Sabtu, 11 Mei 2013

Catatan #4. Air Mata di Baitullah



Baitullah (a.k.a Ka’bah) adalah tempat yang menakjubkan. Padahal dia bukan bangunan yang tinggi menjulang dengan arsitektur luar biasa. Dia hanyalah sebuah bangunan berbentuk kubus yang ditutupi kiswah berwarna hitam dan bersulam rangkaian huruf-huruf Arab dengan benang emas. Tapi keberadaannyalah yang membuat milyaran umat Nabi Muhammad rela menempuh perlananan ribuan kilometer demi bisa mengunjunginya.
Konon katanya, sekeras-kerasnya hati seseorang, dia akan menangis begitu melihat Ka’bah.
Dan memang benar demikian. Saya memperhatikan beberapa anggota jamaah rombongan kami sibuk menyeka air mata ketika hari pertama kami menginjakkan kaki di Masjidil Haram. Tak ada kata yang sanggup menggambarkan bagaimana perasaan kami kala untuk pertama kalinya melihat rumah Allah. Terasa sekali kehadiran sang Maha Pencipta begitu dekat. Masha Allah. Benarlah, kami memang saat itu bisa berada di sana, tidak lain dan tidak bukan adalah karena Allah yang memanggil.
Ketika thawaf, saya menjumpai banyak orang dengan air mata berleleran di pipi. Hanya Allah yang tahu arti masing-masing air mata yang meleleh di pelataran Ka’bah. Dosa yang dimohonkan ampunan, hajat yang dipanjatkan untuk dikabulkan, atau keharuan-keharuan lain yang tidak bisa didefinisikan.

Duhai Allah,
Anak nakal ini datang
Anak manja ini memenuhi panggilanMu
Anak berlumur dosa ini menginjakkan kaki di rumahMu
Berthawaf bersama jutaan hambaMu
Sungguh bukan apa-apa yang membawaku kemari melainkan Engkau
Tidaklah kehendakku yang membawaku kemari melainkan kehendakMu
Walau diri ini merasa tidak cukup pantas menjadi tamuMu

credit photo; google image.

1 komentar:

  1. sumpah... nangis terharu... rindu makin memuncah kapan bisa ke sana. bersujud lebih dekat. bersujud saja sdh merupakan jarak terdekat hamba dan Tuhannya, apalagi di rumah-Nya... semoga bisa segera menyusul. amin. :')

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)