Sabtu, 09 November 2013

Setelah Lima Tahun

 
Tuuut…tuuut….tuuut….terdengar nada sambung di ujung sana. Kugenggam ponselku rasa cemas, khawatir  nomor ini tidak lagi tersambung dengan orang yang sama.  
“Halo? Mas Bumi? Apa kabar?”, terdengar suara yang sangat kukenal tepat seperdelapan detik setelah terdengar suara “klik” tanda panggilan terhubung.  
Kurasakan gelombang kelegaan menjalar di sepanjang pembuluh nadi. Ternyata dia masih menyimpan nomorku dalam contact listnya. “Hai Tari. Kabarku baik. Kamu?”
Never better. Lagi di mana ini?”, tanyanya dengan suara yang renyah.
“Masih di tempat yang sama seperti lima tahun yang lalu”
Lawan bicaraku terdiam. Sepertinya frasa lima tahun itulah yang membuatnya tiba-tiba bungkam. “Iya, sudah lima tahun ya? Tidak terasa”, ujarnya lirih. Tapi tak lagi terdengar perih seperti ketika hakim mengetuk palu sebagai tanda terurainya ikatan suami istri di antara kami. Lima tahun yang lalu.
Aku langsung mengutarakan maksudku menghubunginya. “Ada waktu untuk ketemu? Ada yang ingin kubicarakan”. Sedetik, dua detik, tiga detik. Dia tidak menjawab. Aku menunggu dengan penuh harap.
“Dengan Agni juga?”, dia balik bertanya dengan nada waswas.
“Tidak. Hanya aku saja”.
“Apakah tidak apa-apa Mas? Aku nggak enak sama Agni”
No problem Tari, I guarantee. Kamu sendiri? Apakah ada yang keberatan kalau kita ketemu berdua?”.
“Tidak ada Mas”, jawabnya yang lagi-lagi membuat gelombang kelegaan mengaliri pembuluh darahku.
Aku sendiri tidak mengada-ada saat kukatakan bahwa Agni tak akan keberatan jika aku membuat janji dengan mantan istri. Bahkan kalaupun toh Agni tahu aku membuat janji dengan artis paling populer sejagad raya, dia tidak akan peduli. Sama tidak pedulinya dengan apakah aku pulang ke rumah atau tidak malam ini.
Terdengar Tari menghela napas. “Sebenarnya beberapa menit yang lalu aku juga berniat mau menghubungi Mas. Kebetulan ada yang mau aku sampaikan juga”
“O ya? Kebetulan sekali. Makanya dari tadi kok aku rasanya ingin segera menghubungi kamu”, jawabku dengan nada bercanda. Mencoba menutupi fakta bahwa sudah beberapa bulan terakhir ini aku tak bisa berhenti memikirkannya. Bertanya-tanya sedang apa dia. Ada di mana. Bersama siapa. Apakah dia bahagia. Apakah dia lebih bahagia ketika kami masih bersama. Masihkah dia menyimpan namaku dalam ingatannya. Dan yang paling penting, sudikah dia bertemu lagi denganku. Laki-laki yang telah menorehkan sembilu. Berkali-kali hingga luka di hatinya mungkin tak pernah sembuh walau air matanya sudah lama mengering. Hatiku melonjak mendengar jawabannya. Tari juga ingin bertemu denganku? Kangenkah dia padaku seperti aku juga kangen padanya?
Kudengar di ujung sana Tari terkekeh. Ah tawanya itu tak berubah. “Iya ya Mas? Kok bisa nyambung ya? Ajaib”.
Kamu lah yang ajaib Tari. Sayangnya aku terlambat menyadari, batinku.
