Selasa, 06 Agustus 2013

Tiga Puluh Dua Tahun




Perlu tiga puluh dua tahun, Ibu
Enam enam sembilan delapan
Tuk kembalikan harum namamu
Yang terkubur busuk fitnah sang tiran

Selama tiga puluh dua tahun, Ibu
Hadirmu dilaknat sebagai sundal pencabut nyawa
Seperti hujan yang dipersalahkan saat banjir tiba
Padahal ia adalah hadiah dari Sang Maha Tahu

Selama tiga puluh dua tahun, Ibu
Adamu dihujat sebagai betina tak berperi
Bak mentari yang dipersalahkan jika terik menyengat bumi
Padahal ia adalah hidup bagi mereka, kau dan aku

Namun dalam tiga puluh dua tahun itu
Seperti hujan yang tak acuhkan gerutuan
Juga mentari yang tak pedulikan cemoohan
Kau dalam kuburmu tenang dalam senyuman

Aku iri padamu, Ibu
Karna aku butuh lebih dari tiga puluh dua tahun
Untuk lupakan duka di malam sepi bisu
Saat mereka mengambil paksa nyawamu

Mereka itu, tiga puluh dua tahun lalu
Mencabik-cabik kulit dan harga dirimu
Tepat di depan kedua mata kecilku
Hingga torehkan luka yang tak pernah sembuh

Seandainya bisa kutanya pada mereka
Bagaimana agar luka ini bisa mengering
Sebagaimana bisa kutanya pada harum bunga
Bagaimana bisa sejarah menjadikannya saksi

Kini tinggal aku sendiri
Bergulat dengan rasa sakit tak terperi
Yang hanya bisa sembuh jika ajal menghampiri
Mungkin nanti, tiga puluh dua tahun lagi.

-selesai-

(ditulis untuk lomba puisi GERWANI by @LembagaBhineka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)