“Duh,
terlambat!”, Lita tergopoh-gopoh masuk ke halaman parkir sebuah Sekolah Dasar.
Hari ini adalah pertemuan awal tahun ajaran baru bagi para wali murid SD Nurul
Hayat. Ia hadir di sana menggantikan kakaknya yang berhalangan hadir.
Setelah
memarkir motor bebeknya, Lita kebingungan. “Aula mana aula?”, dia menoleh kiri
kanan. Karena tidak memperhatikan jalan, dia menabrak punggung seorang
laki-laki.
“Aduh!
Jangan berdiri di tengah jalan dong!”, semprotnya sambil memegang jidat.
“Maaf
mbak, saya sudah minggir. Tapi mbak yang jalannya miring-miring”, jawab lelaki
itu kalem.
Sebenarnya
orang itu benar, tapi Lita sudah terlanjur malu dan berniat untuk marah demi
menutupinya. Tapi saat menatap wajah orang yang ditabraknya, entah mengapa dia terpaksa
menelan amarahnya.
“Sori...sori...saya
lagi cari...eh...anu...aula”, kata Lita terbata-bata. Jantungnya berdegup
kencang saat menatap wajah sabar lelaki itu.
“Mbak
lurus aja, mentok belok kanan ya”, jawabnya sambil tersenyum. Lita masih
melemparkan lirikan mata sebelum melangkah ke arah yang ditunjukkan lelaki itu.
Di depan
mulut aula, Lita terkaget-kaget. Semua perempuan-perempuan yang duduk dalam
ruangan yang hampir penuh itu semuanya berjilbab. Sementara dia tidak. Dengan
salah tingkah, dia masuk ke dalam aula dan mencari tempat duduk. Ia merasa
semua mata memandang aneh padanya. Lita berusaha tidak peduli, tapi perasaannya
tetap tak enak juga.
Ketika
acara dimulai, barulah Lita tahu siapa lelaki yang tadi ditabraknya. Azzam
namanya, Ustadz kelas 1 yang nantinya akan menjadi guru Rara, keponakannya. Sebelum
acara selesai, kepala sekolah mengumumkan agar para wali murid mengambil
seragam dan perlengkapan sekolah di kelas masing-masing.
Saat
mengambil seragam, yang kebetulan dibagikan langsung oleh Ustadz Azzam, perasan
Lita kembali tak karuan.
“Ibunya
Aisha Azzahra ya?”, tanya Ustadz Azzam saat Lita menandatangani lembar tanda
terima.
“Bukan.
Saya Tantenya”.
“Oh. O ya,
ini buku panduan dan program semester SD Nurul Hayat. Mohon dibaca ya, terutama
halaman 5”
Kening
Lita berkerut sebelum berterima kasih dan melangkah pergi. Dibukanya buku
program panduan itu langsung di halaman 5. Peraturan Sekolah. Nomor 11. Kompleks
SD Nurul Hayat adalah area wajib berhijab. Lita bisa merasakan pipinya memanas.
Batinnya serasa ditohok tinju Muhammad Ali.
***
Tugas Lita
selanjutnya adalah mengantar jemput Rara. Kebetulan waktu masuk dan pulang keponakan
semata wayangnya itu hampir bersamaan dengan jadwal kuliah Lita. Kebetulan juga
lokasi SD Nurul Hayat searah dengan kampusnya.
Sejak
punya tugas baru, Lita selalu membawa selembar kerudung dan cardigan
dalam tasnya. Keduanya akan ia dikenakan di tempat parkir SD Nurul Hayat tiap
akan menjemput Rara.
“Begitu
lebih baik Mbak”, sebuah suara mengusik konsentrasi Lita yang sedang menanti Rara
sambil membaca di teras masjid sekolah.
Lita mendongak. Senyumnya langsung merekah begitu tahu siapa yang menyapanya. Ustadz
Azzam.
“Tapi
lebih baik lagi kalau dipakainya dari rumah, bukan dari tempat parkir”, kata
Azzam sambil tersenyum. Wajah Lita bersemu. Malu.
