Minggu, 01 September 2013

Aku Mau Ke Amerika



“Bunda, aku mau ke Amerika”, kata anakku yang paling besar.
“Amerika itu jauh Nak”, jawabku sambil mencuci piring.
“Kalau sudah besar, aku boleh ke Amerika?”
“Ya boleh aja”
“Bunda, Amerika itu di mana?”
“Di sana, jauh, di seberang laut”
“Kalau ke Amerika naik mobil ya?”
“Ya nggak bisa, harus naik pesawat”
“Aku mau ke Amerika sekarang Bunda”
“Ya nggak bisa Nak. Bunda nggak punya uang”
“Uang di celenganku kan ada Bunda”
“Ngga cukup Nak, kurang banyak!”, aku mulai menjawab dengan tidak sabar. Bosan aku membahas tentang Amerika ini.
“Banyak kok Bunda. Ini sampai berat gini”
“Iya Nak, tapi itu isinya uang receh”
“Kalau gitu Bunda ambil uang di ATM, terus kita bisa ke Amerika”, dia masih terus merengek. Entah dari mana gadis pra sekolahku ini tahu perihal Amerika dan tertarik pergi ke sana.
“Uang Bunda nggak cukup Nak. Makanya kakak belajar yang rajin ya biar pinter, terus bisa punya uang banyak terus pergi ke Amerika”, jawabku sambil mengelap meja dapur. Mataku melirik ke lantai rumah yang berantakan. Saatnya mengepel.
“Bunda, Amerika itu di luar kota ya?”, tanyanya lagi tanpa menghiraukan aku yang kerepotan membereskan rumah.
That’s it! Aku sudah bangun jauh lebih pagi dari sang muadzin pemanggil jamaah shalat Shubuh terbangun. Mengerjakan ini mengerjakan itu sampai-sampai belum sempat sarapan. Dan pekerjaan rumah tangga ini tidak tampak ada tanda-tanda selesai. Baru saja dibereskan di sana. Yang di sini berantakan. Dan sekarang aku harus melayani pertanyaan tentang Amerika yang tak kunjung ada ujungnya.
“Kakak bisa diem nggak? Bunda lagi repot! Dari tadi Bunda udah bilang Amerika itu jauh. Ke sananya mahal. Sudah jangan tanya-tanya terus. Kamu nggak liat Bunda ini lagi ngapain?!”, semprotku.
Akhirnya gadis kecilku itu diam dan ngeloyor pergi. Aku menghela napas lega dan mulai mengambil ember dan air untuk mengepel.
Sepuluh menit setelah selesai mengepel dan sarapan, kudengar bel pintu berbunyi. Ternyata itu teman kuliahku dulu. Rina namanya.
“Haaaiii...apa kabar jeng?”, sapanya dengan ceria sambil menempelkan pipinya di pipi kiri kananku.
“Baik. Ayo masuk yuk. Udah lama nggak ketemu ni. Kangen”
“Ini lo say. Aku ada penawaran menarik ni buat kamu. Bisnis seru buat ibu-ibu rumah tangga macam kita”
Mataku langsung bersinar. Bisnis? Wah, lumayan ni buat nambah anggaran hepi-hepi sama anak-anak. Aku tidak bisa menutupi ketertarikanku.
“Bisnis apaan jeng?”
“Udah pernah dengar ABC Network?”
Aku menggeleng.
Seperempat jam berikutnya, yang terdengar di ruang tamuku adalah suara Rina yang asyik menerangkan apa itu ABC Network. Yang hasilnya adalah membuat kepalaku munyeng nggak karuan.
“Ada pertanyaan?”, tanya Rina.
“Jadi maksudnya aku harus nyari kaki-kaki sebanyak mungkin?”.
“Ya, sebenarnya bisnis ini bukan hanya sekedar mencari kaki, melainkan mengumpulkan poin sebanyak mungkin biar bisa dapet bonus bulanan. Tapi bonus itu akan semakin berlipat kalau kakimu banyak”
“Trus poin ini bisa aku dapet dari jualan produk?”
“Salah satunya. Salah duanya dengan cari member baru”
“Apa bedanya member dan kaki dan downline”
