Sabtu, 31 Agustus 2013

Rahasia Mentari



Namanya Mentari, dia kawanku satu angkatan. Catat, “hanya” kawan. Bukan kawan baik, kawan karib, kawan tapi mesra apalagi pacar. Bagi Mentari, aku adalah teman jalan bareng ke Perpustakaan, atau teman makan bakso atau teman satu kelompok saat praktikum. Tapi aku bukan satu-satunya kawan Mentari. Dia punya puluhan teman lain –laki-laki maupun perempuan- yang juga seringkali menemaninya ke perpustakaan, makan bakso juga praktikum. Jadi, aku yakin, bagi Mentari kehadiranku mungkin hanya mengisi tidak sampai 1 persen dari seluruh volume ruang hidupnya.
Sebaliknya, bagiku Mentari memang seperti matahari. Sinar matahari mungkin tidak bisa menembus sudut-sudut yang terhalang material padat tak tembus pandang. Namun hangatnya tetap terasa menembus semua ruang tertutup. Demikianlah Mentari menghangatkan hati dan hidupku. Dengan senyumnya. Dengan sapaan ramahnya. Dengan keceriaannya. Kehadirannya maupun ketidakhadirannya kini mengisi hampir seluruh ruang hatiku, tanpa sepengetahuannya.
Mungkin saja aku jatuh cinta. Tapi bisa juga tidak. Aku memang kerap memikirkan Mentari. Tapi anehnya aku juga tidak cemburu melihat wajah cerianya yang sedang berboncengan berdua dengan pacarnya. Wajah ceria Mentari itu lho, yang membuatnya menjadi semacam candu. Dan senyum itu, walau tidak selalu ditujukan padaku, menjadi semacam wabah yang menularkan rasa bahagia padaku.
Pagi ini, kulihat Mentari datang dan masuk kelas. Sepuluh menit lagi, kuliah Desain Alat akan dimulai. Dia segera melihatku yang sedang duduk sendirian. Langsung saja dia mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Hai, selamat pagi”, sapanya. Senyumnya yang manis itu tersungging di bibirnya yang mungil.
“Pagi”, jawabku. “Lho, kamu sakit ya?”, tanyaku ketika melihat lingkaran gelap di matanya dan wajahnya yang sedikit lebih pucat dari biasanya.
“Hah? Nggak tuh”, dia menggeleng sambil membuka diktat Desain Alat dan Kalkulator scientific. “Dit, ini ngitung tebel vessel pakai persamaan yang ini ya? Terus koefisiennya lihatnya di tabel...4.1. Bener nggak?”, tanyanya tanpa menghiraukan raut wajahku yang masih ingin bertanya lebih lanjut.
Aku melihat persamaan yang ditunjuknya dan lantas mengangguk. “Bener kamu nggak sakit?”, tanyaku lagi.
Dia menggeleng pelan, bibirnya masih menyunggingkan senyum. Saat itulah, aku menyadari ada yang aneh dari sinar matanya. Sinar mata itu redup, tak seperti biasanya. Ingin aku bertanya lagi, tapi niat itu kutahan karena melihat Mentari yang langsung sibuk dengan kalkulator dan perhitungan tebal vesselnya.
Hari itu kutahu Mentari putus dengan pacarnya. Tapi entah mengapa aku yakin, keanehan Mentari pagi ini bukan karena putus cinta. Sebab aku tahu Mentari sudah beberapa kali pacaran, beberapa kali putus dan tidak pernah sekalipun terlihat aneh seperti tadi pagi. Keanehan yang mungkin hanya bisa terdeteksi olehku, orang yang selalu memperhatikannya.
Sore itu juga, aku melihat Mentari asyik bercanda dengan beberapa mahasiswi. Melihatku melintas, Mentari melambai. “Didit!!, mau ke perpus ya?”, teriaknya.
Aku melihat jam tangan. Jam 4 sore. Sebenarnya aku tidak ingin ke perpus, tapi jika Mentari butuh teman ke sana sudah pasti aku tidak akan menolak. Aku mengangguk. “Mau bareng?”, tanyaku.
“Iya..tunggu ya..”, dia berlari-lari menghampiriku. Ketika kami berhadapan, semakin yakinlah aku ada yang tidak beres dengannya. Wajahnya kian pucat dan matanya memerah.
“Aduh Dit”, katanya sambil menepok jidat. “Sori ya aku tiba-tiba berubah pikiran. Aku lupa kalau harus cepet pulang. Boleh nitip ini ke perpus?”, tanyanya sambil menyodorkan sebuah buku.
“Lho, kenapa nggak dikembalikan sendiri besok. Aku juga ngga harus ke perpus sekarang kok. Besok aja barengan setelah praktikum”, aku keheranan.
“Nggg...mungkin besok juga ngga bisa Dit. Boleh ya, minta tolong ya, kamu yang balikin ini”, pintanya memelas.
Dengan heran, aku meraih buku yang disodorkannya. Sedikit kecewa karena tidak jadi menghabiskan sore ini bersamanya. Tapi benakku lebih dipenuhi rasa heran melihat tingkahnya yang tidak biasa.
Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan Mentari dan keanehannya hari ini. Keanehan yang oleh orang lain dianggap karena putus dengan pacarnya. Tapi aku yakin bukan.
Keesokan paginya, bagaikan disambar petir, kami semua dikejutkan dengan berita kematian Mentari. Aku berusaha mempercayai berita yang tampak tak masuk akal itu. Mustahil. Kemarin Mentari masih ada di tengah-tengah kami di ruang kuliah. Dia masih bersama kami saat mengerjakan tugas Matematika Teknik Kimia di ruang baca. Dia juga masih sempat menitipkan buku padaku.
Oh iya, buku itu. Aku baru sadar jika itulah alasan kenapa dia mendesakku untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya. Dia mungkin sudah merasa bahwa esok hari dia tak akan bisa datang ke kampus untuk mengembalikannya sendiri.
Tapi masalah buku itu langsung kukesampingkan karena aku sendiri sibuk dengan berita kematian Mentari. Setiap hari, hingga tujuh harinya, tiap hari kami, terutama aku datang ke rumahnya untuk pengajian.
Menurut informasi dari keluarga, meninggalnya kawan yang diam-diam selalu mencuri perhatianku itu disebabkan karena leukimia. Itu pun, diketahui keluarga setelah Mentari pergi. Aneh sekali jika tak seorang pun anggota keluarganya yang tahu kondisi kesehatan Mentari yang menderita penyakit serius seperti itu. Sama anehnya dengan kami, kawan-kawan kuliahnya, yang juga tidak menyadari kondisinya.
Seminggu setelah kepergian Mentari, barulah aku teringat dengan buku titipannya. Buku itu belum kukembalikan ke perpustakaan dan masih nangkring di atas meja belajarku. Iseng-iseng aku membuka buku itu. Alangkah kagetnya aku melihat secarik kertas dengan tulisan tangan Mentari.
Di situ tertulis semuanya. Vonis leukimianya, kekasih gelap Ayahnya, tangis diam-diam Ibunya di tengah malam dan perasaannya kepadaku.
Tubuhku lemas membaca tulisan di kertas tersebut. Bagaimana mungkin dia menyembunyikan semua itu dari keluarganya, dari kawan-kawannya, dari aku?
Segitu luasnya samudra rahasia Mentari hingga aku tak sanggup melihat tepinya? Padahal tiap hari aku bertemu dengannya dan memperhatikannya.
Apakah semua perempuan memang begitu? Tiba-tiba aku jadi merinding sendiri memikirkan ciptaan Tuhan yang satu ini. Yang membedakan perempuan dan aku hanyalah keberadaan kromosom y dalam susunan genetika kami. Tapi mengapa perempuan bisa sedemikian unik?
Mentari bisa menyembunyikan kesedihannya dalam senyuman. Bisa mengkamuflase sakitnya dengan tawa. Bisa menempatkan problema keluarganya di sudut yang tak terlihat orang lain. Juga bisa mengubur perasaannya terhadap orang yang dianggapnya istimewa menjadi terlihat biasa.
Dengan problem seperti yang dialami Mentari, seharusnya dia sudah menangis berkali-kali, meninggalkan bekas berupa dua lingkaran gelap di sekitar matanya. Di mana Mentari menempatkan air matanya selama ini? Aku tak pernah tahu. Tak seorang pun tahu. Karena itu akan tetap menjadi rahasia Mentari....

