Dengan hanya melihat
sinar matamu atau mendengar suaramu, sebenarnya aku sudah tahu. Aku tahu kamu
sangat mengharapkan kalimat itu meluncur mulus dari bibirku. Bahkan kamu tak
perlu berkata-kata, aku sudah paham betapa kamu ingin aku mengucapkannya bak film-film
roman yang kerap membuat bahumu terguncang-guncang bercampur sedu sedan. Tanpa
kamu bicara, aku sudah tahu dari air mata yang kerap kau teteskan tanpa
sepengetahuanku. Betapa inginnya kamu diperlakukan sewajarnya seorang pasangan hidup,
dihujani kalimat-kalimat sederhana itu, setidaknya satu kali saja. Aku bisa
merasakannya, lewat kekecewaan yang terekam melalui pundakmu yang turun
beberapa derajat. Seakan kalimat-kalimat itu laksana sihir yang sanggup meluruskan
kedua pundakmu kembali.
Kalimat itu sederhana
sebenarnya, tapi aku bersikeras tidak pernah mengatakannya padamu. Dan hari ini
kamu bertanya padaku, mengapa aku tidak pernah berkata; “Aku cinta kamu” atau
“Aku rindu kamu” ?
Aku tersenyum pahit
mendengarnya. Hanya kalimat-kalimat itu. Sederhana. Mengucapkannya tidak
membutuhkan nafas yang terlalu panjang, tidak memerlukan energi sebanyak
seorang David Beckham berlarian mengejar bola. Tapi toh kenyataannya aku tak
pernah memanfaatkan artikulasiku untuk memproduksi kedua kalimat itu, mulai
dari kita berjumpa, hingga saat kita tak lagi berdua, melainkan berempat.
“Kenapa?”, untuk
kesekian kalinya kamu bertanya. Tampaknya malam ini aku tak lagi sanggup menghindar
untuk tidak menjawab.
Alasannya sedikit
rumit, tapi baiklah, akan kucoba menyederhanakannya, dengan kalimat yang sama sederhananya
dengan dua mantra sihir yang selalu ingin kau dengar. “Karena kalimat-kalimat
itu bukan untukmu”, jawabku.
Sinar matamu meredup
secepat ia membulat, pertanda kaget dan kecewa yang melebur. Jangan...jangan
terburu bersedih atau menangis. Sungguh aku tak tahan melihat matamu yang
sembab atau bahumu yang melorot. Sebab keduanya akan menular padaku, walau
dengan alasan yang berbeda. Sayangnya, aku tidak bisa sepertimu yang dengan
mudah mengekspresikan perasaan. Wajar, karena kamu perempuan dan aku laki-laki.
Isak yang setengah
mati kau tahan akhirnya meledak dalam bentuk dua bulir air mata. Aku menghela
nafas. Baiklah, jika kamu benar-benar ingin mendengarkan alasan yang
sebenarnya. Namun alasan itu sedemikian rumit hingga aku sendiri membutuhkan
latihan yang sangat lama untuk mengatakannya padamu.
Kau tahu masa laluku
bukan? Lebih tepatnya masa kecilku? Aku seharusnya sudah menceritakan padamu
bahwa Bapakku menghilang entah ke mana, meninggalkan seorang perempuan yang
selalu kusebut Ibu dan lima orang anak yang masih belum dewasa, termasuk aku si
anak sulung. Kamu hanya diam sambil meraih selembar tissue.
Seharusnya aku juga
sudah bercerita padamu bahwa untuk menyambung hidup kami berenam, Ibu harus bekerja.
Karena saat itu, ia lah satu-satunya harapan kami tetap bisa berdiri dan
bernafas. Bekerja siang saja tidak cukup, malam hari pun digunakan Ibu untuk
mengorek rejeki yang jumlahnya tidak sebanding dengan pengorbanannya. Kamu
masih diam.
Cerita ini mungkin
sudah kau dengar ratusan kali. Pengorbanan terbesar Ibu adalah meninggalkan
anak-anaknya di rumah sementara ia bekerja. Seperti robot yang ditekan salah
satu tombolnya, secara otomatis aku bermetamorfosis menjadi Ibu. Lebih
tepatnya, menggantikan peran Ibu untuk menjaga adik-adikku. Aku melihatmu
mengangguk dengan dahi mengerut samar. Kamu sedang berusaha mencari benang
merah yang menghubungkan masa kecilku dengan dua kalimat sihir yang tak pernah
terucap.
Sudahkah kuceritakan
padamu bagaimana perasaanku yang masih sangat belia saat itu? Ketidakadilan.
