Rabu, 20 November 2013

Uncomfortable Zone or Comfortable Zone


“Sampai ketemu lagi Bu Lusi. Maafkan jika saya ada kesalahan selama ini ya”, Andre menjabat erat tanganku. Sama eratnya dengan saat pertama kali dia bergabung di perusahaan ini, dua tahun yang lalu.
Tenggorokanku tercekat. Setiap momen perpisahan dengan rekan-rekan kerja yang resign selalu menimbulkan haru, setidaknya bagiku. Sekalipun hubungan kekariban di antara kami tidak terlalu. Namun ada hal lain yang membuatku semakin kehilangan kata-kata melihat kepergian Andre. Dia adalah karyawan keempat, sekaligus Supervisor ketiga di divisi kami yang mengundurkan diri dalam dua bulan terakhir ini, tepat menjelang tahun baru.
Itu yang membuat momen pergantian tahun ini jadi berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kalau biasanya kami menyambut pergantian tahun dengan pembuatan budget tahunan dan penilaian kinerja para staff, tahun ini kami dihadapkan dengan hilangnya beberapa nama karyawan dari kotak-kotak struktur organisasi. Mereka lebih memilih untuk berkarir di perusahaan lain, bahkan tak sedikit di antara mereka yang pindah ke perusahaan kompetitor.
“Setelah dia siapa lagi ya?”, batinku saat acara perpisahan Andre sudah usai.
Andre memang sedikit berbeda dengan karyawan lain yang sudah lebih dulu pergi. Andre baru bekerja di sini selama dua tahun, dan masih dalam kondisi ikatan dinas. Dia tahu konsekuensi mengundurkan diri sebelum masa ikatan dinasnya berakhir adalah harus membayar “denda” yang jumlahnya tidak sedikit. Dan dia adalah karyawan pertama yang memutuskan untuk memilih membayar daripada terus tinggal.
Aku membayangkan betapa para Manager kami bagaikan kebakaran jenggot saat beberapa waktu lalu Andre menyatakan diri untuk keluar. Kebijakan perusahaan untuk mengikat seseorang dengan membuat sistem “denda” ternyata tidak lantas membuat orang-orang seperti Andre mau bertahan.
Tapi Andre tidak salah, sama tidak salahnya dengan perusahaan kompetitor yang bersedia memberinya gaji dan jabatan yang lebih tinggi. Perusahaan kami lah yang harusnya instrospeksi. Apa yang salah hingga angka turn over karyawan menjelang pergantian tahun kali ini begitu tinggi?
Jawabannya sebenarnya sudah tampak di depan mata. Andre dan rekan-rekan lain yang sudah lebih dulu hengkang adalah orang-orang yang dikaruniai otak cemerlang. Mereka dulu masuk di perusahaan ini melalui screening yang ketat. Aku tahu pasti karena aku pun mengalami tahapan seleksi yang sama. Orang-orang seperti Andre pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan lain dari “hanya” sekedar gaji. Mereka butuh jenjang karir yang jelas, apresiasi dan peluang pengembangan diri. Masalahnya, perusahaan ini, atau lebih tepatnya divisi produksi tempat kami bekerja, tidak memberikan itu. Iming-iming fasilitas kredit mobil pun tidak membuat Andre dan yang lainnya mau bertahan. Andre sadar karirnya stuck. Mentok. Notok. Jedok. Tak ada jenjang karir lagi setelah menjadi Supervisor seperti Andre, aku dan ke-15 orang lainnya, sebab posisi-posisi di bagian puncak struktur organisasi sudah penuh terisi. Dengan orang-orang muda pula.
“Kamu nggak ikutan pindah Lus?”, suara David, rekan Supervisor yang seangkatan denganku membuyarkan lamunanku.
“Belum kepikiran, aku merasa nyaman-nyaman saja di sini”, jawabku enteng.
“Kamu tidak jenuh? Sudah berapa tahun kamu berada di posisi ini? Mengerjakan pekerjaan yang sama dari hari ke hari?”, David bertanya lagi.
“Ya kadang bosan sih, tapi aku punya cara ampuh untuk mengatasinya”
“Apa itu?”
“Dengan itu”, aku melirik laptop Acer hitam yang kuletakkan bersebelahan dengan komputerku. Laptop itu barang pribadiku. Berbeda dengan komputer dengan monitor layar datar dan jaringan intranet yang selama ini kupakai untuk bekerja. David langsung paham maksudku. Hampir semua orang di kantor ini pun tahu bahwa menulis adalah kegemaranku. Artikelku sering muncul di majalah bulanan perusahaan plus beberapa kali dimuat di sebuah majalah religi lokal yang beredar di kantor kami. Dan tidak sedikit pula dari mereka yang tahu bahwa aku adalah penulis blog serta kerap menjuarai beberapa kompetisi penulisan. “Kalau tidak menulis, aku sudah mati bosan dari dulu, Dave”, lanjutku sambil terkekeh.
