Seharusnya
kamu marah atau setidaknya memasang wajah cemberut tiap kali berjumpa denganku.
Kemarahanmu dan kecemberutanmu itu sudah sewajarnya karena aku sudah melakukan
hal yang tidak pantas.
Aku
mencintaimu, di saat aku dan kamu tidak lagi sendiri melainkan berdua.
Tidak
pantas bukan? Kurang ajar bukan?
Aku tidak
selayaknya mencintaimu di saat sudah mengikatkan janji dengan seorang
perempuan. Aku juga tidak selayaknya mencintaimu di saat seorang lelaki sudah
mentahbiskan diri sebagai pendamping hidupmu.
Tapi aku
tidak bisa mencegahnya. Sebagaimana aku tidak mampu mencegah matahari agar
tidak terbit dari timur. Perasaanku merekah seperti mentari yang muncul
perlahan dari balik cakrawala. Hanya bedanya, matahari bisa tenggelam jika
senja tiba. Namun tidak dengan perasaanku. Ia nya terus terbit. Kian lama kian terang.
Seperti bunga yang merekah dan merebakkan harum wangi cinta yang memenuhi
setiap sudut hatiku.
“Jangan
begitu Mas, kasihan kan istrimu kalau kamu mikirin aku terus”, katamu
suatu hari ketika aku memberanikan diri menyatakan bahwa aku tidak bisa
berhenti memikirkanmu.
“Dia tidak
akan tahu”, jawabku.
“Bagaimana
kamu tahu dia tidak tahu? Perempuan itu perasaannya kuat. Apalagi kalau itu
menyangkut pasangan hidupnya. Kamu tidak kuatir nanti menyebut-nyebut namaku
dalam mimpi?”
Aku
terdiam. Aku memang sering sekali memimpikanmu. Dan parahnya, itu adalah mimpi
yang setiap malam kuharapkan. Karena hanya lewat mimpi saja aku bisa menyentuh
kulitmu dan merasakan hangat nafasmu.
“Bayangkan
gimana perasaannya kalau sampai kamu mengigaukan namaku?”, tanyamu lagi dan
kujawab dengan diam. Jawaban atas pertanyaanmu itu kutelan saja; Biarkan
saja dia mendengar, toh aku juga kerap mendengarnya mengigaukan nama lelaki
lain.
Tapi bukan
karena itu, bukan karena istriku juga menyimpan nama orang lain dalam hatinya
dan lantas aku menjadikanmu sebagai pelarian. Aku sudah jatuh cinta padamu jauh
sebelum aku tahu istriku mendua.
Aku jatuh
cinta karena wajahmu yang selalu tersenyum, kecuali sedang sendiri. Begitu
berpapasan dengan siapa saja, entah kamu mengenalnya atau tidak, kamu pasti
menyunggingkan senyum termanismu.
Aku jatuh
cinta pada wajahmu yang tidak pernah terlihat bersedih hati. Aku selalu melihat
siang hari yang cerah di matamu yang berhiaskan bulu mata yang lentik. Sadarkah
kamu bahwa bahagiamu itu menular padaku?
Aku jatuh
cinta pada wajahmu yang nyaris tak pernah disentuh riasan, melainkan air wudhu.
Pagi, siang dan sore, tiap kali kamu menunaikan shalat di masjid.
Perasaanku
memang muncul perlahan, tidak tiba-tiba, seperti batu yang sedikit demi sedikit
berlubang karena tetesan air. Demikian juga dengan rasa rindu yang aneh tiap
kali tak melihatmu.
Aku sadar
seharusnya aku tidak jatuh cinta. Sejak dulu, aku tahu kamu sudah menikah. Aku
tahu keluargamu kian harmonis dengan kehadiran buah hatimu yang lucu-lucu. Tapi
aku tidak sanggup mencegahnya.
Seharusnya
cukup banyak alasan untuk tidak jatuh cinta padamu. Namun kenyataannya cukup
banyak alasan juga untuk jatuh cinta padamu. Seperti halnya orang-orang di
sekitarmu yang dengan berani menyatakan kekaguman mereka padamu.
Seandainya
saja aku seperti mereka, yang bisa mengagumi tanpa melibatkan perasaan cinta.
Sehingga aku tak perlu didera merasaan rindu dan cemburu yang kian menyiksa.
Karena sejak awal aku tahu tak ada tempat untukku di hatimu.
Namun kamu
tidak marah. Kamu tetap tersenyum ramah. Senyum di bibir manismu masih selalu
kau sunggingkan padaku tiap kali berpapasan. Sadarkah kamu bahwa yang kau
lakukan itu justru membuat hatiku semakin terperangkap dalam cinta tak
terbalas?
Mungkin
segalanya akan lebih mudah kalau kamu marah? Kalau kamu memilih untuk bersikap
tidak terima dan memasang wajah tidak ramah. Mungkin jika demikian, aku akan
memilih untuk pergi dari hidupmu ketimbang harus kehilangan wajah manismu yang
berhias senyuman.
Namun kamu
dan senyummu selalu hadir. Kamu selalu tersenyum pada siapa saja, termasuk aku,
orang yang seharusnya sudah menimbulkan rasa tidak nyaman dalam hidupmu.