Hari-hari
berlalu. Kini, dalam tas Lita sudah tidak ada lagi kerudung dan cardigan,
karena ia sudah mengenakan baju lengan panjang dan berhijab sejak keluar dari
rumah. Penutup kepalanya juga telah berubah, bukan hanya sekedar selendang yang
ditangkupkan di kepala dan diikat di leher, melainkan disemat dengan rapi dengan
peniti di bawah dagu.
Ibu sangat
lega mendapati perubahan penampilan anak gadisnya itu. Selama ini Ibu sudah
kehabisan akal menyuruh Lita berjilbab. Alasannya ada saja; mulai dari “Belum
siap” atau “Belum dapat hidayah” atau “Yang penting kan hatinya berjilbab”.
***
Tak terasa
setahun berlalu. Hari ini hari pertama tahun ajaran baru. Namun di hari pertama
Lita menjemput Rara, Ustadz Azzam tidak terlihat di sekolah. Juga hari kedua,
ketiga, keempat. Ke mana dia? Jawabannya dia dapat dari Rara. Ustadz Azzam tidak
bisa mengajar karena sedang menempuh pendidikan di Kairo.
Gelap sudah
hari-hari Lita. Azzam pergi ke tempat yang jauh. Dia pergi tanpa pamit. Ah,
tapi untuk apa Azzam berpamitan padanya. Selama ini Azzam toh tak pernah
sekalipun bertanya siapa namanya. Selama ini, dia hanya bertukar sapa dengan
Azzam tidak lebih dari 3 kali. Selebihnya hanya bertukar pandang tanpa
berbincang. Lita tersadar Azzam tak pernah menaruh perhatian sedikit pun
padanya. Padahal dia tak pernah seharipun tidak memikirkan Azzam.
Hati Lita
perih bukan main. Tergerus perasaan yang tak terbalas dan kerinduan yang tak
tertahankan. Lita menangis semalaman. Dalam sejarah hidupnya, ini kali kedua
dia menangisi seorang laki-laki setelah kematian Ayah.
***
“Bu, aku berangkat”,
pamit Lita suatu sore.
Ibu nyaris
tersedak melihat Lita. “Lho...lho...mau ke mana?”
“Ke toko
buku”
Ibu
melongo, tapi segera tersadar. “E e e...kok ndak pake jilbab? Terus pakai kaos
ketat lagi?”
“Lita ndak
berjilbab lagi, Bu”, jawab Lita pendek.
“Sebentar
Nduk, duduk sini dulu, ada yang Ibu mau tanyakan”, panggil Ibunya dengan
lembut.
Lita
cemberut, tapi tak urung dia menuruti juga permintaan Ibunya.
Sebenarnya
ibu sudah merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran anak bungsunya ini. Belakangan
ia melihat Lita jadi lebih pemurung dan matanya sering terlihat sembab.
“Kenapa
jilbabnya dilepas?”, tanya Ibu hati-hati.
Lita
terdiam beberapa saat sebelum menjawab; “Soalnya yang nyuruh pakai jilbab sudah
ndak ada”
“Siapa
yang nyuruh?”
Lita
terdiam lagi. Selama ini dia memang tidak pernah cerita pada siapapun. Sekarang
juga sebenarnya dia tidak ingin cerita, tapi ia tidak sanggup membohongi wanita
yang sudah melahirkannya itu. “Mmmm...ustadnya Rara. Sekarang dia sedang sekolah
di Mesir”, jawabnya tanpa berani menatap mata Ibunya.
Ibu
tersenyum bijak. Wanita itu kini paham apa yang sedang dialami putrinya.
“Untuk
memulai suatu kebaikan, tidak masalah sebenarnya jika didorong oleh sesuatu atau
seseorang. Tapi berikutnya, segera istighfar dan perbaiki niatmu untuk
melakukan itu semata-mata karena Allah”
“Maksud
Ibu?”
