Selasa, 30 Desember 2014

Pak Herumanto Tanus, Sebuah Memoar

 Sabtu pagi di akhir tahun 2003, saya duduk di sebuah ruangan rapat. Ruangan dengan pendingin udara yang disetting bersuhu rendah itu membuat telapak tangan saya yang sudah dingin karena nervous, semakin dingin. Betapa tidak? Saya sedang menghadapi wawancara. Itu adalah tahap akhir dari serangkaian wawancara untuk bisa diterima di perusahaan tempat saya bekerja sekarang.

Di hadapan saya duduk tiga orang laki-laki, salah satunya adalah Bapak Herumanto Tanus (yang waktu itu saya belum tahu nama dan jabatan beliau).

Saat itu, yang banyak menanyai saya adalah lelaki yang terlihat paling sepuh di antara ketiganya. Belakangan saya tahu, pria itu menjabat sebagai VP Manufacturing. Ya sebenarnya wajar kalau beliau yang paling banyak bertanya, karena wawancara ini adalah rekrutmen untuk program Manufacturing Apprentice.

Sementara itu, Pak Herumanto, yang belakangan saya tahu menjabat sebagai VP Finance, tidak banyak bicara. Beliau hanya bertanya sedikit-sedikit (saya bahkan sudah lupa beliau bertanya apa). Tapi walaupun demikian, beliau memberikan tatapan mata bersahabat plus senyum ramah, yang sedikit banyak membuat telapak tangan saya kembali menghangat dan debar di dada perlahan mereda. Ruangan wawancara itu pun mulai terasa nyaman.

Diterima di bagian produksi membuat saya tak banyak berjumpa dengan Pak Heru (nama panggilan beliau). Wajar saja, selain karena pekerjaan kami memang tak pernah beririsan, lokasi kerja kami terpisah jauh. Pak Heru berkantor di lantai 3 gedung Gunung Bromo dan termasuk golongan orang “office”. Sedangkan saya sehari-hari beredar di Mill dan termasuk golongan orang “pabrik”. Lokasi “office” dan “pabrik” yang terpisah oleh jalan umum membuat saya hanya sesekali saja berjumpa dengan beliau. Paling-paling berpapasan saat usai makan siang, atau ketika sedang sama-sama ada acara yang melibatkan orang “office” dan orang “pabrik”.

Dan seperti saat pertama kali berjumpa, Pak Heru tidak pernah tidak menghadiahkan senyum hangat plus tatapan mata yang ramah, tiap kali kami berpapasan. Sekalipun mungkin bagi beliau, saya ini bukan siapa-siapa. Pak Heru, dengan senyum dan tatapannya yang hangat, seolah mendobrak jarak antara beliau yang menduduki posisi manajemen puncak, dengan saya yang hanya seorang staff biasa. Tak jarang, di beberapa kesempatan, beliau juga sempat mengajak saya bercanda dan berbincang santai, seolah saya ini orang yang tiap hari berjumpa dengannya.

Pernah suatu siang, saya masuk ke ruang meeting utama di lantai 6. Saat itu adalah jadwal latihan menjelang konvensi Kelompok Kerja Mutu. Saya bertugas menyiapkan ruangan, komputer dan proyektor untuk latihan presentasi. Alangkah terkejutnya saya ketika mendapati ruangan meeting itu dipakai untuk acara makan-makan.

Dua meja prasmanan tampak penuh berisi makanan. Beberapa petugas dengan logo sebuah restoran terlihat mondar-mandir. Saya baru ingat, bahwa hari itu memang tengah digelar makan siang bersama untuk mengapresiasi teman-teman yang hendak berkonvensi di Jakarta. Dengan wajah (pura-pura) cemberut, saya (pura-pura) mengomel pada salah satu rekan kerja saya; “Duh, kenapa makan-makannya mesti hari Senin sih? Kan jadi nggak bisa ikutan.” 

Rupanya kata-kata saya itu didengar oleh Pak Heru dan beliau (yang seorang Nasrani) langsung paham mengapa saya berkata demikian.

Karena sisa makanan yang cukup banyak dan hanya saya yang belum makan di ruangan itu, saya langsung disuruh membereskan sisa makanan. Maksudnya membungkus sisa makanan untuk dibawa pulang. Ketika saya sedang memasukkan makanan ke dalam plastik, Pak Heru menghampiri saya lantas “mengomel”.

“Kok sedikit sekali yang kamu bungkus? itu nasi gorengnya dibawa sekalian. Eman masih banyak.”

“Waduh, ini sudah banyak, Pak,” jawab saya.

“Ya kan nanti untuk kamu buka puasa.”

“Biar buka puasa juga nggak sebanyak ini, Pak.” Dalam hati saya bertanya-tanya, masa sih Pak Heru 
ini tidak bisa mengukur kapasitas perut saya?

“Tapi ini brengkesannya enak lho, ayamnya juga,” kata beliau sembari menunjuk-nunjuk nampan berisi lauk.

Demikianlah beliau menunggui saya membungkus semua sisa makanan hingga tandas. Sebuah kegiatan yang sama sekali tidak penting sampai seorang VP harus ikut mendampingi seorang staf membungkus makanan.

Kalau dipikir-pikir sekarang, mungkin itu adalah bentuk kerendahhatian beliau, bentuk perhatian dan kepedulian beliau terhadap orang lain.

Saya yakin, tidak hanya terhadap saya saja beliau bersikap demikian. Terbukti dari betapa banyaknya rekan-rekan yang merasa terpukul mendengar beliau ikut naik di penerbangan Air Asia QZ 8501 yang hilang di sekitar perairan Bangka Belitong. Mustahil seseorang bisa begitu dicintai jika dalam kesehariannya tidak menjalin hubungan baik dengan sesama.

Ketika tulisan ini dibuat, sudah lewat dua malam semenjak berita hilangnya burung besi yang terbang dari Surabaya menuju Singapura itu beredar luas. Pesawat itu berisi sekitar 150 penumpang, termasuk Pak Heru, istri beliau dan dua putra lelaki mereka. Menghabiskan masa liburan sekalian menjenguk putrinya yang sedang menempuh studi Singapura mungkin adalah tujuan mereka pergi ke sana.