“Jadi mau ketemu di mana Mas? Kapan?”, tanyanya membuyarkan putaran film flash back di kepalaku tentang masa lalu kami. Aku menyebutkan sebuah nama restoran di tengah kota. Itu tempat favoritnya dulu. Restoran itu adalah satu dari sedikit hal tentang Tari yang masih kuingat. Seharusnya aku bisa mengingat lebih banyak. Seharusnya aku bisa mengenal Tari lebih dalam jika aku mau sedikit saja memberi perhatian padanya. Jika aku mau lebih mempedulikannya setelah vonis itu. Vonis yang membuat Tari terpuruk dan aku bukannya memberinya dorongan moral, melainkan malah membuat mentalnya ambruk. Aku kerap menganggapnya istri tak berguna dan kerapkali mengumbar kata-kata yang melecehkan harga dirinya. Vonis itu hanya satu kata; Mandul.
“Oke Mas. Kita ketemu besok ya. See you”, suara Tari yang riang bercampur baur dengan kenangan akan dia dalam otakku. Sekarang aku jadi ingat apa yang membuat aku dulu begitu ingin memilikinya. Keriangan itu. Rasa suka cita yang tidak dibuat-buat. Tari seakan punya stok senyum dan tawa yang tak pernah habis. Bahkan di hari ketika aku menyatakan ingin berpisah dan menikah lagi dengan Agni. Saat itu dia memang menangis. Sebuah reaksi yang wajar. Tapi secara ajaib dia pun tersenyum di waktu yang sama.
Sesuai dengan nama panjangnya, Mentari, dulu aku menganggap Tari sebagai matahari. Dia yang membuat hari-hariku bergelimang cahaya dan warna. Tari adalah istri yang luar biasa. Pengabdiannya. Cintanya. Setianya. Semua itu meruap dari dirinya, eksklusif hanya untuk aku. Kami berdua menjalani masa-masa pernikahan yang bahagia. Hanya berdua. Ya, hanya berdua. Hingga aku tersadar bahwa hanya berdua saja tidak cukup. Aku ingin ada yang ketiga, keempat atau bahkan kelima.
Tari pun tahu itu dan dia pun sama inginnya denganku. Kami memutuskan untuk  berkonsultasi dengan para ahli. Dan jawabannya datang di suatu hari. Saluran indung Tari tidak normal, itulah yang menyulitkan sel-sel kami saling berpenetrasi. Tari sedih dan aku lebih lagi. Aku tahu yang membuatnya sedih bukanlah kenyataan bahwa dia akan susah punya bayi. Melainkan karena telah memupuskan harapanku untuk melihat seorang bayi yang selama 9 bulan ia pelihara dalam rahim.
Vonis itu seolah menjadi awan mendung yang menutupi cahaya yang dimiliki Tari. Dia sendiri sebenarnya berusaha untuk tak berubah. Berusaha menutupi perasaan kecewanya dengan selalu bercanda dan tertawa. Namun aku tak lagi mempedulikannya. Tak pernah membalas candanya. Tak peduli akan usaha-usahanya membuatku senang, dengan membuatkan masakan kegemaran, dengan penataan rumah dan taman agar istana kecil kami lebih nyaman. Bagiku kekurangan Tari yang satu itu tak termaafkan. Hingga suatu ketika aku menggunakan alasan tersebut untuk mengakhiri hubungan kami.
“Mas Bumi berhak mendapatkan yang lebih baik. Kalau hidup bersamaku hanya membawa ketidakbahagiaan untukmu, maka aku pun tak kan bisa berbahagia. Aku ingin Mas bahagia, dan aku rela jika kebahagiaanmu tidak lagi ada padaku”, kata Tari saat itu. Kaca di matanya lumer menjadi dua larik sungai yang membasahi kedua pipinya.
Saat itu sinar Tari sempat meredup memang. Tapi tak lama. Tari segera kembali menjadi matahari bahkan saat palu keputusan cerai kami belum diketuk. Jujur saja saat itu aku sempat ingin berubah pikiran. Kuakui hidup bersamanya tak pernah ada duka cita. Tapi jika mengingat kondisi organ reproduksinya, aku mengurungkan niat untuk membatalkan perpisahan. Dan itu adalah salah satu hal yang paling kusesali kini, setelah lima tahun berlalu.