Ditulis untuk semua perempuan dengan segala rahasia hatinya.

Rabu, 28 Agustus 2013

Forum “Kasih Ibu”, Persembahan Aqua Untuk Para Ibu dan Calon Ibu



“Perut kram saat sedang hamil, normalkah?”
“Boleh tidak Ibu hamil menyetir mobil sendiri?”
“Bagaimana cara sterilisasi botol susu yang benar?”
“Kapan dan bagaimana caranya menyapih ASI?”

Kehamilan adalah sebuah proses alami yang menakjubkan. Tapi ada begitu banyak pertanyaan yang muncul saat seorang wanita menjalani proses kehamilan. Tidak hanya bagi mereka yang baru saja mendapat pengalaman pertama menjadi calon Ibu. Mereka yang tengah menjalani kehamilan yang ke sekian pun masih kerap dihantui berbagai macam pertanyaan. Sebab tiap kehamilan itu unik, bahkan kehamilan yang dialami oleh Ibu yang sama sekalipun.
Sama halnya dengan kehamilan, Tuhan telah merancang proses persalinan menjadi sangat elegan dan tak akan terlupakan. Namun masih ada lagi pengalaman yang sama menakjubkannya dan sama elegannya, yakni menyusui. Walau menyusui adalah sebuah proses alami, tapi ada banyak hal yang perlu Bunda ketahui tentang menyusui. Mulai dari inisiasi menyusui dini, posisi menyusui yang benar, prosedur memompa ASI hingga penyapihan.
Semuanya terkadang bisa menjadi sumber stress jika Bunda tidak tahu harus bagaimana atau berbuat apa. Sebab, seperti halnya kehamilan, tiap bayi terlahir dengan keunikannya masing-masing. Kebingungan Ibu akan kian bertambah ketika menerima masukan atau komentar dari orang-orang sekitar, yang kadangkala berbeda satu sama lain.
Misalnya; bidan di rumah sakit bilang kalau tidak masalah bagi bayi yang belum puput pusar untuk langsung mandi berendam di bak mandi. Sementara setibanya Ibu dari rumah sakit, mertua bilang kalau bayi yang belum puput pusar harus mandi dengan diseka. Yang mana yang benar? Sebagai ibu baru, pastilah kebingungan.
Untunglah sekarang ada Forum Kasih Ibu, one stop information portal tentang dunia kehamilan hingga menyusui. Program persembahan Aqua Danone ini bisa Bunda akses di www.kasihibu.com.


Ada banyak fitur menarik yang bisa Bunda akses di Kasih Ibu, misalnya;
1. Kumpulan Artikel dan Berita
Temukan jawaban tentang pertanyaan seputar Plasenta Previa, gatal di perut saat hamil, mual dan muntah saat hamil, juga vitamin dan suplemen yang diperlukan saat kehamilan.
Untuk artikel-artikel seputar pasca persalinan, Bunda juga bisa membaca tentang serba-serbi mekonium, perawatan bayi baru lahir, tips agar ASI bisa lancar dan lain-lain.

 
2. Forum Diskusi
Masih punya pertanyaan yang tidak terjawab karena tidak ada di artikel atau berita? Coba cari di Forum Diskusi. Forum ini adalah ajang sharing para Bunda mengenai pengalaman masing-masing dalam merawat bayi. Ada banyak hal-hal menarik yang bisa Bunda temukan di sana. Misalnya tips jika menghadapi bayi yang rewel tidak biasa.
Jika topik yang dicari tidak ada dalam daftar, Bunda bisa membuka topik baru untuk diperbincangkan di forum, cukup dengan mengklik “Tambahkan Topik”


3. Konsultasi
Masih belum puas dengan jawaban-jawaban di Forum Diskusi? Bunda bisa langsung tanyakan pada pakarnya di fitur Konsultasi. Di sini Bunda bebas bertanya apa saja dan akan dijawab oleh pakar dan ahli kesehatan.
Nah, yang lebih asyik dan mungkin tidak ada di tempat lain adalah fitur Live Chat, di mana Bunda bisa bertanya langsung dengan dokter yang selalu ready setiap saat (tentunya pada jam operasional tertentu).
Jam operasional dokter yang standby di program Live Chat ini adalah;
Hari Senin-Jumat, pukul 08:00 – 22:00
Hari Sabtu-Minggu, pukul 18:00 – 22:00

 
4. Aplikasi Menarik
Di fitur ini, Bunda bisa temukan beberapa aplikasi menarik. Ada “Kalkulator Kehamilan” untuk menghitung tanggal perkiraan kelahiran bayi. Ada juga “Nama Si Kecil” untuk membantu memilihkan nama terbaik bagi buah hati. Yang tak kalah menariknya adalah “Kalkulator Dehidrasi” yang membantu untuk menentukan apakah asupan cairan kita selama ini sudah sesuai kebutuhan atau belum. Aplikasi terakhir ini bisa dipakai oleh semua orang, baik laki-laki, perempuan, hamil atau tidak hamil.
(Saya sengaja tidak menampilkan screen capturenya di sini agar Bunda bisa langsung melihat sendiri di lokasi ^-^)

Nah Bunda, tunggu apa lagi? Ayo segera meluncur ke www.kasihibu.com dan bergabunglah dengan Forum Kasih Ibu. Caranya gampang banget kok.
1.     Klik www.kasihibu.com
2.   Pilih salah satu gambar di bagian kanan. Gambar Ibu Hamil berisi informasi seputar kehamilan. Sedangkan Gambar Ibu Menyusui berisi informasi seputar pasca persalinan, jadi tidak melulu soal menyusui aja ya Bunda.
3.    Klik Facebook Connect untuk bergabung dengan Forum Kasih Ibu, kemudian isi data diri di Form yang tersedia.


