Selasa, 13 Agustus 2013

Terlempar Ke Dasar Jurang



(Sebuah Refleksi Ramadhan)
Di penghujung bulan Ramadhan, seorang teman tiba-tiba bertanya; “Apa yang kamu dapat selama bulan Ramadhan tahun ini?”. Begitu mendengar pertanyaan itu, membuncahlah kegalauan yang selama sebulan terakhir ini merasuki pikiran saya. Kemudian saya menjawab; “Yang kudapat adalah kenyataan bahwa aku terlempar ke dasar jurang”, jawab saya dengan wajah memanas menahan air mata yang siap tumpah.
***
 “Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati, lillahi ta’ala”
Kalimat itu saya ucapkan setidaknya 5 kali dalam sehari, tapi rupanya maknanya sama sekali tidak merasuk dalam hati dan tingkah laku saya.
Dalam melaksanakan sholat, dalam melaksanakan ibadah, dalam menjalani hidup dan menyongsong kematian, saya tidak benar-benar melakukannya dengan lillahi ta’ala.
Masih ada pamrih. Masih ada kesombongan. Masih ada ketidakikhlasan. Masih ada yang keliru dengan niat saya.
Niat. Hal paling dasar dalam berhubungan dengan Allah, malah menjadi hal yang paling saya lupakan esensinya. Padahal, niat adalah yang hal yang paling menentukan apakah suatu amal ibadah itu diterima atau tidak. Seperti yang Rasulullah pernah bilang; “Inna ma a’malu bin niyyah”, segala sesuatu itu dibalas sesuai dengan niatnya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”- QS Adz-Dzariyat:56.
Allah sudah menegaskan bahwa saya dan milyaran umat manusia di muka bumi ini diciptakan dengan satu tugas, yakni untuk beribadah. Titik. Urusan pahala, urusan berapa kali lipat pahala itu diberikan, sama sekali bukan urusan saya.
Selama ini saya merasa sudah mencapai level sekian dalam hal beribadah. Saya mengaji, berpuasa senin kamis, shalat malam, juga bersedekah. Walaupun itu semua saya lakukan tidak dengan rutin. Saya merasa, dalam hal beribadah, saya hanya tinggal menjalankan keistiqomahan saja.
Ibarat 5S, sistem housekeeping management ala Jepang, saya sudah sampai di level ke-4, Seiketsu atau Standarisasi, alias mengistiqomahkan diri. Saya merasa sudah bisa menjalankan tahapan pertama, kedua dan ketiga yakni Seiri (Sisih), Seiton (Susun) dan Seiso (Sapu), dan tinggal membuatnya agar bisa konsisten saja.
Tapi ternyata saya salah. Saya melupakan tahapan nol. Nawaitu. Niat. Saya sadar kesalahan niat bisa menyebabkan saya melakukan dosa besar yang paling dibenci Allah, Syirik. Itulah yang membuat saya terlempar kembali ke dasar jurang. Bisa saja, ibadah-ibadah yang lalu yang sudah saya lakukan malah membuat Allah cemburu karena saya lakukan tidak benar-benar untukNya. Kecemburuan Allah bisa jadi membuat saya alih-alih mendapat rahmat, malah mendapat murka. Naudzubillahi mindzalik.
Sekarang saya harus mulai lagi dari awal. Perlahan-lahan menata hati dan niat. Dan sungguh ini hal yang tidak mudah dibanding dulu saat saat harus bangun tengah malam, saat harus menahan lapar dahaga, saat memutari Baitullah di bawah terik matahari, juga saat mengeluarkan sebagian harta untuk berbagi. Semua kesulitan dalam hal fikih dan syariat sama sekali tidak sebanding dengan kesulitan menata hati.
Sekarang saya sedang berada di titik terbawah dan sedang merangkak perlahan-lahan untuk bisa mencapai tingkatan yang sama dengan para ahli ibadah yang diridhoi Allah.
Tak ada hal lain yang bisa saya lakukan selain banyak-banyak beristighfar dan memohon ampunan. Kemudian memohon kepadaNya agar dibantu meluruskan niat. Saya tahu saya tak mungkin mampu menata hati tanpa bantuanNya. Dengan bantuan Allah, saya ingin membuat segala kegiatan ibadah untuk selalu terasa manis, sekalipun tidak di bulan Ramadhan.
Di dasar jurang ini, saya berharap benar-benar sedang berada di titik nol.

Allah Maha Besar
Thank you to let me born as a Moslem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)