Bukan Alia namanya kalau berjalan pelan
bak ratu Solo. Alia yang kukenal, selalu melangkah dengan bergegas seolah di
belakangnya ada ratusan cicak, reptil mungil yang dibencinya setengah mati.
Seperti sore ini, saat dia keluar dari sebuah gedung perkantoran dan berjalan
ke arahku yang setia menunggunya dari tadi.
Lho...tapi...wah ini, Alia tidak hanya
melangkah cepat-cepat, tapi ditambah dengan ekspresi muka berlipat-lipat plus
kerutan di jidat. Dengan penampakan seperti itu, aku bisa menebak apa yang akan
ia lakukan terhadapku selanjutnya. Nah, betul kan, begitu tiba di dekatku,
diraihnya salah satu lenganku dan dihempaskan tubuhnya di atas pangkuanku.
Hffft...untung dia langsing.
“Huh, sebel..!!!!”, gerutunya. Aku hanya
diam.
“Aku kan karyawan baru, Mar. Wajar kan kalau
masih belum ngerti ini itu?”
Hmmm, masalah di kantor baru rupanya.
“Mana aku tahu kalau mereka biasa fotokopi
pakai kertas bolak-balik? Nah, begitu kuserahkan dokumen yang aku fotokopi, marah
lah atasanku. Padahal jumlahnya tidak sampai 30 lembar. Tapi ngomelnya bisa 30
menit lebih. Aku dibilang biang global warming lah, pemicu kiamat lah. Lebay!”,
Alia nyerocos menceritakan penyebab kekesalannya.
Aku masih diam. Tapi Alia tidak akan
memprotes kebisuanku, sebab aku adalah sebuah sedan merk Korea yang sudah
menemaninya sejak kuliah di semester pertama. Waktu itu, di hari yang sama
ketika Alia mendapati namanya tercantum di koran pengumuman hasil ujian masuk
perguruan tinggi negeri, Papi langsung membawanya ke showroom mobil
bekas. Di sanalah Alia memilihku, mobil putih keluaran tahun 2008 yang
belakangan dia beri nama Marijan. Alasannya simpel. Menurutnya aku termasuk
mobil bandel.
Ternyata Alia punya kebiasaan aneh. Saat
sedang menyetir, dia senang sekali mengajakku berbicara, seolah aku adalah
teman curhat. Tentu saja itu dilakukannya saat kami hanya berdua. Well, mungkin
kedengarannya tidak lazim, tapi banyak kok perempuan yang lebih aneh darinya. Contohnya
Kugy, yang menuliskan isi hatinya di sebuah perahu kertas untuk ditujukan pada
Neptunus sang Dewa Laut. Hm, perempuan memang makhluk yang aneh.
“Tapi Mar, meski sikapnya sedingin salju,
dia ganteng banget. Entahlah, sejak ketemu pertama kali waktu wawancara, kok
aku bawaannya berdebar-debar ya kalau ketemu dia?”, pipinya memerah, persis
waktu dia cerita sedang naksir seniornya saat kuliah dulu.
Ooo, jadi ceritanya antara sebel dan
seneng? So, how does he look like? Seperti Will Smith? Atau kaya rapper
Travis Mccoy?
“Dia mirip Trevor Ariza”, katanya seolah bisa
membaca pertanyaanku. Hm, sudah kuduga. Aku hafal benar definisi ganteng
menurutnya, karena aku tahu seperti apa mantan-mantan cowoknya. Alia suka cowok
yang berkulit gelap. Menurutnya, cowok berkulit gelap itu eksotis, manis, nggak
mainstream dan nggak membosankan.
“Uh....tapi
kalau ingat betapa menyebalkannya dia tadi, rasanya pingin resign
sekarang juga. Seandainya nggak ingat Mami”.
Betul, Mami adalah orang yang paling
bersuka cita saat anak bontotnya yang lulus dengan predikat Cum Laude ini mendapat
pekerjaan. Sebab, setelah wisuda, Alia tampaknya lebih sibuk memikirkan Ballet
ketimbang melamar pekerjaan.
