Tuuut…tuuut….tuuut….terdengar
nada sambung di ujung sana. Kugenggam ponselku rasa cemas, khawatir nomor ini tidak lagi tersambung dengan orang
yang sama.
“Halo? Mas Bumi? Apa kabar?”,
terdengar suara yang sangat kukenal tepat seperdelapan detik setelah terdengar
suara “klik” tanda panggilan terhubung.
Kurasakan gelombang kelegaan
menjalar di sepanjang pembuluh nadi. Ternyata dia masih menyimpan nomorku dalam
contact listnya. “Hai Tari. Kabarku
baik. Kamu?”
“Never better. Lagi di mana ini?”, tanyanya dengan suara yang
renyah.
“Masih di tempat yang sama
seperti lima tahun yang lalu”
Lawan bicaraku terdiam. Sepertinya
frasa lima tahun itulah yang
membuatnya tiba-tiba bungkam. “Iya, sudah lima tahun ya? Tidak terasa”, ujarnya
lirih. Tapi tak lagi terdengar perih seperti ketika hakim mengetuk palu sebagai
tanda terurainya ikatan suami istri di antara kami. Lima tahun yang lalu.
Aku langsung mengutarakan
maksudku menghubunginya. “Ada waktu untuk ketemu? Ada yang ingin kubicarakan”.
Sedetik, dua detik, tiga detik. Dia tidak menjawab. Aku menunggu dengan penuh
harap.
“Dengan Agni juga?”, dia balik
bertanya dengan nada waswas.
“Tidak. Hanya aku saja”.
“Apakah tidak apa-apa Mas? Aku nggak enak sama Agni”
“No problem Tari, I guarantee.
Kamu sendiri? Apakah ada yang keberatan kalau kita ketemu berdua?”.
“Tidak ada Mas”, jawabnya yang
lagi-lagi membuat gelombang kelegaan mengaliri pembuluh darahku.
Aku sendiri tidak mengada-ada
saat kukatakan bahwa Agni tak akan keberatan jika aku membuat janji dengan
mantan istri. Bahkan kalaupun toh Agni tahu aku membuat janji dengan artis
paling populer sejagad raya, dia tidak akan peduli. Sama tidak pedulinya dengan
apakah aku pulang ke rumah atau tidak malam ini.
Terdengar Tari menghela napas.
“Sebenarnya beberapa menit yang lalu aku juga berniat mau menghubungi Mas.
Kebetulan ada yang mau aku sampaikan juga”
“O ya? Kebetulan sekali.
Makanya dari tadi kok aku rasanya ingin segera menghubungi kamu”, jawabku dengan
nada bercanda. Mencoba menutupi fakta bahwa sudah beberapa bulan terakhir ini
aku tak bisa berhenti memikirkannya. Bertanya-tanya sedang apa dia. Ada di
mana. Bersama siapa. Apakah dia bahagia. Apakah dia lebih bahagia ketika kami
masih bersama. Masihkah dia menyimpan namaku dalam ingatannya. Dan yang paling
penting, sudikah dia bertemu lagi denganku. Laki-laki yang telah menorehkan
sembilu. Berkali-kali hingga luka di hatinya mungkin tak pernah sembuh walau
air matanya sudah lama mengering. Hatiku melonjak mendengar jawabannya. Tari
juga ingin bertemu denganku? Kangenkah dia padaku seperti aku juga kangen
padanya?
Kudengar di ujung sana Tari
terkekeh. Ah tawanya itu tak berubah. “Iya ya Mas? Kok bisa nyambung ya?
Ajaib”.
Kamu
lah yang ajaib Tari. Sayangnya aku terlambat menyadari, batinku.
“Jadi mau ketemu di mana Mas?
