengan Rashad, logika Indi juga kerap bicara; “Tidak mungkin laki-laki yang lebih muda jatuh hati sama orang yang lebih tua, sudah menikah lagi. Memangnya di dunia ini sudah kehabisan anak perawan?”. Untuk sesaat, Indi bisa menerima apa yang dibilang logikanya. Dan untuk beberapa saat, Indi berhasil menghentikan gempuran perasaan aneh setiap bertatapan mata dengan Rashad.
Sebenarnya Indi akan terus berada di bawah kendali logikanya seandainya dia tidak membaca status Rashad di twitter; “Aku positif menderita Oedipus complex”.
Tanpa Indi sanggup mengelak, benang merah kedua itu muncul lagi setelah sempat lenyap beberapa lama. Indi tidak suka, karena kehadiran benang merah kedua membuat dia tertarik ke dua arah yang berlawanan.  
Namun kini Indi lega karena Rashad berhasil menyelesaikan masa percobaannya. Indi menjabat tangan Rashad saat dia dinyatakan lulus masa percobaan dan resmi diangkat menjadi leader di Flour Blending. Bagi Indi, jabat tangan itu punya macam-macam makna; ucapan selamat bagi Rashad dan dirinya sendiri (yang sama-sama telah melalui masa 3 bulan yang berat) dan juga perpisahan. Dia tidak harus berjumpa dengan Rashad 8 jam sehari dan merasakan hunjaman pandangan mata Rashad yang sama dengan yang dilihatnya dari mata suaminya, tiap kali mereka selesai bercinta.
Pertemuan-pertemuan dengan Rashad berikutnya hanya akan jadi pertemuan singkat di kantin, sesekali di ruang meeting atau mungkin sekejap di tempat parkir. Indi yakin benang merah kedua akan segera menghilang segera setelah dia tidak lagi menghabiskan waktunya dalam sehari dengan Rashad, lebih lama ketimbang dengan suaminya sendiri.
---
Sore itu, Rashad mengundang Indi makan malam untuk merayakan kelulusannya melewati masa percobaan.
Tergopoh-gopoh, Indi memarkir mobilnya dan masuk ke sebuah kafe yang dipilih Rashad. Rashad sudah menunggu. Duduk sambil mengutak-atik sebuah beri hitam, tubuh atletisnya tenggelam di sofa berukuran sedang yang terlihat cozy.
“Aduh sori Pak, agak telat, macet, mana yang lain?”, Indi terengah-engah sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe.
“Ngga ada Bu, yang lain sudah saya traktir kemarin”, jawab Rashad ringan.
“O ya? Kok ngga bilang-bilang?”, Indi setengah mati menelan kegugupannya,  ketika menyadari hanya akan berdua saja dengan Rashad di tempat seperti ini.
“Bu Indi kan spesial”, jawab Rashad.
Deg, jantung Indi serasa meloncat.
“Bu Indi kan sudah ngajarin saya macam-macam, sudah bantuin saya melewati masa percobaan, jadi wajar kan kalau saya pingin membalas budi? Jadi nraktirnya juga harus beda dengan yang lain dong”, jelas Rashad dengan ekspresi lucu, tepatnya dilucu-lucukan karena dia juga setengah mati menahan rasa gugup.
Indi tersenyum, antara lega dan nervous. “Oalah, yang kaya gitu kok dipikir sih? Itu kan memang sudah tugas saya”, katanya sambil mengambil tempat duduk di sebelah Rashad.
Kafe itu sangat nyaman. “Cafe Sofas” namanya. Sesuai namanya, di dalamnya memang hanya terdapat sofa-sofa aneka bentuk dan rupa. Semuanya cozy. Dan pilihan Rashad jatuh pada sebuah sebuah sofa ukuran dobel dengan meja mungil panjang di depannya. Pilihan yang membuat Indi tidak punya pilihan lain selain duduk bersebelahan dengan Rashad. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini bukan hanya sekedar makan malam biasa.
Tak lama kemudian, meja kecil itu sudah dipenuhi makanan dan minuman yang sebentar saja sudah licin tandas.
“Tambah lagi Bu?”, tawaran Rashad disambut gelengan Indi yang sibuk menyendoki potongan pisang di atas banana split.
“Bu Indi”, panggil Rashad tiba-tiba. Indi menatapnya sambil membiarkan segumpal es krim meleleh perlahan di mulutnya. “Pernah dengar dongeng tentang Dermaga dan Samudra?”
Kening Indi mengernyit, “Memangnya ada dongeng seperti itu?”. Dia penggemar dongeng dari kecil dan seingatnya tidak ada dongeng dengan judul seperti itu.