Sudah itu, berarti Bunda sudah resmi bergabung sebagai keluarga Forum Kasih Ibu dan itu artinya Bunda bebas menggunakan semua fitur Kasih Ibu. Gratis!
Ayo tunggu apalagi, jadikan Forum Kasih Ibu sebagai sahabat setia Bunda menjalani masa-masa menakjubkan selama kehamilan hingga menyusui ^-^

Jumat, 23 Agustus 2013

Rujak Cingur



Pagi hari, biasanya menyuntikkan sejenis energi virtual pada semua makhluk hidup di alam semesta. Mentari, biasanya menjadi sejenis suplemen penambah tenaga bagi sebagian orang. Catat, sebagian orang. Sayangnya Mustain tidak termasuk di dalamnya.
Bagi Mustain, pagi adalah petaka. Sebab lagi-lagi, mau tidak mau, dia harus mulai beranjak dari kasur bututnya yang kadang bersprei kadang tidak. Lantas mandi, berpakaian dan tanpa sarapan meninggalkan bilik kosnya dengan motor butut demi mendatangi sebuah kantor tempatnya bekerja sebagai office boy.
Sebagaimana ikan yang tidak suka berlama-lama di darat, Mustain juga menganggap kantor itu bukan habitatnya. Dia benci tiap hari harus datang pagi-pagi. Dia benci menjerang air dan menyiapkan gelas-gelas. Dia benci menyeduh aneka kombinasi  teh, kopi, krimer dan gula. Tapi alasan kebencian yang sebenarnya adalah karena dia benci hidupnya yang begitu-begitu saja, datar, tak ada tantangan dan yang paling parah, berduit cekak. Mungkin sudah takdir, tapi seandainya bisa, dia ingin merubah guratan nasib itu. Masalahnya, Mustain belum tahu harus bagaimana, sehingga hanya kantor itulah satu-satunya harapan untuk menyambung hidup.
Sama dengan kondisi kantongnya, kehidupan asmara Mustain pun sama saja. Sebenarnya Mustain cukup ganteng dan cukup keren, tapi untuk urusan yang satu ini, Mustain memilih bersikap realistis. Boro-boro mengangankan punya pacar, bisa makan daging ayam seminggu sekali saja sudah berucap hamdalah.
Mustain mendengus sambil memeriksa daftar minuman yang harus disiapkannya hari ini. Kopi tubruk kental untuk pak Jon, teh rosella dengan gula setengah sendok teh untuk pak Rudi, kopi instan plus krimer tanpa gula untuk Mbak Erik, teh herbal ekstra panas untuk Bu Fazni, es teh tarik untuk Mbak Eva. Saat itulah, matanya berhenti pada sebuah nama yang sampai sore kemarin belum ada dalam daftar; Selly, teh manis.
Cuma teh manis? Tanpa embel-embel teh melati, teh herbal atau teh hijau? Pekat atau encer? Hangat atau dingin? Menurut Mustain, permintaan itu membingungkan, kurang detail. Tapi bukankah yang demikian ini yang dia suka. Sederhana. Membebaskan. Mbak Selly atau Bu Selly ini membiarkan Mustain bebas berekspresi untuk menyajikan minuman, yang penting teh dan yang penting manis.  
Eh, tapi siapa Selly? Seingatnya tidak ada nama itu di antara para karyawan kantor di lantai tempatnya bertugas. Apa dia karyawan baru? Beruntung dia tak perlu menunggu lama untuk mendapat jawabannya. Si empunya nama ternyata sudah melongok di pintu pantry. “Pagi, Mas Mustain ya?”, suara merdu seorang perempuan membuyarkan pikiran Mustain yang sedang sibuk memikirkan prosedur pengorganisiran teh dan kopi.
Mustain menoleh dan melongo. Wahai, rupa perempuan muda ini semanis suaranya. “Eh...iya pagi Mbak, eh Kak, eh Bu”, Mustain gelagapan, membuat perempuan itu tersenyum geli. Senyum yang sontak melahirkan sepasang lesung pipit di kedua pipinya.
“Begini Mas, kata Mas Ali, Mas Mustain ini pintar bikin rujak cingur ya?”, tanyanya. Ali adalah teman Mustain sesama office boy yang bertugas di lantai 4.
“Pintar sih nggak, tapi kalau cuma ngerujak aja ya bisa. Ibu mau saya bikinkan?”
“Maunya gitu sih Mas. Soalnya di Jakarta ini susah cari rujak cingur yang rasanya seperti di Surabaya. Aku ketagihan sama rujak cingur waktu kemarin liburan ke sana. Kalau nggak keberatan, besok aku bawa bahan-bahan sama cobeknya sekalian. Jadi Mas tinggal bikin. Gimana? Keberatan nggak Mas?”, ada nada harap di suara Selly.
Wahai, mana sanggup Mustain menolak permintaan makhluk manis ini? Apalagi itu cuma sekedar membuatkannya rujak cingur, keahlian yang dimilikinya berkat 12.5% darah Madura di tubuhnya. “Wah, ya nggak keberatan Bu, wong cuman ngulek aja kok”.
“Terima kasih, nanti Mas buat daftar apa aja yang harus aku beli ya. Besok pagi-pagi aku bawa”, katanya senang sambil bersiap-siap balik badan. Untung Mustain cepat-cepat menyadari sesuatu. “Eee...Bu, Ibu tempatnya di mana?”, tanyanya cepat-cepat.
“Tempatku di lantai ini kok, baru pindah dari lantai 4. Namaku Selly. O ya, panggilnya Mbak aja ya, biar nggak keliatan tua”. Hahaiii....ini ternyata si “teh manis” itu? Si pemilik lesung pipit yang telah merampok hatinya bahkan hanya dengan melihat namanya tertulis dalam daftar minuman.
Selly benar-benar serius. Esok paginya, meja pantry Mustain sudah disesaki oleh sekresek bahan-bahan rujak dan sebuah cobek ukuran sedang. Mulai pagi itu, setidaknya sebulan dua kali, sekresek buah, sayur, cingur sapi, cabe, petis, kacang, terasi, garam, asam jawa dan terkadang lontong akan nongkrong di sana. Selly bahkan merelakan cobeknya menjadi inventaris pantry agar dia tidak perlu bolak-bolak membawa cobek ke kantor.
Jika sebagian orang menganggap sinar matahari adalah sumber semangat menjalani hari baru, bagi Mustain sumber semangatnya adalah sekresek bahan-bahan rujak cingur yang ditemuinya saat masuk pantry. Artinya, hari ini dia bakal lebih sering bertemu Selly.
“Ya Allah Maaas....ini rujak cingur paling uenak yang pernah kumakan. Jangan kapok bikinin kita rujak ya”, puji Selly di sela-sela desis kepedasan akibat rujak yang dinikmatinya. “Itu mas Natan sampai nambah-nambah lho, padahal dulu katanya dia nggak doyan sama cingur”, ujarnya lagi. Mustain terkekeh, tersanjung mendengar pujian Selly.
“Mas, kok nggak buka warung rujak cingur aja? Di sini hampir nggak ada orang jualan rujak cingur. Ada juga di blok M sana. Kalau Mas jualan, pasti bakalan laris deh”, tanya Selly saat mengantarkan piring-piring kotor ke pantry.
Mustain hanya meringis. Miris. “Oalah Mbak, wong saya ini cuma office boy, mana saya punya modal untuk buka warung?”, katanya sambil mengangkat sebaki piring dan gelas kotor yang baru dicuci. Tak sadar ia jika lantai di dekat kakinya basah akibat pipa air yang bocor.
“Lho, yang penting kan Mas Mustain punya niat dulu. Modal bisa diusahakan, iya kan Mas?”, pertanyaan Selly dijawab dengan suara “Brugh!!! Prangg!!! Krompyang!!!”, Selly menjerit kaget, “Mas....Mas...!!! Ya Allah...Mas Mustaiiin!!!”. Selly histeris melihat Mustain yang pingsan karena jatuh terpeleset.
Mustain tak sadarkan diri, hingga tahu-tahu dia sudah ada di salah satu sofa di ruang tamu kantor. Sisa hari itu dia diperbolehkan istirahat.
Esoknya, sebelum dia sempat memeriksa daftar minuman, Manajer Personalia memanggilnya. Dia di-PHK. Dengan ekspresi tak percaya, Mustain bertanya apa salahnya. Sang Manajer berkata dia tak salah, dia di-PHK karena perusahaan tidak ingin memperkerjakan karyawan yang terkena ayan. Pak Manajer mengatakan bahwa ketika dia pingsan kemarin, Mustain mengalami kejang-kejang dan mulut berbusa, gejala khas orang epilepsi.