Tapi ada
yang lain pagi ini, aku tidak melihatmu di masjid tempat kamu biasa shalat
Dhuha sebelum mulai bekerja. Aku juga tidak melihatmu di sana saat waktunya
shalat Dhuhur dan Ashar. Juga tak melihatmu di kantin saat makan siang. Aku
yakin kamu ada di tempat ini. Aku yakin karena aku masih menjumpai kendaraanmu
di tempat parkir. Orang yang seruangan denganmu pun bilang kalau kamu masuk
kerja, hanya mungkin sedang tidak ada di tempat saat aku menelpon.
Kamu di
mana? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Tahukah kamu bahwa aku sangat
merindukan senyumanmu?
Seminggu,
dua minggu, tiga minggu, setiap hari aku menunggumu di masjid, di tempat
parkir, di kantin, juga menelponmu tiap hari. Tapi jangankan melihat senyummu,
mendengar suaramu aku tidak pernah. Kamu seperti lenyap ditelan bumi. Padahal
pabrik ini hanya selebar daun kelor jika dibanding dengan luasan pulau Jawa.
Nabi Adam saja pada akhirnya bisa berjumpa dengan Hawa di Jabal Rahmah setelah
terpisah jarak jutaan kilometer. Masa berjumpa denganmu di pabrik seluas
beberapa hektar ini saja aku tidak bisa?
Minggu
keempat, aku tidak tahan lagi. Kerinduanku membuncah. Aku harus bertemu
denganmu entah bagaimana caranya. Sebenarnya aku bisa saja segera mendatangi
ruanganmu tapi aku yakin kamu tak akan mau membicarakan masalah pribadi di
ruangan kantor yang hiruk pikuk. Akhirnya aku memutuskan untuk datang
bermenit-menit lebih awal dan menunggu di tempat parkir.
Seperti
dugaanku, kamu datang jauh lebih pagi dari yang biasanya kamu lakukan. Tapi
kali ini aku lebih pagi darimu. Kamu terkejut melihatku sudah menanti di tempat
parkir favoritmu.
“Kamu
menghindar ya?”, tanyaku tanpa basa-basi.
“Nggak”,
jawabmu, masih dengan senyuman yang membuat hatiku menjerit pilu melihatnya.
Pilu karena senyuman itu bukan hanya untukku.
“Bohong.
Aku selalu menunggumu di masjid, di kantin, di sini. Tapi kamu sepertinya sudah
punya ilmu menghilang”, sergahku.
Senyumanmu
memudar.
“Kalau
tidak begitu, kamu tidak akan bisa melupakan aku”, jawabmu pelan.
Gantian
aku yang terdiam.
“Kalau
tidak begitu, alasanmu pergi ke masjid adalah untuk bertemu aku, bukan untuk
menghadap Allah”, jawabmu lagi. Bibirmu menyungging senyum lagi, tapi kali ini
tidak ada binar bahagia di matamu.
Aku masih
tak tahu harus berkata apa. Kemudian kamu melangkah pergi meninggalkan tempat
parkir.
“Tunggu!”,
panggilku. Kamu berhenti melangkah dan menoleh. “Aku belum siap”, kataku.
“Belum
siap apa?”
“Belum
siap tidak ketemu kamu”
Kamu
menghela napas. “Tapi kamu harus siap menghadap Allah kapan saja Mas. Jangan
sampai kamu menghadapNya di saat hatimu tidak sedang mengingatNya”
Aku
terhenyak. Bibirmu tidak hanya bisa memberikan senyuman yang melelehkan hatiku
tapi juga bisa mengatakan kata-kata yang menghangatkan dadaku.
“Maafkan
aku”, bisikku. Maafkan aku yang telah lancang mencintaimu.
Kamu
mengangguk dan tersenyum samar. Kamu seolah maklum bahwa cintaku ini adalah di
luar kendaliku.
“Kita
masih berteman kan?”, tanyaku lirih.
Kamu
tersenyum, kali ini binar matamu kembali. “Iya lah...selamanya kita teman”.
“Kamu
tidak akan menghilang lagi kan?”, tanyaku lagi.
“Insha
Allah”, lalu kau melambaikan tangan sebelum akhirnya benar-benar berlalu.
Mataku
berkaca-kaca. Iya, selamanya kita teman. Aku tak kan pernah bisa menjadi
lebih dari sekedar teman untukmu. Ada tembok tebal yang bernama pernikahan yang
terbentang di antara kita.
Tapi
selain itu aku sadar, aku tak kan pernah bisa memiliki hatimu karena hatimu
sudah kau berikan pada orang lain. Kamu mencintai orang lain dan tidak pernah
bisa mengalihkan cinta itu padaku, orang tak tahu diri yang ujug-ujug datang
menyatakan cinta. Dari awal memang sudah tidak tersisa sedikit pun ruang
untukku.
Tapi aku
tak menyesal. Aku telah jatuh cinta pada bidadari. Aku telah jatuh hati pada
sebentuk ciptaan Ilahi dan perasaan itu pun juga muncul atas seijinNya. Untuk
mengujiku. Untuk mengujimu.
Mulai
sekarang, rasa ini hanya akan kubagi dengan Tuhan, karena dari Dia lah rasa ini
berasal. Aku berjanji untuk tidak membicarakan perasaanku lagi padamu. Menjadi
temanmu sudah cukup. Karena aku tak sanggup untuk kehilanganmu lagi seperti
yang sudah lalu.
Biarlah
aku menjadi temanmu, karena dengan begitu lah aku bisa tetap bertemu dan
memandang indah senyumanmu.
Kereeen....tapi kenapa jadi ikut merasa perih ya??
BalasHapusHoreee!!! berhasil...! berhasil...! bikin yang baca jadi ikutan perih ^-^
Hapus