Jumat, 23 Agustus 2013

Rujak Cingur



Pagi hari, biasanya menyuntikkan sejenis energi virtual pada semua makhluk hidup di alam semesta. Mentari, biasanya menjadi sejenis suplemen penambah tenaga bagi sebagian orang. Catat, sebagian orang. Sayangnya Mustain tidak termasuk di dalamnya.
Bagi Mustain, pagi adalah petaka. Sebab lagi-lagi, mau tidak mau, dia harus mulai beranjak dari kasur bututnya yang kadang bersprei kadang tidak. Lantas mandi, berpakaian dan tanpa sarapan meninggalkan bilik kosnya dengan motor butut demi mendatangi sebuah kantor tempatnya bekerja sebagai office boy.
Sebagaimana ikan yang tidak suka berlama-lama di darat, Mustain juga menganggap kantor itu bukan habitatnya. Dia benci tiap hari harus datang pagi-pagi. Dia benci menjerang air dan menyiapkan gelas-gelas. Dia benci menyeduh aneka kombinasi  teh, kopi, krimer dan gula. Tapi alasan kebencian yang sebenarnya adalah karena dia benci hidupnya yang begitu-begitu saja, datar, tak ada tantangan dan yang paling parah, berduit cekak. Mungkin sudah takdir, tapi seandainya bisa, dia ingin merubah guratan nasib itu. Masalahnya, Mustain belum tahu harus bagaimana, sehingga hanya kantor itulah satu-satunya harapan untuk menyambung hidup.
Sama dengan kondisi kantongnya, kehidupan asmara Mustain pun sama saja. Sebenarnya Mustain cukup ganteng dan cukup keren, tapi untuk urusan yang satu ini, Mustain memilih bersikap realistis. Boro-boro mengangankan punya pacar, bisa makan daging ayam seminggu sekali saja sudah berucap hamdalah.
Mustain mendengus sambil memeriksa daftar minuman yang harus disiapkannya hari ini. Kopi tubruk kental untuk pak Jon, teh rosella dengan gula setengah sendok teh untuk pak Rudi, kopi instan plus krimer tanpa gula untuk Mbak Erik, teh herbal ekstra panas untuk Bu Fazni, es teh tarik untuk Mbak Eva. Saat itulah, matanya berhenti pada sebuah nama yang sampai sore kemarin belum ada dalam daftar; Selly, teh manis.
Cuma teh manis? Tanpa embel-embel teh melati, teh herbal atau teh hijau? Pekat atau encer? Hangat atau dingin? Menurut Mustain, permintaan itu membingungkan, kurang detail. Tapi bukankah yang demikian ini yang dia suka. Sederhana. Membebaskan. Mbak Selly atau Bu Selly ini membiarkan Mustain bebas berekspresi untuk menyajikan minuman, yang penting teh dan yang penting manis.  
Eh, tapi siapa Selly? Seingatnya tidak ada nama itu di antara para karyawan kantor di lantai tempatnya bertugas. Apa dia karyawan baru? Beruntung dia tak perlu menunggu lama untuk mendapat jawabannya. Si empunya nama ternyata sudah melongok di pintu pantry. “Pagi, Mas Mustain ya?”, suara merdu seorang perempuan membuyarkan pikiran Mustain yang sedang sibuk memikirkan prosedur pengorganisiran teh dan kopi.
Mustain menoleh dan melongo. Wahai, rupa perempuan muda ini semanis suaranya. “Eh...iya pagi Mbak, eh Kak, eh Bu”, Mustain gelagapan, membuat perempuan itu tersenyum geli. Senyum yang sontak melahirkan sepasang lesung pipit di kedua pipinya.
“Begini Mas, kata Mas Ali, Mas Mustain ini pintar bikin rujak cingur ya?”, tanyanya. Ali adalah teman Mustain sesama office boy yang bertugas di lantai 4.
“Pintar sih nggak, tapi kalau cuma ngerujak aja ya bisa. Ibu mau saya bikinkan?”
“Maunya gitu sih Mas. Soalnya di Jakarta ini susah cari rujak cingur yang rasanya seperti di Surabaya. Aku ketagihan sama rujak cingur waktu kemarin liburan ke sana. Kalau nggak keberatan, besok aku bawa bahan-bahan sama cobeknya sekalian. Jadi Mas tinggal bikin. Gimana? Keberatan nggak Mas?”, ada nada harap di suara Selly.
