Namanya
Mentari, dia kawanku satu angkatan. Catat, “hanya” kawan. Bukan kawan baik,
kawan karib, kawan tapi mesra apalagi pacar. Bagi Mentari, aku adalah teman
jalan bareng ke Perpustakaan, atau teman makan bakso atau teman satu kelompok saat
praktikum. Tapi aku bukan satu-satunya kawan Mentari. Dia punya puluhan teman
lain –laki-laki maupun perempuan- yang juga seringkali menemaninya ke
perpustakaan, makan bakso juga praktikum. Jadi, aku yakin, bagi Mentari
kehadiranku mungkin hanya mengisi tidak sampai 1 persen dari seluruh volume
ruang hidupnya.
Sebaliknya,
bagiku Mentari memang seperti matahari. Sinar matahari mungkin tidak bisa
menembus sudut-sudut yang terhalang material padat tak tembus pandang. Namun
hangatnya tetap terasa menembus semua ruang tertutup. Demikianlah Mentari
menghangatkan hati dan hidupku. Dengan senyumnya. Dengan sapaan ramahnya.
Dengan keceriaannya. Kehadirannya maupun ketidakhadirannya kini mengisi hampir
seluruh ruang hatiku, tanpa sepengetahuannya.
Mungkin
saja aku jatuh cinta. Tapi bisa juga tidak. Aku memang kerap memikirkan
Mentari. Tapi anehnya aku juga tidak cemburu melihat wajah cerianya yang sedang
berboncengan berdua dengan pacarnya. Wajah ceria Mentari itu lho, yang
membuatnya menjadi semacam candu. Dan senyum itu, walau tidak selalu ditujukan
padaku, menjadi semacam wabah yang menularkan rasa bahagia padaku.
Pagi ini,
kulihat Mentari datang dan masuk kelas. Sepuluh menit lagi, kuliah Desain Alat
akan dimulai. Dia segera melihatku yang sedang duduk sendirian. Langsung saja
dia mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Hai,
selamat pagi”, sapanya. Senyumnya yang manis itu tersungging di bibirnya yang
mungil.
“Pagi”,
jawabku. “Lho, kamu sakit ya?”, tanyaku ketika melihat lingkaran gelap di
matanya dan wajahnya yang sedikit lebih pucat dari biasanya.
“Hah?
Nggak tuh”, dia menggeleng sambil membuka diktat Desain Alat dan Kalkulator
scientific. “Dit, ini ngitung tebel vessel pakai persamaan yang ini ya? Terus
koefisiennya lihatnya di tabel...4.1. Bener nggak?”, tanyanya tanpa
menghiraukan raut wajahku yang masih ingin bertanya lebih lanjut.
Aku
melihat persamaan yang ditunjuknya dan lantas mengangguk. “Bener kamu nggak
sakit?”, tanyaku lagi.
Dia
menggeleng pelan, bibirnya masih menyunggingkan senyum. Saat itulah, aku menyadari
ada yang aneh dari sinar matanya. Sinar mata itu redup, tak seperti biasanya.
Ingin aku bertanya lagi, tapi niat itu kutahan karena melihat Mentari yang
langsung sibuk dengan kalkulator dan perhitungan tebal vesselnya.
Hari itu
kutahu Mentari putus dengan pacarnya. Tapi entah mengapa aku yakin, keanehan
Mentari pagi ini bukan karena putus cinta. Sebab aku tahu Mentari sudah
beberapa kali pacaran, beberapa kali putus dan tidak pernah sekalipun terlihat
aneh seperti tadi pagi. Keanehan yang mungkin hanya bisa terdeteksi olehku,
orang yang selalu memperhatikannya.
Sore itu
juga, aku melihat Mentari asyik bercanda dengan beberapa mahasiswi. Melihatku
melintas, Mentari melambai. “Didit!!, mau ke perpus ya?”, teriaknya.
Aku
melihat jam tangan. Jam 4 sore. Sebenarnya aku tidak ingin ke perpus, tapi jika
Mentari butuh teman ke sana sudah pasti aku tidak akan menolak. Aku mengangguk.
“Mau bareng?”, tanyaku.
“Iya..tunggu
ya..”, dia berlari-lari menghampiriku. Ketika kami berhadapan, semakin yakinlah
aku ada yang tidak beres dengannya. Wajahnya kian pucat dan matanya memerah.
