Kamis, 27 Maret 2014

07. Ketabahan Rasulullah Ketika Memulai Dakwah (The Real Idol Series)



Note: "The Real Idol" memang ditulis dalam rangka mengikuti lomba Teenligi 2014, namun sejatinya ide tulisan ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu saat membaca buku Uswatun Hasanah karya Haddad Alwi.

Walau pada akhirnya dinyatakan tidak menang, saya tetap senang karena bisa menyelesaikan proyek pribadi tentang manusia paling istimewa sepanjang sejarah; Rasulullah Muhammad SAW.

Nah, karena sudah terlanjur ditulis, sayang rasanya jika hanya mengendap di laptop. So, saya akan mempostingnya di blog ini secara bertahap. Siapa tahu, akan ada satu atau dua atau berapa pun pembaca yang bisa memetik manfaat. Aminn....

Keseluruhan tulisan ini nantinya akan berada dalam satu label/kategori (The Real Idol). Tak jadi masalah jika membacanya secara acak atau berurutan. Silahkan lihat Daftar Isi untuk melihat keseluruhan bagian "The Real Idol" untuk memilih bagian-bagian yang lebih menarik untuk dibaca.

Selamat membaca dan selamat jatuh cinta pada manusia teristimewa, kekasih Allah, Muhammad bin Abdullah :)
---
Ketabahan Rasulullah Ketika Memulai Dakwah




Kawans pasti pernah punya masalah kan? Pasti pernah merasa sakit hati kan? Pernah juga merasa putus asa dan ingin lari dari masalah yang sedang dihadapi kan? Mustahil jika jawabannya “tidak pernah”. Setiap manusia pasti punya masalah, yang tidak punya masalah mungkin hanya bayi dan orang gila.
Nah, jika kawans merasa galau, tertekan, seolah dunia tak lagi terasa bersahabat, ingatlah pada kisah-kisah Nabi Muhammad. Ia adalah manusia dengan cobaan yang luar biasa dengan ketabahan yang luar biasa pula. Beliau tak pernah lari, tak pernah menghindar dari takdir yang sudah ditetapkan Allah untuknya.
Ketika kita membaca dan berusaha membayangkan cobaan yang dihadapi beliau, insya Allah kita akan merasa bahwa cobaan yang kita hadapi tidak ada apa-apanya.
Galau karena tugas-tugas sekolah atau kuliah yang menumpuk tak ada apa-apanya dibandingkan dengan tugas menyampaikan pemahaman bahwa Allah hanya satu-satunya Dzat yang wajib disembah kepada kaum yang sudah terbiasa menyembah berhala. Galau karena ditinggalin seseorang yang disayang juga ngga ada apa-apanya dibanding Nabi yang sedari kecil sudah yatim piatu dan juga pernah ditinggal meninggal oleh istri dan pamanda tercintanya di tahun yang sama. Tak ada apa-apanya ketika Nabi ditinggal mati para sahabat dan sanak saudaranya sebagai syuhada dalam perang melawan orang-orang kafir.
Cerita-cerita berikut ini akan menggambarkan ketabahan dan kesabaran hati Nabi Muhammad.