Wahai, mana sanggup Mustain menolak permintaan makhluk manis ini? Apalagi itu cuma sekedar membuatkannya rujak cingur, keahlian yang dimilikinya berkat 12.5% darah Madura di tubuhnya. “Wah, ya nggak keberatan Bu, wong cuman ngulek aja kok”.
“Terima kasih, nanti Mas buat daftar apa aja yang harus aku beli ya. Besok pagi-pagi aku bawa”, katanya senang sambil bersiap-siap balik badan. Untung Mustain cepat-cepat menyadari sesuatu. “Eee...Bu, Ibu tempatnya di mana?”, tanyanya cepat-cepat.
“Tempatku di lantai ini kok, baru pindah dari lantai 4. Namaku Selly. O ya, panggilnya Mbak aja ya, biar nggak keliatan tua”. Hahaiii....ini ternyata si “teh manis” itu? Si pemilik lesung pipit yang telah merampok hatinya bahkan hanya dengan melihat namanya tertulis dalam daftar minuman.
Selly benar-benar serius. Esok paginya, meja pantry Mustain sudah disesaki oleh sekresek bahan-bahan rujak dan sebuah cobek ukuran sedang. Mulai pagi itu, setidaknya sebulan dua kali, sekresek buah, sayur, cingur sapi, cabe, petis, kacang, terasi, garam, asam jawa dan terkadang lontong akan nongkrong di sana. Selly bahkan merelakan cobeknya menjadi inventaris pantry agar dia tidak perlu bolak-bolak membawa cobek ke kantor.
Jika sebagian orang menganggap sinar matahari adalah sumber semangat menjalani hari baru, bagi Mustain sumber semangatnya adalah sekresek bahan-bahan rujak cingur yang ditemuinya saat masuk pantry. Artinya, hari ini dia bakal lebih sering bertemu Selly.
“Ya Allah Maaas....ini rujak cingur paling uenak yang pernah kumakan. Jangan kapok bikinin kita rujak ya”, puji Selly di sela-sela desis kepedasan akibat rujak yang dinikmatinya. “Itu mas Natan sampai nambah-nambah lho, padahal dulu katanya dia nggak doyan sama cingur”, ujarnya lagi. Mustain terkekeh, tersanjung mendengar pujian Selly.
“Mas, kok nggak buka warung rujak cingur aja? Di sini hampir nggak ada orang jualan rujak cingur. Ada juga di blok M sana. Kalau Mas jualan, pasti bakalan laris deh”, tanya Selly saat mengantarkan piring-piring kotor ke pantry.
Mustain hanya meringis. Miris. “Oalah Mbak, wong saya ini cuma office boy, mana saya punya modal untuk buka warung?”, katanya sambil mengangkat sebaki piring dan gelas kotor yang baru dicuci. Tak sadar ia jika lantai di dekat kakinya basah akibat pipa air yang bocor.
“Lho, yang penting kan Mas Mustain punya niat dulu. Modal bisa diusahakan, iya kan Mas?”, pertanyaan Selly dijawab dengan suara “Brugh!!! Prangg!!! Krompyang!!!”, Selly menjerit kaget, “Mas....Mas...!!! Ya Allah...Mas Mustaiiin!!!”. Selly histeris melihat Mustain yang pingsan karena jatuh terpeleset.
Mustain tak sadarkan diri, hingga tahu-tahu dia sudah ada di salah satu sofa di ruang tamu kantor. Sisa hari itu dia diperbolehkan istirahat.
Esoknya, sebelum dia sempat memeriksa daftar minuman, Manajer Personalia memanggilnya. Dia di-PHK. Dengan ekspresi tak percaya, Mustain bertanya apa salahnya. Sang Manajer berkata dia tak salah, dia di-PHK karena perusahaan tidak ingin memperkerjakan karyawan yang terkena ayan. Pak Manajer mengatakan bahwa ketika dia pingsan kemarin, Mustain mengalami kejang-kejang dan mulut berbusa, gejala khas orang epilepsi.