Kapan?”, tanyanya membuyarkan putaran film flash
back di kepalaku tentang masa lalu kami. Aku menyebutkan sebuah nama
restoran di tengah kota. Itu tempat favoritnya dulu. Restoran itu adalah satu
dari sedikit hal tentang Tari yang masih kuingat. Seharusnya aku bisa mengingat
lebih banyak. Seharusnya aku bisa mengenal Tari lebih dalam jika aku mau
sedikit saja memberi perhatian padanya. Jika aku mau lebih mempedulikannya
setelah vonis itu. Vonis yang membuat Tari terpuruk dan aku bukannya memberinya
dorongan moral, melainkan malah membuat mentalnya ambruk. Aku kerap menganggapnya
istri tak berguna dan kerapkali mengumbar kata-kata yang melecehkan harga
dirinya. Vonis itu hanya satu kata; Mandul.
“Oke Mas. Kita ketemu besok ya. See you”, suara Tari yang riang bercampur
baur dengan kenangan akan dia dalam otakku. Sekarang aku jadi ingat apa yang
membuat aku dulu begitu ingin memilikinya. Keriangan itu. Rasa suka cita yang
tidak dibuat-buat. Tari seakan punya stok senyum dan tawa yang tak pernah
habis. Bahkan di hari ketika aku menyatakan ingin berpisah dan menikah lagi
dengan Agni. Saat itu dia memang menangis. Sebuah reaksi yang wajar. Tapi
secara ajaib dia pun tersenyum di waktu yang sama.
Sesuai dengan nama panjangnya,
Mentari, dulu aku menganggap Tari sebagai matahari. Dia yang membuat
hari-hariku bergelimang cahaya dan warna. Tari adalah istri yang luar biasa.
Pengabdiannya. Cintanya. Setianya. Semua itu meruap dari dirinya, eksklusif
hanya untuk aku. Kami berdua menjalani masa-masa pernikahan yang bahagia. Hanya
berdua. Ya, hanya berdua. Hingga aku tersadar bahwa hanya berdua saja tidak
cukup. Aku ingin ada yang ketiga, keempat atau bahkan kelima.
Tari pun tahu itu dan dia pun
sama inginnya denganku. Kami memutuskan untuk berkonsultasi dengan para ahli. Dan jawabannya
datang di suatu hari. Saluran indung Tari tidak normal, itulah yang menyulitkan
sel-sel kami saling berpenetrasi. Tari sedih dan aku lebih lagi. Aku tahu yang
membuatnya sedih bukanlah kenyataan bahwa dia akan susah punya bayi. Melainkan
karena telah memupuskan harapanku untuk melihat seorang bayi yang selama 9
bulan ia pelihara dalam rahim.
Vonis itu seolah menjadi awan
mendung yang menutupi cahaya yang dimiliki Tari. Dia sendiri sebenarnya
berusaha untuk tak berubah. Berusaha menutupi perasaan kecewanya dengan selalu
bercanda dan tertawa. Namun aku tak lagi mempedulikannya. Tak pernah membalas
candanya. Tak peduli akan usaha-usahanya membuatku senang, dengan membuatkan
masakan kegemaran, dengan penataan rumah dan taman agar istana kecil kami lebih
nyaman. Bagiku kekurangan Tari yang satu itu tak termaafkan. Hingga suatu
ketika aku menggunakan alasan tersebut untuk mengakhiri hubungan kami.
“Mas Bumi berhak mendapatkan
yang lebih baik. Kalau hidup bersamaku hanya membawa ketidakbahagiaan untukmu,
maka aku pun tak kan bisa berbahagia. Aku ingin Mas bahagia, dan aku rela jika
kebahagiaanmu tidak lagi ada padaku”, kata Tari saat itu. Kaca di matanya lumer
menjadi dua larik sungai yang membasahi kedua pipinya.
Saat itu sinar Tari sempat
meredup memang. Tapi tak lama. Tari segera kembali menjadi matahari bahkan saat
palu keputusan cerai kami belum diketuk. Jujur saja saat itu aku sempat ingin
berubah pikiran. Kuakui hidup bersamanya tak pernah ada duka cita. Tapi jika
mengingat kondisi organ reproduksinya, aku mengurungkan niat untuk membatalkan
perpisahan. Dan itu adalah salah satu hal yang paling kusesali kini, setelah
lima tahun berlalu.
***
Aku duduk dengan gelisah di
restoran yang sudah kami sepakati sebagai tempat pertemuan. Tari belum datang.