Alia dan Ballet memang sudah seperti darah
dan daging. Mami memasukkannya ke sanggar Ballet sejak masih TK. Waktu SMA, dia
sudah mulai jadi asisten pelatih Ballet. Menginjak lulus kuliah, dia sudah
mulai mengajar anak-anak kelas Primary sampai Grade Four. Dia kini sudah
dipanggil Lao Tse (guru, bahasa Cina). Maka dari itu, walau belum
bekerja, Alia tidak lantas menganggur. Selain latihan rutin, setiap Senin
sampai Sabtu sore, dia harus mengajar Ballet dengan honor yang cukup. Cukup
untuk membelikanku bahan bakar atau untuk kongkow-kongkow bersama
teman-temannya tanpa minta-minta lagi sama Mami.
Tapi Mami ingin anak bungsunya ini juga kerja
kantoran seperti Marini dan David, kakak-kakaknya yang sudah mapan jadi eksmud
di bidangnya masing-masing. Harapan Mami itu akhirnya menjadi kenyataan tepat 9
bulan 10 hari setelah Alia mendapat gelar Sarjana Tehnik Informatika. Gadis
yang pernah menerima predikat Honor dari Royal Academy of Dancing di
London itu diterima di sebuah perusahaan IT ternama sebagai Junior Programmer.
“Eh....itu Pak Rico. Itu dia orangnya, Mar”,
katanya ketika seorang pria jangkung terlihat keluar dari arah lobi kantor. Alia
benar, Rico memang mirip Ariza, pemain NBA yang pernah berkarir di Los Angeles
Lakers. Kutaksir usianya sudah 30-an. Penampilannya keren, dengan kemeja
garis-garis lengan panjang yang digulung hingga ke siku. Celana jeans dan sneakers
membuat penampilannya seperti anak kuliahan. Kulitnya sedikit lebih gelap dari sawo
matang. Alisnya tebal dan matanya dalam. Wajahnya yang kelihatannya tidak
tersentuh pisau cukur selama 3 hari membuatnya semakin macho. Hanya saja, seandainya
kedua sudut bibirnya naik beberapa derajat saja, dia pasti terlihat lebih mendingan.
“Lihat sendiri kan? He’s a handsome iceberg”,
ujarnya sambil menyalakan mesin, memasukkan persneling dan menginjak pedal gas
meninggalkan pelataran parkir.
Ngomong-ngomong ini hari Senin, waktunya
Alia melatih Grade One jam 6 sore. Jadi bisa dipastikan kami akan
langsung meluncur ke sanggar Ballet yang terletak di ujung selatan kota
Surabaya. Setibanya di sana, Alia bergegas meraih tas berisi point shoes,
handuk, stocking dan lain-lain di jok belakang sebelum berjalan ke pintu masuk.
Sore ini ada yang tidak biasa. Dari siluet
yang terlihat dari tempat parkir, terlihat Alia tampak setengah meloncat.
Tangannya terbentang sambil berlari-lari kecil ke arah seseorang. Tampaknya
laki-laki. Mereka berjabat tangan dan berbincang agak lama sebelum Alia mulai
melatih murid-muridnya.
Dua jam kemudian, Alia keluar bersama
seorang lelaki berwajah oriental yang belum pernah kulihat sebelumnya. Cara
jalannya kombinasi antara kegemulaian penari dan keatletisan pelari. Usianya
mungkin 8 sampai 10 tahun lebih tua dari Alia. Dia mengenakan kaos berleher V
yang menempel ketat di tubuhnya yang padat. Mereka berdua tampak sangat akrab.
Siapa dia? Ah, mereka berdua memasuki aku. Alia duduk di belakang kemudi.
“Jadi Lao Tse mau diantar ke mana?”, tanya
Alia sambil memasang seat belt.
“Aduh, jangan panggil aku Lao Tse lagi lah”,
sahut lelaki itu.
“Jadi panggil apa dong?”
“Joe aja”
“Kok Joe?”
“Ya daripada Jonathan? Kepanjangan kan?”
“Maksudku kok nggak pakai Bapak, Om atau
Mas sih. Nggak sopan kan?”