Belum ada kepastian mengenai bagaimana nasib pesawat beserta penumpang, pilot dan para kru hingga saat ini. Harapan untuk bisa berjumpa dengan mereka dalam keadaan selamat kian menipis seiring dengan berdetiknya jarum jam. Dan para keluarga yang sedang menanti kabar berita, harus setengah mati menabahkan hati untuk segala kemungkinan terburuk.

Termasuk kami, yang harus bersiap-siap menerima kenyataan bahwa di masa-masa mendatang, kami tak kan pernah lagi menjumpai sosok ramah,  hangat dan bersahabat khas Pak Herumanto Tanus.

*

Tuhan,
Kami tahu tak ada rencanaMu yang tak sempurna
Kami tahu kelak kami semua akan kembali padaMu
Kami tahu pertemuan dan perpisahan itu seiring sejalan
Kami tahu kehendakMu tak mungkin kami tolak
Termasuk jika #MissingAirAsia menjadi misteri yang tak pernah terungkap

Tuhan,
Ampuni jika kami masih terus mengharap keajaiban
Ampuni jika kami sulit menerima kenyataan
Ampuni jika kami terus menangis untuk sesuatu yang telah Kau takdirkan
Ampuni jika kami masih sulit melihat keindahan di balik rencanaMu

Tuhan,
Kami hanyalah makhluk lemah tak berdaya
Yang membutuhkan sedikit tambahan waktu
Agar kami bisa menghadapi kehilangan ini
Yang terlalu tiba-tiba ini
Dengan senyuman....

*
Surabaya, 29 Desember 2014
10:22 PM


(atas nama kami yang merasa kehilangan)

Selasa, 23 Desember 2014

Kembali Padanya

Aku sudah lama tersesat. Entah karena apa. Entah berapa lama. Entah membuatku berada di mana.

Aku tak kenal tempat itu. Sebagaimana aku tak kenal diriku lagi. Negeri itu membuatku lupa. Bahwa ada suatu masa aku pernah sangat bahagia. Masa ketika aku sendiri, tapi tak pernah merasa sepi.

Sebab dulu aku memiliki dia. Aku terikat dengannya. Sepanjang hari dia mengajarkan aku apa artinya rindu. Dia selalu ada menemani lelahku. Seharusnya aku tahu itu. Bahwa dia akan selalu menunggu, walau aku kian tenggelam dalam pusaran waktu.

Aku tahu ini bukan salah siapa-siapa. Bukan salahmu, bukan salahnya, bukan  salah mereka. Melainkan aku. Aku lah yang jadi biang perkara. Dengan penuh kesadaran, aku melepaskannya. Sebagaimana dulu aku dengan suka cita, mengikatkan diri padanya.

Aku terlepas. Tapi itu tidak lantas membuatku bebas. Nyatanya aku malah jatuh dalam belenggu. Belenggu yang tanpa ampun menderaku dengan sepi. Walau aku tak pernah sendiri. Walau sekitarku penuh hiruk pikuk. Membuatku hanya bisa menahan sedu sedan ketika malam.

Nyaris terlambat. Aku sudah terlalu lama lepas. Seperti anak domba yang ditinggal sang gembala begitu saja. Setengah mati aku berusaha mencari jalan kembali. Namun semua sia-sia. Aku tak bisa kembali. Dan hanya menyisakan sesal tak berkesudahan.

Siapa sangka Tuhan ternyata masih sayang? DikirimNya seorang penolong. Seorang penunjuk arah. Tangannya yang kokoh menarikku keluar dari belenggu. Suaranya yang lembut berbisik menenangkan. “Kamu akan pulang”.

Sang penunjuk arah membawaku ke arah yang tepat. Sampai aku menemukan dia lagi.

Dia masih sama seperti dia yang sejak dulu kukenal. Yang setia menungguku. Yang siap mengikatku. Bukan dengan belenggu. Melainkan dengan dekapan yang menentramkan. Dengan dia, aku terikat dan terbebas di saat yang sama.

Hamba Tuhan yang tersesat kini telah pulang. Hari ini baru kusadari. Segalanya terjadi karena kasih sayangNya. Karena Dia menjawab sebuah doa lama. Doa bertahun-tahun lalu. Doa yang nyaris kulupakan. Doa yang pernah kuselipkan dalam sebuah kitab suci. 

“Tuhan, mohon pereratlah ikatanku dengan lembaran-lembaran sabdaMu”