Ketabahan Memulai Dakwah
Bisakah terbayangkan di benak kita masing-masing? Bagaimana sulitnya posisi Rasulullah di masa-masa awal kenabiannya? Ketika mayoritas penduduk Mekkah tenggelam dalam kebejatan dan kejahiliyahan, beliau mendapatkan tugas dari Allah untuk menyampaikan risalah tauhid. Ketika mayoritas penduduk Mekkah menyembah patung-patung berhala yang sudah menjadi kepercayaan turun-temurun, beliau mendapat tugas untuk menyampaikan pada kaumnya bahwa apa yang telah mereka lakukan selama itu salah, bahwa hanya ada satu Tuhan yakni Allah. Bagi kita yang sudah menjadi muslim sejak lahir mungkin tak pernah membayangkan bagaimana sulitnya Rasulullah meyakinkan kaumnya bahwa beliau benar-benar utusan pembawa risalah dari Allah? Hanya segelintir orang yang langsung percaya bahwa Allah telah memberikan wahyu melalui perantara Malaikat Jibril. Sebab itu, masa-masa awal pasca turunnya wahyu pertama adalah saat-saat yang berat bagi Rasulullah.
Sama halnya dengan penduduk Arab yang lain, Nabi tidak mengerti apa itu “wahyu” atau “kenabian”. Karena itu, ketika menerima wahyu yang pertama di Gua Hira, beliau pulang ke rumah istrinya dengan gemetar sambil berkata; “Selimutilah aku, selimutilah aku...”.
Khadijah mendengarkan cerita suaminya tentang kejadian yang baru dialaminya. Kemudian, walaupun dia tidak benar-benar mengerti apa yang telah menimpa suami tercintanya, dia tetap berusaha menenangkan Nabi dengan berkata; “Demi Allah, Allah tak akan menyusahkanmu. Engkau adalah orang yang selalu menghubungi sanak kerabat, selalu menolong orang susah, memberikan jamuan pada tamu dan selalu menyampaikan amanat pada yang empunya”.
Tak lama kemudian, didorong oleh rasa penasaran yang menghantui benaknya, Khadijah menjumpai salah satu sepupunya, Waraqah bin Naufal. Dia bermaksud meminta pendapat Waraqah yang saat itu adalah seorang Kristen yang taat dan mengerti Kitab Taurat dan Injil. Waraqah meminta Khadijah untuk membawa Nabi agar beliau dapat menceritakan sendiri kejadian yang dialaminya di Gua Hira.
Setelah Rasulullah selesai bercerita, Waraqah berkata; “Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya. Sesungguhnya engkau adalah Nabi untuk umat ini. Engkau telah didatangi Malaikat Jibril yang pernah datang kepada Musa. Dan kelak engkau akan didustakan, disakiti, diusir bahkan diperangi oleh kaummu”.
Mendengar perkataan sepupu istrinya itu, Rasulullah terperanjat tanda tak percaya karena selama ini ia merasa selalu diperlakukan baik oleh kaummnya. “Apakah mungkin mereka akan mengusirku?”, tanya Nabi masih dengan tak percaya.
Waraqah pun menjawab; “Demi Allah. Setiap orang yang diangkat menjadi Nabi seperti kamu pasti akan dimusuhi dan diperangi kaumnya. Jika aku, pada waktu kamu dimusuhi masih hidup, pasti kamu akan kubela sekuatnya”.
Jika orang normal mendengar perkataan Waraqah pastilah akan gentar. Bayangkan saja, siapa yang tak takut dimusuhi dan dibenci oleh orang-orang yang selama ini menjadi teman baik? Orang normal pastilah akan memilih jalan aman dengan mengunci mulut rapat-rapat agar tidak memancing perkara.
Namun Rasulullah tidak demikian. Awalnya memang beliau berdakwah diam-diam di kalangan keluarga dan sahabat dekatnya saja, hingga kemudian turun wahyu;
“Sebab itu siarkanlah apa yang telah diperintahkan kepada engkau dan janganlah engkau pedulikan orang musyrikin” (Al Hijr 94).
Setelah turun wahyu ini, Rasulullah mulai berani berdakwah secara terang-terangan sekalipun beliau tahu resikonya adalah menerima kebencian dari orang-orang sesukunya. Ia berdiri di bukit Shafa dan berteriak dengan lantang; “Ya Sabaakha! Ya Sabaakha!”. Teriakan itu biasa digunakan bangsa Arab untuk mengumpulkan orang-orang jika ada sesuatu yang penting.
“Hai Banu Abdul Munthalib, hai Banu Fihr, hai Banu Kaab, bagaimanakah pendapat kamu sekalian jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan membinasakan kamu? Apakah kamu percaya dengan apa yang kukatakan?”, seru Rasulullah.
“Ya, kami akan percaya”, jawab kaumnya yang sudah berkumpul. Benak mereka dipenuhi tanda tanya, gerangan apa yang menyebabkan Al-Amin[1] mengumpulkan mereka di tengah kesibukan.
Mendengar jawaban mereka, Nabi merasa sedikit berbesar hati bahwa kaumnya akan mempercayai kata-katanya yang selanjutnya beliau ucapkan. “Ketahuilah oleh kamu sekalian bahwa aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kamu tentang akan datangnya siksa oleh Allah”.
Abu Lahab adalah orang pertama yang memprotes kata-kata Nabi, sementara yang lain masih terhenyak dan mencerna perkataan lelaki yang selama ini sangat mereka hormati sebagai orang yang cakap dan bijak. “Sungguh celaka kamu sepanjang hari ini, hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami?”. Kata-kata Abu Lahab itu menjadi awal mula cobaan berat yang akan mendera Rasulullah selama tahun-tahun kenabiannya.