“Ayan?”, Mustain keheranan. Apakah penyakit itu bisa datang tiba-tiba di umur 25? Seingat Mustain, dia tidak pernah terkena ayan. Tapi tidak ada gunanya menyangkal. Surat pemutusan hubungan kerjanya sudah ada di tangan, demikian juga bukti transfer uang pesangon hasil pengabdiannya selama 2 tahun bekerja di kantor tersebut.
Dengan gontai, dia melangkah keluar pelataran kantor. Tempat itu memang bukan tempat yang disukainya, tapi setidaknya selama ini, dari sanalah hidupnya bisa bersambung. Di sanalah dia bisa melihat senyum berbonus lesung pipit milik Selly.
Ah, Selly, samar-samar Mustain ingat sarannya untuk berjualan rujak cingur. Mungkinkah memang harus begini jalannya? Sesaat semangatnya mulai tumbuh. Bukankah selama ini memang itu keinginannya? Menghasilkan uang dengan cara apa saja yang penting halal asalkan tidak menjadi office boy. Dorongan isi dompet yang mulai menipis serta harapannya untuk merubah nasib membuat Mustain mulai memutar otak.
Uang pesangonnya ditambah uang yang dipinjam dari seorang teman dia gunakan untuk membeli sebuah rombong sederhana, beberapa kursi plastik, cobek, ulek-ulek, dua lusin piring, ember plastik, sendok, garpu, kaleng krupuk, kertas bungkus makanan, lap serta bahan-bahan membuat rujak cingur. Tak lupa Mustain memesan sebuah banner ukuran 80 x 80 cm bertuliskan “Rujak Cingur Surabaya”.
Namun semangat wirausaha Mustain patah di minggu pertamanya berjualan. Dagangannya hanya laku tidak lebih dari 10 piring per hari.
“Katanya yang tergila-gila sama rujak lo tuh karyawan di bekas kantor lo yang dulu, Mus? Kenapa lo ngga jualan depan kantor lo aja? Orang-orang sini mungkin belum begitu familiyer sama yang namanya rujak cingur”, kata teman sekosnya yang prihatin melihat Mustain bengong seharian.
Mata Mustain berbinar, “Tumben saranmu masuk akal, bro?”, ujarnya sambil menjetikkan jari.
“Soalnya lo bengong sambil pegang-pegang pisau. Gue takut aja lo bunuh diri, Mus. O ya, satu lagi saran gue, coba deh lo ganti nama Rujak Cingur itu. Terlalu biasa”, lanjut kawannya. Mustain manggut-manggut dengan kening berkerut tanda berpikir.
Esoknya Mustain melakukan saran temannya untuk mangkal di depan kantor lamanya. Banner rombongnya kini bertuliskan “Rujak Masmus Maknyus”.
Dan benar saja, Selly histeris melihat Mustain, lebih tepatnya melihat rombong rujak yang dibawanya. Selly langsung bermutasi menjadi corong pengeras suara, mengumumkan ke seantero kantor dari lantai 1 sampai 4, bahwa Mustain kini hadir lagi dengan serombong rujak. Hasilnya, angka penjualan rujak Mustain hari itu jauh melampaui jumlah penjualan di hari pertamanya.
Hari-hari berikutnya, Mustain tetap mangkal di depan kantor lamanya. Hanya dalam waktu seminggu, tiba-tiba banyak orang yang datang membeli rujaknya. Belakangan baru Mustain tahu kalau Selly diam-diam mempromosikan rujaknya lewat jejaring sosial.
Mengetahui itu, Mustain semakin terpesona pada Selly. Tapi ya hanya terbatas terpesona itu saja yang bisa dia lakukan. Perbedaan derajat antara tukang rujak dan penyelia sebuah perusahaan terasa sebagai jurang yang menganga. Selly memang baik dan ramah padanya, tapi itu bukan jaminan dia bakal menerima perasaan Mustain. Bisa-bisa Selly malah membenci dan menjauhinya. Ah, Mustain tak ingin itu terjadi.
Usaha rujak cingur Mustain berkembang. Kini uangnya cukup untuk membuka warung kecil-kecilan. Dia juga bahkan mampu mempekerjakan 2 orang karyawan.
Dampak promosi lewat dunia maya memang dahsyat. Namun selain itu, cita rasa rujak buatan Mustain memang dinilai khas oleh pelanggannya. Pengalaman Mustain sebagai office boy (OB) juga membuatnya memberikan servis ala OB pada penikmat rujaknya; santun, ramah, murah senyum dan penuh hormat. Makanya pelanggan setianya senantiasa kembali dan pelanggan barunya selalu bertambah lagi dan lagi.
Usaha Mustain terus berkembang. Kini dia pindah ke sebuah ruko yang lebih besar. Dia bahkan bisa membuka cabang di pujasera sebuah Mall. Pelanggannya pun masih setia mengikuti ke mana pun Mustain pindah. Demikian juga pelanggan setia favorit Mustain; Selly masih kerap mengunjungi depot rujaknya setidaknya seminggu sekali.
Mustain kini merasa cukup percaya diri untuk menyatakan perasaannya pada Selly. Dia sudah bersiap-siap hendak menyatakan isi hatinya pada gadis berlesung pipit itu. Dia bertekad jika Selly datang ke depotnya lagi, dia akan menyampaikan cintanya.
Alangkah girangnya Mustain saat mengetahui Selly datang di suatu sore. Ini dia saatnya, pikirnya. Dia melihat Selly melambaikan tangan dengan senyum khasnya. “Mas Mustain!”, panggilnya. Mendengar suara Selly, entah mengapa jantung Mustain jadi berdebar tak karuan. Tapi Mustain tak hendak menunda-nunda lagi. Pokoknya Selly harus tahu kalau dia mencintainya sejak dulu. Saking gopoh dan groginya, Mustain sampai tidak memperhatikan lantai depot yang masih basah karena baru saja dipel.
“Gubrak!!”, samar-samar yang terdengar hanyalah suara Selly; “Mas....Mas...!!! Ya Allah...Mas Mustaiiin!!!”, tapi Mustain merasa terlalu lemah untuk membuka matanya. Suara teriakan Selly terdengar menjauh. Ketika membuka matanya, Mustain melihat dirinya ada di sebuah sofa. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, merasa mengenal betul ruangan tempat sofa itu berada. Ini kan kantornya yang dulu.
“Lho, saya di mana?”, ujarnya masih dengan mata berkunang-kunang.
“Mas Mustain tadi terpeleset di pantry dan pingsan lama sekali. Piring gelasnya sampai ada yang pecah. Untung nggak sampai ketusuk pecahan kacanya”, Natan berkata dengan ekspresi lega.
“Di pantry? Lho, bukannya saya sudah dipecat?”, tanya Mustain kebingungan.
Manajer Personalia yang kebetulan ada di situ terkekeh. “Kalau cuma mecahin gelas ya nggak mungkin dipecat Mus. Namanya juga kecelakaan, kecuali kamu melakukannya dengan sengaja”.
“Ah, mana mungkin saya sengaja mempelesetkan diri, Pak?”, desis Mustain.
“Ya sudah, yang penting kamu sudah sadar. Kalau masih pusing, istirahat saja dulu di Musholla. Nanti kalau sudah mendingan kembali kerja lagi ya”. Mustain terbengong. Jadi epilepsi, PHK, rombong dan depot rujak cingurnya selama ini hanya mimpi? Mustain tertunduk lesu. Mimpi indah begitu mengapa harus berakhir?, sesalnya.
Tapi kemudian dia sadar, mimpi itu mungkin jawaban atas harapannya untuk mengubah garis hidup. Mimpi itu membuat Mustain melihat jalan lain selain jalan yang sedang dilaluinya selama ini. Jalan yang memang tidak mudah, tapi pemandangan di ujung jalan yang baru itu membuatnya layak untuk diperjuangkan.
Hingga hari itu berakhir, Mustain masih belum tahu apakah dia cukup berani untuk melalui jalan yang ditunjukkan mimpinya. Saya pun tak tahu. Yang saya tahu, kelak jika di salah satu sudut kota Jakarta, Anda menemukan sebuah depot rujak cingur bertajuk “Rujak Masmus Maknyus”, berarti Mustain telah berani melakukan apa yang dikatakan mimpinya.
 -selesai

