Pagi hari, biasanya
menyuntikkan sejenis energi virtual pada semua makhluk hidup di alam semesta. Mentari,
biasanya menjadi sejenis suplemen penambah tenaga bagi sebagian orang. Catat,
sebagian orang. Sayangnya Mustain tidak termasuk di dalamnya.
Bagi Mustain, pagi adalah
petaka. Sebab lagi-lagi, mau tidak mau, dia harus mulai beranjak dari kasur
bututnya yang kadang bersprei kadang tidak. Lantas mandi, berpakaian dan tanpa
sarapan meninggalkan bilik kosnya dengan motor butut demi mendatangi sebuah
kantor tempatnya bekerja sebagai office
boy.
Sebagaimana ikan yang tidak
suka berlama-lama di darat, Mustain juga menganggap kantor itu bukan
habitatnya. Dia benci tiap hari harus datang pagi-pagi. Dia benci menjerang air
dan menyiapkan gelas-gelas. Dia benci menyeduh aneka kombinasi teh, kopi, krimer dan gula. Tapi alasan
kebencian yang sebenarnya adalah karena dia benci hidupnya yang begitu-begitu
saja, datar, tak ada tantangan dan yang paling parah, berduit cekak. Mungkin
sudah takdir, tapi seandainya bisa, dia ingin merubah guratan nasib itu.
Masalahnya, Mustain belum tahu harus bagaimana, sehingga hanya kantor itulah
satu-satunya harapan untuk menyambung hidup.
Sama dengan kondisi
kantongnya, kehidupan asmara Mustain pun sama saja. Sebenarnya Mustain cukup
ganteng dan cukup keren, tapi untuk
urusan yang satu ini, Mustain memilih bersikap realistis. Boro-boro mengangankan punya pacar, bisa makan daging ayam seminggu
sekali saja sudah berucap hamdalah.
Mustain mendengus sambil memeriksa
daftar minuman yang harus disiapkannya hari ini. Kopi tubruk kental untuk pak
Jon, teh rosella dengan gula setengah sendok teh untuk pak Rudi, kopi instan
plus krimer tanpa gula untuk Mbak Erik, teh herbal ekstra panas untuk Bu Fazni,
es teh tarik untuk Mbak Eva. Saat itulah, matanya berhenti pada sebuah nama yang
sampai sore kemarin belum ada dalam daftar; Selly, teh manis.
Cuma teh manis? Tanpa
embel-embel teh melati, teh herbal atau teh hijau? Pekat atau encer? Hangat
atau dingin? Menurut Mustain, permintaan itu membingungkan, kurang detail. Tapi
bukankah yang demikian ini yang dia suka. Sederhana. Membebaskan. Mbak Selly
atau Bu Selly ini membiarkan Mustain bebas berekspresi untuk menyajikan
minuman, yang penting teh dan yang penting manis.
Eh, tapi siapa Selly? Seingatnya
tidak ada nama itu di antara para karyawan kantor di lantai tempatnya bertugas.
Apa dia karyawan baru? Beruntung dia tak perlu menunggu lama untuk mendapat
jawabannya. Si empunya nama ternyata sudah melongok di pintu pantry. “Pagi, Mas Mustain ya?”, suara merdu
seorang perempuan membuyarkan pikiran Mustain yang sedang sibuk memikirkan prosedur
pengorganisiran teh dan kopi.
Mustain menoleh dan melongo. Wahai,
rupa perempuan muda ini semanis suaranya. “Eh...iya pagi Mbak, eh Kak, eh Bu”,
Mustain gelagapan, membuat perempuan itu tersenyum geli. Senyum yang sontak
melahirkan sepasang lesung pipit di kedua pipinya.
“Begini Mas, kata Mas Ali, Mas
Mustain ini pintar bikin rujak cingur ya?”, tanyanya. Ali adalah teman Mustain
sesama office boy yang bertugas di
lantai 4.
“Pintar sih nggak, tapi kalau cuma ngerujak aja ya bisa. Ibu mau saya bikinkan?”
“Maunya gitu sih Mas. Soalnya di Jakarta ini susah cari rujak cingur yang
rasanya seperti di Surabaya. Aku ketagihan sama rujak cingur waktu kemarin
liburan ke sana. Kalau nggak keberatan, besok aku bawa bahan-bahan sama
cobeknya sekalian. Jadi Mas tinggal bikin.