Lelaki itu tergelak. “Terserah kamu lah,
Al”
“Koko Joe aja deh”, Alia
memutuskan. Laki-laki itu tersenyum tanda setuju.
“Oh ya, kita mampir makan dulu ya. Aku
yang traktir, hitung-hitung balas budi karena diantar sampai penginapan.
Sekalian melanjutkan pembicaraan yang tadi”, kata Jonathan.
“Setuju, aku juga lapar. Aku tahu warung Mie
Ramen yang enak. Nggak terlalu jauh kok dari sini”, Alia mengangguk sambil
menginjak pedal gas.
Kami mulai meluncur di jalanan Surabaya
yang sudah beranjak malam. Dari obrolan mereka, aku bisa menarik macam-macam
kesimpulan.
Laki-laki itu bernama Jonathan, mantan guru
Ballet Alia. Tiga belas tahun lalu, saat Alia masih di Grade Four, ia
hijrah ke Jakarta mengikuti orang tuanya. Bakatnya terhadap musik dan tari
membuatnya berkesempatan untuk mendalami Ballet di Inggris dan Rusia. Sekarang
dia menetap di Jakarta sebagai koreografer dan penari profesional.
Kedatangannya ke Surabaya ini adalah untuk menggelar sebuah pementasan.
Jonathan telah membuat sebuah koreografi
tarian Ballet yang diadaptasi dari opera Ballet klasik, “Swan Lake”. Tarian Ballet
yang menceritakan seorang putri cantik bernama Odette yang disihir menjadi
seekor angsa putih.
Opera Ballet klasik ini dimodifikasi oleh
Jonathan menjadi sebuah opera Ballet modern. Karakter Odette yang anggun dan
kalem dia rubah menjadi Odette yang genit dan lincah. Seorang rekannya yang
juga conductor orkestra di Jakarta membantunya mengaransemen ulang musik
Swan Lake karya F. Tchaikovsky menjadi lebih pas dengan perubahan karakter
Odette. Musik yang mendayu-dayu itu diubah menjadi lebih riang dan rancak. Bahkan
Jonathan juga tidak memilih tutu klasik ala Ballet, melainkan gaun chiffon
sepanjang lutut untuk kostum putri Odette. Gaun itu dirancang sedemikian hingga
ujung-ujung gaunnya menyerupai bulu angsa. Menurut Jonathan, Swan Lake baru ini
akan menjadi jauh lebih segar.
Tujuan lain dari kedatangannya ke Kota Pahlawan
adalah untuk melibatkan beberapa penari dari sanggar Balletnya di Surabaya dulu
untuk menjadi penari tamu. Sebelumnya, Jonathan sudah menghubungi Pak Edi,
pemilik sanggar tempat Alia bergabung, yang kemudian merekomendasikan Alia
sebagai salah satu penari. Bahkan, peran putri Odette pun dipercayakan padanya.
Alia tentu saja girang dengan penunjukan tersebut, walau awalnya dia merasa tak
percaya diri juga.
“Ko Joe yakin aku bisa menarikan peran
itu? Selama ini aku cuma kenal Odette versi klasik. Aku nggak yakin bisa
menarikan Ballet modern dalam waktu sesingkat ini”.
“Kamu pasti bisa, cuma memang perlu kerja
keras. Apalagi sekarang kamu sudah jadi karyawan juga kan? Pertunjukan ini
masih enam bulan lagi kok. Sebelum itu kamu dipastikan perlu berlatih tiap
hari. Pak Edi juga sudah setuju untuk melepas tanggung jawabmu sebagai guru Ballet
hingga pementasan usai. Oh, kita sudah sampai ya? Nanti aku terangkan sambil
makan. Aku tunjukkan juga beberapa foto dan video agar kamu dapat gambaran”.
Mereka berdua tampak larut dalam perbincangan serius sembari menyantap Mie
Ramen.
Obrolan
mereka masih terus berlanjut ketika Alia mengantar Jonathan pulang. “Ko Joe, bagaimana
kalau jam kerjaku nggak bisa dikompromi?”, tanya Alia ketika mereka sampai.