Sementara anak-anak yang lain asyik bermain atau belajar, aku harus memasak,
menyuapi dan memandikan adik-adikku, membersihkan rumah bahkan berbelanja. Sementara
anak-anak yang lain bisa menikmati susu, nasi dan ayam goreng, kami harus puas
dengan ketela rebus, tempe dan semangkuk sayur daun talas yang tumbuh liar. Aku
merasa Tuhan tidak adil dan dengan alasan itu aku mulai membenciNya.
Bagian ini mungkin
tidak pernah kuceritakan padamu. Aku tumbuh bersama rasa benciku pada Tuhan.
Volume tulang dan ototku bertambah seiring dengan bertambahnya kebencianku.
Hingga ketika masa pertumbuhanku berhenti, saat itulah titik puncak kebencianku
pada Tuhan berada. Tapi di sana, di titik kulminasi kebencian itu, perlahan aku
menyadari sesuatu. Bapak memang menghilang dan Ibu harus bekerja di luar rumah,
tapi toh nyatanya kami tetap hidup. Kami tidak hanya bisa bernafas dan berdiri,
tapi juga bergerak; berkenalan dengan alam semesta. Walaupun dalam
keterbatasan, kami masih tetap bisa tumbuh dewasa. Aku membeku saat menemukan
jawaban atas pertanyaan ini; Siapa yang mencukupkan keterbatasan yang sangat
terbatas ini hingga kami bisa terus hidup? Bukan hanya hidup yang sekedar hidup
seperti bebek? Aku menangis semalaman hingga mataku membengkak dan dadaku sesak
begitu menyadari jawabannya. Tuhan. Ia-lah yang selama ini kubenci
sebenci-bencinya. Ia-lah yang selama ini kuanggap memberikan penghidupan yang
tidak adil. Aku membenciNya, tapi sebaliknya Ia tidak membenciku.
Aku melihat sorot
tidak percaya dari matamu. Melihat aku yang sekarang, memang sulit dipercaya
bahwa aku pernah membenci Tuhan, yang ternyata membalas kebencian itu dengan
limpahan kasih sayang.
Ia mencukupkan seiris
tempe menjadi zat pembangun agar kami tumbuh besar seiring waktu. Ia
mencukupkan sepiring ketela rebus yang kami makan ramai-ramai menjadi energi
untuk menjalani hari. Ia mencukupkan semangkuk sayur daun talas menjadi perisai
dari serbuan virus dan bakteri hingga kami tak mudah sakit. Ketika kusadari itu
semua, hatiku seperti sebuah bahtera yang digulung ombak laut. Berbalik arah
dari kebencian tiada tara menjadi rasa bersalah yang menyiksa, dan kemudian
bermutasi menjadi rasa takut ditinggalkan. Kebencianku telah berubah menjadi
cinta yang membara, cinta yang buta. Saat itu, aku menyadari bahwa hanya Dialah
satu-satunya kesejatian, dan dengan segenap kesadaranku, Dia segera mendapatkan
tempat VVIP dalam hidupku.
Aku sama sekali tidak
memikirkan untuk menggantikan posisiNya dengan apapun atau siapapun. Hingga suatu
waktu aku melihat Tuhan datang kepadaku dengan membawamu. Kamu pasti sudah
menduga apa yang terjadi selanjutnya. Yang perlu kamu tahu adalah aku bukanlah Nabi
atau Rasul, yang melakukan ini itu karena diperintahkan oleh Tuhan. Aku manusia
biasa, hanya saja aku termasuk terlambat mengenal arti kata hasrat. Aku laki-laki biasa, hanya saja
aku terlambat menyadari bahwa Tuhan juga menciptakan makhluk yang berlawanan
jenis.
Semua yang sudah
terjadi di antara kita memang terjadi karena hasratku terhadap salah satu
ciptaanNya yang diantarkan langsung kehadapanku waktu itu. Kamu. Seandainya
kamu tahu betapa hasrat itu kian hari kian membesar bagaikan sebuah gelembung
yang telah sampai pada elastisitas maksimalnya. Siap meletus kapan saja.
Dan ketika gelembung
itu benar-benar meletus di suatu malam bersamamu, sekonyong-konyong aku
menyadari sesuatu. Cintaku telah mendua. Kini aku berada di antara dua tebing
yang sama tinggi. Tuhan dan kamu. Aku kebingungan hendak mendaki yang mana.
Saat butiran tasbih di
jariku bergerak seiring dzikir yang kuucapkan, saat itu pulalah kamu muncul di
sana. Saat dahiku menyentuh bumi, kala itulah kamu muncul di sana. Kamu ada di
mana-mana justru di saat-saat yang dulu merupakan momen eksklusif antara aku
dan Tuhan.
Aku segera sadar itu
salah. Tuhan tidak bisa disejajarkan dengan apapun. Seindah apapun makhluk
ciptaanNya, dia tetaplah hanya makhluk ciptaan, yang tak akan pernah ada jika
Tuhan tidak menciptakan.