“Mau dengar ceritanya?”, Indi mengangguk samar, masih dengan dahi mengernyit.
“Begini, Samudra sering bersekongkol dengan angin untuk mengombang-ambingkan banyak bahtera yang sedang berlayar di atasnya. Membawa mereka ke mana-mana, mengunjungi tempat-tempat yang luar biasa. Namun jika Samudra sudah bosan, dia akan menyuruh angin berhenti bertiup dan membuat banyak bahtera hanya bisa diam memandang tenangnya permukaan Samudra seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka berharap Samudra akan bergelombang lagi dan kembali membawa berpetualang. Terkadang gelombang memang kembali, namun tak jarang Samudra benar-benar tak berangin hingga sekian lama. Sehingga bahtera-bahtera itu harus berupaya sekuat tenaga untuk bisa mencapai pulau terdekat”. Rashad terdiam sebentar. Indi sibuk membuka-buka file virtual di kepalanya, mencoba mengingat-ingat koleksi dongeng masa kecilnya.
“Banyak bahtera yang membenci Samudra karena ulahnya, namun banyak juga yang setia menanti-nanti datangnya gelombang Samudra demi merasakan sensasi petualangan dengannya”
Rashad mengambil nafas lagi. Matanya menatap dalam ke dalam mata lawan bicaranya. Indi menghentikan acara menyantap Banana Splitnya, mulai sadar bahwa dongeng itu memang tidak pernah ada.
“Suatu hari Samudra berjumpa dengan sebuah Bahtera. Samudra ingin mengundang Bahtera tersebut merasakan ombaknya. Tapi apa daya, Bahtera itu ternyata terhubung dengan sebuah Dermaga. Si Dermaga sebenarnya jauh lebih kecil dan tak berarti dibanding Samudra yang maha luas. Si Dermaga sebenarnya juga tidak terlalu banyak bertingkah. Dia hanya diam, namun mengikat Bahtera sangat erat hingga Bahtera tersebut tidak bisa ke mana-mana”, Rashad melanjutkan sementara Indi semakin yakin, lelaki di hadapannya ini bukannya sedang mendongeng, melainkan sedang bermetafora.
“Namun Samudra tidak putus asa. Lagi-lagi dia menyuruh angin untuk bertiup sekencang-kencangnya agar Bahtera bisa lepas dari Dermaganya. Sang angin pun menurut dan meniup Samudra sekuat tenaga. Gelombang besarpun tercipta dan akhirnya Bahtera itu lepas dari Dermaganya. Namun Samudra membuat kesalahan besar, angin yang terlalu kencang membuat kerusakan yang parah di lambung Bahtera. Luka itu membuat Bahtera perlahan tenggelam. Samudra menelan Bahtera itu bulat-bulat beserta lukanya yang menganga”. Rashad diam lagi. Menatap Indi dengan sedih.
“Seharusnya Samudra merasa puas, kini Bahtera sudah menjadi miliknya sendiri. Tapi yang ada malah penyesalan. Samudra tidak pernah lagi bisa membawa Bahtera mengarungi ombak. Dia tidak akan pernah bisa menunjukkan indahnya matahari terbit tenggelam di cakrawala, yang memburatkan aneka warna yang pasti akan dicintai para pelukis. Samudra tidak akan pernah bisa memperkenalkan Bahtera pada sahabat-sahabatnya; biota laut aneka rupa. Karena Bahtera kini hanya bisa diam di dasarnya, berkawan dengan gelap, dingin dan lumut yang perlahan beranak pinak di dinding-dinding palka”.
Indi terdiam mendengar cerita Rashad. “Lantas, apa yang terjadi dengan Dermaga?”
“Gelombang laut juga telah melukai dermaga. Tapi tidak butuh waktu lama bagi Dermaga untuk diperbaiki dan kembali menjadi tambatan bahtera-bahtera lain. Demikian juga Samudra, dengan cepat dia melupakan Bahtera yang sudah ternggelam. Dia kembali lagi mencari-cari bahtera lain untuk diombang-ambingkan di atas permukaannya yang berombak”.
Sambil menghela napas Indi bersuara, “Cerita yang menyedihkan. Seandainya saja Samudra tahu, bahwa tanpa bersekongkol dengan angin pun, sebenarnya Bahtera sudah sangat ingin berlayar kembali ke tengah Samudra”, ujar Indi kemudian. Rashad terhenyak. Sama sekali tidak menyangka Indi akan berkata seperti itu.