Sudah lewat 5 menit dari waktu yang dijanjikan. Bukan kebiasaan Tari untuk
terlambat. Ah, tapi biarlah, mungkin Tuhan ingin memberi kesempatan padaku
untuk melatih kata-kata yang akan kusampaikan pada Tari nanti.
Aku memejamkan mata, berusaha
mengingat-ingat latihanku semalam. Pertama-tama, aku akan mengatakan padanya
bahwa aku sangat menyesal berpisah dengannya. Kedua, aku akan meminta maaf
karena telah menyalahkannya atas ketidakhadiran bayi di antara kami. Bahwa dia
bukan satu-satunya yang bermasalah. Bahwa Azoospermiaku juga menjadi
penyebabnya. Ketiga, akan kusampaikan bahwa aku dan Agni sekarang juga sedang
dalam proses bercerai. Agni sama seperti aku yang dulu, memilih berpisah dengan
alasan aku tidak bisa memberinya keturunan. Tapi aku tahu itu cuma alasan. Aku
tahu dari awal Agni tak mengharapkan punya bayi. Sebab belakangan aku tahu
bahwa pil-pil mungil yang tiap papannya berjumlah tepat 28 itu tak pernah lupa
dikonsumsinya. Entah apa alasan Agni sesungguhnya. Mungkin karena dia sudah
bosan denganku, merasa kurang dengan uang bulanan yang kuberikan atau karena
lelaki berpostur atletis berwajah bule yang kerap mengantar jemputnya.
Terakhir aku akan memohon pada Tari
untuk kembali. Aku akan katakan padanya bahwa aku akan menunggu hingga dia siap
menerimaku kembali. Mungkin dia tidak akan langsung menjawab “iya”. Mungkin dia
perlu waktu untuk berpikir. Maka aku akan katakan bahwa aku tak peduli berapa
lama waktu yang dia minta. Aku akan menunggu hingga matahariku kembali. Karena baru
kini kusadari, tanpanya aku membeku.
“Mas Bumi. Maaf ya terlambat.
Aku lupa kalau hari ini ada demonstrasi buruh. Jalannya macettt....”, suara itu
membuyarkan lamunanku. Mataku yang terpejam terbuka dan aku terkesima melihat Tari.
Sekarang dia berjilbab. Sangat anggun. Sangat cantik. Sangat bercahaya, bahkan
lebih bercahaya dibanding dulu saat terakhir kali kami berjumpa.
“Apa kabar Tari?”, aku menjabat
tangannya yang sudah lebih dulu terulur. Sesaat ingin rasanya menarik tangan
itu agar tubuhnya mendekat. Agar aku bisa mencium pipinya yang kemerahan
seperti dulu. Tapi Tari keburu menarik tangannya dan duduk.
“Alhamdulillah Mas. Seperti
yang Mas lihat sekarang”, jawabnya sambil tersenyum. Aku memandangnya tanpa
sanggup berkedip. Bagaimana aku dulu bisa
meninggalkan bidadari secantik dan seanggun ini?
“By the way, apa yang mau Mas bicarakan?”, tanyanya begitu kami
selesai memesan makanan minuman dan setelah berbasa-basi sejenak.
“Kamu duluan. Katanya ada yang
mau disampaikan”
“Oh ya. Ini Mas. Aku mau ngasih ini ke Mas”, Tari merogoh tasnya
dan mengeluarkan sesuatu berbentuk persegi berwarna lavender. Ada segulung
perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyesakkan dadaku begitu melihat tulisan di
atasnya; INVITATION. Aku membolak-balik undangan itu dengan gelisah. Mual tak
terhindarkan begitu menemukan nama Tari tertulis di sana, seolah ada puluhan
kodok yang berlompatan dalam perutku.
“Butuh waktu lama untuk
menyingkirkan nama Mas Bumi dari hatiku. Butuh waktu lama untuk memaafkan diri
ini karena terlahir tidak sempurna. Dan sekarang, setelah lima tahun berlalu rasanya
aku sudah siap menerima semuanya, kekuranganku, perpisahan kita dan cinta yang baru”,
ujarnya.