“Bedanya kalau member itu customer tetap kamu untuk produknya ABC Network dan nggak wajib cari kaki baru. Sedangkan kalau downline atau kaki itu semacam bawahan kamu di bisnis ini gitu lo. Kalau pilih jadi kaki harus mau usaha cari kaki-kaki lagi”
“Jadi ntar kalau aku join, aku jadi kaki kamu?”
“Iya”.
“Kakimu sudah banyak?”
“Ya lumayan sih”
“Trus aku kan nggak gaul ni. Gimana kalau aku kesulitan cari kaki?”
“Nah, ini kan di sini kita kan kerja tim. Kita nanti bisa saling bahu membahu untuk mencarikan kaki untuk kaki-kaki kita”
Aku manggut-manggut pura-pura ngerti sambil menatap bagan dan piramida yang ditunjukkan Rina. Otakku masih belum bisa mencerna bagaimana bisa hanya dengan mencari kaki, kita bisa dapat pendapatan jutaan rupiah tiap bulan.
Tapi sedetik kemudian, seperti ada yang menyalakan lampu dalam otakku yang sedang ruwet, tiba-tiba aku tersadar akan suatu hal yang penting. Dan itu bukan perkara bisnis rumahan yang menggiurkan, atau bagaimana caranya mendapat kaki-kaki. Ini menyangkut hal yang jauh lebih penting dari itu semua.
“Eh Rin. Aku pikir-pikir dulu ya. Nggak bisa jawab sekarang. Soalnya investasinya lumayan juga ni. Aku bicarakan sama suamiku dulu ya”, jawabku akhirnya. Berharap kawanku itu segera pamit karena ada hal penting yang harus segera kulakukan terkait dengan lampu yang tiba-tiba menyala di otakku barusan.
Tak lama setelah kawanku berpamitan, aku segera masuk ke ruang baca dan mencari dua benda yang sudah lama tak kulihat. Aku berharap semoga benda itu belum kubuang.
“Ahaaa...itu dia!”, aku bersorak ketika melihat sebuah globe ukuran sedang di pojokan lemari buku.
Butuh waktu agak lama untuk menemukan benda yang satunya karena dia kuletakkan bersamaan dengan barang-barang lama. Puji Tuhan, setelah beberapa lama, aku berhasil menemukan buku Atlas Dunia yang sampulnya sudah mulai menguning tapi kualitas jilidannya masih oke.
“Kakaaaak!!!”, panggilku. “Lihat ni Bunda punya apa???”
Gadis kecilku datang tergopoh-gopoh. Mata bulatnya menyiratkan ingin tahu.
“Kakak mau tahu Amerika di mana? Ni Bunda tunjukin....”
Anak sulungku bersorak.
Aku tersenyum geli. Bagi gadis kecil ini, lokasi Amerika sama membingungkannya dengan sistem kerja ABC Network. Pertanyaannya yang tak putus-putus tentang Amerika adalah usahanya untuk menggali informasi seberapa jauh Amerika itu dari rumahnya. Sama dengan aku yang terus bertanya bagaimana agar bisa kaya melalui bisnis yang ditawarkan Rina.
Tugasku sebenarnya bukan menjawab tentang bagaimana agar anakku bisa ke Amerika, melainkan memberi tahunya di mana posisi rumahnya sekarang dan posisi Amerika. Mungkin dalam benaknya, Amerika sama dengan pasar malam yang kerap kami kunjungi atau rumah Eyang yang terletak agak di luar kota. Makanya dia nggak ngeh mengapa perlu uang banyak untuk ke Amerika.
Setelah kuterangkan dengan dibantu globe dan Atlas, yang kuharap bisa membuatnya mengerti konsep jarak, dia tampak mulai paham bahwa Amerika dan Indonesia berada di benua yang berbeda.
“Jadi gimana? Masih mau ke Amerika?”, tanyaku.
“Nggak jadi ah. Ternyata Amerika jauh. Nanti kasihan Ayah kalau aku pergi jauh-jauh”, jawabnya cuek sambil memutar-mutar globe.

-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)