Minggu, 12 Mei 2013

Catatan #7. Lupakan Fiqih Shalat


Gerakan shalat setelah duduk di antara dua sujud adalah sujud lagi. Tapi terkadang saya tidak bisa melakukan itu, terutama saat shalat sunnah ba’diyah, karena saya harus menunggu tidak ada kaki-kaki yang menginjak tempat saya akan sujud. Akhirnya duduk di antara dua sujud saya menjadi jauh lebih lama dari biasanya.
Banyaknya jamaah yang berharap bisa shalat di dalam masjid menyebabkan kami seringkali harus berbagi shaf dengan jamaah lain. Space yang terlalu sempit tentu saja menyebabkan posisi duduk tahiyat akhir seringkali tidak bisa sempurna.
Jika sudah dalam keadaan bersempit-sempit ria, saya seringkali membiarkan kedua jamaah di kanan kiri saya sujud terlebih dahulu baru kemudian saya menyusul sambil berusaha menciutkan tubuh agar bisa masuk di antara keduanya.
Lain lagi jika sudah berdekatan dengan jamaah yang membawa anak balita. Terkadang sang anak ini “lepas” dari ibunya dan menjelajah tempat shalat di sebelah-sebelahnya. Tak jarang salah satu dari mereka lantas duduk manis di tempat jidat saya seharusnya menempel kala sujud. Alhasil, saya harus sujud dengan posisi agak miring agar tidak ketinggalan shalat jamaah.
Pernah suatu kali seorang balita “lepas” dari Ibunya dan merangkak sendiri hingga tepat di depan saya. Dia berhenti lama sambil memainkan ID card yang tidak sengaja lepas dari leher saya saat bersujud. Bosan bermain ID card, pandangannya beralih ke tumpukan Quran di depan jamaah asal Mesir yang sedang shalat di sebelah kiri saya. Diraihnya tumpukan Quran itu dan memainkannya seakan-akan kitab suci itu adalah majalah anak-anak.
Spontang sang wanita Mesir itu berusaha mencegah sang balita memainkan kitab suci tersebut, namun si anak tidak peduli. Perlu dicatat bahwa saat itu kami sedang shalat Isya’ rakaat kedua, menjelang tahiyat awal. Pada saat duduk tahiyat awal, karena melihat sang jamaah Mesir ini kuwalahan dengan tingkah si bocah, saya segera mengambil inisiatif untuk mengangkat tumpukan Quran itu dan memindahkannya ke belakang shaf agar sang anak tidak bisa meraihnya.
Saat melihat ke belakang, saya menyadari Alquran itu harus diletakkan di atas lantai. Saya tak tega. Tanpa banyak berpikir, saya memutar tubuh lagi menghadap depan dan meraih tas tangan sang orang Mesir yang memang sejak tadi menjadi alas tumpukan Quran. Setelah menggenggam tas tersebut, kembali tubuh saya putar ke belakang untuk meletakkannya di bawah tumpukan Al Quran.
Tentu saja sang anak protes melihat “mainan”nya diambil, tapi setidaknya sang orang Mesir bisa kembali shalat dengan tenang. Saya pun tidak lagi khawatir Al Quran itu akan rusak atau sobek dan kepikiran melihat jamaah Mesir di sebelah saya yang kebingungan.
***
Saya akui, beberapa kali memang saya shalat tidak sesuai dengan panduan fiqih shalat untuk orang dewasa yang berbadan sehat. Tapi saya yakin shalat sejatinya bukan hanya masalah fiqih. Shalat adalah sebuah kegiatan yang menghubungkan seseorang dengan penciptaNya. Tidak perlu khawatir, menjaga agar kualitas sinyal konektivitas dengan sang Maha Kuasa tetap tinggi di Masjidil Haram adalah pekara yang tidak terlalu sulit.
Aura jutaan orang yang senantiasa menjaga wudhunya dan dengan khusyu’ melakukan aneka ibadah di Masjidil Haram, akan mempengaruhi gelombang pikiran kita. Terasa sekali betapa mudahnya mencapai tingkat konsentrasi beribadah yang agak sulit diraih saat sedang shalat di tanah air. Mungkin karena tempat itu adalah tanah suci, kota suci, masjid suci, rumah Allah. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)