David mendengus. “Oke, taruhlah kamu memang sudah berhasil membunuh bosan. Tapi apakah kamu tidak tahu bahayanya zona nyaman yang tadi kamu bilang?”, tanyanya dan aku menggeleng. “Comfortable zone can kill you. Kamu tidak akan bisa berkembang selama kamu masih ada di sini”, lanjut David.
Bola mataku membulat mendengar kata-katanya. “Aku tidak mengerti maksudmu. Apa hubungannya comfortable zone dan pengembangan diri?”
“Ya selama kamu masih begini-begini saja. Mengerjakan hal-hal yang itu-itu saja, ilmu kamu tidak akan bertambah. Ya segitu-segitu terus. Dengan berada di zona tidak nyaman kamu akan banyak belajar”
“Jadi maksudmu, teman-teman yang sudah resign itu semuanya adalah orang-orang yang berani meninggalkan zona nyaman begitu? Lantas mereka mencari zona tidak nyaman yang akan membuat mereka lebih berkembang dan lebih pintar begitu?”
David mengangguk.
Aku menghempaskan punggungku di sandaran kursi. Kedua tanganku kulipat di ulu hati. “Kurasa aku tidak sependapat denganmu. Menurutku bullshit kalau mereka keluar dari perusahaan ini karena tidak ingin terus menerus ada di zona nyaman”, cetusku.
David memandangku bingung. “Kok bisa?”
“Kalau Andre dan kawan-kawan keluar dari sini untuk mengembangkan diri, itu mungkin benar. Tapi aku yakin tujuan mereka bukan untuk keluar dari zona nyaman. Mereka keluar justru karena di sini tidak lagi nyaman dan mereka hendak mencari tempat yang lebih nyaman di luar sana”.
“Oh ya? Apa yang membuat mereka tidak nyaman di sini?”
“Apresiasi terhadap prestasi kerja mereka tidak ada. Proyeksi karir ke depan juga tidak ada. Siapapun yang merasa dirinya berpotensi, tentu tidak mau berada di posisi yang begini-begini saja sampai masa pensiun tiba”
“Mungkin mereka merasa di sini kurang ada tantangan”, bantah rekanku.
Hellow...di sini kurang tantangan apa coba? We’re in the middle of the battle, Dave. Kompetitor kita semakin banyak. Bukankah ini justru tantangan yang maha berat? Buka mata kamu lebar-lebar. Mereka dibayar beberapa kali lipat dibanding gaji di perusahaan ini. Belum lagi jabatan yang cukup lumayan plus fasilitas ini itu. Siapa yang tidak tergiur dengan itu semua kalau di perusahaan ini mereka tidak mendapatkan apresiasi apa-apa untuk sebuah prestasi kerja?”, ujarku berapi-api.
“Tapi di luar sana kan belum tentu nyaman Lusi? Sementara di sini mereka sudah dapat kepastian. Mereka juga sudah tidak perlu adaptasi lagi”
“Tidak ada satu pun yang pasti di dunia ini, Dave. Roda terus berputar. Persaingan bisnis terus berjalan. Perusahaan ini sekarang eksis. Raksasa. Besok belum tentu. Apapun bisa terjadi. Kalau masalah adaptasi, bukankah alam sudah membekali setiap makhluk hidup, bahkan makhluk hidup bersel satu sekalipun, dengan kemampuan beradaptasi? Masa manusia tidak bisa? Kurasa adaptasi bukan masalah bagi orang-orang semacam Andre”
David terdiam. Agaknya dia mulai terpengaruh argumentasiku.
“Masih belum percaya kalau sebenarnya kita itu cuma mencari zona nyaman dengan dalih mencari tantangan?”, tanyaku setengah menggoda. “Sini aku kasih tahu sesuatu”, bisikku penuh misteri. “Tapi ini rahasia ya. Khusus untuk kamu saja”. Aku mencondongkan tubuh ke arahnya sementara jari telunjukku memberinya isyarat untuk mendekat.
David mengangguk dengan penasaran.
“Minggu lalu, Manager divisi lain menawariku untuk bergabung dengan timnya”
“Oh ya? Promosi?”
“Belum. Tapi di sana masih ada peluang”
“Terus? Kamu bersedia?”
“Tentu saja. Setelah aku tahu kalau di divisi itu masih banyak yang harus diperbaiki. Kupikir aku akan mendapatkan suasana baru, pekerjaan baru, teman baru, ilmu baru. Yah, semacam pengembangan diri yang kamu maksudkan lah. Jujur tawaran itu membuatku bersemangat”
“Terus? Mulai kapan pindahnya?”
“Itu dia masalahnya”
Kening David mengernyit bingung.
“Atasan kita tidak mengijinkan aku pindah. Ya dia beralasan seandainya aku pindah bagian tapi naik jabatan, dia tidak akan keberatan katanya. Tapi belakangan baru aku tahu alasan sebenarnya”
“Apa?”
“Karena cuma aku yang menguasai ini. Mereka takut kewalahan tidak sanggup menjalankan ini sepeninggal aku”, jawabku sambil mengerling ke arah layar monitor 15 inchi di hadapanku. David melihat ke arah yang sama dan sontak dia terbahak.
