Sabtu, 31 Agustus 2013

Rahasia Mentari



Namanya Mentari, dia kawanku satu angkatan. Catat, “hanya” kawan. Bukan kawan baik, kawan karib, kawan tapi mesra apalagi pacar. Bagi Mentari, aku adalah teman jalan bareng ke Perpustakaan, atau teman makan bakso atau teman satu kelompok saat praktikum. Tapi aku bukan satu-satunya kawan Mentari. Dia punya puluhan teman lain –laki-laki maupun perempuan- yang juga seringkali menemaninya ke perpustakaan, makan bakso juga praktikum. Jadi, aku yakin, bagi Mentari kehadiranku mungkin hanya mengisi tidak sampai 1 persen dari seluruh volume ruang hidupnya.
Sebaliknya, bagiku Mentari memang seperti matahari. Sinar matahari mungkin tidak bisa menembus sudut-sudut yang terhalang material padat tak tembus pandang. Namun hangatnya tetap terasa menembus semua ruang tertutup. Demikianlah Mentari menghangatkan hati dan hidupku. Dengan senyumnya. Dengan sapaan ramahnya. Dengan keceriaannya. Kehadirannya maupun ketidakhadirannya kini mengisi hampir seluruh ruang hatiku, tanpa sepengetahuannya.
Mungkin saja aku jatuh cinta. Tapi bisa juga tidak. Aku memang kerap memikirkan Mentari. Tapi anehnya aku juga tidak cemburu melihat wajah cerianya yang sedang berboncengan berdua dengan pacarnya. Wajah ceria Mentari itu lho, yang membuatnya menjadi semacam candu. Dan senyum itu, walau tidak selalu ditujukan padaku, menjadi semacam wabah yang menularkan rasa bahagia padaku.
Pagi ini, kulihat Mentari datang dan masuk kelas. Sepuluh menit lagi, kuliah Desain Alat akan dimulai. Dia segera melihatku yang sedang duduk sendirian. Langsung saja dia mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Hai, selamat pagi”, sapanya. Senyumnya yang manis itu tersungging di bibirnya yang mungil.
“Pagi”, jawabku. “Lho, kamu sakit ya?”, tanyaku ketika melihat lingkaran gelap di matanya dan wajahnya yang sedikit lebih pucat dari biasanya.
“Hah? Nggak tuh”, dia menggeleng sambil membuka diktat Desain Alat dan Kalkulator scientific. “Dit, ini ngitung tebel vessel pakai persamaan yang ini ya? Terus koefisiennya lihatnya di tabel...4.1. Bener nggak?”, tanyanya tanpa menghiraukan raut wajahku yang masih ingin bertanya lebih lanjut.
Aku melihat persamaan yang ditunjuknya dan lantas mengangguk. “Bener kamu nggak sakit?”, tanyaku lagi.
Dia menggeleng pelan, bibirnya masih menyunggingkan senyum. Saat itulah, aku menyadari ada yang aneh dari sinar matanya. Sinar mata itu redup, tak seperti biasanya. Ingin aku bertanya lagi, tapi niat itu kutahan karena melihat Mentari yang langsung sibuk dengan kalkulator dan perhitungan tebal vesselnya.
Hari itu kutahu Mentari putus dengan pacarnya. Tapi entah mengapa aku yakin, keanehan Mentari pagi ini bukan karena putus cinta. Sebab aku tahu Mentari sudah beberapa kali pacaran, beberapa kali putus dan tidak pernah sekalipun terlihat aneh seperti tadi pagi. Keanehan yang mungkin hanya bisa terdeteksi olehku, orang yang selalu memperhatikannya.
Sore itu juga, aku melihat Mentari asyik bercanda dengan beberapa mahasiswi. Melihatku melintas, Mentari melambai. “Didit!!, mau ke perpus ya?”, teriaknya.
Aku melihat jam tangan. Jam 4 sore. Sebenarnya aku tidak ingin ke perpus, tapi jika Mentari butuh teman ke sana sudah pasti aku tidak akan menolak. Aku mengangguk. “Mau bareng?”, tanyaku.
“Iya..tunggu ya..”, dia berlari-lari menghampiriku. Ketika kami berhadapan, semakin yakinlah aku ada yang tidak beres dengannya. Wajahnya kian pucat dan matanya memerah.
“Aduh Dit”, katanya sambil menepok jidat. “Sori ya aku tiba-tiba berubah pikiran. Aku lupa kalau harus cepet pulang. Boleh nitip ini ke perpus?”, tanyanya sambil menyodorkan sebuah buku.
