Gerakan shalat setelah duduk
di antara dua sujud adalah sujud lagi. Tapi terkadang saya tidak bisa melakukan
itu, terutama saat shalat sunnah ba’diyah, karena saya harus menunggu tidak ada
kaki-kaki yang menginjak tempat saya akan sujud. Akhirnya duduk di antara dua
sujud saya menjadi jauh lebih lama dari biasanya.
Banyaknya jamaah yang berharap
bisa shalat di dalam masjid menyebabkan kami seringkali harus berbagi shaf
dengan jamaah lain. Space yang terlalu sempit tentu saja menyebabkan posisi
duduk tahiyat akhir seringkali tidak bisa sempurna.
Jika sudah dalam keadaan
bersempit-sempit ria, saya seringkali membiarkan kedua jamaah di kanan kiri
saya sujud terlebih dahulu baru kemudian saya menyusul sambil berusaha
menciutkan tubuh agar bisa masuk di antara keduanya.
Lain lagi jika sudah
berdekatan dengan jamaah yang membawa anak balita. Terkadang sang anak ini
“lepas” dari ibunya dan menjelajah tempat shalat di sebelah-sebelahnya. Tak
jarang salah satu dari mereka lantas duduk manis di tempat jidat saya
seharusnya menempel kala sujud. Alhasil, saya harus sujud dengan posisi agak
miring agar tidak ketinggalan shalat jamaah.
Pernah suatu kali seorang
balita “lepas” dari Ibunya dan merangkak sendiri hingga tepat di depan saya.
Dia berhenti lama sambil memainkan ID card yang tidak sengaja lepas dari leher
saya saat bersujud. Bosan bermain ID card, pandangannya beralih ke tumpukan
Quran di depan jamaah asal Mesir yang sedang shalat di sebelah kiri saya.
Diraihnya tumpukan Quran itu dan memainkannya seakan-akan kitab suci itu adalah
majalah anak-anak.
Spontang sang wanita Mesir itu
berusaha mencegah sang balita memainkan kitab suci tersebut, namun si anak
tidak peduli. Perlu dicatat bahwa saat itu kami sedang shalat Isya’ rakaat
kedua, menjelang tahiyat awal. Pada saat duduk tahiyat awal, karena melihat
sang jamaah Mesir ini kuwalahan dengan tingkah si bocah, saya segera mengambil
inisiatif untuk mengangkat tumpukan Quran itu dan memindahkannya ke belakang
shaf agar sang anak tidak bisa meraihnya.
Saat melihat ke belakang, saya
menyadari Alquran itu harus diletakkan di atas lantai. Saya tak tega. Tanpa
banyak berpikir, saya memutar tubuh lagi menghadap depan dan meraih tas tangan
sang orang Mesir yang memang sejak tadi menjadi alas tumpukan Quran. Setelah
menggenggam tas tersebut, kembali tubuh saya putar ke belakang untuk meletakkannya
di bawah tumpukan Al Quran.
Tentu saja sang anak protes
melihat “mainan”nya diambil, tapi setidaknya sang orang Mesir bisa kembali
shalat dengan tenang. Saya pun tidak lagi khawatir Al Quran itu akan rusak atau
sobek dan kepikiran melihat jamaah Mesir di sebelah saya yang kebingungan.
***
Saya akui, beberapa kali
memang saya shalat tidak sesuai dengan panduan fiqih shalat untuk orang dewasa
yang berbadan sehat. Tapi saya yakin shalat sejatinya bukan hanya masalah
fiqih. Shalat adalah sebuah kegiatan yang menghubungkan seseorang dengan
penciptaNya. Tidak perlu khawatir, menjaga agar kualitas sinyal konektivitas
dengan sang Maha Kuasa tetap tinggi di Masjidil Haram adalah pekara yang tidak
terlalu sulit.
Aura jutaan orang yang
senantiasa menjaga wudhunya dan dengan khusyu’ melakukan aneka ibadah di
Masjidil Haram, akan mempengaruhi gelombang pikiran kita. Terasa sekali betapa
mudahnya mencapai tingkat konsentrasi beribadah yang agak sulit diraih saat
sedang shalat di tanah air. Mungkin karena tempat itu adalah tanah suci, kota
suci, masjid suci, rumah Allah. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.