“Maka itu aku bilang kamu harus benar-benar
jaga stamina. Kalaupun jam kerjamu sampai molor, aku akan tetap menunggumu
untuk latihan. Aku percaya kamu pasti bisa kok”, jawab Jonathan optimis.
Alia tersenyum ragu. Antusiasme dan
kegelisahan berbaur dalam dirinya, karena sebentar lagi dia akan menginjakkan
kaki di dunia baru. Dunia Ballet modern, jenis tarian yang sama sekali lain
dengan Ballet klasik yang selama ini ia geluti.
---
Sebagai teman Alia yang paling setia, aku
tahu pasti bagaimana tingginya aktivitas Alia di minggu-minggu berikutnya. Pagi
sampai sore dia harus bekerja di kantor atau kadangkala di perusahaan customer
untuk mengerjakan programming di sana. Lalu malamnya dia akan berlatih bersama
Jonathan dan kawan-kawan.
Seiring berjalannya waktu, jadwal latihan
semakin ketat dan penugasan dari kantor pun semakin padat. Seringkali dia harus
bekerja hingga lepas Maghrib, yang berarti jadwal latihan Ballet dan jadwal
istirahatnya pun mundur. Namun bukan Alia namanya jika tidak punya stamina
prima. Capek mungkin iya, tapi sakit tidak. Belum pernah aku melihat manusia
sesehat Alia. Mungkin itu karena fisiknya sudah terlatih belasan tahun di
lantai sanggar Ballet.
Untungnya hubungan dengan sang atasan juga
tampaknya mulai membaik. Terbukti dengan nyaris tak terdengar lagi
cerita-cerita miring tentang Rico. Sebaliknya, Alia mulai menunjukkan
ketertarikan pada atasannya yang hitam manis itu. Dia sering memuji bahwa
atasannya itu ternyata orang yang smart. Rico adalah seorang pecinta
lingkungan dan penggiat gerakan mengurangi efek gas rumah kaca. Dia lebih
sering ke kantor dengan bersepeda ketimbang mengendarai Ford Fiesta putihnya.
Dia juga lebih memilih membawa botol minum yang bisa dicuci daripada membeli
air minum botol kemasan.
Aku sering melihat pipi Alia merona saat
bercerita tentang Rico. Namun dari ceritanya, Alia kelihatan kecewa karena Rico
tidak memberikan perhatian lebih dari sekedar seorang atasan kepada staffnya.
Sikap Rico masih saja dingin dan cuek, bicara hanya seperlunya, itu pun tak
jauh-jauh seputar pekerjaan.
---
Dua minggu menjelang pementasan. Sore ini
aku melihat Alia berjalan dengan muram. “Braaak...!!!”, dibantingnya pintuku
dengan keras dan dihempaskan tubuhnya kuat-kuat di jok. Wajahnya ditundukkan di
setirku. Dia tersedu-sedu.
Kenapa dia? Jangan-jangan gara-gara si Trevor “gunung es”
Ariza lagi.
“Pak Rico tahu aku berlatih Ballet tiap
hari. Nggak tahu dia tahu dari mana. Terus dia menjadikan itu sebagai alasan
kenapa pekerjaanku belakangan ini tak kunjung beres. Padahal problem customer
kami memang kompleks, Mar. Dia sendiri juga belum bisa menemukan solusinya kok”,
Alia bercerita di sela isaknya.
“Bahkan dia menyuruhku untuk memilih; Ballet
atau perusahaan ini. Itu kan sama saja dengan menyuruh aku resign kalau
aku masih ngotot menari Ballet. Padahal selama ini rasanya kepala sudah
kujadikan kaki dan kaki kujadikan kepala untuk mendukung semua project-projectnya.
Demi dia, Mar!”.
Alia memang punya alasan kuat untuk sakit
hati. Aku tahu seperti apa dedikasinya pada perusahaan ini. Pada atasannya.