Kamis, 22 Agustus 2013

Selamat Tinggal, Sahabat




Untung aku mengenakan pakaian putih dan kerudung hijau hari ini. Warna putih yang melambangkan kesucian Dzat Ilahi dan warna hijau yang konon menjadi warna favorit Rasulullah. Pas sekali dengan momen perpisahan yang baru saja terjadi antara aku dan dia. Padahal, ketika aku memilih busana itu hari ini, aku sama sekali tidak menyangka akan mengenakannya saat aku harus mengucapkan selamat tinggal pada sahabat lama.
Aku mengenalnya nyaris 10 tahun yang lalu. Tapi kami baru benar-benar akrab sekitar 5 tahun terakhir. Bisa dibilang, aku adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengannya. Ya, beberapa perempuan memang terlihat beberapa kali mendatanginya dan menghabiskan waktu beberapa lama dengannya. Tapi aku yakin, aku lah perempuan yang menghabiskan waktu paling intens dengannya. Aku lah perempuan yang paling setia mengakrabinya, bukan hanya sejak kami pertama berkenalan, tapi sejak dia ada.
Dulu aku sempat merasa kebingungan saat berusaha mendekatinya. Orang-orang yang berada di sekitarnya semua berjenis kelamin laki-laki. Catat, semuanya. Seolah dia tidak memiliki ruang untuk makhluk ciptaan Tuhan berjenis perempuan.
Tapi dari dulu aku selalu ingin mendekatinya. Awalnya terasa rikuh. Apalagi melihat mata para lelaki yang menatapku aneh saat hubungan antara aku dan dia mulai terjalin. Akhirnya setelah berjuang cukup lama, aku berhasil mendapat tempat di salah satu sudut hatinya. Hanya sebuah sudut kecil, tapi tak mengapa. Itu sudah lebih dari cukup
Aku tidak keberatan ketika sudut kecil itu sesekali harus kubagi dengan perempuan lain. Toh sudut kecil itu masih terasa leluasa mengingat tak banyak perempuan yang bersedia mendatanginya. Tapi biar bagaimana, aku lebih senang jika tak ada seorang pun di sana, hingga aku dan dia benar-benar bisa menikmati momen-momen eksklusif bersama.
Lima tahun ini aku dan dia berteman akrab. Telah banyak momen-momen penting yang kubagi hanya dengannya. Dia lah tempat aku menyandarkan kepala saat benar-benar sedang merasa kelelahan. Dia bahkan beberapa kali membiarkan aku tertidur dalam dekapannya. Dia juga menjadi tempatku membagi kebahagiaan dan rasa syukur jika suatu ketika mendapatkan rejeki. Bersamanya, aku melewatkan waktu untuk memikirkan Allah, memikirkan RasulNya, juga membaca kitab suciNya. Dia lah tempatku melampiaskan amarah dan kesedihan yang terkadang tak kuasa kukendalikan. Tak terhitung sudah berapa tetes air mataku yang pernah membasahi tubuhnya.
Aku mencintainya. Semakin lama mengenalnya, semakin aku tak bisa meninggalkannya. Bahkan di waktu senggang, aku lebih memilih untuk mendatanginya ketimbang menghabiskan waktu bersama teman-temanku yang lain. Karena dengannya aku memperoleh arti kedamaian. Lima tahun sudah dia telah menjadi sahabat setiaku.
Tapi hari ini aku terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada sahabatku itu. Pada Masjid berkubah hijau yang terletak persis di depan kantorku.


