Adalah Mbah Wi, lelaki sepuh yang tidak tahu kapan tanggal lahirnya ini
tinggal di desa kelahiran Bapak saya di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Mbah Wi
adalah seorang buruh tani yang upahnya “hanya” Rp 30 ribu per hari. Selain upah
tersebut, Mbah Wi masih mendapatkan “fasilitas” lain berupa sarapan, makan
siang, kopi dan kue untuk istirahat. Untuk mendapatkan upah dan fasilitas
tersebut, Mbah Wi harus bekerja mulai pukul 6 pagi hingga 4 sore. Suatu hari,
Bapak saya sengaja menambah upahnya menjadi Rp 35 ribu. Namun Mbah Wi menolak.
Dia berkata bahwa upahnya itu Rp 30 ribu, bukan Rp 35 ribu. Bapak saya lantas
menjelaskan bahwa uang itu untuk ongkos membeli jamu pegel linu. Mbah Wi akhirnya mau menerima. Hari berikutnya, Bapak saya
memberikan lagi upah sebesar Rp 35 ribu. Lagi-lagi Mbah Wi menolak. Dia bilang
tidak perlu menambah upahnya tiap hari. Baru setelah Bapak saya bilang bahwa
uang itu untuk jaga-jaga seandainya ban sepedanya bocor di jalan, Mbah Wi
akhirnya mau menerima.
Mendengar kisah Mbah Wi yang dituturkan Bapak saya membuat saya jadi malu
sendiri. Saya teringat ketika di awal tahun ini saya berkeluh kesah karena
kenaikan yang saya peroleh tidak sebanyak yang saya harapkan. Padahal
dibandingkan dengan “kenaikan gaji” sebesar Rp 5 ribu yang diperoleh Mbah Wi,
kenaikan gaji saya puluhan bahkan ratusan kali lipatnya. Tapi tetap saja saya
masih merasa kurang dan merasa berhak mendapat lebih.
Seorang buruh tani semacam Mbah Wi, yang hanya mengandalkan tenaga untuk
menggarap sawah ladang milik orang lain, sebenarnya berada di level kehidupan
yang nyaris menyentuh garis kemiskinan. Tapi kondisi itu tidak lantas
menjadikan alasan baginya untuk berbuat tidak jujur. Mbah Wi bisa saja
pura-pura menganggap Bapak saya salah memberikan upah dan menerima saja
kelebihan upah yang diterimanya. Tapi dia toh tidak melakukannya karena merasa
tambahan Rp 5 ribu itu bukanlah haknya. Siapa sangka bahwa di balik penampilannya
yang bersahaja, di balik tubuhnya yang kurus dan kulitnya yang keriput,
terdapat sebuah hati yang jarang dimiliki orang lain. Sebuah hati yang bebas
dari rasa tamak dan serakah akan materi.
Saya malu mendapati alangkah jauh perbedaan antara saya dan Mbah Wi yang
polos nan lugu. Kepolosan dan keluguan yang justru menjadi penghambat tumbuhnya
bibit ketamakan dan keserakahan dalam dirinya? Sementara saya, yang merasa
menjadi orang yang lebih berpendidikan, yang merasa punya derajat yang lebih
tinggi dibanding seorang buruh tani, justru kini merasa tak ada apa-apanya.
Pipi saya serasa ditampar sekeras-kerasanya ketika saya dihadapkan pada satu
kenyataan; ternyata saya orang yang serakah.
Terima kasih atas pelajaran yang sangat berharga ini Mbah Wi. Semoga
kesempitan hidup di dunia yang engkau rasakan kini mendapat balasan surga yang
maha luas kelak di kehidupan abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.