“Aduh
Dit”, katanya sambil menepok jidat. “Sori ya aku tiba-tiba berubah pikiran. Aku
lupa kalau harus cepet pulang. Boleh nitip ini ke perpus?”, tanyanya sambil
menyodorkan sebuah buku.
“Lho,
kenapa nggak dikembalikan sendiri besok. Aku juga ngga harus ke perpus sekarang
kok. Besok aja barengan setelah praktikum”, aku keheranan.
“Nggg...mungkin
besok juga ngga bisa Dit. Boleh ya, minta tolong ya, kamu yang balikin ini”,
pintanya memelas.
Dengan
heran, aku meraih buku yang disodorkannya. Sedikit kecewa karena tidak jadi
menghabiskan sore ini bersamanya. Tapi benakku lebih dipenuhi rasa heran
melihat tingkahnya yang tidak biasa.
Semalaman
aku tidak bisa tidur memikirkan Mentari dan keanehannya hari ini. Keanehan yang
oleh orang lain dianggap karena putus dengan pacarnya. Tapi aku yakin bukan.
Keesokan
paginya, bagaikan disambar petir, kami semua dikejutkan dengan berita kematian
Mentari. Aku berusaha mempercayai berita yang tampak tak masuk akal itu.
Mustahil. Kemarin Mentari masih ada di tengah-tengah kami di ruang kuliah. Dia
masih bersama kami saat mengerjakan tugas Matematika Teknik Kimia di ruang
baca. Dia juga masih sempat menitipkan buku padaku.
Oh iya,
buku itu. Aku baru sadar jika itulah alasan kenapa dia mendesakku untuk
mengembalikan buku yang dipinjamnya. Dia mungkin sudah merasa bahwa esok hari
dia tak akan bisa datang ke kampus untuk mengembalikannya sendiri.
Tapi
masalah buku itu langsung kukesampingkan karena aku sendiri sibuk dengan berita
kematian Mentari. Setiap hari, hingga tujuh harinya, tiap hari kami, terutama
aku datang ke rumahnya untuk pengajian.
Menurut
informasi dari keluarga, meninggalnya kawan yang diam-diam selalu mencuri
perhatianku itu disebabkan karena leukimia. Itu pun, diketahui keluarga setelah
Mentari pergi. Aneh sekali jika tak seorang pun anggota keluarganya yang tahu
kondisi kesehatan Mentari yang menderita penyakit serius seperti itu. Sama
anehnya dengan kami, kawan-kawan kuliahnya, yang juga tidak menyadari kondisinya.
Seminggu
setelah kepergian Mentari, barulah aku teringat dengan buku titipannya. Buku
itu belum kukembalikan ke perpustakaan dan masih nangkring di atas meja
belajarku. Iseng-iseng aku membuka buku itu. Alangkah kagetnya aku melihat
secarik kertas dengan tulisan tangan Mentari.
Di situ
tertulis semuanya. Vonis leukimianya, kekasih gelap Ayahnya, tangis diam-diam
Ibunya di tengah malam dan perasaannya kepadaku.
Tubuhku
lemas membaca tulisan di kertas tersebut. Bagaimana mungkin dia menyembunyikan
semua itu dari keluarganya, dari kawan-kawannya, dari aku?
Segitu
luasnya samudra rahasia Mentari hingga aku tak sanggup melihat tepinya? Padahal
tiap hari aku bertemu dengannya dan memperhatikannya.
Apakah
semua perempuan memang begitu? Tiba-tiba aku jadi merinding sendiri memikirkan
ciptaan Tuhan yang satu ini. Yang membedakan perempuan dan aku hanyalah
keberadaan kromosom y dalam susunan genetika kami. Tapi mengapa perempuan bisa
sedemikian unik?
Mentari
bisa menyembunyikan kesedihannya dalam senyuman. Bisa mengkamuflase sakitnya
dengan tawa. Bisa menempatkan problema keluarganya di sudut yang tak terlihat
orang lain. Juga bisa mengubur perasaannya terhadap orang yang dianggapnya
istimewa menjadi terlihat biasa.
Dengan
problem seperti yang dialami Mentari, seharusnya dia sudah menangis
berkali-kali, meninggalkan bekas berupa dua lingkaran gelap di sekitar matanya.
Di mana Mentari menempatkan air matanya selama ini? Aku tak pernah tahu. Tak
seorang pun tahu. Karena itu akan tetap menjadi rahasia Mentari....
Ditulis untuk semua
perempuan dengan segala rahasia hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.