Rabu, 31 Oktober 2012

Anakku, Guruku


Episode kehidupan saya berbalik 180 derajat semenjak saya menjadi ibu. Semenjak kecil hingga dewasa, saya banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Namun secara naluriah semua itu berubah manakala bayi pertama saya lahir. Memang saya masih tetap bekerja di kantor seperti sebelum melahirkan. Tapi sudah tidak ada lagi acara kongkow-kongkow, menghabiskan waktu di toko buku atau menonton film favorit di bioskop. Begitu jam kerja berakhir, otomatis saya langsung melesat pulang menemui sang bayi. Saya memang seolah kehilangan “kebebasan”. Jujur saja awalnya memang sedikit kaget saat menyadari kenyataan tersebut. Tapi mana sempat saya berkaget-kaget terlalu lama, karena ternyata saya dihadapkan pada banyak hal baru yang harus segera saya pelajari. Memandikan bayi, memakaikan baju, menyusui sampai menidurkan bayi. Saya seakan menjadi satu spesies yang dibawa di habitat yang baru. Saya harus segera beradaptasi. Jika tidak, saya tidak akan survive.

Dalam perjalanan selama lebih dari 5 tahun menjadi ibu, Anak-anak membuat saya bermutasi. Tidak hanya merubah status lajang menjadi ibu. Mereka mengajarkan saya merubah diri dari zombie menjadi manusia. Betul, dulu saya adalah mayat hidup. Saya bisa bergerak kian kemari, tapi saya tidak punya tujuan kecuali mencari daging manusia untuk dirobek-robek. Saya adalah zombie yang hidup demi mencari sesuap nasi. Bangun pagi, ke kantor, pulang, tidur, demikian pula esok harinya. Semua seakan berjalan secara otomatis seperti robot. Saya tidak lagi memiliki karsa. Saya merasa senang saat gajian atau dapat bonus. Namun di saat bersamaan saya merasa miskin karena satu-satunya yang membuat saya bahagia hanyalah uang. Bukan maksud saya untuk tidak mensyukuri rejeki yang Tuhan berikan melalui perusahaan tempat saya bekerja. Tentu saja saya bersyukur. Namun, jauh di lubuk hati yang terbungkus oleh badan zombie saya, rupanya masih ada sebagian kecil nurani manusia yang terus memberontak.

Nurani itu terus berteriak, tapi suaranya kecil sekali seakan dia berada di kejauhan. Dulu saya memang sempat menjadi manusia dan tidak tahu pasti sejak kapan menjadi zombie. Bisa jadi, selama dulu saya masih menjadi manusia, sang nurani sudah berteriak sedemikian lantang. Tapi saya tidak mau mendengarnya karena terlalu sibuk dengan dunia yang saya kira “zona nyaman”. Dan kini, saat semua hampir terlambat dan saya sudah menjadi zombie, suara itu masih berteriak, namun pelan. “Ada sesuatu yang salah”, demikian suara itu berkata lagi dan lagi. Dan ketika kali pertama saya menyadarinya, beribu tanya pun bermunculan. “Apa yang salah?”, “Apa yang harus aku lakukan?”, “Bagaimana caranya?”.

Dan semua tanda tanya itu terjawab berkat anak-anak. Memang prosesnya tidak instan. Butuh waktu untuk menemukan jawaban-jawaban atas segala kebingungan saya. Saya bersyukur saya masih dalam fase menjadi zombie saat mendengar bisikan nurani. Belum benar-benar sekarat atau bahkan mati. Jadi masih belum terlambat untuk mencari jawaban-jawaban semua tanya tersebut.