Surabaya, 23 Desember 2014

Senin, 24 November 2014

[Dongeng] Ayam Jantan Yang Ingin Jadi Pelukis


Hari ini Pak Jago, seekor ayam jantan yang gagah, murka luar biasa. Penyebabnya adalah Kokok. Anak lelaki satu-satunya itu baru saja mengatakan bahwa ia ingin jadi pelukis. Pak Jago pun meradang. Ia merasa kehormatan keluarganya ternoda.
Betapa tidak? Sejak jaman dulu kala, nenek moyang Pak Jago sudah bertugas sebagai penanda waktu di alam raya. Begitu matahari mulai bangkit dari peraduannya, ayam-ayam jantan di keluarga Pak Jago, secara turun-temurun membangunkan seluruh penghuni hutan rimba dengan nyanyian mereka yang nyaring. Begitu nyaring hingga mampu menembus tiap-tiap sudut pepohonan, gua dan sarang-sarang hewan. Suara itu memberi tanda bahwa sudah saatnya hewan-hewan malam pulang dan yang lain bersiap meninggalkan sarang untuk memulai aktivitasnya masing-masing.
Keluarga Pak Jago sejak dulu sangat disegani. Seluruh penghuni hutan menganggap keberadaan ayam jantan sangatlah penting. Mereka semua membutuhkan nyanyian ayam jantan sebagai pertanda bahwa hari telah berganti. Tanpa suara nyanyian ayam jantan di pagi hari, niscaya kehidupan di hutan rimba akan berantakan. Pak Burung Hantu yang seharusnya sudah pergi tidur, akan terus bertengger dengan terkantuk-kantuk, hingga tak sadar mangsa yang diincarnya lewat begitu saja. Sementara Pak Buaya yang keasyikan tidur, tak akan sadar bahwa buruannya lalu lalang di hadapannya. Seluruh rantai makanan di dalam hutan akan kacau balau tanpa nyanyian ayam-ayam jantan seperti Pak Jago.
Begitu pentingnya keberadaan ayam jantan di dalam rimba hingga Raja Hutan pun menghormati keluarga Pak Jago dan melarang hewan mana pun mengusik keluarga ayam tersebut.
Itu sebabnya Pak Jago marah besar. Baginya, Kokok adalah harapan satu-satunya untuk meneruskan kehormatan keluarga. Sejak kecil, Pak Jago sudah terus melatih vokal putranya itu agar kelak memiliki suara yang nyaring dan merdu. Tapi dari dulu, Kokok tidak menunjukkan antusiasme. Ia malah lebih suka mencoret-coret dan membuat aneka macam gambar. Dan kini, ketika ia mulai beranjak dewasa, dengan berani ia mengatakan pada ayahnya untuk serius belajar melukis karena kelak ia ingin menjadi pelukis di istana Raja Hutan.
“Bagaimana mungkin kamu ingin jadi pelukis? Kamu mau mempermalukan keluarga, ha?!” hardik Pak Jago.
Kokok ketakutan, tak menyangka ayahnya akan semarah itu. “Saya hanya ingin melukis, Ayah. Bukan mencuri. Melukis kan tidak memalukan,” bisiknya lirih.
Bu Ayam, yang juga ada di situ mendengarkan pembicaraan, hanya bisa diam. Ia sayang pada Kokok, tapi juga tidak berani melawan kehendak suaminya.
“Melukis memang tidak memalukan. Tapi melukis tidak ada dalam kamus keluarga kita. Tugas kita adalah berkokok, membangunkan segenap penghuni rimba dengan nyanyian kita yang nyaring!” suara Pak Jago masih terus meninggi. “Kau pikir bisa membangunkan seluruh penghuni rimba dengan lukisanmu?” sambungnya.
Kokok terdiam. Ia hanya menunduk.
“Biarkan saja Kak Kokok belajar melukis, Ayah. Tugas Ayah untuk berkokok tiap pagi biar aku yang menggantikan,” tiba-tiba Petok menyeletuk. Petok adalah seekor ayam betina, adik bungsu Kokok.
“Ada-ada saja kamu ini, Petok! Mana ada ayam betina yang berkokok? Tugas kamu adalah bertelur dan mengerami telur-telurmu agar kelak menjadi bayi ayam yang sehat. Sudahlah, kamu jangan ikut-ikutan aneh seperti kakakmu!” Pak Jago malah kian marah.
“Tapi Ayah, aku bisa kok. Aku juga berlatih tiap hari dan suaraku hampir senyaring Ayah. Kalau sering-sering latihan aku pasti bisa,” desak Petok, yang memang sejak dulu senang berkokok. Tidak seperti ayam betina pada umumnya yang hanya senang berkotek-kotek, suara Petok sangat nyaring dan lengkingannya panjang, mirip dengan suara ayam jantan.
Pak Jago kehilangan kesabaran. Ia mengibas-ngibaskan ekornya dengan marah. “Duh! Kenapa anak-anakku tiba-tiba jadi tidak bisa diatur? Apa memang begini anak-anak jaman sekarang? Sudah tidak mau ikut pakem nenek moyang? Yang betina ingin berkokok, yang jantan malah ingin diam saja dan melukis,” omelnya.
“Sudahlah Yah. Sabar. Sebaiknya Ayah istirahat dulu. Biarkan Kokok dan Petok merenung dan berpikir. Semoga saja mereka berubah pikiran dan melupakan cita-cita mereka yang aneh itu,” Bu Ayam berusaha menenangkan suaminya, seraya memberi tanda pada anak-anaknya untuk segera menjauh.
Pak Jago menurut. Ia berusaha menahan diri. Dalam hati, ia berharap kemarahannya hari ini bisa menyadarkan Kokok dan Petok agar mau membuang jauh cita-cita aneh mereka.
Tapi Pak Jago salah. Kokok tak pernah berhenti melukis, sebagaimana Petok juga tak pernah berhenti berlatih bernyanyi. Keduanya melakukan itu secara sembunyi-sembunyi karena takut Pak Jago marah lagi.
Tanpa diketahui orang tuanya, Kokok selalu berlatih melukis ditemani sahabatnya, Merak, yang juga sama-sama gemar melukis. Mereka kerap bertemu di pinggir danau atau di tepi sungai untuk melukis. Lukisan-lukisan yang sudah jadi, mereka sembunyikan di dalam sebuah gua, yang kian terlihat semarak dengan adanya lukisan-lukisan yang berwarna-warni hasil karya Merak dan Kokok. Kokok sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Merak, yang mau menemaninya melukis.
*
Suatu hari, Raja Hutan mengadakan lomba melukis. Pelukis yang karya-karyanya bagus akan diangkat menjadi pelukis istana dan lukisan hasil karyanya akan dipajang di dinding-dinding istana. Mendengar kabar ini, tentu saja Merak dan Kokok bersorak.
“Ini kesempatan bagus,” pikir Merak.
“Jika berhasil, tentu cita-cita sebagai pelukis istana akan terwujud,” batin Kokok.
Demi mengikuti lomba tersebut, Kokok dan Merak semakin rajin melukis. Dan kemudian tibalah hari saat mereka harus membawa lukisan-lukisan untuk dilombakan ke istana. Raja Hutan sendiri yang nanti akan menjadi juri.
“Bagaimana menurutmu lukisan yang ini, Merak?” tanya Kokok.
Merak memandangi lukisan yang ditunjukkan sahabatnya. Itu lukisan kawanan gajah berkepala terompet. Merak merengut. “Menurutku ini lukisan yang aneh, mana ada gajah yang punya kepala terompet?”
Kokok meletakkan lukisan itu dan ganti mengambil lukisan yang lain. Kali ini gambar bola mata raksasa yang meneteskan air mata yang jatuh di atas sebuah kolam. “Kalau ini?”
“Aduh, ini lebih aneh lagi. Raja Hutan akan menertawakan kamu kalau melihat lukisan ini. Mana ada bola mata sebesar kolam?”
