Senin, 08 Agustus 2011
Mengenang Kekejamanku Mengajari Anak Membaca
Jujur saja nih, dulu saya agak cemas memikirkan anak perempuan saya yang sedang duduk di bangku Play Group. Penyebabnya sepele, karena dia belum juga bisa membaca bahkan mengenali abjad masih suka salah-salah. Sulit sekali menanamkan pemahaman bahwa “b” yang berdempetan dengan “a” dibacanya “ba”. Sedangkan anak-anak teman saya, sudah mulai bisa mambaca bahkan semenjak di Play Group. Salah satu teman sekolahnya juga sudah mulai bisa membaca huruf Hijaiyah yang sambung-sambung. Anak yang umurnya lebih kecil dari anak saya sudah bisa menghafal ayat kursi dan bagian awal surat Yasin. Sedangkan anak saya, membedakan “Ta” dan “Tsa” masih belum bisa. Jadi progress membaca buku iqra’nya berhenti di huruf “Tsa”.
Mengenali angka juga demikian. Entah kenapa anak saya kesulitan mengidentifikasi angka 6, 8 dan 9. Saya sampai stress dan seringkali memarahinya kalau dia lagi-lagi tidak bisa menyebutkan angka yang tertulis di smart card. Tak jarang, hingga berujung pada tangisannya.
Nah Moms, perilaku saya di atas saya anjurkan untuk tidak ditiru. Apalagi pada bagian “memarahi”. Wah, itu adalah hal yang paling saya sesalkan hingga sekarang. Saat ini saya hanya bisa berharap bahwa kelakukan saya itu tidak menyebabkan dampak buruk pada perkembangan mentalnya kelak.
Oke kita kembali ke pokok masalah. Untunglah saya cepat sadar sehingga saya tak lantas melanjutkan “kekejaman” yang saya lakukan pada anak saya. Saya tak ingin merenggut kegembiraan masa kecilnya yang seharusnya diisi dengan bermain. Akhirnya saya hanya mengajarinya membaca, mengaji atau berhitung jika dia yang minta. Dan kalaupun ada yang salah, saya tidak lagi memaksakan untuk dia langsung mengerti saat itu juga. Kalau dia sudah bilang capek atau ngantuk, maka buku pelajarannya langsung saya tutup. Saya pikir lebih baik saya mengajarkan hal-hal yang tidak diajarkan di sekolah, seperti masalah Tuhan, akhirat, agama, tata krama pada orang tua, kejujuran, kasih sayang pada alam dan sesama serta arti kegembiraan masa kecil. Ini saya lakukan dengan mendongeng atau bercakap-cakap dengannya sambil tiduran.
Satu hal yang menarik adalah adanya mindset para guru dan orang tua bahwa anak-anak TK harus sudah bisa membaca. Nah, ternyata ini pendapat yang keliru, setidaknya menurut Yayasan Sekolah Alam Insan Mulia. Saya sempat terkejut saat iseng-iseng datang ke sekolah tersebut dan menanyakan apakah calon siswa harus dites membaca? Dan jawaban mereka adalah untuk calon murid tidak ada tes membaca, yang ada hanya tes kematangan emosional saja. Membaca dan menulis baru akan diajarkan di bangku kelas 1 SD. Prinsip mereka adalah mengajarkan anak-anak sesuai dengan usianya. Tujuannya agar anak-anak tidak kehilangan rasa ingin tahu. Inilah satu hal yang membuat saya sadar untuk tidak lagi memaksakan ambisi saya agar anak saya bisa seperti kawan-kawannya yang bisa membaca atau mengaji di usia sangat dini.
Bagi saya yang penting adalah merangsang keinginannya untuk belajar dengan suka hati, mengaji dengan ikhlas dan tidak menganggap berhitung sebagai momok. Itulah mengapa saya senang jika anak saya mendatangi saya dengan buku di dua tangan mungilnya dan berkata: “Ma, aku mau belajar menghubungkan”. Yang dia maksud menghubungkan adalah menghubungkan gambar dengan angka (untuk soalnya saya gambar sendiri). Atau: “Ma, aku mau ngaji sama Mama”. Tentu saja yang dia maksudkan adalah membaca buku Iqro-nya, bukan Alquran. Saya senang jika dia yang mengajak saya belajar dan bukan sebaliknya. Namun jangan salah, ini tidak tiap hari, kalau dia mengantuk atau lebih senang nonton video kartun favoritnya ya nggak ada acara belajar. Kalau dihitung-hitung, lebih banyak main atau nonton TV daripada belajarnya, hehe. Nah, proses ini berlangsung kira-kira selama 6-10 bulan selama dia duduk di Playgroup. Pokoknya saya biarkan dia sebebas-bebasnya melakukan apa yang diinginkan.
Ternyata hasilnya juga tidak buruk. Guru sekolahnya melaporkan hasil belajarnya cukup memuaskan dan yang penting dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik alias nggak ketinggalan sama teman-temannya yang lain.
Yang lebih mengejutkan lagi: Ketika dia masuk TK, tiba-tiba dia mudah sekali memahami buku belajar membaca-nya. Padahal sebelumnya dia tidak hafal alfabet. Buku yang dipakai berjudul “Anak Islam Senang Membaca”. Isinya mirip buku Iqra’ gitu, tapi versi huruf latinnya. Di halaman pertama diajarkan “a” dan “ba”, halaman selanjutnya “ca” yang dirangkai-rangkai dengan “a” dan “ba”, begitu seterusnya sampai “za”. Dan lagi, semenjak masuk TK, entah kenapa dia seakan mewajibkan diri untuk menambah huruf baru sebelum tidur, padahal saya tidak pernah mengajaknya belajar.
Tapi kalaupun sekarang di sekolahnya sudah diajarkan membaca, bagi saya itu juga bukan masalah. Toh anak saya juga tetap exciting dan saya tak lagi memaksakan kehendak. Kini saya sadar bahwa anak saya unik, dia berbeda dengan anak-anak yang sudah lebih dulu bisa membaca, berhitung atau mengaji. Saya yakin dia punya kelebihan sendiri, bukankah Tuhan selalu menciptakan manusia komplit dengan kelebihan dan kekurangannya?
Saya akan melakukan apa saja agar ia faham artinya kebahagiaan masa kecil. Agar kelak dia tidak menjeritkan isi hatinya seperti almarhum Michael Jackson: “Have you seen my childhood...???”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.