“Sampai
ketemu lagi Bu Lusi. Maafkan jika saya ada kesalahan selama ini ya”, Andre
menjabat erat tanganku. Sama eratnya dengan saat pertama kali dia bergabung di
perusahaan ini, dua tahun yang lalu.
Tenggorokanku
tercekat. Setiap momen perpisahan dengan rekan-rekan kerja yang resign selalu menimbulkan haru,
setidaknya bagiku. Sekalipun hubungan kekariban di antara kami tidak terlalu.
Namun ada hal lain yang membuatku semakin kehilangan kata-kata melihat
kepergian Andre. Dia adalah karyawan keempat, sekaligus Supervisor ketiga di
divisi kami yang mengundurkan diri dalam dua bulan terakhir ini, tepat
menjelang tahun baru.
Itu
yang membuat momen pergantian tahun ini jadi berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya. Kalau biasanya kami menyambut pergantian tahun dengan pembuatan
budget tahunan dan penilaian kinerja para staff, tahun ini kami dihadapkan
dengan hilangnya beberapa nama karyawan dari kotak-kotak struktur organisasi. Mereka
lebih memilih untuk berkarir di perusahaan lain, bahkan tak sedikit di antara
mereka yang pindah ke perusahaan kompetitor.
“Setelah
dia siapa lagi ya?”, batinku saat acara perpisahan Andre sudah usai.
Andre
memang sedikit berbeda dengan karyawan lain yang sudah lebih dulu pergi. Andre
baru bekerja di sini selama dua tahun, dan masih dalam kondisi ikatan dinas. Dia
tahu konsekuensi mengundurkan diri sebelum masa ikatan dinasnya berakhir adalah
harus membayar “denda” yang jumlahnya tidak sedikit. Dan dia adalah karyawan
pertama yang memutuskan untuk memilih membayar daripada terus tinggal.
Aku
membayangkan betapa para Manager kami bagaikan kebakaran jenggot saat beberapa
waktu lalu Andre menyatakan diri untuk keluar. Kebijakan perusahaan untuk
mengikat seseorang dengan membuat sistem “denda” ternyata tidak lantas membuat
orang-orang seperti Andre mau bertahan.
Tapi
Andre tidak salah, sama tidak salahnya dengan perusahaan kompetitor yang
bersedia memberinya gaji dan jabatan yang lebih tinggi. Perusahaan kami lah
yang harusnya instrospeksi. Apa yang salah hingga angka turn over karyawan menjelang pergantian tahun kali ini begitu
tinggi?
Jawabannya
sebenarnya sudah tampak di depan mata. Andre dan rekan-rekan lain yang sudah
lebih dulu hengkang adalah orang-orang yang dikaruniai otak cemerlang. Mereka
dulu masuk di perusahaan ini melalui screening
yang ketat. Aku tahu pasti karena aku pun mengalami tahapan seleksi yang sama. Orang-orang
seperti Andre pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan lain dari “hanya” sekedar gaji.
Mereka butuh jenjang karir yang jelas, apresiasi dan peluang pengembangan diri.
Masalahnya, perusahaan ini, atau lebih tepatnya divisi produksi tempat kami
bekerja, tidak memberikan itu. Iming-iming fasilitas kredit mobil pun tidak
membuat Andre dan yang lainnya mau bertahan. Andre sadar karirnya stuck. Mentok. Notok. Jedok. Tak
ada jenjang karir lagi setelah menjadi Supervisor seperti Andre, aku dan ke-15
orang lainnya, sebab posisi-posisi di bagian puncak struktur organisasi sudah
penuh terisi. Dengan orang-orang muda pula.
“Kamu
nggak ikutan pindah Lus?”, suara David, rekan Supervisor yang seangkatan
denganku membuyarkan lamunanku.
“Belum
kepikiran, aku merasa nyaman-nyaman saja di sini”, jawabku enteng.