Lidahku kelu. Seluruh kata-kata
yang sudah kulatih berhari-hari menguap begitu saja. “Nggg...laki-laki ini. Alam?
Apakah dia baik?”, tanyaku.
“Dia pendiri Yayasan Yatim
Piatu tempat aku mengajar. Jadi...ya, kuharap dia memang orang baik”. Dia
melihat tanda tanya di wajahku lantas melanjutkan. “Aku mengajar Bahasa
Inggris, Matematika dan Komputer. Tadinya aku datang ke sana untuk pelarian
dari kesedihan pasca perpisahan kita. Dan nyatanya memang benar, anak-anak itu
bisa menyembuhkanku. Di sana juga aku bertemu Mas Alam. Kami bersahabat baik.
Dia tahu semua tentang kita, perpisahan kita, cintaku pada Mas yang tidak bisa
hilang semudah yang kubayangkan, rasa bersalahku, rasa rendah diriku karena
kekuranganku. Lantas Mas Alam menawarkan diri untuk mengganti posisi Mas Bumi. Awalnya
aku menolak karena belum bisa benar-benar melupakan Mas. Tapi dia bilang akan
menungguku hingga aku siap”
“Apakah dia tahu soal....ya
kamu tahu maksudku Tari. Yang menjadi penyebab kita berpisah. Apakah dia tahu
soal itu?”, tanyaku hati-hati.
“Ya, dia tahu dan dia bilang
begini: Aku memang ingin punya anak. Tapi tidak semua keinginan kita bisa
dipenuhi. Tuhan tahu mana yang terbaik dan mana yang bukan. Jika Tuhan memang
menjodohkan kita berdua, itu berarti kamu adalah yang terbaik yang sudah
dipilihkan Tuhan. Jika Tuhan menghendaki aku untuk tidak bisa memiliki
keturunan, berarti itu memang skenario terbaik untukku. Aku mencintaimu bukan
untuk tujuan apa-apa. Aku mencintaimu karena aku memang mencintaimu”, kata Tari
menirukan kata-kata calon suaminya.
“Jadi kamu sekarang sudah bisa
melupakan aku?”, aku berusaha setengah mati agar suaraku tidak terdengar
gemetar.
“Mana mungkin Mas? Bagaimana
pun Mas adalah bagian dari sejarah hidupku”. Tari menatapku dengan pandangan
penuh harap. “Semoga Mas Bumi bisa hadir nanti di hari H”, lanjutnya.
“Pasti Tari. Kalaupun tidak, aku pasti akan
berdoa untuk kebahagiaanmu”, jawabku. Ya, hanya berdoa. Itu yang bisa kulakukan
untuk menebus rasa bersalahku di masa lalu.
“Jadi, apa yang Mas mau
bicarakan?”.
Aku gelagapan sebab yang sudah
kulatih semalam sudah sejak tadi menguap. “Oh...tidak ada yang penting sih. Aku
hanya ingin tahu kabarmu saja. Kita kan sudah lima tahun tidak bertemu”
“Oh...kirain ada apa. O ya.
Agni apa kabar?”
“Dia baik. Dia juga titip salam
untukmu”, jawabku dengan perasaan beku. Beku
karena menyadari takdir yang unik ini. Ya, bahkan sejak peradaban manusia belum
ada, Mentari sudah ditakdirkan untuk tidak hanya dimiliki Bumi. Sebab Mentari memang
diciptakan Tuhan untuk menyinari semesta Alam.
–selesai-
Masya Allah.... Mbak, ini sangat layak dikirimkan ke FEMINA! Di-hide dulu dari blog ini mbak. Lalu kirim ke: contact@feminagroup.com (atau mbak lihat di majalah/ website Femina). Aku gemetar bacanya. Nangis dari pertengahan cerpen, sampe akhir. Aku bisa merasakan ada di posisi Bumi dan Sani, dan Agni dan Alam sekaligus. Dahsyat, mbak!
BalasHapusIya kah Mbak? Saya masih belum pede kirim-kirim ke Femina. Tapi coba nanti saya cek ke lokasi deh. Thank you sudah mau mampir dan baca yaa...thank you juga atas infonya ^-^
Hapus