Rabu, 29 Mei 2013

Bisik Pada Angin




Dengan hanya melihat sinar matamu atau mendengar suaramu, sebenarnya aku sudah tahu. Aku tahu kamu sangat mengharapkan kalimat itu meluncur mulus dari bibirku. Bahkan kamu tak perlu berkata-kata, aku sudah paham betapa kamu ingin aku mengucapkannya bak film-film roman yang kerap membuat bahumu terguncang-guncang bercampur sedu sedan. Tanpa kamu bicara, aku sudah tahu dari air mata yang kerap kau teteskan tanpa sepengetahuanku. Betapa inginnya kamu diperlakukan sewajarnya seorang pasangan hidup, dihujani kalimat-kalimat sederhana itu, setidaknya satu kali saja. Aku bisa merasakannya, lewat kekecewaan yang terekam melalui pundakmu yang turun beberapa derajat. Seakan kalimat-kalimat itu laksana sihir yang sanggup meluruskan kedua pundakmu kembali.

Kalimat itu sederhana sebenarnya, tapi aku bersikeras tidak pernah mengatakannya padamu. Dan hari ini kamu bertanya padaku, mengapa aku tidak pernah berkata; “Aku cinta kamu” atau “Aku rindu kamu” ?

Aku tersenyum pahit mendengarnya. Hanya kalimat-kalimat itu. Sederhana. Mengucapkannya tidak membutuhkan nafas yang terlalu panjang, tidak memerlukan energi sebanyak seorang David Beckham berlarian mengejar bola. Tapi toh kenyataannya aku tak pernah memanfaatkan artikulasiku untuk memproduksi kedua kalimat itu, mulai dari kita berjumpa, hingga saat kita tak lagi berdua, melainkan berempat.

“Kenapa?”, untuk kesekian kalinya kamu bertanya. Tampaknya malam ini aku tak lagi sanggup menghindar untuk tidak menjawab. 

Alasannya sedikit rumit, tapi baiklah, akan kucoba menyederhanakannya, dengan kalimat yang sama sederhananya dengan dua mantra sihir yang selalu ingin kau dengar. “Karena kalimat-kalimat itu bukan untukmu”, jawabku.

Sinar matamu meredup secepat ia membulat, pertanda kaget dan kecewa yang melebur. Jangan...jangan terburu bersedih atau menangis. Sungguh aku tak tahan melihat matamu yang sembab atau bahumu yang melorot. Sebab keduanya akan menular padaku, walau dengan alasan yang berbeda. Sayangnya, aku tidak bisa sepertimu yang dengan mudah mengekspresikan perasaan. Wajar, karena kamu perempuan dan aku laki-laki.

Isak yang setengah mati kau tahan akhirnya meledak dalam bentuk dua bulir air mata. Aku menghela nafas. Baiklah, jika kamu benar-benar ingin mendengarkan alasan yang sebenarnya. Namun alasan itu sedemikian rumit hingga aku sendiri membutuhkan latihan yang sangat lama untuk mengatakannya padamu.

Kau tahu masa laluku bukan? Lebih tepatnya masa kecilku? Aku seharusnya sudah menceritakan padamu bahwa Bapakku menghilang entah ke mana, meninggalkan seorang perempuan yang selalu kusebut Ibu dan lima orang anak yang masih belum dewasa, termasuk aku si anak sulung. Kamu hanya diam sambil meraih selembar tissue.

Seharusnya aku juga sudah bercerita padamu bahwa untuk menyambung hidup kami berenam, Ibu harus bekerja. Karena saat itu, ia lah satu-satunya harapan kami tetap bisa berdiri dan bernafas. Bekerja siang saja tidak cukup, malam hari pun digunakan Ibu untuk mengorek rejeki yang jumlahnya tidak sebanding dengan pengorbanannya. Kamu masih diam.

Cerita ini mungkin sudah kau dengar ratusan kali. Pengorbanan terbesar Ibu adalah meninggalkan anak-anaknya di rumah sementara ia bekerja. Seperti robot yang ditekan salah satu tombolnya, secara otomatis aku bermetamorfosis menjadi Ibu. Lebih tepatnya, menggantikan peran Ibu untuk menjaga adik-adikku. Aku melihatmu mengangguk dengan dahi mengerut samar. Kamu sedang berusaha mencari benang merah yang menghubungkan masa kecilku dengan dua kalimat sihir yang tak pernah terucap.

Sudahkah kuceritakan padamu bagaimana perasaanku yang masih sangat belia saat itu? Ketidakadilan. Sementara anak-anak yang lain asyik bermain atau belajar, aku harus memasak, menyuapi dan memandikan adik-adikku, membersihkan rumah bahkan berbelanja. Sementara anak-anak yang lain bisa menikmati susu, nasi dan ayam goreng, kami harus puas dengan ketela rebus, tempe dan semangkuk sayur daun talas yang tumbuh liar. Aku merasa Tuhan tidak adil dan dengan alasan itu aku mulai membenciNya.