“Ayan?”, Mustain keheranan. Apakah penyakit itu bisa datang tiba-tiba di umur 25? Seingat Mustain, dia tidak pernah terkena ayan. Tapi tidak ada gunanya menyangkal. Surat pemutusan hubungan kerjanya sudah ada di tangan, demikian juga bukti transfer uang pesangon hasil pengabdiannya selama 2 tahun bekerja di kantor tersebut.
Dengan gontai, dia melangkah keluar pelataran kantor. Tempat itu memang bukan tempat yang disukainya, tapi setidaknya selama ini, dari sanalah hidupnya bisa bersambung. Di sanalah dia bisa melihat senyum berbonus lesung pipit milik Selly.
Ah, Selly, samar-samar Mustain ingat sarannya untuk berjualan rujak cingur. Mungkinkah memang harus begini jalannya? Sesaat semangatnya mulai tumbuh. Bukankah selama ini memang itu keinginannya? Menghasilkan uang dengan cara apa saja yang penting halal asalkan tidak menjadi office boy. Dorongan isi dompet yang mulai menipis serta harapannya untuk merubah nasib membuat Mustain mulai memutar otak.
Uang pesangonnya ditambah uang yang dipinjam dari seorang teman dia gunakan untuk membeli sebuah rombong sederhana, beberapa kursi plastik, cobek, ulek-ulek, dua lusin piring, ember plastik, sendok, garpu, kaleng krupuk, kertas bungkus makanan, lap serta bahan-bahan membuat rujak cingur. Tak lupa Mustain memesan sebuah banner ukuran 80 x 80 cm bertuliskan “Rujak Cingur Surabaya”.
Namun semangat wirausaha Mustain patah di minggu pertamanya berjualan. Dagangannya hanya laku tidak lebih dari 10 piring per hari.
“Katanya yang tergila-gila sama rujak lo tuh karyawan di bekas kantor lo yang dulu, Mus? Kenapa lo ngga jualan depan kantor lo aja? Orang-orang sini mungkin belum begitu familiyer sama yang namanya rujak cingur”, kata teman sekosnya yang prihatin melihat Mustain bengong seharian.
Mata Mustain berbinar, “Tumben saranmu masuk akal, bro?”, ujarnya sambil menjetikkan jari.
“Soalnya lo bengong sambil pegang-pegang pisau. Gue takut aja lo bunuh diri, Mus. O ya, satu lagi saran gue, coba deh lo ganti nama Rujak Cingur itu. Terlalu biasa”, lanjut kawannya. Mustain manggut-manggut dengan kening berkerut tanda berpikir.
Esoknya Mustain melakukan saran temannya untuk mangkal di depan kantor lamanya. Banner rombongnya kini bertuliskan “Rujak Masmus Maknyus”.
Dan benar saja, Selly histeris melihat Mustain, lebih tepatnya melihat rombong rujak yang dibawanya. Selly langsung bermutasi menjadi corong pengeras suara, mengumumkan ke seantero kantor dari lantai 1 sampai 4, bahwa Mustain kini hadir lagi dengan serombong rujak. Hasilnya, angka penjualan rujak Mustain hari itu jauh melampaui jumlah penjualan di hari pertamanya.
Hari-hari berikutnya, Mustain tetap mangkal di depan kantor lamanya. Hanya dalam waktu seminggu, tiba-tiba banyak orang yang datang membeli rujaknya. Belakangan baru Mustain tahu kalau Selly diam-diam mempromosikan rujaknya lewat jejaring sosial.
Mengetahui itu, Mustain semakin terpesona pada Selly. Tapi ya hanya terbatas terpesona itu saja yang bisa dia lakukan. Perbedaan derajat antara tukang rujak dan penyelia sebuah perusahaan terasa sebagai jurang yang menganga. Selly memang baik dan ramah padanya, tapi itu bukan jaminan dia bakal menerima perasaan Mustain. Bisa-bisa Selly malah membenci dan menjauhinya. Ah, Mustain tak ingin itu terjadi.
Usaha rujak cingur Mustain berkembang. Kini uangnya cukup untuk membuka warung kecil-kecilan. Dia juga bahkan mampu mempekerjakan 2 orang karyawan.