***
Aku duduk dengan gelisah di restoran yang sudah kami sepakati sebagai tempat pertemuan. Tari belum datang. Sudah lewat 5 menit dari waktu yang dijanjikan. Bukan kebiasaan Tari untuk terlambat. Ah, tapi biarlah, mungkin Tuhan ingin memberi kesempatan padaku untuk melatih kata-kata yang akan kusampaikan pada Tari nanti.
Aku memejamkan mata, berusaha mengingat-ingat latihanku semalam. Pertama-tama, aku akan mengatakan padanya bahwa aku sangat menyesal berpisah dengannya. Kedua, aku akan meminta maaf karena telah menyalahkannya atas ketidakhadiran bayi di antara kami. Bahwa dia bukan satu-satunya yang bermasalah. Bahwa Azoospermiaku juga menjadi penyebabnya. Ketiga, akan kusampaikan bahwa aku dan Agni sekarang juga sedang dalam proses bercerai. Agni sama seperti aku yang dulu, memilih berpisah dengan alasan aku tidak bisa memberinya keturunan. Tapi aku tahu itu cuma alasan. Aku tahu dari awal Agni tak mengharapkan punya bayi. Sebab belakangan aku tahu bahwa pil-pil mungil yang tiap papannya berjumlah tepat 28 itu tak pernah lupa dikonsumsinya. Entah apa alasan Agni sesungguhnya. Mungkin karena dia sudah bosan denganku, merasa kurang dengan uang bulanan yang kuberikan atau karena lelaki berpostur atletis berwajah bule yang kerap mengantar jemputnya.
Terakhir aku akan memohon pada Tari untuk kembali. Aku akan katakan padanya bahwa aku akan menunggu hingga dia siap menerimaku kembali. Mungkin dia tidak akan langsung menjawab “iya”. Mungkin dia perlu waktu untuk berpikir. Maka aku akan katakan bahwa aku tak peduli berapa lama waktu yang dia minta. Aku akan menunggu hingga matahariku kembali. Karena baru kini kusadari, tanpanya aku membeku.
“Mas Bumi. Maaf ya terlambat. Aku lupa kalau hari ini ada demonstrasi buruh. Jalannya macettt....”, suara itu membuyarkan lamunanku. Mataku yang terpejam terbuka dan aku terkesima melihat Tari. Sekarang dia berjilbab. Sangat anggun. Sangat cantik. Sangat bercahaya, bahkan lebih bercahaya dibanding dulu saat terakhir kali kami berjumpa.
“Apa kabar Tari?”, aku menjabat tangannya yang sudah lebih dulu terulur. Sesaat ingin rasanya menarik tangan itu agar tubuhnya mendekat. Agar aku bisa mencium pipinya yang kemerahan seperti dulu. Tapi Tari keburu menarik tangannya dan duduk.
“Alhamdulillah Mas. Seperti yang Mas lihat sekarang”, jawabnya sambil tersenyum. Aku memandangnya tanpa sanggup berkedip. Bagaimana aku dulu bisa meninggalkan bidadari secantik dan seanggun ini?
By the way, apa yang mau Mas bicarakan?”, tanyanya begitu kami selesai memesan makanan minuman dan setelah berbasa-basi sejenak.
“Kamu duluan. Katanya ada yang mau disampaikan”
“Oh ya. Ini Mas. Aku mau ngasih ini ke Mas”, Tari merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu berbentuk persegi berwarna lavender. Ada segulung perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyesakkan dadaku begitu melihat tulisan di atasnya; INVITATION. Aku membolak-balik undangan itu dengan gelisah. Mual tak terhindarkan begitu menemukan nama Tari tertulis di sana, seolah ada puluhan kodok yang berlompatan dalam perutku.
“Butuh waktu lama untuk menyingkirkan nama Mas Bumi dari hatiku. Butuh waktu lama untuk memaafkan diri ini karena terlahir tidak sempurna. Dan sekarang, setelah lima tahun berlalu rasanya aku sudah siap menerima semuanya, kekuranganku, perpisahan kita dan cinta yang baru”, ujarnya.