Dan benar saja, sejak itu kaum Musyrikin Mekkah yang tidak mau menerima ajaran Rasulullah seolah bersepakat memusuhi beliau. Mereka mulai resah manakala Rasulullah mulai berdakwah secara terang-terangan ke tengah-tengah masyarakat Mekkah. Mereka galau melihat Rasulullah rajin mendatangi orang-orang yang berkumpul di dekat Ka’bah maupun di pasar dan mengajak mereka menyembah Allah Yang Maha Esa. Mereka khawatir akan gerak-gerik Rasulullah yang mengajak orang-orang Mekkah meninggalkan berhala dan agama yang sudah dianut mereka sejak lama. Mereka kalut melihat mulai banyaknya orang Mekkah yang mengikuti ajaran Muhammad. Kekhawatiran mereka lambat laun berubah menjadi kebencian yang teramat sangat karena menganggap Rasulullah menghina dan mencaci agama nenek moyang mereka.
Langkah pertama yang dilakukan kaum Kafir Quraisy saat itu adalah mendatangi rumah paman Nabi, Abu Thalib, dan memintanya agar mencegah kemenakannya itu meneruskan dakwahnya.
“Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu telah mencaci maki tuhan-tuhan kami dan mengejek nenek moyang kami. Karena itu kami harap engkau cegah dia atau biarkan kami yang akan menghadapinya sendiri. Dan engkau termasuk orang yang sama dengan kami dalam satu agama dan kepercayaan”, keluh mereka pada Abu Thalib.
Abu Thalib yang saat itu memang sama-sama menjadi penyembah berhala seperti mereka menanggapi keluhan kawan-kawannya dengan kepala dingin. Dengan kata-kata yang manis, beliau mencoba menenangkan mereka sampai kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing dengan puas hati.
Keberadaan Abu Thalib ini lah yang membuat kaum Kafir Quraisy segan dan menahan kemarahan mereka terhadap Nabi hanya dalam dada masing-masing. Namun ketika ajaran Rasulullah mulai berkembang pesat ke seantero kota Mekkah, mereka tak bisa menahan diri dan lagi-lagi pergi menemui Abu Thalib.
“Hai Abu Thalib, sesungguhnya engkau adalah orang tua dan terpandang di tengah kita. Kami telah minta engkau agar mencegah anak saudaramu, namun tidak engkau lakukan. Sungguh kami sudah tidak dapat bersabar lebih dari ini, kami tidak dapat membiarkan dia mencaci nenek moyang kami dan menghinakan tuhan-tuhan kami. Kami harap kamu cegah dia atau kami sendiri yang menghadapinya sampai salah satu, dia atau kami yang binasa”, keluh mereka.
Abu Thalib benar-benar ditempatkan dalam dilema. Di satu sisi ia sangat menyayangi keponakannya yang sudah sejak kecil diasuhnya seperti anak kandungnya sendiri. Namun di sisi lain, ia tidak bisa serta merta tidak mengacuhkan kaum Quraisy yang menyembah Tuhan yang sama dengan dirinya. Akhirnya dia memutuskan untuk berbicara dengan Rasulullah.
“Hai anak saudaraku, kaummu telah datang kepadaku dan mengeluh ini itu, janganlah engkau bebani berat kepadaku yang tidak dapat kutanggung”, ujar Abu Thalib.
Alangkah sedih hati Rasulullah mendengar ucapan paman yang sudah dianggapnya seperti ayah sendiri. Beliau mengira pamandanya itu memihak kaum kafir Quraisy. Namun bagaimana pun juga tekad Rasulullah untuk menegakkan ajarah tauhid sudah sangat kuat.
Dengan bercucuran air mata, beliau menjawab; “Wahai pamanku, demi Allah jika mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku meninggalkan dakwah Islamiah, pasti tak kan kutinggalkan sebelum aku diberi keberhasilan oleh Allah atau aku binasa karenanya”. Setelah itu Nabi langsung menyingkir dari hadapan Abu Thalib.
Barulah kemudian Abu Thalib sadar betapa berat beban yang ditanggung keponakannya. Lantas dia memanggil Rasulullah; “Hai kemenakanku, datanglah kemari”.
Nabi pun menghampiri pamannya.
“Teruskan saja apa yang telah kamu kerjakan sekehendak hatimu. Demi Allah aku tidak akan menyerahkan kamu kepada mereka sedikit pun”.
Nabi yang sudah sejak kecil diasuh oleh pamannya sudah sewajarnya mengharapkan dukungan dari Abu Thalib yang sudah dianggap sebagai tetua kaum Quraisy. Tapi nyatanya, ketika Abu Thalib sempat memperlihatkan keraguannya untuk mendukung kegiatan Nabi, Nabi tidak ambil pusing. Baginya yang paling penting adalah perlindungan dari Allah. Nabi merasa yakin beliau berada di jalan yang benar dan diridhoi oleh Allah sehingga tak perlu merasa takut sedikit pun walaupun pamannya tidak melindunginya lagi. Nabi yakin satu-satunya tempat untuk meminta perlindungan adalah Allah ta’ala, bukan orang-orang yang disegani seperti Abu Thalib (terlepas dari rasa hormat dan rasa sayang beliau terhadap saudara kandung ayahnya tersebut).


[1] Al-Amin, gelar yang diberikan kaum Quraisy pada Muhammad bin Abdullah, artinya; yang terpercaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)