Aku tak pernah menyangka jika keakrabanku dengan rumah Allah itu rupanya menimbulkan mudharat bagi seseorang. Seseorang yang rela tubuhnya dijilat api neraka. Seseorang yang menolak untuk beristighfar dan meluruskan niat. Seseorang yang juga mengakrabkan diri dengan tempat itu karena ingin mengakrabkan diri denganku.
Orang itu bilang dia bukan satu-satunya. Masih ada orang lain lagi yang mendatangi Masjid bukan karena ingin bertemu dengan Allah melainkan untuk melihatku atau mendengar suaraku. Jadi hari ini kuputuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Masjid itu. Agar dia berhenti mengharapkanku dan berganti dengan harapan untuk hanya bertemu dengan PenciptaNya, Dzat Maha Mulia yang sama dengan yang menciptakan aku.
Keputusan ini juga bukan atas kemauanku, sebab aku sendiri sebenarnya juga berat untuk berpisah dengan masjid yang berlantai sejuk itu.
Selepas tengah hari, sebuah perasaan setipis kabut menyusup ke dalam hati, menyuruh aku untuk segera mengemasi barang-barang pribadiku yang memang sengaja kutinggal di sana dan sesegera mungkin mengucapkan selamat tinggal. Menyadari itu, kupandangi tiap jengkal sudut kecilku dan hal-hal yang terlihat dari sana. Aku tak mampu menahan keluarnya butiran air dari kedua mataku ketika menyadari inilah duduk terakhirku di tempat ini. Ini lah butir air mata terakhir yang membasahi lantai Masjid sejuk berdinding hijau.
Hari ini, aku sengaja berlama-lama di dalamnya dan menempelkan pipiku di lantainya. Sebab esok hari aku sudah tak akan menginjakkan kaki lagi di sana.
Selamat tinggal, sahabatku. Dulu aku mendatangimu karena Allah. Dan kini, aku meninggalkanmu pun karena Dia.
Karena takut akan niat yang tak lagi lurus untukNya.