Pada Rico. Alia memang tak henti-henti memikirkan pekerjaannya karena dia kerap
bergumam tentang istilah-istilah IT yang tidak kumengerti. Dari dulu, Alia memang
memiliki totalitas penuh dalam hal mengemban tanggung jawab.
Ponsel Alia berdering saat dia masih
terisak; “Halo Ko Joe? Iya, aku sudah selesai. Nggg...boleh nggak sehari ini aku
ijin nggak latihan? Nggak, aku nggak sakit kok. Nggak, aku nggak kenapa-napa.
Sungguh...”, tapi jelas dari suaranya Alia tidak bisa menahan tangis.
Jeda agak panjang. Di ujung sana, Jonathan
membiarkan Alia terisak sampai puas. “Apa? Boleh? Makasih ya. Eh? Sebagai
gantinya harus mau cerita kenapa aku menangis? Nggg...iya deh. Kita ketemuan
sebentar lagi ya. Bye”.
Sejam kemudian, mereka berdua sudah berada
di pinggir pantai. Keduanya bersandar di bemper depanku, menghadap ke arah
jembatan Suramadu yang tampak megah di malam hari.
Jonathan hanya diam sambil memandang Alia
yang menceritakan kejadian tadi sore. Sementara aku memperhatikan cara Jonathan
memandangnya. Dan coba tebak, ada hal yang kusadari tapi tampaknya tak disadari
Alia. Pandangan mata Jonathan itu. Taruhan 100 liter bensin non subsidi, itu
bukan hanya pandangan prihatin mendengar cerita penarinya. Itu pandangan yang
sama dengan pandangan cowok-cowok yang di kemudian hari menyatakan cintanya
pada Alia.
“Tinggalkan perusahaan itu. Terus pindah ke
Jakarta. Sama aku. Di sana peluang jadi penari lebih terbuka dibanding di
sini”, kata Jonathan tiba-tiba, usai Alia bercerita.
Alia terhenyak tak percaya.
“Kamu penari berbakat, Al. Jangan
sia-siakan itu demi perusahaan yang tidak mau memberimu ruang untuk
mengembangkan bakat senimu. Apa kamu tidak ingin menjadi penari di
panggung-panggung dunia?”.
Ingin. Aku tahu pasti Alia ingin sekali. Manjadi
ballerina adalah impiannya sejak dulu. Tapi, ini Surabaya. Seumur-umur, dia
tidak pernah berpisah dari kota kelahirannya. Dia memang mencintai Ballet, tapi
dia juga mencintai Mami, Papi, Marini, David, murid-muridnya, dan juga –
mungkin- Rico.
“Bagaimana, Al?”
“Aku bicarakan dulu dengan Papi dan Mami
ya Ko”, jawab Alia. Jonathan mengangguk maklum.
“Aku sangat berharap kamu bersedia, Al”,
katanya sambil memandang Alia lekat-lekat. Aku bertanya-tanya apakah Alia
menyadari arti pandangan mantan pelatihnya itu. Tapi sepertinya tidak. Karena
tampaknya ia sibuk memikirkan tawaran Jonathan dan ultimatum Rico.
Malam itu, Alia pulang tanpa banyak
bicara. Pikirannya sibuk dengan berbagai hal. Dia sadar keputusannya nanti akan
berdampak besar pada masa depannya.
Keesokan hari, Alia duduk di pangkuanku
sambil menghela napas panjang. Bayangan hitam setengah lingkaran membayang di
bawah matanya yang lebar.
“Papi dan Mami bilang aku sudah cukup
dewasa untuk memutuskan segalanya. Dalam hal ini, mereka bilang akan mendukung
apapun keputusanku asalkan aku mantap menjalaninya”. Alia terdiam sebentar dan
mendesah.
“Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan
datang dua kali. Tapi kenapa ya Mar, kok aku berat sekali untuk pergi dari kota
ini?”. Alia kemudian mengendaraiku dengan diam hingga kantornya. Setibanya di
tempat parkir, ia tidak langsung keluar. Dia diam saja dan merenung lama sekali
hingga dilihatnya Rico dengan sepedanya melintas sambil melirik kami. Lagi-lagi
dengan pandangan mata setajam duri.
