Sabtu, 16 November 2013

Marijan dan Sang Ballerina




Bukan Alia namanya kalau berjalan pelan bak ratu Solo. Alia yang kukenal, selalu melangkah dengan bergegas seolah di belakangnya ada ratusan cicak, reptil mungil yang dibencinya setengah mati. Seperti sore ini, saat dia keluar dari sebuah gedung perkantoran dan berjalan ke arahku yang setia menunggunya dari tadi.
Lho...tapi...wah ini, Alia tidak hanya melangkah cepat-cepat, tapi ditambah dengan ekspresi muka berlipat-lipat plus kerutan di jidat. Dengan penampakan seperti itu, aku bisa menebak apa yang akan ia lakukan terhadapku selanjutnya. Nah, betul kan, begitu tiba di dekatku, diraihnya salah satu lenganku dan dihempaskan tubuhnya di atas pangkuanku. Hffft...untung dia langsing.
“Huh, sebel..!!!!”, gerutunya. Aku hanya diam.
“Aku kan karyawan baru, Mar. Wajar kan kalau masih belum ngerti ini itu?”
Hmmm, masalah di kantor baru rupanya.
“Mana aku tahu kalau mereka biasa fotokopi pakai kertas bolak-balik? Nah, begitu kuserahkan dokumen yang aku fotokopi, marah lah atasanku. Padahal jumlahnya tidak sampai 30 lembar. Tapi ngomelnya bisa 30 menit lebih. Aku dibilang biang global warming lah, pemicu kiamat lah. Lebay!”, Alia nyerocos menceritakan penyebab kekesalannya.
Aku masih diam. Tapi Alia tidak akan memprotes kebisuanku, sebab aku adalah sebuah sedan merk Korea yang sudah menemaninya sejak kuliah di semester pertama. Waktu itu, di hari yang sama ketika Alia mendapati namanya tercantum di koran pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi negeri, Papi langsung membawanya ke showroom mobil bekas. Di sanalah Alia memilihku, mobil putih keluaran tahun 2008 yang belakangan dia beri nama Marijan. Alasannya simpel. Menurutnya aku termasuk mobil bandel.
Ternyata Alia punya kebiasaan aneh. Saat sedang menyetir, dia senang sekali mengajakku berbicara, seolah aku adalah teman curhat. Tentu saja itu dilakukannya saat kami hanya berdua. Well, mungkin kedengarannya tidak lazim, tapi banyak kok perempuan yang lebih aneh darinya. Contohnya Kugy, yang menuliskan isi hatinya di sebuah perahu kertas untuk ditujukan pada Neptunus sang Dewa Laut. Hm, perempuan memang makhluk yang aneh.
“Tapi Mar, meski sikapnya sedingin salju, dia ganteng banget. Entahlah, sejak ketemu pertama kali waktu wawancara, kok aku bawaannya berdebar-debar ya kalau ketemu dia?”, pipinya memerah, persis waktu dia cerita sedang naksir seniornya saat kuliah dulu.
Ooo, jadi ceritanya antara sebel dan seneng? So, how does he look like? Seperti Will Smith? Atau kaya rapper Travis Mccoy?
“Dia mirip Trevor Ariza”, katanya seolah bisa membaca pertanyaanku. Hm, sudah kuduga. Aku hafal benar definisi ganteng menurutnya, karena aku tahu seperti apa mantan-mantan cowoknya. Alia suka cowok yang berkulit gelap. Menurutnya, cowok berkulit gelap itu eksotis, manis, nggak mainstream dan nggak membosankan.
 “Uh....tapi kalau ingat betapa menyebalkannya dia tadi, rasanya pingin resign sekarang juga. Seandainya nggak ingat Mami”.
Betul, Mami adalah orang yang paling bersuka cita saat anak bontotnya yang lulus dengan predikat Cum Laude ini mendapat pekerjaan. Sebab, setelah wisuda, Alia tampaknya lebih sibuk memikirkan Ballet ketimbang melamar pekerjaan.
Alia dan Ballet memang sudah seperti darah dan daging. Mami memasukkannya ke sanggar Ballet sejak masih TK. Waktu SMA, dia sudah mulai jadi asisten pelatih Ballet. Menginjak lulus kuliah, dia sudah mulai mengajar anak-anak kelas Primary sampai Grade Four. Dia kini sudah dipanggil Lao Tse (guru, bahasa Cina). Maka dari itu, walau belum bekerja, Alia tidak lantas menganggur. Selain latihan rutin, setiap Senin sampai Sabtu sore, dia harus mengajar Ballet dengan honor yang cukup. Cukup untuk membelikanku bahan bakar atau untuk kongkow-kongkow bersama teman-temannya tanpa minta-minta lagi sama Mami.