“Kamu
tidak jenuh? Sudah berapa tahun kamu berada di posisi ini? Mengerjakan pekerjaan
yang sama dari hari ke hari?”, David bertanya lagi.
“Ya
kadang bosan sih, tapi aku punya cara
ampuh untuk mengatasinya”
“Apa
itu?”
“Dengan
itu”, aku melirik laptop Acer hitam yang kuletakkan bersebelahan dengan
komputerku. Laptop itu barang pribadiku. Berbeda dengan komputer dengan monitor
layar datar dan jaringan intranet yang selama ini kupakai untuk bekerja. David
langsung paham maksudku. Hampir semua orang di kantor ini pun tahu bahwa
menulis adalah kegemaranku. Artikelku sering muncul di majalah bulanan perusahaan
plus beberapa kali dimuat di sebuah majalah religi lokal yang beredar di kantor
kami. Dan tidak sedikit pula dari mereka yang tahu bahwa aku adalah penulis
blog serta kerap menjuarai beberapa kompetisi penulisan. “Kalau tidak menulis,
aku sudah mati bosan dari dulu, Dave”, lanjutku sambil terkekeh.
David
mendengus. “Oke, taruhlah kamu memang sudah berhasil membunuh bosan. Tapi apakah
kamu tidak tahu bahayanya zona nyaman yang tadi kamu bilang?”, tanyanya dan aku
menggeleng. “Comfortable zone can kill
you. Kamu tidak akan bisa berkembang selama kamu masih ada di sini”, lanjut
David.
Bola
mataku membulat mendengar kata-katanya. “Aku tidak mengerti maksudmu. Apa
hubungannya comfortable zone dan
pengembangan diri?”
“Ya
selama kamu masih begini-begini saja. Mengerjakan hal-hal yang itu-itu saja,
ilmu kamu tidak akan bertambah. Ya segitu-segitu terus. Dengan berada di zona
tidak nyaman kamu akan banyak belajar”
“Jadi
maksudmu, teman-teman yang sudah resign
itu semuanya adalah orang-orang yang berani meninggalkan zona nyaman begitu? Lantas
mereka mencari zona tidak nyaman yang akan membuat mereka lebih berkembang dan
lebih pintar begitu?”
David
mengangguk.
Aku
menghempaskan punggungku di sandaran kursi. Kedua tanganku kulipat di ulu hati.
“Kurasa aku tidak sependapat denganmu. Menurutku
bullshit kalau mereka keluar dari
perusahaan ini karena tidak ingin terus menerus ada di zona nyaman”, cetusku.
David
memandangku bingung. “Kok bisa?”
“Kalau
Andre dan kawan-kawan keluar dari sini untuk mengembangkan diri, itu mungkin
benar. Tapi aku yakin tujuan mereka bukan untuk keluar dari zona nyaman. Mereka
keluar justru karena di sini tidak lagi nyaman dan mereka hendak mencari tempat
yang lebih nyaman di luar sana”.
“Oh
ya? Apa yang membuat mereka tidak nyaman di sini?”
“Apresiasi
terhadap prestasi kerja mereka tidak ada. Proyeksi karir ke depan juga tidak
ada. Siapapun yang merasa dirinya berpotensi, tentu tidak mau berada di posisi
yang begini-begini saja sampai masa pensiun tiba”
“Mungkin
mereka merasa di sini kurang ada tantangan”, bantah rekanku.
“Hellow...di sini kurang tantangan apa
coba? We’re in the middle of the battle,
Dave. Kompetitor kita semakin banyak. Bukankah ini justru tantangan yang maha
berat? Buka mata kamu lebar-lebar. Mereka dibayar beberapa kali lipat dibanding
gaji di perusahaan ini. Belum lagi jabatan yang cukup lumayan plus fasilitas
ini itu. Siapa yang tidak tergiur dengan itu semua kalau di perusahaan ini
mereka tidak mendapatkan apresiasi apa-apa untuk sebuah prestasi kerja?”,
ujarku berapi-api.