Dan inilah beberapa poin penting yang diajarkan guru-guru kecil saya:
  1. Berani bermimpi
Saat kami sedang bicara tentang cita-cita, saya bertanya pada gadis kecil saya: “Apa cita-cita Kakak?”. Jawabnya dengan mantap; “Aku mau jadi Batman”. Tentu saya merasa geli mendengar jawabannya dan spontan menjawab; “Wah keren, Kakak bisa menolong banyak orang dong”.
Tentu saja saya menganggap omongannya tidak masuk akal. Dalam hati saya pun berpikir; “Batman kan cuma ada di film, mana bisa kita beneran jadi Batman?”. Jawaban spontan saya tadi sebenarnya hanyalah semata-mata menghormati antusiasmenya akan sang superhero.
Tapi lagi-lagi saya berpikir, gadis kecil saya tahu pasti bahwa Batman adalah seorang laki-laki. Dan dia berani mengkhayalkan, jika sudah dewasa nanti, dia yang seorang perempuan pun bisa jadi Batman.
Saya jadi ingat mimpi Wilbur dan Oliver kecil yang mengkhayalkan untuk bisa terbang. Seandainya saja kedua Wright bersaudara itu tidak berani memimpikan suatu hal yang tampak mustahil kala itu, mungkin kita tidak akan pernah bisa bepergian dengan pesawat terbang.
Benar, segala sesuatu di muka bumi ini, sejarah luar biasa yang pernah ditorehkan oleh tokoh-tokoh hebat di masa lalu, semuanya berawal dari mimpi.
Dan dengan sangat sedih, saya menyadari satu hal; selama ini saya tidak punya impian sama sekali. Atau lebih tepatnya saya tidak berani bermimpi. Saya tidak pernah punya impian yang “edan” seperti gadis kecil saya.
Selama ini hidup saya hanya mengikuti aliran air. Tidak berbeda seperti zombie yang bergerak karena mengikuti bau manusia. Semenjak itu, saya pun bertekad untuk mencari sungai saya sendiri. Tapi justru itulah fase tersulit saat proses mutasi menjadi manusia. Saya ingin bermimpi, tapi tidak tahu harus memimpikan apa.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan bulan berganti tahun. Butuh puluhan bulan untuk sampai pada tahap mengerti apa impian saya sebenarnya. Dan itu pun melalui proses yang tidak mudah. Saya mencoba beberapa hal. Tentunya riset saya itu akhirnya merubah segalanya. Rutinitas saya berganti. Segalanya menjadi acak. Tampaknya tidak jelas, karena usai mencoba hal ini, saya mencoba hal itu, lantas mencoba hal lain lagi.
Namun lama kelamaan semuanya menjadi jelas. Perlahan saya mulai menyadari apa impian saya. Dan itu bisa dibilang cukup “edan” karena jika saya benar-benar ingin mewujudkan impian, itu artinya merubah seluruh pakem yang selama bertahun-tahun telah saya jalani. Tentu saja tidak mudah untuk membuat orang-orang terdekat memahaminya. Tapi saya membuktikan kesungguhan dan keseriusan saya. Perlahan tapi pasti, sosok manusia dalam diri saya terlahir lagi. Reborn. Menyisihkan dominasi zombie yang sudah bertahun-tahun menguasai badan dan pikiran saya. Dan itu berkat gadis kecil saya yang berkata; “Mama, kalau sudah besar aku mau jadi Batman”.



