Selasa, 26 November 2013

Belajar Dari Mbah Wi, Sang Buruh Tani



Adalah Mbah Wi, lelaki sepuh yang tidak tahu kapan tanggal lahirnya ini tinggal di desa kelahiran Bapak saya di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Mbah Wi adalah seorang buruh tani yang upahnya “hanya” Rp 30 ribu per hari. Selain upah tersebut, Mbah Wi masih mendapatkan “fasilitas” lain berupa sarapan, makan siang, kopi dan kue untuk istirahat. Untuk mendapatkan upah dan fasilitas tersebut, Mbah Wi harus bekerja mulai pukul 6 pagi hingga 4 sore. Suatu hari, Bapak saya sengaja menambah upahnya menjadi Rp 35 ribu. Namun Mbah Wi menolak. Dia berkata bahwa upahnya itu Rp 30 ribu, bukan Rp 35 ribu. Bapak saya lantas menjelaskan bahwa uang itu untuk ongkos membeli jamu pegel linu. Mbah Wi akhirnya mau menerima. Hari berikutnya, Bapak saya memberikan lagi upah sebesar Rp 35 ribu. Lagi-lagi Mbah Wi menolak. Dia bilang tidak perlu menambah upahnya tiap hari. Baru setelah Bapak saya bilang bahwa uang itu untuk jaga-jaga seandainya ban sepedanya bocor di jalan, Mbah Wi akhirnya mau menerima.

Mendengar kisah Mbah Wi yang dituturkan Bapak saya membuat saya jadi malu sendiri. Saya teringat ketika di awal tahun ini saya berkeluh kesah karena kenaikan yang saya peroleh tidak sebanyak yang saya harapkan. Padahal dibandingkan dengan “kenaikan gaji” sebesar Rp 5 ribu yang diperoleh Mbah Wi, kenaikan gaji saya puluhan bahkan ratusan kali lipatnya. Tapi tetap saja saya masih merasa kurang dan merasa berhak mendapat lebih.

Seorang buruh tani semacam Mbah Wi, yang hanya mengandalkan tenaga untuk menggarap sawah ladang milik orang lain, sebenarnya berada di level kehidupan yang nyaris menyentuh garis kemiskinan. Tapi kondisi itu tidak lantas menjadikan alasan baginya untuk berbuat tidak jujur. Mbah Wi bisa saja pura-pura menganggap Bapak saya salah memberikan upah dan menerima saja kelebihan upah yang diterimanya. Tapi dia toh tidak melakukannya karena merasa tambahan Rp 5 ribu itu bukanlah haknya. Siapa sangka bahwa di balik penampilannya yang bersahaja, di balik tubuhnya yang kurus dan kulitnya yang keriput, terdapat sebuah hati yang jarang dimiliki orang lain. Sebuah hati yang bebas dari rasa tamak dan serakah akan materi.

Saya malu mendapati alangkah jauh perbedaan antara saya dan Mbah Wi yang polos nan lugu. Kepolosan dan keluguan yang justru menjadi penghambat tumbuhnya bibit ketamakan dan keserakahan dalam dirinya? Sementara saya, yang merasa menjadi orang yang lebih berpendidikan, yang merasa punya derajat yang lebih tinggi dibanding seorang buruh tani, justru kini merasa tak ada apa-apanya. Pipi saya serasa ditampar sekeras-kerasanya ketika saya dihadapkan pada satu kenyataan; ternyata saya orang yang serakah.

Terima kasih atas pelajaran yang sangat berharga ini Mbah Wi. Semoga kesempitan hidup di dunia yang engkau rasakan kini mendapat balasan surga yang maha luas kelak di kehidupan abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)