“Bahtera tahu Samudra menawarkan banyak hal yang menarik, termasuk indahnya semburat warna langit saat matahari terbit dan tenggelam. Bagi Bahtera, Samudra menawarkan petualangan yang tak terbatas. Tapi, Bahtera sudah punya rumah. Tempat di mana dia bersandar. Bahtera tidak mungkin selamanya berlayar di Samudra bukan? Akan ada saatnya dia harus berhenti bertualang,  bersandar di Dermaga dan merasakan kehidupan yang sama sekali lain, tetapi tidak kalah menariknya”
Rashad terpana, “Benarkah begitu? Benarkah Bahtera sebenarnya juga merindukan Samudra?”.
“Iya, bahkan sangat”, Indi mendesis.
Sesaat tidak ada lagi yang bersuara. Perlahan, pelan sekali seperti gerakan slow moving di film-film, Rashad mendekati Indi. Indi tidak bergerak. Tanpa mereka sadari, kini bibir mereka hanya berjarak beberapa inci.
Indi merasakan hangat hembusan napas Rashad yang dirasanya mengalir melalui setiap pembuluh darahnya. Untuk sedetik, dia merasa sukmanya tidak bersatu dengan raga. Namun di detik berikutnya, berbarengan dengan tangan Rashad yang menyentuh lembut bahunya, Indi bagai mendengar suara timer oven listriknya. “Ting...!!!”. Indi tersadar. Sukmanya kembali.
Ia menarik tubuhnya menjauhi tubuh Rashad. Masih dengan gerakan slow moving, tapi cukup membuat Rashad mengerti. “Tapi Bahtera tidak akan pernah sanggup meninggalkan Dermaga. Sebesar apapun kerinduan Bahtera pada Samudra, Samudra tetap bukanlah rumahnya”
“Seharusnya Samudra tidak perlu bersedih. Kapan saja, Samudra bisa mendapatkan bahtera-bahtera lain untuk diajaknya bertualang. Namun selamanya, Bahtera tidak akan pernah bisa melupakan Samudra yang pernah membawanya melihat dunia”, lanjut Indi disambut hangat senyum Rashad.
“Tapi, bagaimana jika Samudra  tidak sanggup melupakan Bahteranya?”, tanya Rashad.
“Samudra tidak perlu melupakan, bukankah Bahtera yang juga tidak akan pernah bisa menghapus kenangannya akan Samudra?”
Indi mengemasi tasnya. Sejenak dia menyayangkan Banana Splitnya yang sudah meleleh. “Pak Rashad, saya pulang dulu ya. Terima kasih atas undangannya. Juga atas dongengnya. It’s beautiful”. Indi tersenyum. Bahagia dan lega. Malam ini, Indi sudah memperoleh satu jawaban atas pertanyaan yang dia sendiri tidak bisa mendefinisikan. Perlahan, Indi melihat benang merah kedua di jarinya memudar dan menghilang.
“Saya yang harusnya terima kasih Bu. Saya baru tahu dongeng itu ada lanjutannya”. Katanya ketika mengantarkan Indi sampai ke tempat dia memarkir mobilnya.
Rashad memandang mobil Indi yang segera menghilang di balik lampu merah. Dia sadar, selamanya dia dan Indi akan saling memanggil “Pak” dan “Bu”. Tapi setidaknya mulai sekarang, Rashad tidak lagi membenci malam.....


9 Maret 2013, 21.00

Kamis, 07 Maret 2013

Roman Versus Fantasi


“Del, menurutmu aku mending pakai baju kotak-kotak atau yang polos aja? Pakai celana kain apa celana jin? Pakai sneaker apa sendal gunung apa fantovel?”, Erik memberondong Dela dengan sederet pertanyaan. Dela yang sedang - dan selalu - asyik dengan laptopnya mendongak dan memandang sahabatnya itu dengan pandangan heran campur sebal.
“Mahkluk satu ini, datang ngga pake assalamualaikum langsung nyerocos aja”, omelnya.
“Ayolah Del, urgen niy. Aku ngga percaya selera orang lain selain kamu”, ujar Erik tanpa mempedulikan protesnya. Dela tetap cuek. Untuk beberapa saat hanya terdengar suara ketukan halus tuts laptop yang beradu dengan jari-jari Dela.
“Ups sori, assalammualaikum...”, katanya akhirnya setelah beberapa lama Dela tidak merespon.
“Waalaikum salam”, jawan Dela pelan tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.
“Del...”, panggil Erik lagi setengah putus asa, “Pleaseee...”
“Emangnya kamu mau kemana si?”, tanya Dela pada akhirnya.