-selesai-

Selasa, 20 Agustus 2013

Jilbab Jelita



“Duh, terlambat!”, Lita tergopoh-gopoh masuk ke halaman parkir sebuah Sekolah Dasar. Hari ini adalah pertemuan awal tahun ajaran baru bagi para wali murid SD Nurul Hayat. Ia hadir di sana menggantikan kakaknya yang berhalangan hadir.
Setelah memarkir motor bebeknya, Lita kebingungan. “Aula mana aula?”, dia menoleh kiri kanan. Karena tidak memperhatikan jalan, dia menabrak punggung seorang laki-laki.
“Aduh! Jangan berdiri di tengah jalan dong!”, semprotnya sambil memegang jidat.
“Maaf mbak, saya sudah minggir. Tapi mbak yang jalannya miring-miring”, jawab lelaki itu kalem.
Sebenarnya orang itu benar, tapi Lita sudah terlanjur malu dan berniat untuk marah demi menutupinya. Tapi saat menatap wajah orang yang ditabraknya, entah mengapa dia terpaksa menelan amarahnya.
“Sori...sori...saya lagi cari...eh...anu...aula”, kata Lita terbata-bata. Jantungnya berdegup kencang saat menatap wajah sabar lelaki itu.
“Mbak lurus aja, mentok belok kanan ya”, jawabnya sambil tersenyum. Lita masih melemparkan lirikan mata sebelum melangkah ke arah yang ditunjukkan lelaki itu.
Di depan mulut aula, Lita terkaget-kaget. Semua perempuan-perempuan yang duduk dalam ruangan yang hampir penuh itu semuanya berjilbab. Sementara dia tidak. Dengan salah tingkah, dia masuk ke dalam aula dan mencari tempat duduk. Ia merasa semua mata memandang aneh padanya. Lita berusaha tidak peduli, tapi perasaannya tetap tak enak juga.
Ketika acara dimulai, barulah Lita tahu siapa lelaki yang tadi ditabraknya. Azzam namanya, Ustadz kelas 1 yang nantinya akan menjadi guru Rara, keponakannya. Sebelum acara selesai, kepala sekolah mengumumkan agar para wali murid mengambil seragam dan perlengkapan sekolah di kelas masing-masing.
Saat mengambil seragam, yang kebetulan dibagikan langsung oleh Ustadz Azzam, perasan Lita kembali tak karuan.
“Ibunya Aisha Azzahra ya?”, tanya Ustadz Azzam saat Lita menandatangani lembar tanda terima.
“Bukan. Saya Tantenya”.
“Oh. O ya, ini buku panduan dan program semester SD Nurul Hayat. Mohon dibaca ya, terutama halaman 5”
Kening Lita berkerut sebelum berterima kasih dan melangkah pergi. Dibukanya buku program panduan itu langsung di halaman 5. Peraturan Sekolah. Nomor 11. Kompleks SD Nurul Hayat adalah area wajib berhijab. Lita bisa merasakan pipinya memanas. Batinnya serasa ditohok tinju Muhammad Ali.
***
Tugas Lita selanjutnya adalah mengantar jemput Rara. Kebetulan waktu masuk dan pulang keponakan semata wayangnya itu hampir bersamaan dengan jadwal kuliah Lita. Kebetulan juga lokasi SD Nurul Hayat searah dengan kampusnya.
Sejak punya tugas baru, Lita selalu membawa selembar kerudung dan cardigan dalam tasnya. Keduanya akan ia dikenakan di tempat parkir SD Nurul Hayat tiap akan menjemput Rara.
“Begitu lebih baik Mbak”, sebuah suara mengusik konsentrasi Lita yang sedang menanti Rara sambil membaca di  teras masjid sekolah. Lita mendongak. Senyumnya langsung merekah begitu tahu siapa yang menyapanya. Ustadz Azzam.
“Tapi lebih baik lagi kalau dipakainya dari rumah, bukan dari tempat parkir”, kata Azzam sambil tersenyum. Wajah Lita bersemu. Malu.
Hari-hari berlalu. Kini, dalam tas Lita sudah tidak ada lagi kerudung dan cardigan, karena ia sudah mengenakan baju lengan panjang dan berhijab sejak keluar dari rumah. Penutup kepalanya juga telah berubah, bukan hanya sekedar selendang yang ditangkupkan di kepala dan diikat di leher, melainkan disemat dengan rapi dengan peniti di bawah dagu.
Ibu sangat lega mendapati perubahan penampilan anak gadisnya itu. Selama ini Ibu sudah kehabisan akal menyuruh Lita berjilbab. Alasannya ada saja; mulai dari “Belum siap” atau “Belum dapat hidayah” atau “Yang penting kan hatinya berjilbab”.
***
Tak terasa setahun berlalu. Hari ini hari pertama tahun ajaran baru. Namun di hari pertama Lita menjemput Rara, Ustadz Azzam tidak terlihat di sekolah. Juga hari kedua, ketiga, keempat. Ke mana dia? Jawabannya dia dapat dari Rara. Ustadz Azzam tidak bisa mengajar karena sedang menempuh pendidikan di Kairo.
Gelap sudah hari-hari Lita. Azzam pergi ke tempat yang jauh. Dia pergi tanpa pamit. Ah, tapi untuk apa Azzam berpamitan padanya. Selama ini Azzam toh tak pernah sekalipun bertanya siapa namanya. Selama ini, dia hanya bertukar sapa dengan Azzam tidak lebih dari 3 kali. Selebihnya hanya bertukar pandang tanpa berbincang. Lita tersadar Azzam tak pernah menaruh perhatian sedikit pun padanya. Padahal dia tak pernah seharipun tidak memikirkan Azzam.
Hati Lita perih bukan main. Tergerus perasaan yang tak terbalas dan kerinduan yang tak tertahankan. Lita menangis semalaman. Dalam sejarah hidupnya, ini kali kedua dia menangisi seorang laki-laki setelah kematian Ayah.
***
“Bu, aku berangkat”, pamit Lita suatu sore.
Ibu nyaris tersedak melihat Lita. “Lho...lho...mau ke mana?”
“Ke toko buku”
Ibu melongo, tapi segera tersadar. “E e e...kok ndak pake jilbab? Terus pakai kaos ketat lagi?”
“Lita ndak berjilbab lagi, Bu”, jawab Lita pendek.
“Sebentar Nduk, duduk sini dulu, ada yang Ibu mau tanyakan”, panggil Ibunya dengan lembut.
Lita cemberut, tapi tak urung dia menuruti juga permintaan Ibunya.
Sebenarnya ibu sudah merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran anak bungsunya ini. Belakangan ia melihat Lita jadi lebih pemurung dan matanya sering terlihat sembab.
“Kenapa jilbabnya dilepas?”, tanya Ibu hati-hati.
Lita terdiam beberapa saat sebelum menjawab; “Soalnya yang nyuruh pakai jilbab sudah ndak ada”
“Siapa yang nyuruh?”
Lita terdiam lagi. Selama ini dia memang tidak pernah cerita pada siapapun. Sekarang juga sebenarnya dia tidak ingin cerita, tapi ia tidak sanggup membohongi wanita yang sudah melahirkannya itu. “Mmmm...ustadnya Rara. Sekarang dia sedang sekolah di Mesir”, jawabnya tanpa berani menatap mata Ibunya.
Ibu tersenyum bijak. Wanita itu kini paham apa yang sedang dialami putrinya.
“Untuk memulai suatu kebaikan, tidak masalah sebenarnya jika didorong oleh sesuatu atau seseorang. Tapi berikutnya, segera istighfar dan perbaiki niatmu untuk melakukan itu semata-mata karena Allah”
“Maksud Ibu?”
“Dulu waktu kecil, kamu mau berpuasa karena mengejar hadiah yang Ibu berikan di hari raya kan? Tapi setelah dewasa, mengapa kamu tetap berpuasa walaupun Ibu tidak lagi memberi hadiah?”
“Ya karena puasa itu kan perintah Allah Bu. Kalau tidak dilaksanakan kan berdosa”
“Sama juga dengan berhijab Nduk. Perintah untuk itu jelas ada dalam Alquran. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menurutinya. Ataupun melakukannya tapi bukan karena Allah”
Lita terdiam. Kata-kata Ibu barusan telak menohok ulu hatinya. Perih hatinya muncul lagi. Tapi kali ini bukan karena kehilangan Azzam, tapi karena sadar akan kesalahannya. Selama hampir setahun ini, dia memang berhijab karena ingin menarik perhatian Azzam. Selama ini dia berhijab karena malu dilihat Azzam mengenakan kerudung di tempat parkir sekolah Rara.
“Jika seorang muslim melakukan sesuatu karena mengharap ridho Allah, maka tidak akan ada rasa kecewa jika kehilangan sesuatu. Atau seseorang”, lanjut Ibu.
“Tidak kecewa?”
“Misalnya, seorang ibu akan dengan senang hati kehilangan waktu istirahatnya yang ia pakai untuk merawat bayinya yang baru lahir. Sebab cukup baginya ridho Allah sebagai hadiah yang paling berharga”, lanjut Ibu.
Air mata Lita mengalir. Dia malu. Malu pada Ibunya. Malu pada dirinya sendiri. Malu pada Allah.
Ibu tersenyum lembut. Dibiarkannya Lita menangis sampai puas. Ibu bisa merasakan, setelah ini Lita tidak akan melepas jilbabnya lagi, walaupun hatinya mungkin masih terluka karena cinta pertamanya yang tak terbalas.
“Termasuk dalam hal mencintai Nduk. Jika kamu mencintai seseorang, cintailah dia karena kamu mencintai Allah. Jadi jika kamu kehilangan dia, cukuplah Allah sebagai pelipur lara”, sambung Ibu.
Lita mengangguk. Matanya masih basah, tapi seulas senyum kini tersungging di wajahnya yang manis.
***
Epilog
Kairo, Mesir.
Azzam sedang memandangi akun jejaring sosial milik seorang gadis; Annisa Jelita. Hal itu rutin dia lakukan sejak setahunan yang lalu, tidak lama setelah gadis itu tak sengaja menabraknya di sekolah tempat ia mengajar dulu.
Azzam senang karena hari-hari berikutnya, ia selalu bisa melihat gadis itu mengantar jemput Rara, salah satu anak didiknya. Dari muridnya itulah, Azzam tahu nama gadis manis yang wajahnya kian manis saat dibingkai dengan hijab. Sayang Azzam tak pernah punya keberanian untuk berkenalan.
Dari akun jejaring sosialnya, Azzam tahu siapa dia. Mahasiswi tahun pertama jurusan Matematika. Hobinya membaca buku dan menulis puisi. Penulis blog yang blognya juga rutin dikunjungi Azzam.
Azzam mengarahkan kursor ke sebuah kotak bertuliskan “Add Friend”. Sesaat dia ragu. Mungkinkah gadis itu masih ingat padanya?
Ditepisnya keraguan itu jauh-jauh. Mungkin dia memang harus berada jauh dari kota tempat tinggal Annisa Jelita agar keberanian itu muncul.
“Bismillahirrahmanirrahim”, bisiknya sambil mengklik “Add Friend” di dekat foto profil Annisa Jelita yang sudah berjilbab.

