Senin, 11 November 2013

Menunggu Ibu




Tergesa, Wahyu membuka pintu rumah yang sudah lama tidak dimasukinya.
“Ayuuu....!!! Bagusss...!!! Ragiiilll....!!!”, dipanggilnya nama adiknya satu per satu. Tak ada jawaban. Belakangan baru dia sadar jam segini adik-adiknya pasti sedang sekolah.
“Ibuuuuk...!!!”, ganti dia memanggil Ibunya. Tak juga ada jawaban.
Jangan-jangan berita itu benar, pikirnya dengan gelisah sambil menghempaskan tubuh di kursi.
Beberapa waktu lalu, seorang tetangga memberitahunya kalau belakangan ini Ibu sering pulang malam. Lewat tengah malam bahkan. Tidak hanya itu, Ibu juga sering tidak ada di rumah selama beberapa hari, meninggalkan ketiga adiknya yang masih usia sekolah bersama nenek yang sudah renta.
Wahyu maklum jika Ibu memang harus keluar rumah untuk bekerja. Bapak meninggal mendadak ketika Ragil belum genap sebulan, meninggalkan seorang istri dan lima anak yang masih belum baligh. Untuk memastikan cakram kehidupan mereka terus berputar, Ibu lah yang mencari nafkah.
Sekarang Ana, kakak Wahyu, sudah menikah. Tapi Wahyu masih memiliki 3 adik yang masih sekolah hingga akhirnya ia memilih untuk mencari pekerjaan. Mulai dari menjadi kuli, kenek angkot hingga sekarang menjadi sopir truk antar provinsi. Pendapatannya lumayan untuk membantu biaya hidup yang kian melambung, tapi tetap saja belum cukup hingga Ibu masih harus bekerja.
Wahyu tahu Ibu punya berbagai macam cara mencari uang, mulai dari tukang jahit gorden, tukang masak, menjaga anak tetangga, menjaga orang sakit sampai berjualan nasi di kampung padat penduduk tempat mereka bernaung. Tapi kali ini Wahyu tak tahu apa pekerjaan Ibu hingga membuatnya pulang tengah malam dan bahkan tidak pulang sama sekali.
Benarkah Ibu sudah jadi perempuan simpanan seperti yang dibilang orang-orang?. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itulah Wahyu memutuskan pulang dari perantauan.
Hingga Ragil pulang sekolah menjelang Maghrib hari itu, Ibu tidak juga muncul. Bahkan hingga jam sepuluh.  
Saat sedang gelisah menunggu, seorang tetangga menghampirinya. “Kebetulan ada Mas Wahyu. Bisa minta tolong antar Bapak ke pelabuhan? Bapak mau ke Kalimantan”, pintanya dan Wahyu mengiyakan. Lagipula menunggu Ibu sedari tadi membuat dia jenuh.
Pelabuhan Tanjung Perak. Kini Wahyu sudah berada di dermaga tempat kapal yang akan membawa tetangganya ke Borneo itu bersandar. Di bawah temaram lampu kapal dan pelabuhan, Wahyu mengenali sosok perempuan yang sangat dikenalnya. Perempuan itu sedang mengawasi kuli-kuli pelabuhan yang memanggul karung-karung besar.
“Ibu? sedang apa?”, tanyanya setelah memastikan wanita itu benar-benar Ibu.
“Lho...kapan datang Nak?”, Ibu malah balik bertanya dengan ekspresi kaget.
“Ibu sedang apa?”, Wahyu mengulangi pertanyaannya.
“Oh, ini lho, ada orang yang minta dicarikan sayuran untuk dijual di Kalimantan. Kentang, bawang bombay, bawang putih. Ibu carinya di Malang, di sana kan sayurnya segar-segar. Ibu harus pastikan mereka sudah naik ke kapal, takut ada apa-apa. Komisinya lumayan untuk sekolah adik-adikmu”, ekspresi Ibu sumringah saat menyebut kata “komisi”.
Wahyu memandang Ibunya dengan kelegaan luar biasa. Ibu tak berubah, masih Ibu yang dulu menjaga kehormatan dirinya walaupun tanpa suami. Sekonyong-konyong dia merasa malu sendiri telah berprasangka buruk pada Ibu.
“Masih lama Bu? Ada yang bisa aku bantu?”, tanya Wahyu dengan rasa malu yang setengah mati dia sembunyikan dalam saku.

-selesai-

Terinsipirasi oleh kisah “Bibi” yang menjaga anak-anak kami. Nama tokoh disamarkan.

ditulis untuk event I'm Single But Happy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)