“Lho, kenapa nggak dikembalikan sendiri besok. Aku juga ngga harus ke perpus sekarang kok. Besok aja barengan setelah praktikum”, aku keheranan.
“Nggg...mungkin besok juga ngga bisa Dit. Boleh ya, minta tolong ya, kamu yang balikin ini”, pintanya memelas.
Dengan heran, aku meraih buku yang disodorkannya. Sedikit kecewa karena tidak jadi menghabiskan sore ini bersamanya. Tapi benakku lebih dipenuhi rasa heran melihat tingkahnya yang tidak biasa.
Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan Mentari dan keanehannya hari ini. Keanehan yang oleh orang lain dianggap karena putus dengan pacarnya. Tapi aku yakin bukan.
Keesokan paginya, bagaikan disambar petir, kami semua dikejutkan dengan berita kematian Mentari. Aku berusaha mempercayai berita yang tampak tak masuk akal itu. Mustahil. Kemarin Mentari masih ada di tengah-tengah kami di ruang kuliah. Dia masih bersama kami saat mengerjakan tugas Matematika Teknik Kimia di ruang baca. Dia juga masih sempat menitipkan buku padaku.
Oh iya, buku itu. Aku baru sadar jika itulah alasan kenapa dia mendesakku untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya. Dia mungkin sudah merasa bahwa esok hari dia tak akan bisa datang ke kampus untuk mengembalikannya sendiri.
Tapi masalah buku itu langsung kukesampingkan karena aku sendiri sibuk dengan berita kematian Mentari. Setiap hari, hingga tujuh harinya, tiap hari kami, terutama aku datang ke rumahnya untuk pengajian.
Menurut informasi dari keluarga, meninggalnya kawan yang diam-diam selalu mencuri perhatianku itu disebabkan karena leukimia. Itu pun, diketahui keluarga setelah Mentari pergi. Aneh sekali jika tak seorang pun anggota keluarganya yang tahu kondisi kesehatan Mentari yang menderita penyakit serius seperti itu. Sama anehnya dengan kami, kawan-kawan kuliahnya, yang juga tidak menyadari kondisinya.
Seminggu setelah kepergian Mentari, barulah aku teringat dengan buku titipannya. Buku itu belum kukembalikan ke perpustakaan dan masih nangkring di atas meja belajarku. Iseng-iseng aku membuka buku itu. Alangkah kagetnya aku melihat secarik kertas dengan tulisan tangan Mentari.
Di situ tertulis semuanya. Vonis leukimianya, kekasih gelap Ayahnya, tangis diam-diam Ibunya di tengah malam dan perasaannya kepadaku.
Tubuhku lemas membaca tulisan di kertas tersebut. Bagaimana mungkin dia menyembunyikan semua itu dari keluarganya, dari kawan-kawannya, dari aku?
Segitu luasnya samudra rahasia Mentari hingga aku tak sanggup melihat tepinya? Padahal tiap hari aku bertemu dengannya dan memperhatikannya.
Apakah semua perempuan memang begitu? Tiba-tiba aku jadi merinding sendiri memikirkan ciptaan Tuhan yang satu ini. Yang membedakan perempuan dan aku hanyalah keberadaan kromosom y dalam susunan genetika kami. Tapi mengapa perempuan bisa sedemikian unik?
Mentari bisa menyembunyikan kesedihannya dalam senyuman. Bisa mengkamuflase sakitnya dengan tawa. Bisa menempatkan problema keluarganya di sudut yang tak terlihat orang lain. Juga bisa mengubur perasaannya terhadap orang yang dianggapnya istimewa menjadi terlihat biasa.
Dengan problem seperti yang dialami Mentari, seharusnya dia sudah menangis berkali-kali, meninggalkan bekas berupa dua lingkaran gelap di sekitar matanya. Di mana Mentari menempatkan air matanya selama ini? Aku tak pernah tahu. Tak seorang pun tahu. Karena itu akan tetap menjadi rahasia Mentari....

Ditulis untuk semua perempuan dengan segala rahasia hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)