Kamis, 22 Agustus 2013

Selamat Tinggal, Sahabat




Untung aku mengenakan pakaian putih dan kerudung hijau hari ini. Warna putih yang melambangkan kesucian Dzat Ilahi dan warna hijau yang konon menjadi warna favorit Rasulullah. Pas sekali dengan momen perpisahan yang baru saja terjadi antara aku dan dia. Padahal, ketika aku memilih busana itu hari ini, aku sama sekali tidak menyangka akan mengenakannya saat aku harus mengucapkan selamat tinggal pada sahabat lama.
Aku mengenalnya nyaris 10 tahun yang lalu. Tapi kami baru benar-benar akrab sekitar 5 tahun terakhir. Bisa dibilang, aku adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengannya. Ya, beberapa perempuan memang terlihat beberapa kali mendatanginya dan menghabiskan waktu beberapa lama dengannya. Tapi aku yakin, aku lah perempuan yang menghabiskan waktu paling intens dengannya. Aku lah perempuan yang paling setia mengakrabinya, bukan hanya sejak kami pertama berkenalan, tapi sejak dia ada.
Dulu aku sempat merasa kebingungan saat berusaha mendekatinya. Orang-orang yang berada di sekitarnya semua berjenis kelamin laki-laki. Catat, semuanya. Seolah dia tidak memiliki ruang untuk makhluk ciptaan Tuhan berjenis perempuan.
Tapi dari dulu aku selalu ingin mendekatinya. Awalnya terasa rikuh. Apalagi melihat mata para lelaki yang menatapku aneh saat hubungan antara aku dan dia mulai terjalin. Akhirnya setelah berjuang cukup lama, aku berhasil mendapat tempat di salah satu sudut hatinya. Hanya sebuah sudut kecil, tapi tak mengapa. Itu sudah lebih dari cukup
Aku tidak keberatan ketika sudut kecil itu sesekali harus kubagi dengan perempuan lain. Toh sudut kecil itu masih terasa leluasa mengingat tak banyak perempuan yang bersedia mendatanginya. Tapi biar bagaimana, aku lebih senang jika tak ada seorang pun di sana, hingga aku dan dia benar-benar bisa menikmati momen-momen eksklusif bersama.
Lima tahun ini aku dan dia berteman akrab. Telah banyak momen-momen penting yang kubagi hanya dengannya. Dia lah tempat aku menyandarkan kepala saat benar-benar sedang merasa kelelahan. Dia bahkan beberapa kali membiarkan aku tertidur dalam dekapannya. Dia juga menjadi tempatku membagi kebahagiaan dan rasa syukur jika suatu ketika mendapatkan rejeki. Bersamanya, aku melewatkan waktu untuk memikirkan Allah, memikirkan RasulNya, juga membaca kitab suciNya. Dia lah tempatku melampiaskan amarah dan kesedihan yang terkadang tak kuasa kukendalikan. Tak terhitung sudah berapa tetes air mataku yang pernah membasahi tubuhnya.
Aku mencintainya. Semakin lama mengenalnya, semakin aku tak bisa meninggalkannya. Bahkan di waktu senggang, aku lebih memilih untuk mendatanginya ketimbang menghabiskan waktu bersama teman-temanku yang lain. Karena dengannya aku memperoleh arti kedamaian. Lima tahun sudah dia telah menjadi sahabat setiaku.
Tapi hari ini aku terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada sahabatku itu. Pada Masjid berkubah hijau yang terletak persis di depan kantorku.


Aku tak pernah menyangka jika keakrabanku dengan rumah Allah itu rupanya menimbulkan mudharat bagi seseorang. Seseorang yang rela tubuhnya dijilat api neraka. Seseorang yang menolak untuk beristighfar dan meluruskan niat. Seseorang yang juga mengakrabkan diri dengan tempat itu karena ingin mengakrabkan diri denganku.
Orang itu bilang dia bukan satu-satunya. Masih ada orang lain lagi yang mendatangi Masjid bukan karena ingin bertemu dengan Allah melainkan untuk melihatku atau mendengar suaraku. Jadi hari ini kuputuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Masjid itu. Agar dia berhenti mengharapkanku dan berganti dengan harapan untuk hanya bertemu dengan PenciptaNya, Dzat Maha Mulia yang sama dengan yang menciptakan aku.
Keputusan ini juga bukan atas kemauanku, sebab aku sendiri sebenarnya juga berat untuk berpisah dengan masjid yang berlantai sejuk itu.
Selepas tengah hari, sebuah perasaan setipis kabut menyusup ke dalam hati, menyuruh aku untuk segera mengemasi barang-barang pribadiku yang memang sengaja kutinggal di sana dan sesegera mungkin mengucapkan selamat tinggal. Menyadari itu, kupandangi tiap jengkal sudut kecilku dan hal-hal yang terlihat dari sana. Aku tak mampu menahan keluarnya butiran air dari kedua mataku ketika menyadari inilah duduk terakhirku di tempat ini. Ini lah butir air mata terakhir yang membasahi lantai Masjid sejuk berdinding hijau.
Hari ini, aku sengaja berlama-lama di dalamnya dan menempelkan pipiku di lantainya. Sebab esok hari aku sudah tak akan menginjakkan kaki lagi di sana.
Selamat tinggal, sahabatku. Dulu aku mendatangimu karena Allah. Dan kini, aku meninggalkanmu pun karena Dia.
Karena takut akan niat yang tak lagi lurus untukNya.

-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)