Tapi Mami ingin anak bungsunya ini juga kerja kantoran seperti Marini dan David, kakak-kakaknya yang sudah mapan jadi eksmud di bidangnya masing-masing. Harapan Mami itu akhirnya menjadi kenyataan tepat 9 bulan 10 hari setelah Alia mendapat gelar Sarjana Tehnik Informatika. Gadis yang pernah menerima predikat Honor dari Royal Academy of Dancing di London itu diterima di sebuah perusahaan IT ternama sebagai Junior Programmer.
“Eh....itu Pak Rico. Itu dia orangnya, Mar”, katanya ketika seorang pria jangkung terlihat keluar dari arah lobi kantor. Alia benar, Rico memang mirip Ariza, pemain NBA yang pernah berkarir di Los Angeles Lakers. Kutaksir usianya sudah 30-an. Penampilannya keren, dengan kemeja garis-garis lengan panjang yang digulung hingga ke siku. Celana jeans dan sneakers membuat penampilannya seperti anak kuliahan. Kulitnya sedikit lebih gelap dari sawo matang. Alisnya tebal dan matanya dalam. Wajahnya yang kelihatannya tidak tersentuh pisau cukur selama 3 hari membuatnya semakin macho. Hanya saja, seandainya kedua sudut bibirnya naik beberapa derajat saja, dia pasti terlihat lebih mendingan.
“Lihat sendiri kan? He’s a handsome iceberg”, ujarnya sambil menyalakan mesin, memasukkan persneling dan menginjak pedal gas meninggalkan pelataran parkir.
Ngomong-ngomong ini hari Senin, waktunya Alia melatih Grade One jam 6 sore. Jadi bisa dipastikan kami akan langsung meluncur ke sanggar Ballet yang terletak di ujung selatan kota Surabaya. Setibanya di sana, Alia bergegas meraih tas berisi point shoes, handuk, stocking dan lain-lain di jok belakang sebelum berjalan ke pintu masuk.
Sore ini ada yang tidak biasa. Dari siluet yang terlihat dari tempat parkir, terlihat Alia tampak setengah meloncat. Tangannya terbentang sambil berlari-lari kecil ke arah seseorang. Tampaknya laki-laki. Mereka berjabat tangan dan berbincang agak lama sebelum Alia mulai melatih murid-muridnya.
Dua jam kemudian, Alia keluar bersama seorang lelaki berwajah oriental yang belum pernah kulihat sebelumnya. Cara jalannya kombinasi antara kegemulaian penari dan keatletisan pelari. Usianya mungkin 8 sampai 10 tahun lebih tua dari Alia. Dia mengenakan kaos berleher V yang menempel ketat di tubuhnya yang padat. Mereka berdua tampak sangat akrab. Siapa dia? Ah, mereka berdua memasuki aku. Alia duduk di belakang kemudi.
“Jadi Lao Tse mau diantar ke mana?”, tanya Alia sambil memasang seat belt.
“Aduh, jangan panggil aku Lao Tse lagi lah”, sahut lelaki itu.
“Jadi panggil apa dong?”
“Joe aja”
“Kok Joe?”
“Ya daripada Jonathan? Kepanjangan kan?”
“Maksudku kok nggak pakai Bapak, Om atau Mas sih. Nggak sopan kan?”
Lelaki itu tergelak. “Terserah kamu lah, Al”
“Koko Joe aja deh”, Alia memutuskan. Laki-laki itu tersenyum tanda setuju.
“Oh ya, kita mampir makan dulu ya. Aku yang traktir, hitung-hitung balas budi karena diantar sampai penginapan. Sekalian melanjutkan pembicaraan yang tadi”, kata Jonathan.
“Setuju, aku juga lapar. Aku tahu warung Mie Ramen yang enak. Nggak terlalu jauh kok dari sini”, Alia mengangguk sambil menginjak pedal gas.
Kami mulai meluncur di jalanan Surabaya yang sudah beranjak malam. Dari obrolan mereka, aku bisa menarik macam-macam kesimpulan.