“Tapi
di luar sana kan belum tentu nyaman Lusi? Sementara di sini mereka sudah dapat
kepastian. Mereka juga sudah tidak perlu adaptasi lagi”
“Tidak
ada satu pun yang pasti di dunia ini, Dave. Roda terus berputar. Persaingan
bisnis terus berjalan. Perusahaan ini sekarang eksis. Raksasa. Besok belum
tentu. Apapun bisa terjadi. Kalau masalah adaptasi, bukankah alam sudah
membekali setiap makhluk hidup, bahkan makhluk hidup bersel satu sekalipun,
dengan kemampuan beradaptasi? Masa manusia tidak bisa? Kurasa adaptasi bukan
masalah bagi orang-orang semacam Andre”
David
terdiam. Agaknya dia mulai terpengaruh argumentasiku.
“Masih
belum percaya kalau sebenarnya kita itu cuma mencari zona nyaman dengan dalih
mencari tantangan?”, tanyaku setengah menggoda. “Sini aku kasih tahu sesuatu”,
bisikku penuh misteri. “Tapi ini rahasia ya. Khusus untuk kamu saja”. Aku
mencondongkan tubuh ke arahnya sementara jari telunjukku memberinya isyarat
untuk mendekat.
David
mengangguk dengan penasaran.
“Minggu
lalu, Manager divisi lain menawariku untuk bergabung dengan timnya”
“Oh
ya? Promosi?”
“Belum.
Tapi di sana masih ada peluang”
“Terus?
Kamu bersedia?”
“Tentu
saja. Setelah aku tahu kalau di divisi itu masih banyak yang harus diperbaiki.
Kupikir aku akan mendapatkan suasana baru, pekerjaan baru, teman baru, ilmu
baru. Yah, semacam pengembangan diri yang kamu maksudkan lah. Jujur tawaran itu
membuatku bersemangat”
“Terus?
Mulai kapan pindahnya?”
“Itu
dia masalahnya”
Kening
David mengernyit bingung.
“Atasan
kita tidak mengijinkan aku pindah. Ya dia beralasan seandainya aku pindah
bagian tapi naik jabatan, dia tidak akan keberatan katanya. Tapi belakangan
baru aku tahu alasan sebenarnya”
“Apa?”
“Karena
cuma aku yang menguasai ini. Mereka takut kewalahan tidak sanggup menjalankan
ini sepeninggal aku”, jawabku sambil mengerling ke arah layar monitor 15 inchi
di hadapanku. David melihat ke arah yang sama dan sontak dia terbahak.
“Ya
kalau yang satu ini memang sudah menyatu sama kamu Lusi. Kamu yang create. Kamu yang develop. Kamu yang maintain.
Kamu juga yang repair. Dia sih sudah
seperti anak kamu sendiri karena tidak ada satu pun di tempat ini yang mengerti
algoritmanya yang njelimet itu”,
komentarnya sambil melihat ke arah software
yang kubuat 5 tahun lalu. “Kalau kamu sampai tidak bisa mutasi atau promosi
gara-gara program yang kamu ciptakan ini, ya berarti itu derita lo Lus...”,
tukas David lagi sambil terkikik geli.
Aku
pun ikut terbahak. “Lihat sendiri kan Dave? Mana ada orang yang suka berada di
zona tidak nyaman? Sudah menjadi fitrahnya manusia untuk mencari kenyamanan.
Kalau tidak, mana ada orang yang lebih memilih masuk surga daripada masuk neraka?”
“Iya
Lus...aku setuju sama kamu”, katanya sambil kembali ke cubicalnya sendiri sambil geleng-geleng kepala.