Gimana? Keberatan nggak Mas?”,
ada nada harap di suara Selly.
Wahai, mana sanggup Mustain
menolak permintaan makhluk manis ini? Apalagi itu cuma sekedar membuatkannya
rujak cingur, keahlian yang dimilikinya berkat 12.5% darah Madura di tubuhnya.
“Wah, ya nggak keberatan Bu, wong cuman ngulek aja kok”.
“Terima kasih, nanti Mas buat
daftar apa aja yang harus aku beli
ya. Besok pagi-pagi aku bawa”, katanya senang sambil bersiap-siap balik badan.
Untung Mustain cepat-cepat menyadari sesuatu. “Eee...Bu, Ibu tempatnya di
mana?”, tanyanya cepat-cepat.
“Tempatku di lantai ini kok,
baru pindah dari lantai 4. Namaku Selly. O ya, panggilnya Mbak aja ya, biar nggak keliatan tua”. Hahaiii....ini ternyata si “teh manis” itu? Si
pemilik lesung pipit yang telah merampok hatinya bahkan hanya dengan melihat namanya
tertulis dalam daftar minuman.
Selly benar-benar serius. Esok
paginya, meja pantry Mustain sudah
disesaki oleh sekresek bahan-bahan rujak dan sebuah cobek ukuran sedang. Mulai pagi
itu, setidaknya sebulan dua kali, sekresek buah, sayur, cingur sapi, cabe,
petis, kacang, terasi, garam, asam jawa dan terkadang lontong akan nongkrong di
sana. Selly bahkan merelakan cobeknya menjadi inventaris pantry agar dia tidak perlu bolak-bolak membawa cobek ke kantor.
Jika sebagian orang menganggap
sinar matahari adalah sumber semangat menjalani hari baru, bagi Mustain sumber
semangatnya adalah sekresek bahan-bahan rujak cingur yang ditemuinya saat masuk
pantry. Artinya, hari ini dia bakal lebih
sering bertemu Selly.
“Ya Allah Maaas....ini rujak
cingur paling uenak yang pernah kumakan.
Jangan kapok bikinin kita rujak ya”,
puji Selly di sela-sela desis kepedasan akibat rujak yang dinikmatinya. “Itu
mas Natan sampai nambah-nambah lho,
padahal dulu katanya dia nggak doyan sama cingur”, ujarnya lagi. Mustain
terkekeh, tersanjung mendengar pujian Selly.
“Mas, kok nggak buka warung rujak cingur aja?
Di sini hampir nggak ada orang jualan rujak cingur. Ada juga di blok M
sana. Kalau Mas jualan, pasti bakalan laris deh”,
tanya Selly saat mengantarkan piring-piring kotor ke pantry.
Mustain hanya meringis. Miris.
“Oalah Mbak, wong saya ini cuma office boy, mana saya punya modal untuk buka warung?”,
katanya sambil mengangkat sebaki piring dan gelas kotor yang baru dicuci. Tak
sadar ia jika lantai di dekat kakinya basah akibat pipa air yang bocor.
“Lho, yang penting kan Mas
Mustain punya niat dulu. Modal bisa diusahakan, iya kan Mas?”, pertanyaan Selly
dijawab dengan suara “Brugh!!! Prangg!!! Krompyang!!!”, Selly menjerit kaget, “Mas....Mas...!!!
Ya Allah...Mas Mustaiiin!!!”. Selly histeris melihat Mustain yang pingsan karena
jatuh terpeleset.
Mustain tak sadarkan diri,
hingga tahu-tahu dia sudah ada di salah satu sofa di ruang tamu kantor. Sisa
hari itu dia diperbolehkan istirahat.
Esoknya, sebelum dia sempat
memeriksa daftar minuman, Manajer Personalia memanggilnya. Dia di-PHK. Dengan
ekspresi tak percaya, Mustain bertanya apa salahnya. Sang Manajer berkata dia
tak salah, dia di-PHK karena perusahaan tidak ingin memperkerjakan karyawan
yang terkena ayan. Pak Manajer mengatakan bahwa ketika dia pingsan kemarin,
Mustain mengalami kejang-kejang dan mulut berbusa, gejala khas orang epilepsi.