Alia menghembuskan napas. “Kalau lihat dia,
rasanya aku tahu harus bagaimana”, ujarnya lalu masuk ke dalam kantor dengan
langkah lemas tak bergairah.
---
Sore harinya, Alia kembali menghempaskan
tubuhnya di pangkuanku. “Aku sudah sampaikan ke Pak Rico, Mar. Aku akan
mengundurkan diri”.
“Dia tidak marah. Malah kelihatannya, dia
tak menyangka aku akan mengambil keputusan itu. Dia cuma minta aku untuk resign
bulan depan, karena dia masih butuh aku untuk satu project lagi”.
Mendengar kata-katanya, entah mengapa aku
sendiri tiba-tiba merasa sepi. Sebab sebentar lagi, tampaknya aku tidak bisa
lagi menceritakan kisah Ballerina yang manis ini.
---
Malam pementasan tiba. Mobil-mobil calon
penonton mulai berdatangan. Tiba-tiba aku mengenali salah satunya, Ford Fiesta
putih milik Rico. Benar saja, tak lama kulihat lelaki yang telah mencuri hati
Alia itu melintas sambil melirikku. Apa yang dilakukannya di sini? Pertanyaanku
itu tentu saja tak ada yang menjawab.
Pukul 10 malam. Lewat satu jam seusai
pertunjukan, Alia dan Jonathan keluar dari gedung pertunjukan. Beberapa
rangkaian bunga tampak di genggaman mereka. Wajah keduanya sumringah.
“Alia, you’re great tonight. Odette-mu
akan menjadi legenda dalam sejarah pertunjukan Ballet”, puji Jonathan sambil
mengecup pipi Alia. Alia tampak kaget dan sedapat mungkin berusaha
menyembunyikan kejengahannya. Mereka tak tahu jika ada sepasang mata yang juga
terlihat kaget melihat adegan tersebut. Tak ada seorang pun yang tahu kecuali
aku, jika Rico memperhatikan mereka berdua dari kejauhan dan gelap malam.
“Terima kasih Ko. Itu karena koreografinya
yang hebat”, jawab Alia merendah.
“Nggg...soal ke Jakarta, kamu nggak
berubah pikiran kan?”, tanya Jonathan yang dijawab dengan gelengan dan senyum
tipis Alia sebelum duduk di pangkuanku.
Sambil memanasi mesinku, Alia membuka smartphone-nya.
Wajah letihnya tampak bahagia, membaca SMS, BBM dan email yang masuk.
“Dari Aril, Maria, Albert, Lily, semuanya
mengucapkan selamat karena pentasku sukses. Eh, email dari Pak Rico?”, Alia
terdiam sejenak sebelum kemudian meneruskan membaca.
“You’re amazing tonight. Tadinya
aku datang ke pementasanmu, berharap melihat kamu menari dengan buruk supaya
bisa menjadi alasan untuk mencegahmu agar tidak pergi. Tapi aku tak pernah
menyangka kamu sehebat itu di atas panggung. Jadi aku tak mungkin memintamu
untuk berubah pikiran walaupun sebenarnya aku ingin. Aku menyesal saat itu
membuatmu memilih, Ballet atau pekerjaan. Waktu itu aku tidak berpikir jernih
karena dikuasai rasa cemburu pada laki-laki yang selalu kelihatan bersamamu saat
kamu sedang latihan. Maafkan aku, selama ini aku beberapa kali mengikuti kamu. Tahukah
kamu kenapa aku melakukan itu? Ah, tapi kalaupun kamu tahu, kurasa itu sudah
terlambat. Aku hanya berharap sisa dua minggu ini bisa kita gunakan untuk
memperbaiki hubungan kita. Setidaknya aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk
dalam benakmu ketika kamu pergi nanti”. Alia tak sanggup meneruskan membaca dan
mulai terisak. Dia tak menyangka, Rico yang selama ini bersikap dingin padanya
ternyata cemburu pada Jonathan.