Bagian ini mungkin tidak pernah kuceritakan padamu. Aku tumbuh bersama rasa benciku pada Tuhan. Volume tulang dan ototku bertambah seiring dengan bertambahnya kebencianku. Hingga ketika masa pertumbuhanku berhenti, saat itulah titik puncak kebencianku pada Tuhan berada. Tapi di sana, di titik kulminasi kebencian itu, perlahan aku menyadari sesuatu. Bapak memang menghilang dan Ibu harus bekerja di luar rumah, tapi toh nyatanya kami tetap hidup. Kami tidak hanya bisa bernafas dan berdiri, tapi juga bergerak; berkenalan dengan alam semesta. Walaupun dalam keterbatasan, kami masih tetap bisa tumbuh dewasa. Aku membeku saat menemukan jawaban atas pertanyaan ini; Siapa yang mencukupkan keterbatasan yang sangat terbatas ini hingga kami bisa terus hidup? Bukan hanya hidup yang sekedar hidup seperti bebek? Aku menangis semalaman hingga mataku membengkak dan dadaku sesak begitu menyadari jawabannya. Tuhan. Ia-lah yang selama ini kubenci sebenci-bencinya. Ia-lah yang selama ini kuanggap memberikan penghidupan yang tidak adil. Aku membenciNya, tapi sebaliknya Ia tidak membenciku.

Aku melihat sorot tidak percaya dari matamu. Melihat aku yang sekarang, memang sulit dipercaya bahwa aku pernah membenci Tuhan, yang ternyata membalas kebencian itu dengan limpahan kasih sayang.

Ia mencukupkan seiris tempe menjadi zat pembangun agar kami tumbuh besar seiring waktu. Ia mencukupkan sepiring ketela rebus yang kami makan ramai-ramai menjadi energi untuk menjalani hari. Ia mencukupkan semangkuk sayur daun talas menjadi perisai dari serbuan virus dan bakteri hingga kami tak mudah sakit. Ketika kusadari itu semua, hatiku seperti sebuah bahtera yang digulung ombak laut. Berbalik arah dari kebencian tiada tara menjadi rasa bersalah yang menyiksa, dan kemudian bermutasi menjadi rasa takut ditinggalkan. Kebencianku telah berubah menjadi cinta yang membara, cinta yang buta. Saat itu, aku menyadari bahwa hanya Dialah satu-satunya kesejatian, dan dengan segenap kesadaranku, Dia segera mendapatkan tempat VVIP dalam hidupku.

Aku sama sekali tidak memikirkan untuk menggantikan posisiNya dengan apapun atau siapapun. Hingga suatu waktu aku melihat Tuhan datang kepadaku dengan membawamu. Kamu pasti sudah menduga apa yang terjadi selanjutnya. Yang perlu kamu tahu adalah aku bukanlah Nabi atau Rasul, yang melakukan ini itu karena diperintahkan oleh Tuhan. Aku manusia biasa, hanya saja aku termasuk terlambat mengenal arti kata hasrat. Aku laki-laki biasa, hanya saja aku terlambat menyadari bahwa Tuhan juga menciptakan makhluk yang berlawanan jenis.

Semua yang sudah terjadi di antara kita memang terjadi karena hasratku terhadap salah satu ciptaanNya yang diantarkan langsung kehadapanku waktu itu. Kamu. Seandainya kamu tahu betapa hasrat itu kian hari kian membesar bagaikan sebuah gelembung yang telah sampai pada elastisitas maksimalnya. Siap meletus kapan saja.

Dan ketika gelembung itu benar-benar meletus di suatu malam bersamamu, sekonyong-konyong aku menyadari sesuatu. Cintaku telah mendua. Kini aku berada di antara dua tebing yang sama tinggi. Tuhan dan kamu. Aku kebingungan hendak mendaki yang mana.

Saat butiran tasbih di jariku bergerak seiring dzikir yang kuucapkan, saat itu pulalah kamu muncul di sana. Saat dahiku menyentuh bumi, kala itulah kamu muncul di sana. Kamu ada di mana-mana justru di saat-saat yang dulu merupakan momen eksklusif antara aku dan Tuhan.

Aku segera sadar itu salah. Tuhan tidak bisa disejajarkan dengan apapun. Seindah apapun makhluk ciptaanNya, dia tetaplah hanya makhluk ciptaan, yang tak akan pernah ada jika Tuhan tidak menciptakan.