“Ayan?”, Mustain keheranan. Apakah
penyakit itu bisa datang tiba-tiba di umur 25? Seingat Mustain, dia tidak
pernah terkena ayan. Tapi tidak ada gunanya menyangkal. Surat pemutusan
hubungan kerjanya sudah ada di tangan, demikian juga bukti transfer uang
pesangon hasil pengabdiannya selama 2 tahun bekerja di kantor tersebut.
Dengan gontai, dia melangkah
keluar pelataran kantor. Tempat itu memang bukan tempat yang disukainya, tapi
setidaknya selama ini, dari sanalah hidupnya bisa bersambung. Di sanalah dia
bisa melihat senyum berbonus lesung pipit milik Selly.
Ah, Selly, samar-samar Mustain
ingat sarannya untuk berjualan rujak cingur. Mungkinkah memang harus begini
jalannya? Sesaat semangatnya mulai tumbuh. Bukankah selama ini memang itu
keinginannya? Menghasilkan uang dengan cara apa saja yang penting halal asalkan
tidak menjadi office boy. Dorongan
isi dompet yang mulai menipis serta harapannya untuk merubah nasib membuat
Mustain mulai memutar otak.
Uang pesangonnya ditambah uang
yang dipinjam dari seorang teman dia gunakan untuk membeli sebuah rombong
sederhana, beberapa kursi plastik, cobek, ulek-ulek,
dua lusin piring, ember plastik, sendok, garpu, kaleng krupuk, kertas bungkus
makanan, lap serta bahan-bahan membuat rujak cingur. Tak lupa Mustain memesan
sebuah banner ukuran 80 x 80 cm
bertuliskan “Rujak Cingur Surabaya”.
Namun semangat wirausaha
Mustain patah di minggu pertamanya berjualan. Dagangannya hanya laku tidak
lebih dari 10 piring per hari.
“Katanya yang tergila-gila
sama rujak lo tuh karyawan di bekas kantor lo
yang dulu, Mus? Kenapa lo ngga jualan
depan kantor lo aja? Orang-orang sini
mungkin belum begitu familiyer sama
yang namanya rujak cingur”, kata teman sekosnya yang prihatin melihat Mustain bengong
seharian.
Mata Mustain berbinar, “Tumben
saranmu masuk akal, bro?”, ujarnya
sambil menjetikkan jari.
“Soalnya lo bengong sambil pegang-pegang pisau. Gue takut aja lo bunuh
diri, Mus. O ya, satu lagi saran gue,
coba deh lo ganti nama Rujak Cingur
itu. Terlalu biasa”, lanjut kawannya. Mustain manggut-manggut dengan kening
berkerut tanda berpikir.
Esoknya Mustain melakukan
saran temannya untuk mangkal di depan kantor lamanya. Banner rombongnya kini bertuliskan “Rujak Masmus Maknyus”.
Dan benar saja, Selly histeris
melihat Mustain, lebih tepatnya melihat rombong rujak yang dibawanya. Selly
langsung bermutasi menjadi corong pengeras suara, mengumumkan ke seantero
kantor dari lantai 1 sampai 4, bahwa Mustain kini hadir lagi dengan serombong
rujak. Hasilnya, angka penjualan rujak Mustain hari itu jauh melampaui jumlah
penjualan di hari pertamanya.
Hari-hari berikutnya, Mustain
tetap mangkal di depan kantor lamanya. Hanya dalam waktu seminggu, tiba-tiba
banyak orang yang datang membeli rujaknya. Belakangan baru Mustain tahu kalau
Selly diam-diam mempromosikan rujaknya lewat jejaring sosial.
Mengetahui itu, Mustain
semakin terpesona pada Selly. Tapi ya hanya terbatas terpesona itu saja yang
bisa dia lakukan. Perbedaan derajat antara tukang rujak dan penyelia sebuah
perusahaan terasa sebagai jurang yang menganga. Selly memang baik dan ramah padanya,
tapi itu bukan jaminan dia bakal menerima perasaan Mustain. Bisa-bisa Selly
malah membenci dan menjauhinya. Ah, Mustain tak ingin itu terjadi.
Usaha rujak cingur Mustain
berkembang. Kini uangnya cukup untuk membuka warung kecil-kecilan. Dia juga
bahkan mampu mempekerjakan 2 orang karyawan.