Kokok menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diambilnya satu lukisan lagi. Itu lukisan sekuntum mawar yang mahkotanya terbuat dari lidah api berbentuk siluet burung menari-nari. “Bagaimana kalau yang ini?”
“Duh, ini yang paling aneh. Coba bandingkan dengan punyaku,” Merak meraih lukisannya. Sebuah lukisan bunga mawar yang sangat indah, lengkap dengan kupu-kupu bersayap lembayung yang hinggap di kelopaknya. Lukisan itu memang cantik luar biasa.
“Lantas, sebaiknya aku membawa lukisan yang mana?” desah Kokok putus asa.
Merak angkat bahu. “Maaf Kokok. Menurutku, semua lukisanmu tidak ada yang layak untuk dilombakan. Semuanya aneh. Mengapa sih kamu tidak melukis gambar yang biasa-biasa saja? Seharusnya kalau mau melukis gajah ya gajah saja, tidak usah pakai terompet. Kalau mau melukis bola mata ya jangan yang sebesar kolam. Kau tahu kan seberapa besar ukuran bola mata? Apalagi ini, lukisan mawarmu jadi aneh gara-gara mahkotanya kau rubah menjadi lidah api dan siluet burung,” jelas Merak panjang lebar.
Kata-kata Merak tersebut membuat Kokok seketika kehilangan percaya diri. Ia tak mengira lukisan-lukisannya ternyata seburuk itu.
Ia menghela napas panjang. “Kalau begitu, kau pergilah ke istana, Merak. Aku tidak jadi ikut. Mungkin Ayahku benar. Aku memang tidak berbakat melukis,” bisiknya lirih. Kokok bersiap-siap mengemasi barang-barangnya dan hendak berjalan pulang ketika Merak memanggilnya.
“Hai Kokok, lantas bagaimana dengan lukisan-lukisanmu ini?” tanyanya seraya menuding lukisan hasil karya Kokok yang tertempel di dinding gua.
“Kau ambil saja. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi,” katanya dengan tidak bersemangat.
Merak tidak lagi bertanya dan kembali memilih lukisan-lukisan yang hendak dibawa ke istana.
Hari itu semangat melukis Kokok menguap sudah. Ia menganggap dirinya memang tak berbakat melukis. Padahal selama ini ia selalu belajar melukis dengan sungguh-sungguh. Tiap-tiap coretan dan goresannya adalah hasil perenungan yang dalam tentang caranya memandang kehidupan di hutan rimba.
Ternyata di mata hewan yang mengerti tentang lukisan seperti Merak, hasil karyanya itu justru hanya akan mempermalukan diri sendiri. Lagi-lagi Kokok bersyukur memiliki teman seperti Merak. Untung saja Merak mengingatkannya bahwa hasil karyanya sangat buruk dan aneh. Bagaimana jika nanti Raja Hutan tidak hanya menertawakannya, tapi juga memurkainya gara-gara lukisannya yang sangat tidak layak diikutkan perlombaan?
“Ah, mungkin Ayah dan Ibu memang benar, ayam jantan memang seharusnya tidak melukis,” batin Kokok. Mulai sekarang, ia bertekad untuk menuruti permintaan Pak Jago, yakni meneruskan tugas yang sudah turun temurun dilakoni nenek moyang mereka. Bernyanyi tiap pagi untuk membangunkan semua penghuni hutan rimba. Keputusan ini membuat Pak Jago dan Bu Ayam bahagia bukan kepalang. Akhirnya putra mereka satu-satunya sadar juga.
Hanya Petok yang tampak kecewa. Tapi itu bukan masalah. Pak Jago yakin, setelah ini Petok akan disibukkan dengan urusan bertelur dan mengerami. Ia akan segera lupa dengan cita-citanya untuk berkokok tiap pagi.
*
Waktu berlalu. Pak Jago sudah lanjut usia. Tugasnya membangunkan penghuni hutan sudah digantikan oleh Kokok, sesuai dengan keinginannya dulu. Walau suara nyanyian Kokok masih belum senyaring suara Pak Jago, tapi ia yakin Kokok akan segera memiliki suara seindah dirinya jika terus berkokok tiap pagi.
Suatu hari, rumah Kokok dilewati beberapa binatang yang berbondong-bondong ke arah istana. Kokok pun bertanya pada mereka, “Hendak ke mana kalian?”
Seekor Tupai menjawab, “Tidakkah kau tahu? Di istana sekarang sedang dibuka pameran lukisan.”
“Iya, kabarnya lukisan yang dipamerkan adalah hasil karya seorang pelukis yang jenius. Siapa namanya? Rajawali?” timpal Kancil.
“Bukan Rajawali. Tapi Merak,” ralat Tupai.
“Oh ya betul. Merak adalah salah satu pelukis istana sejak dia memenangkan lomba melukis beberapa waktu yang lalu. Wah kabarnya lukisan-lukisan Merak itu tidak ada duanya.”
Kokok terperanjat. Jadi Merak berhasil memenangkan lomba lukis itu? Pantas saja sejak mereka berpisah di gua terakhir kali, ia tak pernah lagi menjumpai Merak. Rupanya dia sudah tinggal di istana dan menjadi pelukis khusus keluarga Raja. Ada rasa bangga sekaligus iri terbersit di hati Kokok.
“Kami hendak ke sana, ingin melihat lukisan yang katanya sangat legendaris. Judul lukisannya, mmm...kalau tidak salah “Kolam Air Mata””, ujar Kucing Hutan.
Apa? Kokok melongo. Rasanya ia ingat judul lukisan itu.
“Tapi yang lebih heboh adalah lukisan “Suara Gajah”, yang konon bergambar kawanan gajah berkepala terompet. Wah, pasti unik ya?” sanggah Burung Jalak.
Apa? Kokok melongo lagi.
“Hmmm...kalian salah. Lukisan “Tarian Mawar” lah yang paling terkenal. Berkat lukisan bunga mawar dengan mahkota lidah api berbentuk siluet burung yang menari-nari itu, Merak menjuarai lomba lukis istana. Alangkah hebat dan beruntungnya dia,” tukas Tupai seraya menggerak-gerakkan telunjuknya.
Apa? Lemas sudah kaki Kokok. Untung kawanan binatang itu tidak memperhatikannya karena terlalu serius mendiskusikan soal Merak dan lukisannya.
“Raja Hutan menyebut lukisan Merak itu sebagai lukisan suri...sure...sura...ngggg?” Kancil berusaha mengingat-ingat.
“Surealisme maksudmu?” jawab Burung Jalak.
“Ya betul! Merak adalah pelukis surealisme. Itu aliran baru dalam dunia lukis-melukis. Menurut Raja Hutan, fantasi Merak yang tertuang dalam hasil karyanya sangatlah fantastis. Berbeda dengan lukisan-lukisan lain yang hanya melulu menggambarkan pemandangan alam biasa. Merak mampu menggambarkan hutan rimba dengan cara yang berbeda,” jelas Kancil panjang lebar.
Kawanan binatang itu lantas melanjutkan perjalanan mereka masih dengan memperbincangkan Merak dan lukisan-lukisan hebatnya, meninggalkan Kokok yang masih termangu.
Ingatan Kokok seketika kembali ke masa lalu. Dia ingat dengan jelas, “Kolam Air Mata”, “Suara Gajah” dan “Tarian Mawar” adalah lukisan-lukisan yang dahulu mendapat komentar negatif dari Merak. Komentar yang kemudian membuatnya kehilangan rasa percaya diri dan lantas memilih pergi.
Ah, seandainya saja saat itu Kokok tidak mengacuhkan kata-kata Merak, mungkin ia tak kan pernah meninggalkan lukisan-lukisannya di dalam gua, bersamaan dengan cita-cita dan impian masa kecilnya yang tidak ia bawa serta.