“Dulu
waktu kecil, kamu mau berpuasa karena mengejar hadiah yang Ibu berikan di hari
raya kan? Tapi setelah dewasa, mengapa kamu tetap berpuasa walaupun Ibu tidak
lagi memberi hadiah?”
“Ya karena
puasa itu kan perintah Allah Bu. Kalau tidak dilaksanakan kan berdosa”
“Sama juga
dengan berhijab Nduk. Perintah untuk itu jelas ada dalam Alquran. Jadi tidak
ada alasan untuk tidak menurutinya. Ataupun melakukannya tapi bukan karena
Allah”
Lita
terdiam. Kata-kata Ibu barusan telak menohok ulu hatinya. Perih hatinya muncul
lagi. Tapi kali ini bukan karena kehilangan Azzam, tapi karena sadar akan
kesalahannya. Selama hampir setahun ini, dia memang berhijab karena ingin
menarik perhatian Azzam. Selama ini dia berhijab karena malu dilihat Azzam
mengenakan kerudung di tempat parkir sekolah Rara.
“Jika
seorang muslim melakukan sesuatu karena mengharap ridho Allah, maka tidak akan
ada rasa kecewa jika kehilangan sesuatu. Atau seseorang”, lanjut Ibu.
“Tidak
kecewa?”
“Misalnya,
seorang ibu akan dengan senang hati kehilangan waktu istirahatnya yang ia pakai
untuk merawat bayinya yang baru lahir. Sebab cukup baginya ridho Allah sebagai
hadiah yang paling berharga”, lanjut Ibu.
Air mata
Lita mengalir. Dia malu. Malu pada Ibunya. Malu pada dirinya sendiri. Malu pada
Allah.
Ibu
tersenyum lembut. Dibiarkannya Lita menangis sampai puas. Ibu bisa merasakan,
setelah ini Lita tidak akan melepas jilbabnya lagi, walaupun hatinya mungkin
masih terluka karena cinta pertamanya yang tak terbalas.
“Termasuk dalam
hal mencintai Nduk. Jika kamu mencintai seseorang, cintailah dia karena kamu
mencintai Allah. Jadi jika kamu kehilangan dia, cukuplah Allah sebagai pelipur
lara”, sambung Ibu.
Lita
mengangguk. Matanya masih basah, tapi seulas senyum kini tersungging di
wajahnya yang manis.
***
Epilog
Kairo,
Mesir.
Azzam
sedang memandangi akun jejaring sosial milik seorang gadis; Annisa Jelita. Hal
itu rutin dia lakukan sejak setahunan yang lalu, tidak lama setelah gadis itu
tak sengaja menabraknya di sekolah tempat ia mengajar dulu.
Azzam
senang karena hari-hari berikutnya, ia selalu bisa melihat gadis itu mengantar
jemput Rara, salah satu anak didiknya. Dari muridnya itulah, Azzam tahu nama
gadis manis yang wajahnya kian manis saat dibingkai dengan hijab. Sayang Azzam
tak pernah punya keberanian untuk berkenalan.
Dari akun
jejaring sosialnya, Azzam tahu siapa dia. Mahasiswi tahun pertama jurusan
Matematika. Hobinya membaca buku dan menulis puisi. Penulis blog yang blognya
juga rutin dikunjungi Azzam.
Azzam
mengarahkan kursor ke sebuah kotak bertuliskan “Add Friend”. Sesaat dia ragu.
Mungkinkah gadis itu masih ingat padanya?
Ditepisnya
keraguan itu jauh-jauh. Mungkin dia memang harus berada jauh dari kota tempat
tinggal Annisa Jelita agar keberanian itu muncul.
“Bismillahirrahmanirrahim”,
bisiknya sambil mengklik “Add Friend” di dekat foto profil Annisa Jelita yang
sudah berjilbab.
-selesai-
ditulis untuk Lomba Cerpen Nurul Hayat
Mana lanjutan ceritanya ? Ditunggu yaa :)
BalasHapus