Senang karena akhirnya Dela merespon, Erik langsung nyerocos. “Jadi nanti malam aku mau ajak Dinda nonton konser Jazz. Na, cuman masalahnya aku bingung, kudu bergaya kasual apa resmi. Secara ini pertama kalinya juga aku nonton Jazz. Kira-kira suasananya formal ngga si? Aku takut salah kostum ini, kan malu...”
“Dinda? Trus Tyas?”, bukannya menjawab Dela malah bertanya.
“Itu ngga usah dibahas deh, yang penting gimana kostumku nanti malam?”, Erik berusaha mengalihkan topik.
Dela menarik nafas panjang.  “Erik...Erik, kamu ngga ada kapok-kapoknya ya? Bisa-bisa kamu jadi musuh seluruh cewek sedunia kalau terus-terusan kaya gitu”.
“Kaya gitu gimana?”, Erik pasang tampang antara ngga mengerti dan pura-pura bodo.
“Ya gitu, sekarang gayamu kaya orang paling kasmaran sedunia, besoknya kaya udah ngga ada apa-apa. Kamu masih ingat nggak, itu si Liana nangisnya ngga berenti sampai seminggu setelah kamu tinggalin”, gantian Dela yang nyerocos.
“Aku ngga kasmaran kok, aku juga ngga pernah ngajak untuk berkomitmen. Aku cuman ngajak jalan atau ngajak ngobrol. Kalau aku merasa ngga cocok ya aku ngga terusin lagi. I never told them I fall in love. Terus salahnya di mana?”, Erik membela diri.
“Ya tapi masalahnya Rik, yang kamu lakukan itu sama dengan menaburkan benih-benih harapan. Sekarang kamu ngaca deh, kamu ganteng, keren, terus juga punya otak yang sedikit encer”, kata Dela dengan ekpresi gemas.
“Kenapa harus pakai kata “sedikit” si Del?, bilang aja otakku encer gitu?”
“Itu dia problemnya, kalau otakmu benar-benar encer, harusnya kamu ngerti dong cewe mana yang ngga bakalan terpesona sama kamu?”
“Ada Del, kamu”
“Maksut lo?”
“Kamu, cewe yang ngga pernah tertarik sama aku. Padahal katamu aku ganteng”.
“Ya, soalnya aku sudah keburu ilfil liat kamu. Kamu paling enak kalau diajak berantem”, Dela cemberut.
“Kok jadi marah?”
“Nggak, kenapa mesti marah. Bukan aku yang kamu putusin kok”
“Lha terus kenapa kamu sewot? Aku kemari kan mau minta nasihatmu untuk acaraku nanti malam.  Eh, kamunya malah ceramah ngalor ngidul”
Dela menghela napas, dan dengan nada yang disabar-sabarkan dia berusaha menjelaskan, “Aku cuman ngingetin kamu Rik, sebagai teman. Ngga baik memperlakukan perempuan seperti itu. Coba bayangin deh kalau kamu yang dibegitukan. Atau adik perempuan kamu. Atau kakak perempuan kamu. Atau anak perempuan kamu”
“Walah, apaan si Del, pakai anak-anak segala. Kaya aku ini bapak-bapak aja. Ya sudah bu guru, saya inget-inget nasihat bu guru. Terus gimana ini nasib kostum saya?”
Dela semakin gemas, “Terserah kamu lah Rik, pakai apa aja kamu keren kok. Udah ah, aku sibuk”. Dela kembali memandangi laptopnya tanpa menoleh sekalipun ke arah Erik.
“Jadi aku pakai kemeja kotak-kotak aja ya, sama celanaku yang item yang beli sama kamu, sama sneaker aja deh. Gimana?”
Dela mendongak; “Ter...se...rah...!”, mulutnya manyun.
“Aku bakal keliatan keren kan Del?”, tanya Erik lagi kejam.
Dela pingin menjerit rasanya, kalau nggak ingat saat ini mereka sedang ada di ruang baca perpusatakaan kampus. “Iya Erik sayangggg, kamu keren pake baju kotak-kotak, puass..?”, desis Dela.
“Thanks Del, you’re the best”, kata Erik sambil ngeloyor. Dela hanya memandangi punggung Erik dengan pandangan tidak mood.
Seperti yang sudah Dela duga, beberapa minggu kemudian sudah ada nama perempuan lain yang mewarnai hari-hari Erik; Lupita, Veli, Diana dan Sinta.