-selesai-

Selasa, 04 November 2014

[Cerpen] Basement


Aku tidak ingat apa yang membuatku begitu membenci basement. Yang pasti bukan karena aku mengidap klaustrofobia. Bukan. Buktinya, aku baik-baik saja kalau berada di dalam lift yang sempit dan disesaki penumpang. Aku juga merasa oke ketika berjalan di lorong sempit di “Haunted Castle”, rumah hantu yang katanya paling menyeramkan di kota kami.
Aku juga tidak ingat sejak kapan aku membenci basement. Rasanya, dulu waktu awal-awal aku bekerja di Mall ini, aku baik-baik saja. Aku tidak terganggu dengan lorong-lorong melingkar yang hanya muat satu mobil, dinding-dinding kelabu dengan garis kuning menyala di kiri kanan, lampu-lampu kecil remang-remang yang membuat lorong-lorong di basement menjadi seperti perjalanan dengan mesin waktu. Aku sama sekali tak merasa terganggu, walaupun terkadang kupikir lorong-lorong menuju basement ini seolah tiada akhir.
Aku tak mengerti, mengapa hari ini aku sedemikian ketakutannya ketika melihat mulut lorong yang akan membawaku dua level dari permukaan tanah, menuju tempat parkir khusus karyawan Mall di lantai basement.
Aku tak punya pilihan lain. Kalau tidak segera parkir, aku akan terlambat masuk kerja. Mall akan segera buka, dan sebagai manajer sebuah restoran cepat saji, masih banyak yang harus kupersiapkan. Telapak tanganku terasa dingin ketika mobilku mulai menyusuri lorong, turun ke bawah, menuju basement.
Perlahan, dengan gigi satu, aku membiarkan mobilku melaju menyusuri lorong berdinding abu-abu. Berputar. Ke bawah. Terus berputar. Terus...berputar...
Aneh, seingatku lorong ini biasanya tidak sepanjang ini. Jangan-jangan...lorong ini benar-benar berubah menjadi lorong tak berujung?
Segera kutepis pikiran itu. Ah, aneh-aneh saja. Aku kan tidak sedang bermimpi atau main film. Setengah mati aku berusaha meyakinkan diri bahwa lorong ini akan membawaku ke tempat parkir dan semuanya akan baik-baik saja.
Mobilku berputar beberapa kali hingga akhirnya aku melihat cahaya. Tidak terlalu terang, tapi cukup membuatku menghembuskan nafas lega. Akhirnya.... Segera kuparkir mobilku dan berjalan menuju pintu masuk menuju Mall. Eh,tapi...di mana pintunya? Biasanya ada di sebelah sana. Kenapa sekarang tidak ada?
Aku menjitak kepalaku sendiri. Membenci sifat pelupaku yang kian hari kian parah. Kok bisa sih aku lupa letak pintu masuk menuju tempat kerjaku sendiri? Aku menoleh kiri kanan mencoba mencari petunjuk. Ah, kebetulan ada seorang security yang sedang berkeliling.
“Pak, pintu masuknya sebelah mana ya?” tanyaku.
“Sebelah sana Mbak,” ujar petugas berseragam itu seraya menunjuk sebuah arah.
Aku mengikuti arah yang ditunjuknya dan melihat sebentuk daun pintu berwarna biru. Lega rasanya. Rupanya bukan pintunya yang hilang, melainkan akunya yang lupa. Setelah berterima kasih, aku langsung bergegas menuju arah yang ditunjuk.
“Hati-hati Mbak,” panggil Security itu lagi.
Aku menoleh ke arahnya dengan kening mengernyit.
“Kemarin malam ada perempuan yang habis diperkosa,” ujarnya lagi.
Aku terkesiap. Masa sih? Kok aku bisa tidak tahu? Kemarin malam kan aku juga masuk kerja. Rasanya tidak ada yang aneh ketika aku pulang. Ah, mungkin itu terjadi setelah aku pulang.
Namun apa yang kudapati di balik pintu berwarna biru itu membuatku ketakutan. Tidak ada Mall, tidak ada hawa sejuk berAC dan aroma khas pusat perbelanjaan, yang biasa menyambutku begitu aku membuka pintu. Tidak ada. Yang ada lagi-lagi hanya tempat parkir basement. Aku berbalik dan berusaha menemukan Security tadi. Dia tidak ada.
Astaga, ini pasti mimpi buruk. Aku menampar dan mencubit pipiku. Aw, sakit!
Dalam kondisi tegang, badan gemetaran dan keringat dingin yang mulai membasahi tengkuk, secepat mungkin aku berlari kembali ke mobil. Aku harus segera keluar dari tempat ini!
Aku menemukan mobilku. Ia masih terparkir di tempat di mana terakhir aku meninggalkannya. Segera kupacu mobilku meninggalkan tempat parkir menuju lorong pintu keluar.
Dinding kelabu lagi, lampu remang-remang lagi, lorong yang seolah tak berujung lagi. Mobilku terus melaju. Terus...melaju...Aneh, seharusnya lorong ini tak sepanjang ini. Seharusnya aku sudah sampai di atas dan bisa melihat cahaya matahari. Jantungku berdegub kian kencang tak keruan.
Karena nafasku mulai terasa sesak, aku menurunkan kaca jendela, dan angin yang entah datang dari mana menyeruak masuk. Sejenak memberikan rasa segar sekaligus menimbulkan bunyi yang tidak biasa. Krrsssk!!!
Aku menoleh. Ah, rupanya angin menghembus koran pagi yang tadi kubeli di lampu merah dan kugeletakkan begitu saja di bangku penumpang tanpa sempat kubaca. Tunggu dulu, judul headlinenya...
Ciiiittt...!!! Aku mengerem mobilku, tak peduli aku sedang berada di lorong tempat parkir yang dalam kondisi biasa, akan sangat berbahaya berhenti tiba-tiba seperti itu.
Tanganku gemetaran begitu membaca headline koran pagi hari ini. “Diduga Diperkosa, Karyawati Mall Ditemukan Tewas”. Detik itu ingatanku kembali. Aku ingat mengapa dan sejak kapan aku membenci tempat parkir basement yang  remang-remang dan sepi. Mataku menelusuri foto beberapa lelaki berseragam yang membawa kantung mayat. Ada insert foto kecil di ujung kanan bawah.
Itu fotoku.