Aku melihat pandangan
matamu yang penuh tanya. Aku maklum jika kamu belum mengerti, karena aku pun
butuh waktu lama untuk memahami, agar bisa mengungkapkannya dengan kata-kata
seperti ini.
Sekarang aku mengerti
mengapa Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku, untuk menguji seberapa besar
cintaku padaNya. Semakin lama aku menempatkanmu di posisi yang sama dengan
Tuhan, semakin aku ketakutan. Aku takut Tuhan cemburu. Aku takut Tuhan murka
karena hatiku sudah bercabang. Tahukah kamu apa yang sebenarnya kutakutkan?
Bukan perpisahan atau kematian salah satu di antara kita, karena hidup ini toh
hanya sementara. Yang aku takutkan adalah jika perpisahan dan kematian itu
disebabkan murka Tuhan yang cemburu, sehingga perpisahan denganmu menjadi
sesuatu yang abadi.
Aku tak ingin itu
terjadi, sehingga aku mulai membangun sekat antara kamu dan Tuhan. Semacam
membran osmosis satu arah yang memungkinkan Tuhan hadir antara kamu dan aku,
tapi tidak memungkinkan kamu hadir antara aku dan Tuhan. Membran itu kini ada, dan telah terkunci
dengan sebuah mantra. Jika mantra itu sampai terucap tepat di hadapanmu, maka
sekat itu akan terbuka dan lagi-lagi kamu akan berbaur di antara momen-momen
eksklusifku dengan Tuhan. Kedua kalimat sederhana itulah mantranya. Jika aku
mengucapkannya padamu sebagai ungkapan perasaan, kamu akan menjadi seorang dewi
dan akan kian sulit mengembalikanmu menjadi sekedar makhluk ciptaan.
Aku berhenti bicara dan
menunggumu bereaksi. Ekspresi wajahmu melembut, sinar matamu tak lagi seredup
sebelumnya. Aku melihat semacam cairan yang mengambang di pelupuk mata, tapi
bibirmu tersenyum. Aku tahu bahwa kamu tahu aku bukan orang yang mudah
mengungkapkan sesuatu seperti malam ini. Kamu tahu bahwa aku tahu kamu sudah
mengerti maksudku karena kita sama-sama mengenal Tuhan yang sama.
Kamu menutup malam
tanpa banyak bicara. Aku hampir yakin bahwa setelah malam ini, kamu tidak akan
pernah bertanya-tanya lagi tentang dua kalimat sederhana yang tak pernah
terucap di antara kita.
Agak lama aku
memandang wajah lelapmu. Ingin rasanya waktu berhenti sejenak agar aku bisa
lebih lama mengagumi salah satu bentuk kasih sayang Tuhan. Aku menarik selimut
agar menutupi bahumu sebelum melangkahkan kaki menuju teras tempat kita tadi
berbincang.
Malam yang hening. Tak
ada satu pun gemintang yang kelihatan, entah karena tertutup awan atau karena
tergerus gemerlap cahaya lampu kota. Suara serangga yang sesekali masih
terdengar di antara tanaman-tanaman koleksimu kini juga entah kemana. Semua
seakan kompak menciptakan sepi yang tidak biasa.
Tanpa kuduga, aku
mendengar gemerisik daun-daun yang beradu satu sama lain, pertanda ada udara
mengalir yang menggerakkan ranting-ranting pepohonan. Angin semilir berhembus
membelai kulitku. Aku tersenyum dan berbisik, aku cinta kamu, aku rindu kamu.
Ya, hanya jika
dibisikkan pada angin, mantra itu tak kan bisa menuai tuah. Kamu akan tetap di
posisimu dan Tuhan akan tetap di posisiNya. Hanya jika dibisikkan pada angin,
aku bisa melepaskan segenap perasaan yang selalu menggelora tiap kali melihatmu.
Cinta itu membongkah, rindu itu membuncah, tapi tak terucap.
-selesai-
Ditulis untuk seorang teman,
yang lembut baik rupa, laku dan hati.
Boleh jadi pertanyaan masing-masing kita pernah mendengar pertanyaan ini. Kalaupun baru kali ini, tidak perlu risau apalagi kaget. "Mana lebih mudah, mengawali sesuatu atau mengakhiri sesuatu?" Tentunya tiap diri kita punya sudut pandang berbeda dalam menempatkan kesepahaman akan hal ini. Ada yang menjawab memulai sesuatu. Pun ada yang menjawab mengakhiri sesuatu. Bagi saya adalah justru bagaimana mempertahankan sesuatu. Awal dan akhir sesuatu kembali pada pilihan bagaimana kita mau mempertahankan sesuatu. Dengan senyum dan napas tertahan..aku telah menyimak karyamu...
BalasHapus