-selesai-

ditulis untuk Lomba Cerpen Nurul Hayat

Rabu, 14 Agustus 2013

Tentang Mata, Telinga dan Hati




Saya baru saja menemukan bahwa kata “pendengaran”, “penglihatan” dan “hati” disebutkan setidaknya 10 kali dalam AlQuran secara bersamaan? Seperti misalnya di QS AnNahl:78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. Juga dalam QS. AlMulk:23, “Katakanlah: "Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati." (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur”.
Ketiga kata yang disebutkan secara bersamaan itu juga bisa ditemukan di QS. Al Ahqaaf:26, QS. Al Baqaraah:7, QS. Al An'aam:46, QS An Nahl:108, QS Al Israa:36, QS Al Mu'minuun:78, QS As Sajdah:9 dan QS Al Jaatsiyah:23. Beberapa surat mungkin tidak persis sama seperti kedua ayat di atas, seperti misalnya yang tercantum dalam QS. AlJaatsiyah:23, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.
Dari sekian banyak anugerah yang telah Allah berikan kepada manusia, sedemikian pentingnyakah ketiga anugerah ini sehingga Allah sampai menyebutkannya berkali-kali? Saya bertanya-tanya, mengapa Allah tidak menyebutkan “lisan dan pikiran” alih-alih menyebutkan “pendengaran, penglihatan dan hati”?
Bukankah kita seringkali terkagum-kagum pada orang-orang yang cerdas, yang pintar menyampaikan argumentasi maupun yang pintar berpidato maupun berorasi?
Kenyataan ini kemudian membuat saya menyadari satu hal. Jika diumpamakan sebagai sebuah pohon, maka pendengaran, penglihatan dan hati nurani adalah akar. Akar memiliki peranan yang penting dalam proses sintesa makanan sehingga pohon tersebut nantinya bisa menghasilkan buah yang baik. Proses sintesa makanan bisa dianalogikan sebagai proses berpikir, sedangkan buah dianalogikan sebagai output proses berpikir. Buah pikiran bisa disampaikan dalam bentuk apa saja; artikel, pidato, dakwah, makalah, film atau buku.
Proses mendengar dan melihat akan memberikan input-input informasi yang menjadi bahan baku dalam proses analisa berpikir. Namun, bahan baku yang baik belum tentu menghasilkan output yang baik jika ada hal yang salah dalam prosesnya. Di sinilah hati nurani memegang kendali. Tanpa hati nurani, proses berpikir akan sepenuhnya dikendalikan oleh pikiran yang biasanya berpikir secara eksak; hitam putih, kalah menang, untung rugi, satu ditambah satu sama dengan dua, dan lain-lain. Hati nurani lah yang membuat kita senantiasa ingat tentang hakikat penciptaan umat manusia. Yakni diciptakan oleh Allah dan nantinya akan kembali pada Allah. Jika kita senantiasa ingat bahwa suatu saat kelak akan kembali pada Allah dan mempertanggungjawabkan semuanya, maka tidak akan kita mengeluarkan perkataan yang menyakiti orang lain. Kita pun juga terhindar dari berpikiran untuk melakukan perbuatan yang akan merugikan orang lain.
Begitu pentingnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani dalam penciptaan manusia. Dan kita kerap lalai untuk mensyukurinya. Kita seringkali lupa bahwa bahwa dibalik kepandaian kita berpikir, kepiawaian kita berbicara atau menulis, adalah karena anugerah Allah akan pendengaran, penglihatan dan hati nurani.
Tidak mensyukuri adalah hal yang tidak baik, tapi itu tidak seberapa dibandingkan jika menggunakan ketiganya untuk hal-hal yang dibenci oleh Allah. Misalnya mendengarkan sebuah pergunjingan atau melihat hal-hal yang tidak membawa manfaat. Pada awalnya mungkin hati nurani yang berfungsi sebagai pengontrol akan memberi alarm pada pikiran kita bahwa itu adalah hal-hal yang akan menyebabkan murka Allah. Namun jika kita terus menerus mengabaikan apa yang dikatakan oleh hati nurani, lama kelamaan Allah akan menutup mata hati kita dan membiarkan proses berpikir kita menjadi kacau tak tentu arah.  Jika sudah demikian, bisa kita tebak bagaimana ending hidup kita kelak, kecuali Allah yang Maha Penyayang memberikan hidayahNya.

Note: Ayat-ayat yang mencantumkan kata "pendengaran", "penglihatan" dan "hati" secara bersamaan.




1. Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.
(QS. Al Ahqaaf 26)

2. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.
(QS. Al Baqaraah 7)

3. Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?" Perhatikanlah bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga).
(QS. Al An'aam 46)

4. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
(QS. An Nahl 78)

5. Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.
(QS An Nahl 108)

6. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
(Qs Al Israa 36)

7. Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.
(QS Al Mu'minuun 78)

8. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
(QS As Sajdah 9)

9. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
(QS Al Jaatsiyah 23)

10. Katakanlah: "Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati." (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.
(QS. Al Mulk:23)

Allah Maha Besar
Thank you to let me bors as a Moslem
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)