-selesai-

Kamis, 23 Oktober 2014

[Cerpen] Suamiku Dan Seseorang Bernama Sri



 Ini bukan yang pertama kali aku mendatangi rumah ini. Tapi ini pertama kalinya aku ke mari dengan perasaan seperti ini. Campur aduk. Tak karuan. Marah, sedih, tak mengerti, bingung dan ragu bercampur melebur, membuat degup jantungku tak menentu. Aku sadar benar tanganku gemetaran seperti orang yang terkena Parkinson saat menekan bel.
Mungkin kalian tidak mengerti apa yang kurasakan jika tak paham bagaimana peliknya situasi yang kuhadapi saat ini. Sebenarnya penyebabnya hanya satu hal yang sederhana. Cemburu. Ya, rasa cemburu lah yang membuatku memberanikan datang ke rumah mungil nan asri ini.
Rumah bercat hijau dengan taman mungil yang terawat ini selalu membuatku kagum. Lebih tepatnya kagum pada pemiliknya. Aku tahu pemiliknya bukanlah seorang wanita yang banyak menghabiskan waktu di rumah seperti aku. Ia seorang wanita karir yang terpelajar dan sibuk tentunya. Tapi toh, nyatanya ia masih bisa meluangkan waktu untuk menata rumah dan taman mungilnya menjadi secantik ini.
Rumput-rumput hijau terpotong rapi dan selalu tampak segar, pot-pot tanaman kuping gajah dengan daun yang gemuk berkilauan berderet rapi di sepanjang carport, rumpun bungan bougenville tiga warna tumbuh subur hingga menutupi pagar setinggi lutut dan sebuah pohon kamboja kuning yang bunganya selalu bermekaran berdiri anggun di salah satu sudut taman, serta gemericik air dari kolam mungil berisi beberapa ekor ikan koi, membuat siapapun akan betah berlama-lama berada di sana. Termasuk aku.
Aku selalu suka jika diajak suamiku berkunjung ke rumah ini. Selain karena rumah mungil yang menebarkan perasaan nyaman, pemiliknya adalah orang yang sangat menyenangkan. Ia ramah, humoris, pintar membuat kue dan selalu menyambut tamu-tamunya dengan hangat.
Namun sekarang aku tahu pasti aku tidak akan suka berada di rumah bergaya modern minimalis ini. Aku tahu aku akan didera perasaan tak nyaman yang membuatku ingin berlari pulang. Bukan karena rumah ini kehilangan kenyamanannya, melainkan karena pemiliknya memiliki nama yang sama dengan nama yang kerap disebut-sebut suamiku dalam igauannya. Sri.
Aku biasa memanggilnya Mbak Sri. Aku langsung menyukai sosoknya begitu pertama kali berkenalan dengannya. Dia, suamiku dan seorang teman laki-laki bernama Mas Adi adalah sahabat dekat semenjak kuliah tingkat pertama. Bahkan setelah kami menikah, mereka masih menyempatkan diri untuk berkumpul bersama. Rumah orang tua Mbak Sri adalah markas mereka saat masih kuliah. Kini, karena Mbak Sri sudah punya rumah sendiri, markas mereka pun ikut-ikutan pindah. Sesekali, aku ikut bergabung bersama mereka.
Mas Zul, suamiku adalah orang pertama dari tiga serangkai itu yang menikah lebih dulu. Aku, yang lima tahun lebih muda dari Mas Zul adalah anak dari sahabat kental ibu Mas Zul. Konon, dua wanita ini (ibuku dan ibu Mas Zul) sudah berjanji untuk besanan jika kelak aku dan Mas Zul dewasa. Saat pertama berkenalan dengan Mas Zul, aku langsung merasa nyaman. Mungkin itu yang disebut cinta pada pandangan pertama. Dia pria yang sangat menyenangkan. Karena Mas Zul juga tidak keberatan dengan perjodohan itu (semoga karena dia juga merasa nyaman berada di dekatku), maka tak lama kemudian pernikahan kami berlangsung. Itu terjadi kira-kira 2 tahun yang lalu.
Ketika aku diperkenalkan dengan sahabat-sahabat karibnya, aku langsung merasa diterima dengan baik. Mbak Sri dan Mas Adi menganggapku seolah aku juga teman lama mereka.
“Kamu nanti bilang sama aku ya, Azizah, kalau seumpama si Zul ini macam-macam sama kamu,” cerocos Mbak Sri.
“Lha memangnya mau kamu apakan si Zul ini kalau memang dia macam-macam sama Azizah?” Mas Adi bertanya dengan kening bertaut.
“Ya aku kasih pelajaran lah. Biar ndak macam-macam sama perempuan. Opo maneh perempuan ayu kaya Azizah begini,” jawab Mbak Sri kenes.
“Pelajaran apa Sri? Si Zul ini sudah kenyang kamu ajari matematika dasar dari tingkat satu sampai lulus masih belum ngerti juga. Mungkin kamu yang ndak bisa ngajar. Sudah ngomongnya sama aku aja, Azizah, aku lebih pintar ngasih pelajaran,” seloroh Mas Adi.
“Ya aku pasti macam-macam to sama Azizah . Wong dia ini kan istriku. Kalau cuma satu macam malah bisa mati bosen dia. Iya nggak?” Mas Zul menimpali sambil melemparkan kerlingan menggoda.
Aku tergelak.
