Tergesa,
Wahyu membuka pintu rumah yang sudah lama tidak dimasukinya.
“Ayuuu....!!!
Bagusss...!!! Ragiiilll....!!!”, dipanggilnya nama adiknya satu per satu. Tak
ada jawaban. Belakangan baru dia sadar jam segini adik-adiknya pasti sedang
sekolah.
“Ibuuuuk...!!!”,
ganti dia memanggil Ibunya. Tak juga ada jawaban.
Jangan-jangan berita itu benar, pikirnya dengan gelisah sambil menghempaskan tubuh di
kursi.
Beberapa
waktu lalu, seorang tetangga memberitahunya kalau belakangan ini Ibu sering
pulang malam. Lewat tengah malam bahkan. Tidak hanya itu, Ibu juga sering tidak
ada di rumah selama beberapa hari, meninggalkan ketiga adiknya yang masih usia
sekolah bersama nenek yang sudah renta.
Wahyu
maklum jika Ibu memang harus keluar rumah untuk bekerja. Bapak meninggal mendadak
ketika Ragil belum genap sebulan, meninggalkan seorang istri dan lima anak yang
masih belum baligh. Untuk memastikan cakram kehidupan mereka terus berputar,
Ibu lah yang mencari nafkah.
Sekarang
Ana, kakak Wahyu, sudah menikah. Tapi Wahyu masih memiliki 3 adik yang masih sekolah
hingga akhirnya ia memilih untuk mencari pekerjaan. Mulai dari menjadi kuli,
kenek angkot hingga sekarang menjadi sopir truk antar provinsi. Pendapatannya lumayan
untuk membantu biaya hidup yang kian melambung, tapi tetap saja belum cukup
hingga Ibu masih harus bekerja.
Wahyu
tahu Ibu punya berbagai macam cara mencari uang, mulai dari tukang jahit
gorden, tukang masak, menjaga anak tetangga, menjaga orang sakit sampai
berjualan nasi di kampung padat penduduk tempat mereka bernaung. Tapi kali ini
Wahyu tak tahu apa pekerjaan Ibu hingga membuatnya pulang tengah malam dan
bahkan tidak pulang sama sekali.
Benarkah Ibu sudah jadi perempuan simpanan seperti yang
dibilang orang-orang?.
Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itulah Wahyu memutuskan pulang dari
perantauan.
Hingga
Ragil pulang sekolah menjelang Maghrib hari itu, Ibu tidak juga muncul. Bahkan
hingga jam sepuluh.
Saat
sedang gelisah menunggu, seorang tetangga menghampirinya. “Kebetulan ada Mas Wahyu.
Bisa minta tolong antar Bapak ke pelabuhan? Bapak mau ke Kalimantan”, pintanya
dan Wahyu mengiyakan. Lagipula menunggu Ibu sedari tadi membuat dia jenuh.
Pelabuhan
Tanjung Perak. Kini Wahyu sudah berada di dermaga tempat kapal yang akan
membawa tetangganya ke Borneo itu bersandar. Di bawah temaram lampu kapal dan pelabuhan,
Wahyu mengenali sosok perempuan yang sangat dikenalnya. Perempuan itu sedang mengawasi
kuli-kuli pelabuhan yang memanggul karung-karung besar.
“Ibu?
sedang apa?”, tanyanya setelah memastikan wanita itu benar-benar Ibu.
“Lho...kapan
datang Nak?”, Ibu malah balik bertanya dengan ekspresi kaget.
“Ibu
sedang apa?”, Wahyu mengulangi pertanyaannya.
“Oh,
ini lho, ada orang yang minta dicarikan sayuran untuk dijual di Kalimantan. Kentang,
bawang bombay, bawang putih. Ibu carinya di Malang, di sana kan sayurnya
segar-segar. Ibu harus pastikan mereka sudah naik ke kapal, takut ada apa-apa.
Komisinya lumayan untuk sekolah adik-adikmu”, ekspresi Ibu sumringah saat
menyebut kata “komisi”.
Wahyu
memandang Ibunya dengan kelegaan luar biasa. Ibu tak berubah, masih Ibu yang
dulu menjaga kehormatan dirinya walaupun tanpa suami. Sekonyong-konyong dia
merasa malu sendiri telah berprasangka buruk pada Ibu.
“Masih
lama Bu? Ada yang bisa aku bantu?”, tanya Wahyu dengan rasa malu yang setengah
mati dia sembunyikan dalam saku.
-selesai-
Terinsipirasi oleh kisah “Bibi” yang menjaga anak-anak
kami. Nama tokoh disamarkan.
ditulis untuk event I'm Single But Happy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.