  1. Tidak mengenal kata “takut”
Suatu hari di playground sebuah Mall. Anak saya dan seorang anak lain sedang bermain ayunan. Jika anak lain itu cukup riang gembira dengan berayun-ayun, anak saya mengkombinasikannya dengan meloncat lepas dari ayunan saat dia berayun di titik tertinggi. Spontan saya menjerit kaget. Tapi melihat dia baik-baik saja dan tertawa senang, saya lantas diam saja dan mengawasinya dari kejauhan.
Pelajaran nomor dua dari anak-anak; mereka tidak mengenal kata “takut”. Yang ada hanyalah mereka akan senang jika melakukan hal itu. Mereka tidak banyak berpikir akan segala bahaya dan resiko, juga tidak memusingkan apa pendapat orang lain. Mereka sangat spontan dan mendapatkan kesenangan dari spontanitasnya.
Sebagai orang dewasa yang “merasa” lebih tahu segalanya ketimbang anak-anak, tentu saja saya banyak mempertimbangkan ini itu sebelum melakukan sesuatu. Jarang sekali saya mengambil keputusan spontan. Padahal justru yang spontan itulah yang berasal dari hati.
Demikian halnya saat saya mulai memahami apa yang diinginkan hati nurani saya. Tidak mudah mengenyahkan sifat zombie yang takut akan rasa lapar. Mimpi saya sempat memudar beberapa kali dan berniat untuk menjalani saja hidup ala zombie yang nyatanya sangat nyaman ini.
Tapi karena fase tersulit pencarian mimpi sudah saya lalui. Mengalahkan rasa takut terasa jauh lebih mudah. Saya mulai belajar untuk mengambil keputusan-keputusan spontan. Terkadang memang salah. Tapi tak mengapa. Ini sama saja dengan sifat anti takut anak-anak yang membuat mereka sesekali jatuh, tersandung atau terbentur. Tapi toh, mereka itu tidak akan membuat mereka takut untuk bermain di tempat yang sama atau memainkan permainan yang sama bukan?
Saya mulai belajar mendengarkan apa yang dibisikkan hati saya. Dan perlahan tapi pasti, ketakutan saya memudar dan keinginan mewujudkan impian semakin mantap. Dan itu semua karena anak saya yang berani meloncat lepas dari ayunan saat sedang berayun di titik tertinggi.

  1. Memulai segalanya dari kertas kosong
Gadis kecil saya senang menggambar. Untuk hobinya itu saya harus menyediakan berlembar-lembar kertas kosong untuk dia gambari (Saya kerap membawa kertas bekas dari kantor). Bukan apa-apa. Karena dia tidak suka menggambar tema yang berbeda di kertas yang sama, walau di kertas sebelumnya masih cukup ruang untuk digambari yang baru. Dia selalu ingin memulai segalanya dari kertas kosong.
Memang sih, anak saya itu senang mempelajari tokoh kartun Spongebob untuk dia gambar. Dan hasilnya adalah dia menggambar Spongebob berkaki panjang dan Squidword berkepala besar. Dia tidak peduli walau apa yang dia lakukan melenceng dari pakem dan dia tampak bangga dengan yang dia lakukan.
Melihatnya, saya jadi sadar betapa asyiknya menemukan kesenangan tanpa harus latah terhadap apa yang dilakukan orang lain.
Tadinya saya memang senang ikut-ikutan. Mulai dari gaya berpakaian, berhijab sampai mencari ide-ide usaha. Saya pernah menjalani beberapa hal hanya karena orang lain sukses melakukannya. Saya tidak pernah berpikir apakah saya bakal senang hati menjalaninya atau tidak. Sekarang anak saya telah mengajarkan saya betapa asyiknya menjalani hal-hal yang kita senangi dan itu tidak harus sama dengan yang dilakukan orang lain.
Saya tetap bisa bersuka hati dengan gaya berpakaian atau berhijab saya yang lama tanpa harus mengikuti trend. Karena memang itulah jati diri saya.
Saya tetap bisa bersuka hati menjalani kesenangan saya untuk blogging tanpa harus mengikuti trend kawan-kawan saya yang getol berjualan online. Karena memang itulah passion saya.
Memang tidak ada satu pun di dunia ini yang orisinil. Namun, perbedaan tetap bisa diciptakan jika kita mau mengawali segalanya dari kertas kosong. Tanpa template yang sudah dibuat orang lain. Tanpa meng-copy paste- dari apa yang sudah dikerjakan orang lain.

Proses berpikir, mencari hal baru, akhirnya membuang sosok zombie dalam diri saya sejauh-jauhnya. Dan itu semua berkat guru-guru kecil saya yang tanpa mereka sadari telah mengajarkan 3 hal penting tentang kehidupan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
“Apa yang salah?”, kesalahan saya adalah selama ini saya takut untuk bermimpi.
“Apa yang harus saya lakukan?”, bermimpilah, sekalipun itu tampak “edan” dan “tak masuk akal”, tak perlu takut apa pendapat orang lain.
“Bagaimana caranya?”, mulailah dari kertas kosong karena di situlah jati diri kita yang asli berada.