Aku melihat pandangan matamu yang penuh tanya. Aku maklum jika kamu belum mengerti, karena aku pun butuh waktu lama untuk memahami, agar bisa mengungkapkannya dengan kata-kata seperti ini.

Sekarang aku mengerti mengapa Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku, untuk menguji seberapa besar cintaku padaNya. Semakin lama aku menempatkanmu di posisi yang sama dengan Tuhan, semakin aku ketakutan. Aku takut Tuhan cemburu. Aku takut Tuhan murka karena hatiku sudah bercabang. Tahukah kamu apa yang sebenarnya kutakutkan? Bukan perpisahan atau kematian salah satu di antara kita, karena hidup ini toh hanya sementara. Yang aku takutkan adalah jika perpisahan dan kematian itu disebabkan murka Tuhan yang cemburu, sehingga perpisahan denganmu menjadi sesuatu yang abadi.

Aku tak ingin itu terjadi, sehingga aku mulai membangun sekat antara kamu dan Tuhan. Semacam membran osmosis satu arah yang memungkinkan Tuhan hadir antara kamu dan aku, tapi tidak memungkinkan kamu hadir antara aku dan Tuhan.  Membran itu kini ada, dan telah terkunci dengan sebuah mantra. Jika mantra itu sampai terucap tepat di hadapanmu, maka sekat itu akan terbuka dan lagi-lagi kamu akan berbaur di antara momen-momen eksklusifku dengan Tuhan. Kedua kalimat sederhana itulah mantranya. Jika aku mengucapkannya padamu sebagai ungkapan perasaan, kamu akan menjadi seorang dewi dan akan kian sulit mengembalikanmu menjadi sekedar makhluk ciptaan.

Aku berhenti bicara dan menunggumu bereaksi. Ekspresi wajahmu melembut, sinar matamu tak lagi seredup sebelumnya. Aku melihat semacam cairan yang mengambang di pelupuk mata, tapi bibirmu tersenyum. Aku tahu bahwa kamu tahu aku bukan orang yang mudah mengungkapkan sesuatu seperti malam ini. Kamu tahu bahwa aku tahu kamu sudah mengerti maksudku karena kita sama-sama mengenal Tuhan yang sama.

Kamu menutup malam tanpa banyak bicara. Aku hampir yakin bahwa setelah malam ini, kamu tidak akan pernah bertanya-tanya lagi tentang dua kalimat sederhana yang tak pernah terucap di antara kita.

Agak lama aku memandang wajah lelapmu. Ingin rasanya waktu berhenti sejenak agar aku bisa lebih lama mengagumi salah satu bentuk kasih sayang Tuhan. Aku menarik selimut agar menutupi bahumu sebelum melangkahkan kaki menuju teras tempat kita tadi berbincang.

Malam yang hening. Tak ada satu pun gemintang yang kelihatan, entah karena tertutup awan atau karena tergerus gemerlap cahaya lampu kota. Suara serangga yang sesekali masih terdengar di antara tanaman-tanaman koleksimu kini juga entah kemana. Semua seakan kompak menciptakan sepi yang tidak biasa.

Tanpa kuduga, aku mendengar gemerisik daun-daun yang beradu satu sama lain, pertanda ada udara mengalir yang menggerakkan ranting-ranting pepohonan. Angin semilir berhembus membelai kulitku. Aku tersenyum dan berbisik, aku cinta kamu, aku rindu kamu.

Ya, hanya jika dibisikkan pada angin, mantra itu tak kan bisa menuai tuah. Kamu akan tetap di posisimu dan Tuhan akan tetap di posisiNya. Hanya jika dibisikkan pada angin, aku bisa melepaskan segenap perasaan yang selalu menggelora tiap kali melihatmu. Cinta itu membongkah, rindu itu membuncah, tapi tak terucap.
-selesai-


Ditulis untuk seorang teman, yang lembut baik rupa, laku dan hati.

1 komentar:

  1. rudianto_pangrib@yahoo.co.id31 Mei 2013 pukul 05.14

    Boleh jadi pertanyaan masing-masing kita pernah mendengar pertanyaan ini. Kalaupun baru kali ini, tidak perlu risau apalagi kaget. "Mana lebih mudah, mengawali sesuatu atau mengakhiri sesuatu?" Tentunya tiap diri kita punya sudut pandang berbeda dalam menempatkan kesepahaman akan hal ini. Ada yang menjawab memulai sesuatu. Pun ada yang menjawab mengakhiri sesuatu. Bagi saya adalah justru bagaimana mempertahankan sesuatu. Awal dan akhir sesuatu kembali pada pilihan bagaimana kita mau mempertahankan sesuatu. Dengan senyum dan napas tertahan..aku telah menyimak karyamu...

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)