Aku
kembali menekuni komputerku sambil tersenyum-senyum sendiri. Dulu aku masuk
perusahaan ini saat baru saja lulus kuliah. Aku yang jurusan teknik tentu saja
tidak punya keahlian bahasa pemrograman komputer. Di perusahaan inilah aku mempelajarinya
demi bisa membuat sebuah program yang banyak fungsinya untuk memantau kinerja
dan kualitas produksi. Aku belajar sendiri. Otodidak. Menghabiskan waktu
berjam-jam, berhari-hari di depan layar monitor sampai mataku pedih hingga
program itu selesai dan kulaunching tepat
menjelang pergantian tahun, tujuh tahun yang lalu.
Aku
tak pernah menyangka bahwa program yang selalu dibawa-bawa meeting oleh managerku saat rapat dengan top management ini akan menjadi tali kekang yang membuatku terikat
di divisi yang tak ada peluang pengembangan diri sama sekali.
Tapi
sekarang aku tak terlalu memusingkan kondisi tersebut. Mempelajari bahasa
pemrograman secara otodidak dan menciptakan software
yang masih terus dipakai hingga kini membuat aku memetik beberapa pelajaran
penting.
Pertama,
bahwa pengembangan diri itu tidak selalu harus diberikan orang lain, tidak
selalu harus disodorkan oleh perusahaan. Aku lah yang harus mencari peluang itu
sendiri. Sebab ilmu itu dicari, bukan diberikan.
Kedua,
keterikatanku dengan program yang kulahirkan itu membuktikan bahwa posisiku di
sini dibutuhkan. Aku tidak tergantikan. Bukankah tidak ada yang lebih
membahagiakan selain berada di tempat di mana kita dibutuhkan?
Namun
bohong kalau aku bilang aku tidak pernah bosan. Aku pun pernah dilanda
kejenuhan akut. Tempat kerjaku yang nyaman ini pun kadang menjadi zona tidak
nyaman. Untungnya, zona tidak nyaman itu perlahan mulai terkikis semenjak aku menemukan
dunia baru
Aku punya dunia sendiri yang bisa kujadikan
pelarian dari ketidaknyamanan. Aku punya tulisanku, artikelku, blogku serta
pembacaku yang menawarkan peluang pengembangan diri yang tak terbatas. Menulis
membuatku tak lagi melihat cakrawala, duniaku menjadi luas tak berbatas. Melalui
dunia sastra dan penulisan, aku mengenal orang-orang hebat yang banyak
memberikan inspirasi dan pelajaran.
Dunia
menulis adalah zona yang selalu nyaman. Di dunia ini aku memperoleh apresiasi
sekaligus tantangan. Apresiasi yang tak ternilai kuperoleh dari pembaca yang
mengatakan; “Saya tertolong oleh tulisan Anda” atau “Saya menangis membaca
tulisan Anda”. Tantangan kudapatkan dari order penulisan artikel serta beragam
kompetisi menulis yang selalu ada tiap saat. Dengan menulis, kesempatan untuk
belajar hal baru masih terbentang lebar, walaupun aku masih tetap bekerja di
perusahaan yang sama di posisi dan jabatan yang sama.
Masalahnya
kini bukan lagi mencari zona nyaman atau tidak nyaman, melainkan berhenti atau tidak
berhenti mencari ilmu. Usai pergantian tahun yang sebentar lagi akan menjelang,
mungkin aku akan kembali pada pekerjaan yang itu dan itu lagi. Tapi tak mengapa,
sebab walau pekerjaanku sama, namun yang kukerjakan akan selalu terus berbeda.
Jadi,
silahkan menyebut zonaku sebagai zona nyaman atau zona tidak nyaman, yang jelas
aku tahu bagaimana caranya berkembang.
Either comfortable or uncomfortable zone
I know how to
develop by my own
-selesai-
nyaman nggak nyaman depend on our mindset dan pengambilan keputusan pribadi. jika sudah merasa tidak nyaman sedari awal bolehlah cari yg nyaman. tapi yang nyaman tak selamanya menyenangkan. tapi setidaknya kita tetap "setia" menekuninya dengan hati :)
BalasHapusSedikit melegakan ;)
BalasHapus