Seharusnya Dela tidak perlu heran dengan sifat Erik. Mereka sudah berteman semenjak SMA dan Erik memang sudah seperti itu dari dulu. Seperti apa? Kalau orang bilang sih playboy. Herannya, Erik sepertinya tidak keberatan dengan cap tersebut, malah mungkin bangga. Yang lebih heran lagi, Dela juga betah bersahabat dengan Erik. Bahkan hingga kini saat mereka sama-sama kuliah di kampus yang sama walau beda jurusan.
Mungkin karena mereka punya kegemaran yang sama; tobuk. Hampir tiap minggu mereka ke toko buku, beli buku dan adu urat leher. Loh kok? Iya, karena walaupun sesama penyuka buku, mereka punya selera bacaan yang beda. Dela gemar novel-novel bergenre fantasi, sedang Erik ngefans banget sama novel-novel drama dan roman.
“Kamu kan cewek Del, baca ni novelnya Danielle Steele, Malice bagus loh, cocok banget sama karaktermu”, kata Erik suatu hari sambil menyodorkan novel bersampul kuning bergambar jaring laba-laba. Dela membaca sampul belakangnya sepintas lalu marah-marah.
“Yang begini kok dibilang bagus si Rik? Diperkosa oleh ayah kandung sendiri berkali-kali dibilang mirip aku? Sebelah mananya yang mirip?”, kata Dela sambil menyodorkan novel itu ke dada Erik.
Belum Erik menjawab, Dela sudah mengeluarkan sebuah novel super tebal bersampul hitam, “Ini ni baru keren, made in negeri sendiri”.
“Supernova? Partikel? Halah ini kan yang ada alien-aliennya itu? Males ah, super ngayal”.
“Yeee...ini sayens fiksyen Rik”, bantah Dela.
“Ya tapi kalo masalah alien itu kan totally absurd Del, ngga ada bukti ilmiahnya blass. Yang begitu kok kamu bilang sayens?”, Erik ngga mau kalah.
“Eh, makanya habis baca ini trus kamu brosing. Masalah kehidupan lain di luar dunia manusia ini sudah banyak dibuktikan, ada simposiumnya lagi”
“Ya, itu kan simposium untuk segerombolan orang-orang kurang kerjaan”
“Tapi mendingan lah, daripada mikirin perempuan yang mau-maunya diperkosa ayah kandungnya sendiri macam Malice-mu itu”, Dela semakin ngotot sambil cemberut.
“Si Grace ini orangnya independen, tabah, berani sekaligus juga lembut hatinya, itu yang aku bilang mirip kamu”, Erik masih berusaha membela tokoh fiksi rekaan Danielle Steele di novel Malice.
“Kalau dia berani, kenapa dia tidak berontak waktu diperkosa berkali-kali sama bapaknya? Lagipula aku sama sekali ngga lemah lembut”
Jika sudah begitu biasanya Erik memilih untuk tidak melanjutkan dan membiarkan Dela seolah-olah memenangkan perdebatan. “Okelah Del, ntar kalau sempet aku pinjem deh supernova-mu”.
Dela tersenyum kecut, dia tahu Erik hanya basa-basi. Tapi dia sendiri juga tidak lagi berminat melanjutkan perdebatan. Perutnya berkeriuk. “Makan bakso yuk, kamu yang traktir ya...”, kata Dela akhirnya. “Lah kan kamu yang ngajak, ya kamu yang traktir lah”, bantah Erik.
“Sudah, kamu nurut aku aja. Yuk!”, Dela bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kantin. Erik mengikutinya sambil terus mengomel mengapa harus dia yang bayar.
---
Suatu sore di plaza kampus; “Rik, ada Dewi Lestari di gramed lo, book signing sama short seminar gitu. Mau ikut nggak sama kita?”, Dela antusias mengabarkan penulis idolanya yang datang ke kota mereka.
“Kita? Memangnya kamu mau pergi sama siapa?”
“Sama Bimo”
“Bimo? Kok kamu mau sih pergi sama Bimo?”
“Lho memangnya kenapa?”
“Kamu kan tau dia suka sama kamu Del. Atau kamu pacaran ya sama dia?”, Erik penasaran. Dia ingat Dela pernah cerita padanya bahwa Bimo sempat mengungkapkan isi hatinya pada Dela beberapa bulan lalu. Dela bilang dia hanya bisa menganggap Bimo sebagai teman.
“Yaaa...itu kan dulu Rik. Udah 6 bulan yang lalu. I told him we’re just friend, remember? Ngga mungkin lah dia masih suka sama aku”
“Kok kamu yakin? Kalau dia masih memendam perasaan sama kamu gimana? Nanti dia merasa kamu kasih harapan lagi. Terus kalau dia nembak kamu lagi gimana? Atau jangan-jangan kamu mulai suka ya sama dia? Iya kan Del?”, berondong Erik. Dela bingung.
