(Sebuah Refleksi Ramadhan)
Di
penghujung bulan Ramadhan, seorang teman tiba-tiba bertanya; “Apa yang kamu
dapat selama bulan Ramadhan tahun ini?”. Begitu mendengar pertanyaan itu,
membuncahlah kegalauan yang selama sebulan terakhir ini merasuki pikiran saya.
Kemudian saya menjawab; “Yang kudapat adalah kenyataan bahwa aku terlempar ke
dasar jurang”, jawab saya dengan wajah memanas menahan air mata yang siap
tumpah.
***
“Inna sholati wa nusuki wa mahyaya
wa mamati, lillahi ta’ala”
Kalimat
itu saya ucapkan setidaknya 5 kali dalam sehari, tapi rupanya maknanya sama
sekali tidak merasuk dalam hati dan tingkah laku saya.
Dalam
melaksanakan sholat, dalam melaksanakan ibadah, dalam menjalani hidup dan
menyongsong kematian, saya tidak benar-benar melakukannya dengan lillahi
ta’ala.
Masih ada
pamrih. Masih ada kesombongan. Masih ada ketidakikhlasan. Masih ada yang keliru
dengan niat saya.
Niat. Hal
paling dasar dalam berhubungan dengan Allah, malah menjadi hal yang paling saya
lupakan esensinya. Padahal, niat adalah yang hal yang paling menentukan apakah
suatu amal ibadah itu diterima atau tidak. Seperti yang Rasulullah pernah
bilang; “Inna ma a’malu bin niyyah”, segala sesuatu itu dibalas sesuai dengan
niatnya.
“Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”- QS Adz-Dzariyat:56.
Allah
sudah menegaskan bahwa saya dan milyaran umat manusia di muka bumi ini
diciptakan dengan satu tugas, yakni untuk beribadah. Titik. Urusan pahala,
urusan berapa kali lipat pahala itu diberikan, sama sekali bukan urusan saya.
Selama ini
saya merasa sudah mencapai level sekian dalam hal beribadah. Saya mengaji,
berpuasa senin kamis, shalat malam, juga bersedekah. Walaupun itu semua saya
lakukan tidak dengan rutin. Saya merasa, dalam hal beribadah, saya hanya
tinggal menjalankan keistiqomahan saja.
Ibarat 5S,
sistem housekeeping management ala Jepang, saya sudah sampai di level ke-4,
Seiketsu atau Standarisasi, alias mengistiqomahkan diri. Saya merasa sudah bisa
menjalankan tahapan pertama, kedua dan ketiga yakni Seiri (Sisih), Seiton
(Susun) dan Seiso (Sapu), dan tinggal membuatnya agar bisa konsisten saja.
Tapi
ternyata saya salah. Saya melupakan tahapan nol. Nawaitu. Niat. Saya sadar
kesalahan niat bisa menyebabkan saya melakukan dosa besar yang paling dibenci
Allah, Syirik. Itulah yang membuat saya terlempar kembali ke dasar jurang. Bisa
saja, ibadah-ibadah yang lalu yang sudah saya lakukan malah membuat Allah
cemburu karena saya lakukan tidak benar-benar untukNya. Kecemburuan Allah bisa
jadi membuat saya alih-alih mendapat rahmat, malah mendapat murka.
Naudzubillahi mindzalik.
Sekarang
saya harus mulai lagi dari awal. Perlahan-lahan menata hati dan niat. Dan
sungguh ini hal yang tidak mudah dibanding dulu saat saat harus bangun tengah
malam, saat harus menahan lapar dahaga, saat memutari Baitullah di bawah terik
matahari, juga saat mengeluarkan sebagian harta untuk berbagi. Semua kesulitan
dalam hal fikih dan syariat sama sekali tidak sebanding dengan kesulitan menata
hati.
Sekarang
saya sedang berada di titik terbawah dan sedang merangkak perlahan-lahan untuk
bisa mencapai tingkatan yang sama dengan para ahli ibadah yang diridhoi Allah.
Tak ada
hal lain yang bisa saya lakukan selain banyak-banyak beristighfar dan memohon
ampunan. Kemudian memohon kepadaNya agar dibantu meluruskan niat. Saya tahu
saya tak mungkin mampu menata hati tanpa bantuanNya. Dengan bantuan Allah, saya
ingin membuat segala kegiatan ibadah untuk selalu terasa manis, sekalipun tidak
di bulan Ramadhan.
Di dasar
jurang ini, saya berharap benar-benar sedang berada di titik nol.
Allah Maha Besar
Thank you to let me born as a
Moslem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.