Laki-laki itu bernama Jonathan, mantan guru Ballet Alia. Tiga belas tahun lalu, saat Alia masih di Grade Four, ia hijrah ke Jakarta mengikuti orang tuanya. Bakatnya terhadap musik dan tari membuatnya berkesempatan untuk mendalami Ballet di Inggris dan Rusia. Sekarang dia menetap di Jakarta sebagai koreografer dan penari profesional. Kedatangannya ke Surabaya ini adalah untuk menggelar sebuah pementasan.
Jonathan telah membuat sebuah koreografi tarian Ballet yang diadaptasi dari opera Ballet klasik, “Swan Lake”. Tarian Ballet yang menceritakan seorang putri cantik bernama Odette yang disihir menjadi seekor angsa putih.
Opera Ballet klasik ini dimodifikasi oleh Jonathan menjadi sebuah opera Ballet modern. Karakter Odette yang anggun dan kalem dia rubah menjadi Odette yang genit dan lincah. Seorang rekannya yang juga conductor orkestra di Jakarta membantunya mengaransemen ulang musik Swan Lake karya F. Tchaikovsky menjadi lebih pas dengan perubahan karakter Odette. Musik yang mendayu-dayu itu diubah menjadi lebih riang dan rancak. Bahkan Jonathan juga tidak memilih tutu klasik ala Ballet, melainkan gaun chiffon sepanjang lutut untuk kostum putri Odette. Gaun itu dirancang sedemikian hingga ujung-ujung gaunnya menyerupai bulu angsa. Menurut Jonathan, Swan Lake baru ini akan menjadi jauh lebih segar.
Tujuan lain dari kedatangannya ke Kota Pahlawan adalah untuk melibatkan beberapa penari dari sanggar Balletnya di Surabaya dulu untuk menjadi penari tamu. Sebelumnya, Jonathan sudah menghubungi Pak Edi, pemilik sanggar tempat Alia bergabung, yang kemudian merekomendasikan Alia sebagai salah satu penari. Bahkan, peran putri Odette pun dipercayakan padanya. Alia tentu saja girang dengan penunjukan tersebut, walau awalnya dia merasa tak percaya diri juga.
“Ko Joe yakin aku bisa menarikan peran itu? Selama ini aku cuma kenal Odette versi klasik. Aku nggak yakin bisa menarikan Ballet modern dalam waktu sesingkat ini”.
“Kamu pasti bisa, cuma memang perlu kerja keras. Apalagi sekarang kamu sudah jadi karyawan juga kan? Pertunjukan ini masih enam bulan lagi kok. Sebelum itu kamu dipastikan perlu berlatih tiap hari. Pak Edi juga sudah setuju untuk melepas tanggung jawabmu sebagai guru Ballet hingga pementasan usai. Oh, kita sudah sampai ya? Nanti aku terangkan sambil makan. Aku tunjukkan juga beberapa foto dan video agar kamu dapat gambaran”. Mereka berdua tampak larut dalam perbincangan serius sembari menyantap Mie Ramen.
 Obrolan mereka masih terus berlanjut ketika Alia mengantar Jonathan pulang. “Ko Joe, bagaimana kalau jam kerjaku nggak bisa dikompromi?”, tanya Alia ketika mereka sampai.
“Maka itu aku bilang kamu harus benar-benar jaga stamina. Kalaupun jam kerjamu sampai molor, aku akan tetap menunggumu untuk latihan. Aku percaya kamu pasti bisa kok”, jawab Jonathan optimis.
Alia tersenyum ragu. Antusiasme dan kegelisahan berbaur dalam dirinya, karena sebentar lagi dia akan menginjakkan kaki di dunia baru. Dunia Ballet modern, jenis tarian yang sama sekali lain dengan Ballet klasik yang selama ini ia geluti.
---
Sebagai teman Alia yang paling setia, aku tahu pasti bagaimana tingginya aktivitas Alia di minggu-minggu berikutnya. Pagi sampai sore dia harus bekerja di kantor atau kadangkala di perusahaan customer untuk mengerjakan programming di sana. Lalu malamnya dia akan berlatih bersama Jonathan dan kawan-kawan.
Seiring berjalannya waktu, jadwal latihan semakin ketat dan penugasan dari kantor pun semakin padat. Seringkali dia harus bekerja hingga lepas Maghrib, yang berarti jadwal latihan Ballet dan jadwal istirahatnya pun mundur. Namun bukan Alia namanya jika tidak punya stamina prima. Capek mungkin iya, tapi sakit tidak. Belum pernah aku melihat manusia sesehat Alia. Mungkin itu karena fisiknya sudah terlatih belasan tahun di lantai sanggar Ballet.