Tapi itu dua tahun yang lalu. Belakangan ini, Mas Zul mulai berubah.
Dia terlihat lebih pendiam, sering terlihat murung dan letih. Dia juga jarang pulang ke rumah. Kalau ditanya, jawabannya selalu seputar “sedang banyak kerjaan”, “masih meeting” atau “ketemu client”. Tapi mas Zul tak pernah berubah sikap terhadapku. Ia tetap lah suami yang manis. Walaupun wajahnya sering terlihat kuyu, ia masih sempatkan mengecup kening dan pipiku sebelum tidur. Paling-paling juga dia hanya berbisik, “Maaf Azizah, Mas capek sekali” ketika aku mulai mencumbunya.
Awalnya aku percaya saja dan lantas berhenti bertanya, membiarkan dia menikmati waktu istirahatnya tanpa banyak kuusik. Namun beberapa hari yang lalu, aku mendengar hal yang sulit dipercaya. Mas Zul mengigau, dan dalam igauannya, dia hanya menyebutkan satu nama. Berkali-kali. Bahkan pernah di suatu malam, Mas Zul merapal nama itu disertai leleran air mata. Astaga, belum pernah sekali pun aku melihat suamiku menangis. Mengapa justru ketika dia menitikkan air mata, itu karena seseorang yang bukan aku?
Tentu saja aku tidak pernah membangunkannya atau kemudian bertanya-tanya mengapa nama itu kerap ia sebut dalam tidur. Aku melakukan itu lebih karena takut mendengar jawabannya. Aku takut mendengar sebuah kenyataan yang tak ingin kuketahui. Bahwa Mas Zul dan Mbak Sri…
Bukankah mereka sudah sejak lama saling kenal? Ada hari-hari panjang di antara mereka yang aku tidak tahu. Mungkin saja mas Zul memendam perasaan pada Mbak Sri namun juga tak kuasa menolak kehendak ibundanya untuk dijodohkan dengan aku. Ya Tuhan, jika memang demikian, alangkah menderitanya mas Zul selama ini. Menekan perasaannya sendiri dan berusaha membunuhnya justru di saat cintanya sedang mekar. Mungkinkah itu juga yang menjadi alasan Mbak Sri tidak juga menikah? Jangan-jangan, di balik tawa riangnya selama ini, sebenarnya ia menyimpan luka yang teramat dalam tiap kali melihat aku dan Mas Zul berdua.
Aku tak bisa marah pada mas Zul, ataupun membenci Mbak Sri. Tak ada alasan untuk kesal pada keduanya. Aku menyayangi keduanya.
Lagipula, Mbak Sri memang wanita luar biasa. Sulit untuk tidak menyukai Mbak Sri jika sudah mengenalnya. Ia memiliki kepribadian yang jarang dimiliki orang lain. Kepribadian yang bisa membuat orang langsung menganggapnya sebagai orang yang menyenangkan, yang langsung menganggapnya sebagai teman yang sudah bertahun-tahun kenal, yang membuatnya seolah-olah ia seorang dewi. Selain itu, tak seorang pun meragukan kecerdasan Mbak Sri. Itu sebabnya di usianya yang masih terbilang muda, ia menduduki jabatan sebagai vice president di sebuah perusahaan swasta terkenal.
Kecemerlangan karir Mbak Sri tidak lantas membuatnya besar kepala. Ia selalu tampil rendah hati dan bersahaja. Kepada siapa saja. Aku pernah melihat bagaimana ia dengan hangatnya memperlakukan pemulung yang mengorek-ngorek sampah di depan rumahnya, bagaimana ia mengajak bercanda tukang bakso yang sedang lewat di depan rumah. Mbak Sri seolah selalu menebarkan aura bahagia di sekitarnya. Itu sebabnya aku sangat, sangat maklum jika mas Zul mencintai wanita seperti itu. Kupikir, jika aku laki-laki, mungkin aku juga akan jatuh hati pada Mbak Sri.
Setelah beberapa kali mendengar igauan mas Zul, sebuah chat history yang tak sengaja kubaca karena ponsel mas Zul pernah ketinggalan di rumah semakin memperkuat dugaanku. Mbak Sri memang orang yang sangat istimewa di hati mas Zul.
+ Aku tahu ini salah, Sri. Tapi aku tidak sanggup melupakan apa yang pernah terjadi di antara kita.
@ Kamu harus bisa, Zul. Ingat kau sudah punya Azizah. Dia istri yang baik.
+ Dia memang luar biasa. Tapi aku tidak mampu membohongi diri sendiri. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Sri.
@ Kamu harus coba terus.
+Kamu pikir 2 tahun terakhir ini aku tidak mencoba?
@ Kamu tahu sejak awal kita tidak mungkin bisa bersama kan?
+ Kamu yang bilang begitu. Kamu yang selalu bilang “ini demi orang-orang yang kita sayangi”.
@ Memang begitu kan? Kamu sendiri juga tidak ingin menyakiti hati ibu kamu dengan mengungkapkan kenyataan bahwa aku dan kamu...
+ Hmmm…Sepertinya kita terlalu memikirkan kebahagiaan orang lain hingga lupa pada kebahagiaan kita sendiri, Sri.
@ Hmmmm…entahlah.
+ Lantas sampai kapan kita terus seperti ini?
@ Aku tidak tahu, Zul. Terkadang memang ada cinta yang tak mungkin bisa kita genggam, walaupun kita jatuh cinta mati-matian.
