Selasa, 20 Agustus 2013

Jilbab Jelita



“Duh, terlambat!”, Lita tergopoh-gopoh masuk ke halaman parkir sebuah Sekolah Dasar. Hari ini adalah pertemuan awal tahun ajaran baru bagi para wali murid SD Nurul Hayat. Ia hadir di sana menggantikan kakaknya yang berhalangan hadir.
Setelah memarkir motor bebeknya, Lita kebingungan. “Aula mana aula?”, dia menoleh kiri kanan. Karena tidak memperhatikan jalan, dia menabrak punggung seorang laki-laki.
“Aduh! Jangan berdiri di tengah jalan dong!”, semprotnya sambil memegang jidat.
“Maaf mbak, saya sudah minggir. Tapi mbak yang jalannya miring-miring”, jawab lelaki itu kalem.
Sebenarnya orang itu benar, tapi Lita sudah terlanjur malu dan berniat untuk marah demi menutupinya. Tapi saat menatap wajah orang yang ditabraknya, entah mengapa dia terpaksa menelan amarahnya.
“Sori...sori...saya lagi cari...eh...anu...aula”, kata Lita terbata-bata. Jantungnya berdegup kencang saat menatap wajah sabar lelaki itu.
“Mbak lurus aja, mentok belok kanan ya”, jawabnya sambil tersenyum. Lita masih melemparkan lirikan mata sebelum melangkah ke arah yang ditunjukkan lelaki itu.
Di depan mulut aula, Lita terkaget-kaget. Semua perempuan-perempuan yang duduk dalam ruangan yang hampir penuh itu semuanya berjilbab. Sementara dia tidak. Dengan salah tingkah, dia masuk ke dalam aula dan mencari tempat duduk. Ia merasa semua mata memandang aneh padanya. Lita berusaha tidak peduli, tapi perasaannya tetap tak enak juga.
Ketika acara dimulai, barulah Lita tahu siapa lelaki yang tadi ditabraknya. Azzam namanya, Ustadz kelas 1 yang nantinya akan menjadi guru Rara, keponakannya. Sebelum acara selesai, kepala sekolah mengumumkan agar para wali murid mengambil seragam dan perlengkapan sekolah di kelas masing-masing.
Saat mengambil seragam, yang kebetulan dibagikan langsung oleh Ustadz Azzam, perasan Lita kembali tak karuan.
“Ibunya Aisha Azzahra ya?”, tanya Ustadz Azzam saat Lita menandatangani lembar tanda terima.
“Bukan. Saya Tantenya”.
“Oh. O ya, ini buku panduan dan program semester SD Nurul Hayat. Mohon dibaca ya, terutama halaman 5”
Kening Lita berkerut sebelum berterima kasih dan melangkah pergi. Dibukanya buku program panduan itu langsung di halaman 5. Peraturan Sekolah. Nomor 11. Kompleks SD Nurul Hayat adalah area wajib berhijab. Lita bisa merasakan pipinya memanas. Batinnya serasa ditohok tinju Muhammad Ali.
***
Tugas Lita selanjutnya adalah mengantar jemput Rara. Kebetulan waktu masuk dan pulang keponakan semata wayangnya itu hampir bersamaan dengan jadwal kuliah Lita. Kebetulan juga lokasi SD Nurul Hayat searah dengan kampusnya.
Sejak punya tugas baru, Lita selalu membawa selembar kerudung dan cardigan dalam tasnya. Keduanya akan ia dikenakan di tempat parkir SD Nurul Hayat tiap akan menjemput Rara.
“Begitu lebih baik Mbak”, sebuah suara mengusik konsentrasi Lita yang sedang menanti Rara sambil membaca di  teras masjid sekolah. Lita mendongak. Senyumnya langsung merekah begitu tahu siapa yang menyapanya. Ustadz Azzam.
“Tapi lebih baik lagi kalau dipakainya dari rumah, bukan dari tempat parkir”, kata Azzam sambil tersenyum. Wajah Lita bersemu. Malu.
Hari-hari berlalu. Kini, dalam tas Lita sudah tidak ada lagi kerudung dan cardigan, karena ia sudah mengenakan baju lengan panjang dan berhijab sejak keluar dari rumah. Penutup kepalanya juga telah berubah, bukan hanya sekedar selendang yang ditangkupkan di kepala dan diikat di leher, melainkan disemat dengan rapi dengan peniti di bawah dagu.
Ibu sangat lega mendapati perubahan penampilan anak gadisnya itu. Selama ini Ibu sudah kehabisan akal menyuruh Lita berjilbab. Alasannya ada saja; mulai dari “Belum siap” atau “Belum dapat hidayah” atau “Yang penting kan hatinya berjilbab”.
***
Tak terasa setahun berlalu. Hari ini hari pertama tahun ajaran baru. Namun di hari pertama Lita menjemput Rara, Ustadz Azzam tidak terlihat di sekolah. Juga hari kedua, ketiga, keempat. Ke mana dia? Jawabannya dia dapat dari Rara. Ustadz Azzam tidak bisa mengajar karena sedang menempuh pendidikan di Kairo.
Gelap sudah hari-hari Lita. Azzam pergi ke tempat yang jauh. Dia pergi tanpa pamit. Ah, tapi untuk apa Azzam berpamitan padanya. Selama ini Azzam toh tak pernah sekalipun bertanya siapa namanya. Selama ini, dia hanya bertukar sapa dengan Azzam tidak lebih dari 3 kali. Selebihnya hanya bertukar pandang tanpa berbincang. Lita tersadar Azzam tak pernah menaruh perhatian sedikit pun padanya. Padahal dia tak pernah seharipun tidak memikirkan Azzam.