Untungnya hubungan dengan sang atasan juga tampaknya mulai membaik. Terbukti dengan nyaris tak terdengar lagi cerita-cerita miring tentang Rico. Sebaliknya, Alia mulai menunjukkan ketertarikan pada atasannya yang hitam manis itu. Dia sering memuji bahwa atasannya itu ternyata orang yang smart. Rico adalah seorang pecinta lingkungan dan penggiat gerakan mengurangi efek gas rumah kaca. Dia lebih sering ke kantor dengan bersepeda ketimbang mengendarai Ford Fiesta putihnya. Dia juga lebih memilih membawa botol minum yang bisa dicuci daripada membeli air minum botol kemasan.
Aku sering melihat pipi Alia merona saat bercerita tentang Rico. Namun dari ceritanya, Alia kelihatan kecewa karena Rico tidak memberikan perhatian lebih dari sekedar seorang atasan kepada staffnya. Sikap Rico masih saja dingin dan cuek, bicara hanya seperlunya, itu pun tak jauh-jauh seputar pekerjaan.
---
Dua minggu menjelang pementasan. Sore ini aku melihat Alia berjalan dengan muram. “Braaak...!!!”, dibantingnya pintuku dengan keras dan dihempaskan tubuhnya kuat-kuat di jok. Wajahnya ditundukkan di setirku. Dia tersedu-sedu.
Kenapa dia?  Jangan-jangan gara-gara si Trevor “gunung es” Ariza lagi.
“Pak Rico tahu aku berlatih Ballet tiap hari. Nggak tahu dia tahu dari mana. Terus dia menjadikan itu sebagai alasan kenapa pekerjaanku belakangan ini tak kunjung beres. Padahal problem customer kami memang kompleks, Mar. Dia sendiri juga belum bisa menemukan solusinya kok”, Alia bercerita di sela isaknya.
“Bahkan dia menyuruhku untuk memilih; Ballet atau perusahaan ini. Itu kan sama saja dengan menyuruh aku resign kalau aku masih ngotot menari Ballet. Padahal selama ini rasanya kepala sudah kujadikan kaki dan kaki kujadikan kepala untuk mendukung semua project-projectnya. Demi dia, Mar!”.
Alia memang punya alasan kuat untuk sakit hati. Aku tahu seperti apa dedikasinya pada perusahaan ini. Pada atasannya. Pada Rico. Alia memang tak henti-henti memikirkan pekerjaannya karena dia kerap bergumam tentang istilah-istilah IT yang tidak kumengerti. Dari dulu, Alia memang memiliki totalitas penuh dalam hal mengemban tanggung jawab.
Ponsel Alia berdering saat dia masih terisak; “Halo Ko Joe? Iya, aku sudah selesai. Nggg...boleh nggak sehari ini aku ijin nggak latihan? Nggak, aku nggak sakit kok. Nggak, aku nggak kenapa-napa. Sungguh...”, tapi jelas dari suaranya Alia tidak bisa menahan tangis.
Jeda agak panjang. Di ujung sana, Jonathan membiarkan Alia terisak sampai puas. “Apa? Boleh? Makasih ya. Eh? Sebagai gantinya harus mau cerita kenapa aku menangis? Nggg...iya deh. Kita ketemuan sebentar lagi ya. Bye”.
Sejam kemudian, mereka berdua sudah berada di pinggir pantai. Keduanya bersandar di bemper depanku, menghadap ke arah jembatan Suramadu yang tampak megah di malam hari.
Jonathan hanya diam sambil memandang Alia yang menceritakan kejadian tadi sore. Sementara aku memperhatikan cara Jonathan memandangnya. Dan coba tebak, ada hal yang kusadari tapi tampaknya tak disadari Alia. Pandangan mata Jonathan itu. Taruhan 100 liter bensin non subsidi, itu bukan hanya pandangan prihatin mendengar cerita penarinya. Itu pandangan yang sama dengan pandangan cowok-cowok yang di kemudian hari menyatakan cintanya pada Alia.
“Tinggalkan perusahaan itu. Terus pindah ke Jakarta. Sama aku. Di sana peluang jadi penari lebih terbuka dibanding di sini”, kata Jonathan tiba-tiba, usai Alia bercerita.
Alia terhenyak tak percaya.
“Kamu penari berbakat, Al. Jangan sia-siakan itu demi perusahaan yang tidak mau memberimu ruang untuk mengembangkan bakat senimu. Apa kamu tidak ingin menjadi penari di panggung-panggung dunia?”.