“Kamu kenapa si Rik? Aku cuma menganggap dia teman biasa kok, baik dulu maupun sekarang”, jawab Dela dengan kening berkenyit.
“Terus kalau dia merasa kamu kasih harapan?”
Dela menghela napas sebelum menjawab, “Aku tidak pernah punya niatan seperti itu Rik. Beda sama kamu”
“Aku? Kita sedang membahas soal kamu Del. Kamu jangan mengalihkan pembicaraan lah”, nada bicara Erik meninggi.
“Kenapa sih kamu segitu sewotnya? Kamu seperti...seperti....”, Dela tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
“Seperti sedang cemburu. Itu kan yang mau kamu bilang? Iya, memang begitu. Sejak dulu aku suka sama kamu. Seharusnya kamu tahu tapi kamu tidak sadar juga!”, masih dengan nada bicara yang tinggi, Erik melanjutkan kalimat Dela dengan nafas memburu.
Dela melongo. Sejenak ada jeda panjang di antara mereka. Saling menunggu reaksi masing-masing.
Lantas Dela tersenyum sinis; “Sudah kehabisan perempuan kamu Rik? Tega kamu ya? Jadi semudah itu kamu menggaet cewek-cewek untuk mau dekat sama kamu untuk kamu buat banjir air mata beberapa hari kemudian? Jadi aku korban selanjutnya? I thought we’re best friend”
Erik hendak membuka mulut, tapi Dela keburu memotong.
“Selama ini aku senang berteman dengan kamu karena kamu orang yang asik untuk diajak ngobrol dan diskusi. Kok kamu tega si Rik?”, sebetik air mata mengambang di sudut mata Dela.
“Itulah masalahnya Del, kamu memang selalu manganggap aku sebagai teman. Padahal sejak dulu aku suka sama kamu. Kamu masih ingat kan waktu kita masih SMA aku pernah bilang, dan kamu hanya ketawa?”, Erik mulai merendahkan nada bicaranya melihat air mata Dela yang siap menetes.
“Bilang? SMA? Kapan?”
“Waktu itu kamu cerita kalau si Titin baru aja jadian sama Tino. Lantas aku nanya; “Terus kita kapan Del?”, kamu cuma ketawa sambil bilang; ”Jangan becanda ah!”. Ingat kan kamu?”
Otak Dela membongkar lagi laci-laci memori masa SMAnya. Samar-samar, tapi dia mulai ingat. “Tapi, kukira kamu cuma bercanda”, desisnya pelan.
“Saat itu aku mengumpulkan seluruh keberanian untuk bilang kaya gitu. Jawabanmu saat itu membuat aku tidak berani bertanya-tanya lagi. Aku takut kamu malah menghindariku. Aku takut kamu marah dan nggak mau lagi jadi temanku. Lebih baik aku bertahan menjadi sahabatmu sambil berharap suatu saat kamu juga suka sama aku”.
Dela hendak bicara tapi Erik menyela.
“Tapi kamu nggak pernah menganggapku lebih dari sekedar sahabat Del. Setengah mati aku berusaha melupakan perasaanku sama kamu. Tapi nggak bisa. Lantas aku berusaha membuat kamu cemburu. Itulah makanya aku sering memamerkan hubunganku dengan siapa aja. Berharap bisa melihat sedikit saja ekspresi cemburumu. Tapi aku nggak pernah melihat itu Del. Kamu selalu asyik dengan novel-novelmu, atau dengan laptopmu”
Sesuatu dalam dada Dela berdesir mendengar kata-kata Erik. Jauh di lubuk hatinya, saking jauhnya bahkan sampai Dela sendiri tidak sadar, Dela selalu mengharapkan Erik berkata seperti itu padanya. Selama ini Dela memang sangat menikmati hubungan persahabatnnya dengan Erik. Tanpa Dela sadari, tidak seharipun dia lewatkan tanpa bertemu atau sekedar mendengar suara Erik. Dela selalu membagi segalanya dengan Erik. Erik telah menjadi bagian dari hidupnya sejak mereka masih SMA. Sejenak perasaannya menghangat. Dia tidak menyangka akhirnya Erik mengatakan itu padanya.
Tapi sejurus kemudian dia ingat Tyas, Liana, Lupita dan sederet nama-nama lain yang pernah Erik sebutkan. Beberapa bahkan Dela kenal. Wajah Dela membeku.