Hati Lita perih bukan main. Tergerus perasaan yang tak terbalas dan kerinduan yang tak tertahankan. Lita menangis semalaman. Dalam sejarah hidupnya, ini kali kedua dia menangisi seorang laki-laki setelah kematian Ayah.
***
“Bu, aku berangkat”, pamit Lita suatu sore.
Ibu nyaris tersedak melihat Lita. “Lho...lho...mau ke mana?”
“Ke toko buku”
Ibu melongo, tapi segera tersadar. “E e e...kok ndak pake jilbab? Terus pakai kaos ketat lagi?”
“Lita ndak berjilbab lagi, Bu”, jawab Lita pendek.
“Sebentar Nduk, duduk sini dulu, ada yang Ibu mau tanyakan”, panggil Ibunya dengan lembut.
Lita cemberut, tapi tak urung dia menuruti juga permintaan Ibunya.
Sebenarnya ibu sudah merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran anak bungsunya ini. Belakangan ia melihat Lita jadi lebih pemurung dan matanya sering terlihat sembab.
“Kenapa jilbabnya dilepas?”, tanya Ibu hati-hati.
Lita terdiam beberapa saat sebelum menjawab; “Soalnya yang nyuruh pakai jilbab sudah ndak ada”
“Siapa yang nyuruh?”
Lita terdiam lagi. Selama ini dia memang tidak pernah cerita pada siapapun. Sekarang juga sebenarnya dia tidak ingin cerita, tapi ia tidak sanggup membohongi wanita yang sudah melahirkannya itu. “Mmmm...ustadnya Rara. Sekarang dia sedang sekolah di Mesir”, jawabnya tanpa berani menatap mata Ibunya.
Ibu tersenyum bijak. Wanita itu kini paham apa yang sedang dialami putrinya.
“Untuk memulai suatu kebaikan, tidak masalah sebenarnya jika didorong oleh sesuatu atau seseorang. Tapi berikutnya, segera istighfar dan perbaiki niatmu untuk melakukan itu semata-mata karena Allah”
“Maksud Ibu?”
“Dulu waktu kecil, kamu mau berpuasa karena mengejar hadiah yang Ibu berikan di hari raya kan? Tapi setelah dewasa, mengapa kamu tetap berpuasa walaupun Ibu tidak lagi memberi hadiah?”
“Ya karena puasa itu kan perintah Allah Bu. Kalau tidak dilaksanakan kan berdosa”
“Sama juga dengan berhijab Nduk. Perintah untuk itu jelas ada dalam Alquran. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menurutinya. Ataupun melakukannya tapi bukan karena Allah”
Lita terdiam. Kata-kata Ibu barusan telak menohok ulu hatinya. Perih hatinya muncul lagi. Tapi kali ini bukan karena kehilangan Azzam, tapi karena sadar akan kesalahannya. Selama hampir setahun ini, dia memang berhijab karena ingin menarik perhatian Azzam. Selama ini dia berhijab karena malu dilihat Azzam mengenakan kerudung di tempat parkir sekolah Rara.
“Jika seorang muslim melakukan sesuatu karena mengharap ridho Allah, maka tidak akan ada rasa kecewa jika kehilangan sesuatu. Atau seseorang”, lanjut Ibu.
“Tidak kecewa?”
“Misalnya, seorang ibu akan dengan senang hati kehilangan waktu istirahatnya yang ia pakai untuk merawat bayinya yang baru lahir. Sebab cukup baginya ridho Allah sebagai hadiah yang paling berharga”, lanjut Ibu.
Air mata Lita mengalir. Dia malu. Malu pada Ibunya. Malu pada dirinya sendiri. Malu pada Allah.
Ibu tersenyum lembut. Dibiarkannya Lita menangis sampai puas. Ibu bisa merasakan, setelah ini Lita tidak akan melepas jilbabnya lagi, walaupun hatinya mungkin masih terluka karena cinta pertamanya yang tak terbalas.
“Termasuk dalam hal mencintai Nduk. Jika kamu mencintai seseorang, cintailah dia karena kamu mencintai Allah. Jadi jika kamu kehilangan dia, cukuplah Allah sebagai pelipur lara”, sambung Ibu.
Lita mengangguk. Matanya masih basah, tapi seulas senyum kini tersungging di wajahnya yang manis.
***
Epilog
Kairo, Mesir.
Azzam sedang memandangi akun jejaring sosial milik seorang gadis; Annisa Jelita. Hal itu rutin dia lakukan sejak setahunan yang lalu, tidak lama setelah gadis itu tak sengaja menabraknya di sekolah tempat ia mengajar dulu.
Azzam senang karena hari-hari berikutnya, ia selalu bisa melihat gadis itu mengantar jemput Rara, salah satu anak didiknya. Dari muridnya itulah, Azzam tahu nama gadis manis yang wajahnya kian manis saat dibingkai dengan hijab. Sayang Azzam tak pernah punya keberanian untuk berkenalan.
Dari akun jejaring sosialnya, Azzam tahu siapa dia. Mahasiswi tahun pertama jurusan Matematika. Hobinya membaca buku dan menulis puisi. Penulis blog yang blognya juga rutin dikunjungi Azzam.
Azzam mengarahkan kursor ke sebuah kotak bertuliskan “Add Friend”. Sesaat dia ragu. Mungkinkah gadis itu masih ingat padanya?
Ditepisnya keraguan itu jauh-jauh. Mungkin dia memang harus berada jauh dari kota tempat tinggal Annisa Jelita agar keberanian itu muncul.
“Bismillahirrahmanirrahim”, bisiknya sambil mengklik “Add Friend” di dekat foto profil Annisa Jelita yang sudah berjilbab.

-selesai-

ditulis untuk Lomba Cerpen Nurul Hayat

1 komentar:

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)