Dampak promosi lewat dunia
maya memang dahsyat. Namun selain itu, cita rasa rujak buatan Mustain memang
dinilai khas oleh pelanggannya. Pengalaman Mustain sebagai office boy (OB) juga membuatnya memberikan servis ala OB pada penikmat
rujaknya; santun, ramah, murah senyum dan penuh hormat. Makanya pelanggan
setianya senantiasa kembali dan pelanggan barunya selalu bertambah lagi dan
lagi.
Usaha Mustain terus
berkembang. Kini dia pindah ke sebuah ruko yang lebih besar. Dia bahkan bisa
membuka cabang di pujasera sebuah Mall. Pelanggannya pun masih setia mengikuti
ke mana pun Mustain pindah. Demikian juga pelanggan setia favorit Mustain;
Selly masih kerap mengunjungi depot rujaknya setidaknya seminggu sekali.
Mustain kini merasa cukup
percaya diri untuk menyatakan perasaannya pada Selly. Dia sudah bersiap-siap
hendak menyatakan isi hatinya pada gadis berlesung pipit itu. Dia bertekad jika
Selly datang ke depotnya lagi, dia akan menyampaikan cintanya.
Alangkah girangnya Mustain
saat mengetahui Selly datang di suatu sore. Ini dia saatnya, pikirnya. Dia
melihat Selly melambaikan tangan dengan senyum khasnya. “Mas Mustain!”,
panggilnya. Mendengar suara Selly, entah mengapa jantung Mustain jadi berdebar tak
karuan. Tapi Mustain tak hendak menunda-nunda lagi. Pokoknya Selly harus tahu
kalau dia mencintainya sejak dulu. Saking gopoh dan groginya, Mustain sampai
tidak memperhatikan lantai depot yang masih basah karena baru saja dipel.
“Gubrak!!”, samar-samar yang
terdengar hanyalah suara Selly; “Mas....Mas...!!! Ya Allah...Mas Mustaiiin!!!”,
tapi Mustain merasa terlalu lemah untuk membuka matanya. Suara teriakan Selly
terdengar menjauh. Ketika membuka matanya, Mustain melihat dirinya ada di
sebuah sofa. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, merasa mengenal betul ruangan
tempat sofa itu berada. Ini kan kantornya yang dulu.
“Lho, saya di mana?”, ujarnya
masih dengan mata berkunang-kunang.
“Mas Mustain tadi terpeleset di
pantry dan pingsan lama sekali. Piring
gelasnya sampai ada yang pecah. Untung nggak sampai ketusuk pecahan kacanya”,
Natan berkata dengan ekspresi lega.
“Di pantry? Lho, bukannya saya sudah dipecat?”, tanya Mustain
kebingungan.
Manajer Personalia yang
kebetulan ada di situ terkekeh. “Kalau cuma mecahin
gelas ya nggak mungkin dipecat Mus.
Namanya juga kecelakaan, kecuali kamu melakukannya dengan sengaja”.
“Ah, mana mungkin saya sengaja
mempelesetkan diri, Pak?”, desis Mustain.
“Ya sudah, yang penting kamu
sudah sadar. Kalau masih pusing, istirahat saja dulu di Musholla. Nanti kalau
sudah mendingan kembali kerja lagi
ya”. Mustain terbengong. Jadi epilepsi, PHK, rombong dan depot rujak cingurnya
selama ini hanya mimpi? Mustain tertunduk lesu. Mimpi indah begitu mengapa
harus berakhir?, sesalnya.
Tapi kemudian dia sadar, mimpi
itu mungkin jawaban atas harapannya untuk mengubah garis hidup. Mimpi itu
membuat Mustain melihat jalan lain selain jalan yang sedang dilaluinya selama
ini. Jalan yang memang tidak mudah, tapi pemandangan di ujung jalan yang baru itu
membuatnya layak untuk diperjuangkan.
Hingga hari itu berakhir,
Mustain masih belum tahu apakah dia cukup berani untuk melalui jalan yang
ditunjukkan mimpinya. Saya pun tak tahu. Yang saya tahu, kelak jika di salah
satu sudut kota Jakarta, Anda menemukan sebuah depot rujak cingur bertajuk “Rujak
Masmus Maknyus”, berarti Mustain telah berani melakukan apa yang dikatakan
mimpinya.
-selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.