“What should I do, Mar?”, tanyanya
yang lagi-lagi hanya kujawab dengan membisu. Aku mengerti bagaimana bimbangnya
Alia sekarang. Dia kini berada di antara dua tebing sama tinggi dan bingung
hendak mendaki yang mana. Di puncak tebing yang satu terdapat panggung
pementasan bertabur cahaya yang selama ini selalu didambakannya. Sementara di
puncak tebing yang satunya lagi ada seseorang yang selama ini seringkali hadir
dalam bunga tidurnya.
Sepertinya malam ini lagi-lagi Alia tidak
akan bisa tidur. Padahal ini hari Minggu, dan besok dia harus kembali bekerja.
---
Keesokan harinya, Alia sudah bersiap lebih
pagi. Melihat raut wajahnya, kuperkirakan dia hanya tidur 1 atau 2 jam saja.
Tapi ada yang berbeda, dia tidak banyak bicara dan lebih banyak terlihat
berpikir selama mengendaraiku ke kantor.
Namun sorenya seusai bekerja, Alia yang
tidak bisa menyembunyikan gurat keletihan di wajahnya terlihat lebih ceria. Dia
sama sekali tidak berkata apa-apa padaku. Alih-alih berceloteh seperti biasa, dia
malah asyik bersenandung. Lagu-lagu macam Could It Be-nya Raisa, Lucky-nya
Jason Mraz, juga Aku Dan Dirimu-nya Bunga Citra Lestari tak henti-hentinya dia
nyanyikan. Perilaku Alia yang tidak biasa ini membuatku kehilangan bahan cerita.
Esoknya lebih aneh lagi. Biasanya Alia
sudah memanasi mesinku pagi-pagi. Kali ini tidak. Ada apa ya? Apakah dia tidak
ke kantor? Sebentar kemudian barulah aku tahu. Ford Fiesta putih yang muncul di
depan rumah itulah jawabannya.
“Sori Mar. Hari ini kamu istirahat dulu di
rumah ya. Aku dijemput Pak Rico. See you”, bisik Alia sambil memastikan
bedaknya sudah rata melalui kaca spionku. Senyum manisnya mengembang.
“Al...!”, terdengar suara Mami memanggil.
“Kamu sudah kasih tahu Jonathan belum kalau nggak jadi ke Jakarta?”, tanya
Mami.
“Belum Mi, hari ini aku kasih tahu. Bye,
Mami!”, jawabnya sambil melambai.
Aku dua ribu persen yakin, ada hal penting
yang sudah terjadi antara Alia dan Rico. Sayang aku tak bisa menceritakannya
karena Alia juga bungkam. Namun apapun itu, Alia jelas telah rela melupakan
mimpinya menjadi Ballerina yang menari di panggung dunia.
Aku tak tahu apa penyebabnya, tapi apa
lagi alasan yang paling memungkinkan bagi seorang perempuan sehingga ia mau
mengesampingkan cita-citanya? Kurasa hanya ada satu jawaban sederhana,
sesederhana sebuah rumah mungil dengan pekarangan hijau serta anak-anak yang
asyik berlarian. Impian itu memang tidak sespektakuler sebuah standing
applaus usai pentas di panggung yang bertabur cahaya, tapi itu adalah impian
paripurna hampir semua perempuan di jagad raya.
Alia telah memilih dan aku yakin dia yakin
dengan pilihannya. Sebab tak ada rona bimbang dan ragu di wajahnya seperti saat
beberapa minggu lalu memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya ini.
Ah, seandainya saja aku bisa seperti rekan
sejawatku yang beruntung jadi bintang Hollywood; Herbie dan McQueen, mungkin
aku sudah mengedip-ngedipkan lampuku, mengepakkan spionku dan mengibaskan wiperku.
Tanda kegirangan karena kemungkinan besar, aku masih akan terus bisa
menceritakan kisah sang Ballerina
-selesai-
Beautiful story...GOOD JOB Bun !!! Terus raih impianmu dengan cerita yang lebih mengharu biru menderu dan menyayat hati hiks...hiks... ^-^. Eh, btw kapan nulis cerita sad ending favoritku...ditunggu ya.
BalasHapus