Untung aku
mengenakan pakaian putih dan kerudung hijau hari ini. Warna putih yang
melambangkan kesucian Dzat Ilahi dan warna hijau yang konon menjadi warna
favorit Rasulullah. Pas sekali dengan momen perpisahan yang baru saja terjadi
antara aku dan dia. Padahal, ketika aku memilih busana itu hari ini, aku sama
sekali tidak menyangka akan mengenakannya saat aku harus mengucapkan selamat
tinggal pada sahabat lama.
Aku
mengenalnya nyaris 10 tahun yang lalu. Tapi kami baru benar-benar akrab sekitar
5 tahun terakhir. Bisa dibilang, aku adalah satu-satunya perempuan yang akrab
dengannya. Ya, beberapa perempuan memang terlihat beberapa kali mendatanginya
dan menghabiskan waktu beberapa lama dengannya. Tapi aku yakin, aku lah
perempuan yang menghabiskan waktu paling intens dengannya. Aku lah perempuan
yang paling setia mengakrabinya, bukan hanya sejak kami pertama berkenalan,
tapi sejak dia ada.
Dulu aku
sempat merasa kebingungan saat berusaha mendekatinya. Orang-orang yang berada
di sekitarnya semua berjenis kelamin laki-laki. Catat, semuanya. Seolah dia
tidak memiliki ruang untuk makhluk ciptaan Tuhan berjenis perempuan.
Tapi dari
dulu aku selalu ingin mendekatinya. Awalnya terasa rikuh. Apalagi melihat mata
para lelaki yang menatapku aneh saat hubungan antara aku dan dia mulai terjalin.
Akhirnya setelah berjuang cukup lama, aku berhasil mendapat tempat di salah
satu sudut hatinya. Hanya sebuah sudut kecil, tapi tak mengapa. Itu sudah lebih
dari cukup
Aku tidak keberatan
ketika sudut kecil itu sesekali harus kubagi dengan perempuan lain. Toh
sudut kecil itu masih terasa leluasa mengingat tak banyak perempuan yang
bersedia mendatanginya. Tapi biar bagaimana, aku lebih senang jika tak ada
seorang pun di sana, hingga aku dan dia benar-benar bisa menikmati momen-momen
eksklusif bersama.
Lima tahun
ini aku dan dia berteman akrab. Telah banyak momen-momen penting yang kubagi
hanya dengannya. Dia lah tempat aku menyandarkan kepala saat benar-benar sedang
merasa kelelahan. Dia bahkan beberapa kali membiarkan aku tertidur dalam
dekapannya. Dia juga menjadi tempatku membagi kebahagiaan dan rasa syukur jika
suatu ketika mendapatkan rejeki. Bersamanya, aku melewatkan waktu untuk
memikirkan Allah, memikirkan RasulNya, juga membaca kitab suciNya. Dia lah tempatku
melampiaskan amarah dan kesedihan yang terkadang tak kuasa kukendalikan. Tak
terhitung sudah berapa tetes air mataku yang pernah membasahi tubuhnya.
Aku
mencintainya. Semakin lama mengenalnya, semakin aku tak bisa meninggalkannya.
Bahkan di waktu senggang, aku lebih memilih untuk mendatanginya ketimbang
menghabiskan waktu bersama teman-temanku yang lain. Karena dengannya aku
memperoleh arti kedamaian. Lima tahun sudah dia telah menjadi sahabat setiaku.
Tapi hari
ini aku terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada sahabatku itu. Pada Masjid
berkubah hijau yang terletak persis di depan kantorku.
Aku tak
pernah menyangka jika keakrabanku dengan rumah Allah itu rupanya menimbulkan
mudharat bagi seseorang. Seseorang yang rela tubuhnya dijilat api neraka. Seseorang
yang menolak untuk beristighfar dan meluruskan niat. Seseorang yang juga
mengakrabkan diri dengan tempat itu karena ingin mengakrabkan diri denganku.
Orang itu bilang
dia bukan satu-satunya. Masih ada orang lain lagi yang mendatangi Masjid bukan
karena ingin bertemu dengan Allah melainkan untuk melihatku atau mendengar
suaraku. Jadi hari ini kuputuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Masjid itu.
Agar dia berhenti mengharapkanku dan berganti dengan harapan untuk hanya
bertemu dengan PenciptaNya, Dzat Maha Mulia yang sama dengan yang menciptakan
aku.
Keputusan
ini juga bukan atas kemauanku, sebab aku sendiri sebenarnya juga berat untuk
berpisah dengan masjid yang berlantai sejuk itu.
Selepas tengah
hari, sebuah perasaan setipis kabut menyusup ke dalam hati, menyuruh aku untuk
segera mengemasi barang-barang pribadiku yang memang sengaja kutinggal di sana
dan sesegera mungkin mengucapkan selamat tinggal. Menyadari itu, kupandangi
tiap jengkal sudut kecilku dan hal-hal yang terlihat dari sana. Aku tak mampu
menahan keluarnya butiran air dari kedua mataku ketika menyadari inilah duduk
terakhirku di tempat ini. Ini lah butir air mata terakhir yang membasahi lantai
Masjid sejuk berdinding hijau.
Hari ini,
aku sengaja berlama-lama di dalamnya dan menempelkan pipiku di lantainya. Sebab
esok hari aku sudah tak akan menginjakkan kaki lagi di sana.
Selamat
tinggal, sahabatku. Dulu aku mendatangimu karena Allah. Dan kini, aku
meninggalkanmu pun karena Dia.
Karena
takut akan niat yang tak lagi lurus untukNya.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.