I love you both; Rosabrille and Kairo <3

Sabtu, 20 Oktober 2012

Mimpi


Mimpiku membuatku hidup
Mimpiku membuatku rela terjaga kala yang lain terlelap.
Mimpiku menjadikanku bagian dari semesta alam raya.

Mimpiku adalah cemeti sang joki.
Yang melecut raga dan sanubari tanpa ampun.
Mimpiku membuatku menangis.
Mimpiku membuatku terjatuh dan sakit.

Mimpiku adalah tali jiwa sang pendaki.
Yang mengimbangi gravitasi.
Mimpiku membuatku bertahan.
Mimpiku membuatku kembali.

Mimpiku membuatku hidup.
Mimpiku menghadirkan senyum, tawa dan air mata.
Mimpiku membuatku setengah mati berdiri dan berlari.
Mimpiku membuatku jatuh cinta, patah hati dan jatuh cinta lagi.

Sekalipun mimpiku tak jadi nyata.
Hingga tiba saat ajal menjelma.
Tak mengapa.
Setidaknya aku akan mati sebagai manusia.
Karena aku bermimpi, maka aku hidup.
Dan kelak mimpiku akan membawaku pulang.

Aku berjanji untuk tak kan pernah berhenti bermimpi
Karena bermimpi membuatku hidup kembali

Senin, 01 Oktober 2012

Kaliandra, the Hidden Beauty of East Java


Note: Although this blog is actually an Indonesian language blog, I think I need to write this post in English version. Because I need to share the beauty of Kaliandra with people like you, who came in this blog (either by accident or not), don’t understand Indonesian language, and want to know more about Kaliandra.


Finally, we decided to discover Kaliandra on last Sunday (23rd September 2012). The main purpose is actually refreshing and recharging our batteries as well as celebrating Dad’s 60th birthday.
Kaliandra was chosen because of the location (which is pretty near from our hometown, Surabaya and we haven’t visited that place before). One more reason, we thought that Kaliandra will not be as crowded as other amusement park on Weekend (my Dad hate crowd).
Actually, we’ve been provoked by a friend from Germany who had been to Kaliandra and being amazed with that site. That made us became more curious to see how Kaliandra looks like. Besides, how could be foreigners from Europe have stepped their feet there, while we-local people-haven’t hear about that place before?
But the problem arose when we had to find the location of Kaliandra, while no one knows where precisely Kaliandra is. Thanks to my Blackberry and Google as our navigator, so we could find Kaliandra without getting lost ^-^.

How to Reach Kaliandra?
Very easy, especially if you know how to reach Taman Safari II, Prigen. All you need to do is just following the road toward that safari park. To find the road is also very easy, because from the main road you’ll see a giant elephant tusk. That’s the road that will bring you to safari park (and also to Kaliandra).
Just about a hundred meter from the ticket counter of Taman Safari, there will be another giant elephant tusk. Right before that tusk, there will be a narrower road on your right direction. So, if you plan to go to Kaliandra, better prepare your car to turn right, just when you see the elephant tusk from distance.
After turning right, just follow the road until you come to Kaliandra about 2 kilometers ahead. If your eyes are sharp enough, you may see some direction boards showing the location of Kaliandra along the road.

The Simple Wooden Gate
At the end of our journey to find Kaliandra, we arrived in front of a wooden gate, which is (according to me) a very simple gate. It’s just like a gate to enter somebody’s villa or home.
Someone in security uniform came and greeted us. After making sure we have come to the right place, we were welcomed to enter Kaliandra through that gate.
I was brought to Marketing Office. I sat on the Javanese style porch, where there is a site map of Kaliandra hanging on the wall. I look a glance at the map and found “Hastinapura” and “Bharatapura” there. Wow, I’m so curious. My exploration of the sitemap was interrupted when a friendly young man came with a brochure and name card on his hand.
After introducing ourselves, we decided to have something to eat before exploring Kaliandra. The man promised us to accompany us walking around the complex of Kaliandra.