“Aku tidak tahu apa aku bisa mempercayai kata-katamu barusan. Bagaimana aku bisa tahu kamu sungguh-sungguh? Bagaimana kalau aku hanya menjadi orang kesekian dalam kamus percintaanmu?”
“Segitu ngga percayanya kamu sama aku Del?”, tanya Erik memelas. Dia sadar Dela tidak salah jika menyangkanya seperti itu.
Dela hanya mengangguk lemah dan berlalu pergi. Dia tidak ingin Erik melihat air matanya yang sudah benar-benar jatuh..
“Del...pleaseee....kasih aku kesempatan....”, panggil erik sia-sia karena Dela tidak mau lagi menoleh.
---
Sejak itu, segalanya berubah. Dela seperti menghilang dari hidup Erik. Dela tidak pernah mau menjawab sms ataupun telfon Erik. Dela juga tidak pernah kelihatan nongol di kampus. Kawan-kawannya bilang Dela tetap kuliah, tapi langsung menghilang entah kemana dan kenapa begitu kelas bubar. Erik datang ke rumah Dela tapi selalu dibilang tidak ada. Entah benar tidak ada atau pura-pura tidak ada.
Erik menyesal. Sesuatu yang selama ini dia takutkan terjadi. Dia telah kehilangan Dela. Tidak ada lagi acara ke tobuk sama-sama. Tidak ada lagi perang urat otot leher gara-gara perbedaan selera bacaan. Tidak ada lagi cewek yang asyik dengan laptopnya yang diam-diam selalu Erik perhatikan. Erik kangen dengan hari-harinya bersama Dela. Tapi rupanya Dela sudah tidak mau lagi mengambil bagian dalam hidup Erik.
Segala cara sudah Erik lakukan. Tapi Dela tidak bergeming. Erik bahkan sampai rela menanti di depan rumah Dela sampai berjam-jam, tapi Dela seakan punya ilmu baru yaitu menghilang dari jangkauan radar Erik. Dela seakan punya rimba sendiri yang dimensinya beda dengan dunia Erik.
---
Sore itu, Erik ke toko buku. Sudah lupa ia kapan terakhir kali dia ke toko buku sendiri. Selama ini dia selalu pergi dengan Dela. Sejak Dela menghindarinya, Erik pun menghindari toko buku. Terlalu banyak kenangan di toko buku bersama Dela.
Tapi sore ini dia benar-benar harus ke toko buku karena ada barang yang harus dibeli.
Melewati rak-rak novel, Erik berhenti sejenak. Matanya tertumbuk ada novel hijau tua bergambar sebuah bola mata; “Eyes of the Dragon”nya Stephen King. Erik mengambil novel tersebut dan tersenyum, “Novel yang Dela banget”, batinnya. Entah kenapa dia lantas memutuskan untuk membelinya.
Baru badannya berbalik, Erik melihat seseorang yang selama ini sangat dikenalnya. Dela pun sedang melihat ke arahnya. Sama-sama terkejut. Tangan Dela menggenggam Memoirs of Geisha.
“Hai Rik. Apa kabar?”, Dela memecah kebisuan. Bingung karena sudah terlanjur bertemu dan tidak mungkin menghindar seperti yang selama ini dia lakukan.
“Baik Del, kamu?”
“Sama”, Dela tersenyum tipis. “Bye Rik, aku duluan ya”, katanya kemudian sambil siap-siap balik badan.
“Dela”, dengan sigap Erik meraih tangan Dela, menahannya untuk tidak pergi.
“Kumohon, dengarkan aku sebentar saja. Setelah itu aku nggak akan mengganggu kamu lagi. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika tidak mengatakan ini padamu”, kata Erik memelas. Dela mengurungkan niatnya dan kembali menghadapkan badannya ke arah Erik.
“Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal. Seharusnya aku tidak mengatakannya dengan cara seperti itu. Tapi aku lega karena akhirnya punya keberanian untuk jujur sama kamu. Kamu memang berhak untuk membenci aku setelah semua tingkah polah yang dengan bodohnya kupamer-pamerkan sama kamu hanya untuk membuatmu cemburu. Aku sama sekali tidak keberatan kamu benci, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku nggak sanggup kalau nggak ketemu sama kamu Del...”.
Erik berhenti sejenak, “Mau nggak kamu berteman lagi sama aku seperti dulu? Mau nggak kamu melupakan apa yang sudah pernah aku katakan sama kamu waktu itu? Aku nggak sanggup kehilangan sahabat seperti kamu Del. Aku sudah ngga peduli lagi akan perasaanku, nggak masalah kalau kamu nggak mau membalasnya. Lebih baik aku jadi temanmu selamanya dan melihatmu jatuh cinta sama cowok lain. Tapi setidaknya aku masih bisa ketemu kamu”.