Lidahku kelu. Seluruh kata-kata yang sudah kulatih berhari-hari menguap begitu saja. “Nggg...laki-laki ini. Alam? Apakah dia baik?”, tanyaku.
“Dia pendiri Yayasan Yatim Piatu tempat aku mengajar. Jadi...ya, kuharap dia memang orang baik”. Dia melihat tanda tanya di wajahku lantas melanjutkan. “Aku mengajar Bahasa Inggris, Matematika dan Komputer. Tadinya aku datang ke sana untuk pelarian dari kesedihan pasca perpisahan kita. Dan nyatanya memang benar, anak-anak itu bisa menyembuhkanku. Di sana juga aku bertemu Mas Alam. Kami bersahabat baik. Dia tahu semua tentang kita, perpisahan kita, cintaku pada Mas yang tidak bisa hilang semudah yang kubayangkan, rasa bersalahku, rasa rendah diriku karena kekuranganku. Lantas Mas Alam menawarkan diri untuk mengganti posisi Mas Bumi. Awalnya aku menolak karena belum bisa benar-benar melupakan Mas. Tapi dia bilang akan menungguku hingga aku siap”
“Apakah dia tahu soal....ya kamu tahu maksudku Tari. Yang menjadi penyebab kita berpisah. Apakah dia tahu soal itu?”, tanyaku hati-hati.
“Ya, dia tahu dan dia bilang begini: Aku memang ingin punya anak. Tapi tidak semua keinginan kita bisa dipenuhi. Tuhan tahu mana yang terbaik dan mana yang bukan. Jika Tuhan memang menjodohkan kita berdua, itu berarti kamu adalah yang terbaik yang sudah dipilihkan Tuhan. Jika Tuhan menghendaki aku untuk tidak bisa memiliki keturunan, berarti itu memang skenario terbaik untukku. Aku mencintaimu bukan untuk tujuan apa-apa. Aku mencintaimu karena aku memang mencintaimu”, kata Tari menirukan kata-kata calon suaminya.
“Jadi kamu sekarang sudah bisa melupakan aku?”, aku berusaha setengah mati agar suaraku tidak terdengar gemetar.
“Mana mungkin Mas? Bagaimana pun Mas adalah bagian dari sejarah hidupku”. Tari menatapku dengan pandangan penuh harap. “Semoga Mas Bumi bisa hadir nanti di hari H”, lanjutnya.
 “Pasti Tari. Kalaupun tidak, aku pasti akan berdoa untuk kebahagiaanmu”, jawabku. Ya, hanya berdoa. Itu yang bisa kulakukan untuk menebus rasa bersalahku di masa lalu.
“Jadi, apa yang Mas mau bicarakan?”.
Aku gelagapan sebab yang sudah kulatih semalam sudah sejak tadi menguap. “Oh...tidak ada yang penting sih. Aku hanya ingin tahu kabarmu saja. Kita kan sudah lima tahun tidak bertemu”
“Oh...kirain ada apa. O ya. Agni apa kabar?”
“Dia baik. Dia juga titip salam untukmu”,  jawabku dengan perasaan beku. Beku karena menyadari takdir yang unik ini. Ya, bahkan sejak peradaban manusia belum ada, Mentari sudah ditakdirkan untuk tidak hanya dimiliki Bumi. Sebab Mentari memang diciptakan Tuhan untuk menyinari semesta Alam.
 –selesai-

2 komentar:

  1. Masya Allah.... Mbak, ini sangat layak dikirimkan ke FEMINA! Di-hide dulu dari blog ini mbak. Lalu kirim ke: contact@feminagroup.com (atau mbak lihat di majalah/ website Femina). Aku gemetar bacanya. Nangis dari pertengahan cerpen, sampe akhir. Aku bisa merasakan ada di posisi Bumi dan Sani, dan Agni dan Alam sekaligus. Dahsyat, mbak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kah Mbak? Saya masih belum pede kirim-kirim ke Femina. Tapi coba nanti saya cek ke lokasi deh. Thank you sudah mau mampir dan baca yaa...thank you juga atas infonya ^-^

      Hapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)