Kaliandra’s Culinary
They said, the food served in Kaliandra’s restaurant is cooked without MSG (Mono sodium glutamate) addition.
They also said that the fruit and veggies used are organically planted in the surrounding area of Kaliandra.
I said, the taste is good and the price is pretty reasonable.
Some of the menu is quite specific which I have never found in other place, just like “Tengiri Fish with Dabu-Dabu Spice” or “Steamed Gurami Fish with Kecombrang Flower”.
I myself really enjoyed my big bowl of “Ox Tail Soup”, a cup of warm “Rosella Tea” and a cup of warm “Mint Milk Tea”.
While we were eating, a pretty big bee were flying around, picking some spicy rice and bringing them somewhere.
My father said that, it was probably true that the food was cooked without any MSG. If there were any, the bee won’t like to taste it. 

Bharatapura and Hastinapura
Seeing the architecture and layout of Kaliandra, made us feel like we were in the complex of Hindu Temples. The meeting rooms was designed like an open “pendopo” (javanese meeting room), the placement of some statues of Hindu’s Gods, and the name of the resort complex which has a Hindu aroma: Bharatapura and Hastinapura.
Bharatapura is located near the entrance gate, and consists of some twin/single rooms and dorm-style cottages.
While Hastinapura, which is located on the upper level, consists of 5 (or 6) bungalows. Plus a Majapahit-style swimming pool, in which the water came directly from the source of Mount Arjuna. That pool is so wonderful, because it is surrounded by green trees and some of Hindu’s Gods statues. It made us, for a blink; forget that we were in East Java.

The Hidden Palace
What made our jaws fell down on earth was something we saw when we walked toward Hastinapura. We saw a palace. Yes, a palace in the middle of Mount Arjuna. A luxurious European-style palace, completed with a peacock hanging around on its porch.
For a local people like me, that building looked very amazing so I can’t hear the guide’s explanation very clearly (because my brain is so busy with my eyes, staring at that amazing building). So far my brain can record the guide’s explanation; there are actually more than one palace in Kaliandra. One palace is the home of Kaliandra’s founder and the other ones is available for rent. 

I was still amaze of the existence of the palace and imagine how to transport the building material in the middle of this mountain when I saw another surprise. In front of us now, we saw a pond with lotus on it. And the background is another European-castle-style villa completed with a swimming pool. That building is also for rent. Built in 2004, but the exterior is designed as if the building was as ancient as the building in 19th century.

Why Kaliandra Exist?
Seeing and exploring every corner of Kaliandra, I feel like this place is created for non commercial purpose. I mean, tourism object (especially a theme park) is usually colorful with many souvenir stalls, but almost without hospitality. A theme park is usually fulfilled with an atmosphere of “Please enjoy after paying some money”. But Kaliandra is different. In this place, we can feel a wonderful hospitality even before we get through the entrance gate. We felt like we’re guests who have been served, not like an ordinary tourist.

They said, Kaliandra was created by a Chinese-Dutch blood Indonesian entrepreneur.
They said, he’s now around 70 years old.
They said, he wants to posses a legacy.
From his desire, Kaliandra existed. It’s (according to me) a harmony between nature, culture and education.
And, by looking at Kaliandra at this moment, I thought his desire has already fulfilled. Kaliandra has become a legacy, even when the founder is still alive.

The enchantment of Kaliandra and all its hospitality had impress us.
We promised ourselves to come back again someday, in order to see a panorama that we haven’t seen last Sunday. That is: how Kaliandra looks at dusk and at night.

Actually, there are still many stories about Kaliandra that I haven’t written. I don’t want to write them here at this moment. I’m doing it on purpose, so that Kaliandra will remain a mystery. So that the beauty of Kaliandra can be proven by our eye’s lenses. However, if you want to see how Kaliandra look, the facility and programs, please visit: www.kaliandrasejati.org.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)