Ingin. Aku tahu pasti Alia ingin sekali. Manjadi ballerina adalah impiannya sejak dulu. Tapi, ini Surabaya. Seumur-umur, dia tidak pernah berpisah dari kota kelahirannya. Dia memang mencintai Ballet, tapi dia juga mencintai Mami, Papi, Marini, David, murid-muridnya, dan juga – mungkin- Rico.
“Bagaimana, Al?”
“Aku bicarakan dulu dengan Papi dan Mami ya Ko”, jawab Alia. Jonathan mengangguk maklum.
“Aku sangat berharap kamu bersedia, Al”, katanya sambil memandang Alia lekat-lekat. Aku bertanya-tanya apakah Alia menyadari arti pandangan mantan pelatihnya itu. Tapi sepertinya tidak. Karena tampaknya ia sibuk memikirkan tawaran Jonathan dan ultimatum Rico.
Malam itu, Alia pulang tanpa banyak bicara. Pikirannya sibuk dengan berbagai hal. Dia sadar keputusannya nanti akan berdampak besar pada masa depannya.
Keesokan hari, Alia duduk di pangkuanku sambil menghela napas panjang. Bayangan hitam setengah lingkaran membayang di bawah matanya yang lebar.
“Papi dan Mami bilang aku sudah cukup dewasa untuk memutuskan segalanya. Dalam hal ini, mereka bilang akan mendukung apapun keputusanku asalkan aku mantap menjalaninya”. Alia terdiam sebentar dan mendesah.
“Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dua kali. Tapi kenapa ya Mar, kok aku berat sekali untuk pergi dari kota ini?”. Alia kemudian mengendaraiku dengan diam hingga kantornya. Setibanya di tempat parkir, ia tidak langsung keluar. Dia diam saja dan merenung lama sekali hingga dilihatnya Rico dengan sepedanya melintas sambil melirik kami. Lagi-lagi dengan pandangan mata setajam duri.
Alia menghembuskan napas. “Kalau lihat dia, rasanya aku tahu harus bagaimana”, ujarnya lalu masuk ke dalam kantor dengan langkah lemas tak bergairah.
---
Sore harinya, Alia kembali menghempaskan tubuhnya di pangkuanku. “Aku sudah sampaikan ke Pak Rico, Mar. Aku akan mengundurkan diri”.
“Dia tidak marah. Malah kelihatannya, dia tak menyangka aku akan mengambil keputusan itu. Dia cuma minta aku untuk resign bulan depan, karena dia masih butuh aku untuk satu project lagi”.
Mendengar kata-katanya, entah mengapa aku sendiri tiba-tiba merasa sepi. Sebab sebentar lagi, tampaknya aku tidak bisa lagi menceritakan kisah Ballerina yang manis ini.
---
Malam pementasan tiba. Mobil-mobil calon penonton mulai berdatangan. Tiba-tiba aku mengenali salah satunya, Ford Fiesta putih milik Rico. Benar saja, tak lama kulihat lelaki yang telah mencuri hati Alia itu melintas sambil melirikku. Apa yang dilakukannya di sini? Pertanyaanku itu tentu saja tak ada yang menjawab.
Pukul 10 malam. Lewat satu jam seusai pertunjukan, Alia dan Jonathan keluar dari gedung pertunjukan. Beberapa rangkaian bunga tampak di genggaman mereka. Wajah keduanya sumringah.
“Alia, you’re great tonight. Odette-mu akan menjadi legenda dalam sejarah pertunjukan Ballet”, puji Jonathan sambil mengecup pipi Alia. Alia tampak kaget dan sedapat mungkin berusaha menyembunyikan kejengahannya. Mereka tak tahu jika ada sepasang mata yang juga terlihat kaget melihat adegan tersebut. Tak ada seorang pun yang tahu kecuali aku, jika Rico memperhatikan mereka berdua dari kejauhan dan gelap malam.
“Terima kasih Ko. Itu karena koreografinya yang hebat”, jawab Alia merendah.
“Nggg...soal ke Jakarta, kamu nggak berubah pikiran kan?”, tanya Jonathan yang dijawab dengan gelengan dan senyum tipis Alia sebelum duduk di pangkuanku.
Sambil memanasi mesinku, Alia membuka smartphone-nya. Wajah letihnya tampak bahagia, membaca SMS, BBM dan email yang masuk.
“Dari Aril, Maria, Albert, Lily, semuanya mengucapkan selamat karena pentasku sukses. Eh, email dari Pak Rico?”, Alia terdiam sejenak sebelum kemudian meneruskan membaca.