Dampak promosi lewat dunia maya memang dahsyat. Namun selain itu, cita rasa rujak buatan Mustain memang dinilai khas oleh pelanggannya. Pengalaman Mustain sebagai office boy (OB) juga membuatnya memberikan servis ala OB pada penikmat rujaknya; santun, ramah, murah senyum dan penuh hormat. Makanya pelanggan setianya senantiasa kembali dan pelanggan barunya selalu bertambah lagi dan lagi.
Usaha Mustain terus berkembang. Kini dia pindah ke sebuah ruko yang lebih besar. Dia bahkan bisa membuka cabang di pujasera sebuah Mall. Pelanggannya pun masih setia mengikuti ke mana pun Mustain pindah. Demikian juga pelanggan setia favorit Mustain; Selly masih kerap mengunjungi depot rujaknya setidaknya seminggu sekali.
Mustain kini merasa cukup percaya diri untuk menyatakan perasaannya pada Selly. Dia sudah bersiap-siap hendak menyatakan isi hatinya pada gadis berlesung pipit itu. Dia bertekad jika Selly datang ke depotnya lagi, dia akan menyampaikan cintanya.
Alangkah girangnya Mustain saat mengetahui Selly datang di suatu sore. Ini dia saatnya, pikirnya. Dia melihat Selly melambaikan tangan dengan senyum khasnya. “Mas Mustain!”, panggilnya. Mendengar suara Selly, entah mengapa jantung Mustain jadi berdebar tak karuan. Tapi Mustain tak hendak menunda-nunda lagi. Pokoknya Selly harus tahu kalau dia mencintainya sejak dulu. Saking gopoh dan groginya, Mustain sampai tidak memperhatikan lantai depot yang masih basah karena baru saja dipel.
“Gubrak!!”, samar-samar yang terdengar hanyalah suara Selly; “Mas....Mas...!!! Ya Allah...Mas Mustaiiin!!!”, tapi Mustain merasa terlalu lemah untuk membuka matanya. Suara teriakan Selly terdengar menjauh. Ketika membuka matanya, Mustain melihat dirinya ada di sebuah sofa. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, merasa mengenal betul ruangan tempat sofa itu berada. Ini kan kantornya yang dulu.
“Lho, saya di mana?”, ujarnya masih dengan mata berkunang-kunang.
“Mas Mustain tadi terpeleset di pantry dan pingsan lama sekali. Piring gelasnya sampai ada yang pecah. Untung nggak sampai ketusuk pecahan kacanya”, Natan berkata dengan ekspresi lega.
“Di pantry? Lho, bukannya saya sudah dipecat?”, tanya Mustain kebingungan.
Manajer Personalia yang kebetulan ada di situ terkekeh. “Kalau cuma mecahin gelas ya nggak mungkin dipecat Mus. Namanya juga kecelakaan, kecuali kamu melakukannya dengan sengaja”.
“Ah, mana mungkin saya sengaja mempelesetkan diri, Pak?”, desis Mustain.
“Ya sudah, yang penting kamu sudah sadar. Kalau masih pusing, istirahat saja dulu di Musholla. Nanti kalau sudah mendingan kembali kerja lagi ya”. Mustain terbengong. Jadi epilepsi, PHK, rombong dan depot rujak cingurnya selama ini hanya mimpi? Mustain tertunduk lesu. Mimpi indah begitu mengapa harus berakhir?, sesalnya.
Tapi kemudian dia sadar, mimpi itu mungkin jawaban atas harapannya untuk mengubah garis hidup. Mimpi itu membuat Mustain melihat jalan lain selain jalan yang sedang dilaluinya selama ini. Jalan yang memang tidak mudah, tapi pemandangan di ujung jalan yang baru itu membuatnya layak untuk diperjuangkan.
Hingga hari itu berakhir, Mustain masih belum tahu apakah dia cukup berani untuk melalui jalan yang ditunjukkan mimpinya. Saya pun tak tahu. Yang saya tahu, kelak jika di salah satu sudut kota Jakarta, Anda menemukan sebuah depot rujak cingur bertajuk “Rujak Masmus Maknyus”, berarti Mustain telah berani melakukan apa yang dikatakan mimpinya.
 -selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)