Aku tak sanggup melanjutkan membaca. Mataku memburam. Entah berapa lama aku jatuh terduduk dan membasahi lantai dengan air mata, yang tak jelas keluarnya karena apa.
Aku marah, tapi tak tahu marah pada siapa. Pada Mas Zul yang ternyata menduakan aku? Pada orang tua yang menjodohkan kami? Pada Mbak Sri yang menjadi orang ketiga?  
Tidak. Mbak Sri tidak salah. Aku lah yang sejak awal menjadi orang ketiga dalam kehidupan mereka.
Ibuku dan mertuaku juga tidak salah. Mereka sejak awal tak pernah memaksakan perjodohan. Mereka selalu bilang; “Ini ikhtiar, siapa tahu Zul dan Azizah bisa cocok. Kalau tidak saling suka juga tidak apa-apa. Tidak perlu dipaksakan.”
Mas Zul apalagi. Dia yang paling menderita dalam hal ini karena harus memaksakan diri untuk hidup bersama dengan orang yang tidak dia cintai. Bersandiwara dengan menekan perasaannya sendiri. Aku terisak ketika membayangkan bagaimana perasaan Mas Zul ketika kami bercinta? Mungkinkah ia selalu membayangkan sosok mbak Sri manakala kami tengah bersatu?
Ya Tuhan…bodohnya aku tidak segera menyadari. Ternyata mencintai seseorang tidak cukup untuk bisa menyelami perasaannya. Ataukah karena Mas Zul sedemikian pintarnya membungkus perasaannya dan meletakkannya dalam sebuah palung maha dalam?
Aku tak tahu apa yang akhirnya membuatku segera menghubungi nomor ponsel Mbak Sri dan memintanya untuk bertemu. Padahal aku juga tidak tahu apa yang nanti akan kukatakan kepadanya. Mungkin memintanya untuk menjauh dari kehidupan Mas Zul? Atau malah memintanya untuk kembali pada mas Zul sementara aku yang mengalah?
Mbak Sri merespon dengan baik permintaanku untuk bertemu. Ia malah membatalkan rangkaian meetingnya hari itu demi bisa kembali ke rumah dan bertemu denganku. Mbak Sri tidak ingin membuatku rikuh dengan mendatanginya di kantor. Ia sepertinya tahu, hal yang kubicarakan ini akan membuatku tidak nyaman jika diketahui banyak orang.
“Ayo masuk, Azizah,” suara Mbak Sri membuyarkan lamunanku yang sedari tadi berdiri di depan rumahnya. Suara lembut Mbak Sri itu serta merta membuyarkan segala kata-kata yang sudah kususun dan hendak kusampaikan dengan runut agar urusan ini tidak menjadi kian runyam.
Apalah daya, perasaan yang bercampur aduk tak keruan sejak berhari-hari sebelumnya akhirnya tumpah ruah begitu saja, menjadi ceracauan bercampur isak tangis.
Mbak Sri mendengarkan dengan diam sambil sesekali tangannya mengelus punggungku, berharap isakku sedikit reda dan kata-kataku bisa terdengar lebih jelas.
“Azizah akan mengalah, Mbak. Demi Mas Zul,” akhirnya kata-kata itu lah meluncur dari mulutku. Hatiku remuk saat mengatakannya. Tapi akan lebih remuk lagi jika harus melihat orang yang sangat kucintai menderita karena merasa terpaksa hidup dengan aku.
“Sudah kuduga suatu saat kamu akan tahu juga, Azizah. Maafkan kami selama ini selalu bersandiwara dan membuatmu merasa seolah semua baik-baik saja,” bisik Mbak Sri lembut.
Kata-kataku sudah tak bisa lagi meluncur. Hanya air mata yang tak bisa berhenti mengalir.
“Tapi kamu salah memahami,” ujar Mbak Sri lagi.
Aku mendongak menatap mata hitamnya yang bersinar lembut.
“Tunggu sebentar ya,” Mbak Sri bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah bufet yang menyimpan beberapa album foto. Ia mengambil salah satunya, membuka lembar demi lembar dan setelah menemukan yang dia cari, ia kembali melangkah ke arahku. “Memang ada orang lain yang dicintai Zul. Sejak dulu.”
Aku menerima album foto yang diulurkan Mbak Sri. Album itu berisi foto-foto lama Mas Zul dan kawan-kawannya semasa masih kuliah.
“Kami sudah berjanji untuk menyimpan urusan ini rapat-rapat. Tak ada yang tahu soal ini selain Zul, aku dan orang yang dicintainya. Tapi sekarang kamu sudah jadi istri Zul dan kurasa kamu juga berhak tahu,” kata Mbak Sri.
Aku menatapnya tak mengerti. “Apa maksud Mbak?”
“Dia lah orang yang dicintai Zul selama ini, kamu juga tahu kok siapa orangnya,” telunjuk Mbak Sri menunjuk foto seseorang.
Mbak Sri benar. Aku kenal orang itu. Tapi…tapi itu tidak mungkin. Aku menggeleng seraya menghunjamkan pandangan tak percaya pada obyek yang ditunjuk Mbak Sri.
“Dia yang bernama Sri, Azizah. Sriadi,” Mbak Sri seolah bisa membaca pikiranku. Jarinya masih menunjuk pada foto Mas Adi.

-selesai-
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)