“Ya kalau yang satu ini memang sudah menyatu sama kamu Lusi. Kamu yang create. Kamu yang develop. Kamu yang maintain. Kamu juga yang repair. Dia sih sudah seperti anak kamu sendiri karena tidak ada satu pun di tempat ini yang mengerti algoritmanya yang njelimet itu”, komentarnya sambil melihat ke arah software yang kubuat 5 tahun lalu. “Kalau kamu sampai tidak bisa mutasi atau promosi gara-gara program yang kamu ciptakan ini, ya berarti itu derita lo Lus...”, tukas David lagi sambil terkikik geli.
Aku pun ikut terbahak. “Lihat sendiri kan Dave? Mana ada orang yang suka berada di zona tidak nyaman? Sudah menjadi fitrahnya manusia untuk mencari kenyamanan. Kalau tidak, mana ada orang yang lebih memilih masuk surga daripada masuk neraka?”
“Iya Lus...aku setuju sama kamu”, katanya sambil kembali ke cubicalnya sendiri sambil geleng-geleng kepala.
Aku kembali menekuni komputerku sambil tersenyum-senyum sendiri. Dulu aku masuk perusahaan ini saat baru saja lulus kuliah. Aku yang jurusan teknik tentu saja tidak punya keahlian bahasa pemrograman komputer. Di perusahaan inilah aku mempelajarinya demi bisa membuat sebuah program yang banyak fungsinya untuk memantau kinerja dan kualitas produksi. Aku belajar sendiri. Otodidak. Menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari di depan layar monitor sampai mataku pedih hingga program itu selesai dan kulaunching tepat menjelang pergantian tahun, tujuh tahun yang lalu.
Aku tak pernah menyangka bahwa program yang selalu dibawa-bawa meeting oleh managerku saat rapat dengan top management ini akan menjadi tali kekang yang membuatku terikat di divisi yang tak ada peluang pengembangan diri sama sekali.
Tapi sekarang aku tak terlalu memusingkan kondisi tersebut. Mempelajari bahasa pemrograman secara otodidak dan menciptakan software yang masih terus dipakai hingga kini membuat aku memetik beberapa pelajaran penting.
Pertama, bahwa pengembangan diri itu tidak selalu harus diberikan orang lain, tidak selalu harus disodorkan oleh perusahaan. Aku lah yang harus mencari peluang itu sendiri. Sebab ilmu itu dicari, bukan diberikan.
Kedua, keterikatanku dengan program yang kulahirkan itu membuktikan bahwa posisiku di sini dibutuhkan. Aku tidak tergantikan. Bukankah tidak ada yang lebih membahagiakan selain berada di tempat di mana kita dibutuhkan?
Namun bohong kalau aku bilang aku tidak pernah bosan. Aku pun pernah dilanda kejenuhan akut. Tempat kerjaku yang nyaman ini pun kadang menjadi zona tidak nyaman. Untungnya, zona tidak nyaman itu perlahan mulai terkikis semenjak aku menemukan dunia baru
 Aku punya dunia sendiri yang bisa kujadikan pelarian dari ketidaknyamanan. Aku punya tulisanku, artikelku, blogku serta pembacaku yang menawarkan peluang pengembangan diri yang tak terbatas. Menulis membuatku tak lagi melihat cakrawala, duniaku menjadi luas tak berbatas. Melalui dunia sastra dan penulisan, aku mengenal orang-orang hebat yang banyak memberikan inspirasi dan pelajaran.
Dunia menulis adalah zona yang selalu nyaman. Di dunia ini aku memperoleh apresiasi sekaligus tantangan. Apresiasi yang tak ternilai kuperoleh dari pembaca yang mengatakan; “Saya tertolong oleh tulisan Anda” atau “Saya menangis membaca tulisan Anda”. Tantangan kudapatkan dari order penulisan artikel serta beragam kompetisi menulis yang selalu ada tiap saat. Dengan menulis, kesempatan untuk belajar hal baru masih terbentang lebar, walaupun aku masih tetap bekerja di perusahaan yang sama di posisi dan jabatan yang sama.
Masalahnya kini bukan lagi mencari zona nyaman atau tidak nyaman, melainkan berhenti atau tidak berhenti mencari ilmu. Usai pergantian tahun yang sebentar lagi akan menjelang, mungkin aku akan kembali pada pekerjaan yang itu dan itu lagi. Tapi tak mengapa, sebab walau pekerjaanku sama, namun yang kukerjakan akan selalu terus berbeda.
Jadi, silahkan menyebut zonaku sebagai zona nyaman atau zona tidak nyaman, yang jelas aku tahu bagaimana caranya berkembang.

Either comfortable or uncomfortable zone
 I know how to develop by my own

-selesai-

2 komentar:

  1. nyaman nggak nyaman depend on our mindset dan pengambilan keputusan pribadi. jika sudah merasa tidak nyaman sedari awal bolehlah cari yg nyaman. tapi yang nyaman tak selamanya menyenangkan. tapi setidaknya kita tetap "setia" menekuninya dengan hati :)

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)