Dela memandang dalam-dalam mata sahabatnya. Dia tidak melihat ada kebohongan di sana. Erik memang benar menyesal.
“Salah satu hal yang ngga bisa ditarik lagi adalah perkataan Rik. Kata-katamu kemarin sama seperti batu yang sudah terlanjur kamu lempar ke tengah danau dan tenggelam di dasarnya. Nggak mungkin kamu ambil lagi kan?”, kata Dela.
“Jadi...kamu ngga bisa maafin aku Del?”
Dela menggeleng, “Dari awal kamu nggak punya salah sama aku Rik, kalau apa yang kamu bilang tentang perasaanmu itu memang benar. Ngga ada orang yang salah karena berkata jujur kan?”
“Terus kenapa kamu menghindari aku, kalau kamu menganggap aku tidak salah?”
“Aku terlalu takut untuk mempercayai kata-katamu. Seandainya kata-kata itu kamu ucapkan jauh sebelum ada nama-nama semacam Liana, Tyas atau Dinda, mungkin...”, Dela tidak sanggup melanjutkan.
Erik menunggu. Jeda panjang lagi karena Dela tak juga menuntaskan kalimatnya. Erik diam dalam sabar sementara Dela sibuk meredakan ombak dalam dadanya.
“Mungkin...itu adalah kata-kata yang bisa membuatku terbang”, kata Dela akhirnya. Dela menghembuskan napas, lega seakan kata-katanya telah membuang beban perasaan yang selama ini tak berani dia tunjukkan di depan Erik. Wajahnya terasa panas. Erik tersenyum, antara sesal dan lega.
“Knapa novel begituan ada di tanganmu?”, tiba-tiba Erik mengganti topik pembicaraan. Matanya melirik ke arah Memoirs of Geisha di tangan Dela. “Itu sama sekali bukan selera Dela yang dulu, tahu nggak kalau kamu ngga bakalan ketemu vampir, kurcaci atau alien di situ”, kali ini Erik bicara dengan bibir sedikit menyunggingkan senyum.
“Jangan coba-coba mengganti topik pembicaraan Rik”, kening Dela mengerut, bibirnya manyun.
Erik terkekeh, “You start to sound like my Dela”.
“Maksut lo? Sejak kapan aku jadi Dela mu?”
“Sejak dulu kan? Sejak kita SMA, sejak kita sering ke toko buku sama-sama, sejak kita sering perang urat leher gara-gara memperdebatkan roman versus fantasi, sejak kamu asyik dengan laptopmu sementara aku asyik memandangimu...”, mata Erik menatap Dela lembut.
Jeda lagi. Dela speechless.
“Del, hampir tidak ada happy ending untuk sebuah kisah cinta. 99% cerita cinta di dunia ini berakhir dengan air mata, karena salah satu pasti akan meninggalkan yang satunya lebih dulu karena ajal jarang menjemput bersamaan. Tapi toh cinta tetap jadi hal yang manis untuk dijalani dan dikenang. Jadi kenapa mesti takut untuk mengenal jenis cinta yang lain dari yang selama ini kita jalani?”, perlahan tangan Erik meraih jemari Dela. Hangat genggaman Erik mengalir di sepanjang pembuluh darah Dela, memberikan sensasi rasa hangat yang sama. Saat itu, Dela melihat novel di tangan Erik.
“Sejak kapan suka cerita fantasi?”, tanyanya sambil melirik ke arah novel bersampul mata naga.
“Sejak aku kehilangan seseorang yang pasti tidak akan melewatkan baca novel beginian. Kamu? Sejak kapan suka sama roman?”
“Sejak aku sadar tidak ada orang yang bisa menggantikan kamu untuk berantem masalah keperawanan dan alien”, Dela tersenyum dan Erik terbahak. Mereka meninggalkan toko buku dengan jemari saling mengait seperti anyaman ketupat.
Erik merasa tidak perlu lagi bertanya apakah Dela juga punya perasaan yang sama dengannya. Baginya itu tidak lagi penting. Yang terpenting baginya adalah sahabatnya sudah kembali.
Erik senang. Dia akan bisa kembali menjadi tokoh perdebatan seru antara roman dan fantasi. Perdebatan yang pada akhirnya bermuara di semangkok bakso atau sepiring gado-gado. Bagi Erik, itu sudah lebih dari cukup.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)