You’re amazing tonight. Tadinya aku datang ke pementasanmu, berharap melihat kamu menari dengan buruk supaya bisa menjadi alasan untuk mencegahmu agar tidak pergi. Tapi aku tak pernah menyangka kamu sehebat itu di atas panggung. Jadi aku tak mungkin memintamu untuk berubah pikiran walaupun sebenarnya aku ingin. Aku menyesal saat itu membuatmu memilih, Ballet atau pekerjaan. Waktu itu aku tidak berpikir jernih karena dikuasai rasa cemburu pada laki-laki yang selalu kelihatan bersamamu saat kamu sedang latihan. Maafkan aku, selama ini aku beberapa kali mengikuti kamu. Tahukah kamu kenapa aku melakukan itu? Ah, tapi kalaupun kamu tahu, kurasa itu sudah terlambat. Aku hanya berharap sisa dua minggu ini bisa kita gunakan untuk memperbaiki hubungan kita. Setidaknya aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk dalam benakmu ketika kamu pergi nanti”. Alia tak sanggup meneruskan membaca dan mulai terisak. Dia tak menyangka, Rico yang selama ini bersikap dingin padanya ternyata cemburu pada Jonathan.
What should I do, Mar?”, tanyanya yang lagi-lagi hanya kujawab dengan membisu. Aku mengerti bagaimana bimbangnya Alia sekarang. Dia kini berada di antara dua tebing sama tinggi dan bingung hendak mendaki yang mana. Di puncak tebing yang satu terdapat panggung pementasan bertabur cahaya yang selama ini selalu didambakannya. Sementara di puncak tebing yang satunya lagi ada seseorang yang selama ini seringkali hadir dalam bunga tidurnya.
Sepertinya malam ini lagi-lagi Alia tidak akan bisa tidur. Padahal ini hari Minggu, dan besok dia harus kembali bekerja.
---
Keesokan harinya, Alia sudah bersiap lebih pagi. Melihat raut wajahnya, kuperkirakan dia hanya tidur 1 atau 2 jam saja. Tapi ada yang berbeda, dia tidak banyak bicara dan lebih banyak terlihat berpikir selama mengendaraiku ke kantor.
Namun sorenya seusai bekerja, Alia yang tidak bisa menyembunyikan gurat keletihan di wajahnya terlihat lebih ceria. Dia sama sekali tidak berkata apa-apa padaku. Alih-alih berceloteh seperti biasa, dia malah asyik bersenandung. Lagu-lagu macam Could It Be-nya Raisa, Lucky-nya Jason Mraz, juga Aku Dan Dirimu-nya Bunga Citra Lestari tak henti-hentinya dia nyanyikan. Perilaku Alia yang tidak biasa ini membuatku kehilangan bahan cerita.
Esoknya lebih aneh lagi. Biasanya Alia sudah memanasi mesinku pagi-pagi. Kali ini tidak. Ada apa ya? Apakah dia tidak ke kantor? Sebentar kemudian barulah aku tahu. Ford Fiesta putih yang muncul di depan rumah itulah jawabannya.
“Sori Mar. Hari ini kamu istirahat dulu di rumah ya. Aku dijemput Pak Rico. See you”, bisik Alia sambil memastikan bedaknya sudah rata melalui kaca spionku. Senyum manisnya mengembang.
“Al...!”, terdengar suara Mami memanggil. “Kamu sudah kasih tahu Jonathan belum kalau nggak jadi ke Jakarta?”, tanya Mami.
“Belum Mi, hari ini aku kasih tahu. Bye, Mami!”, jawabnya sambil melambai.
Aku dua ribu persen yakin, ada hal penting yang sudah terjadi antara Alia dan Rico. Sayang aku tak bisa menceritakannya karena Alia juga bungkam. Namun apapun itu, Alia jelas telah rela melupakan mimpinya menjadi Ballerina yang menari di panggung dunia.
Aku tak tahu apa penyebabnya, tapi apa lagi alasan yang paling memungkinkan bagi seorang perempuan sehingga ia mau mengesampingkan cita-citanya? Kurasa hanya ada satu jawaban sederhana, sesederhana sebuah rumah mungil dengan pekarangan hijau serta anak-anak yang asyik berlarian. Impian itu memang tidak sespektakuler sebuah standing applaus usai pentas di panggung yang bertabur cahaya, tapi itu adalah impian paripurna hampir semua perempuan di jagad raya.
Alia telah memilih dan aku yakin dia yakin dengan pilihannya. Sebab tak ada rona bimbang dan ragu di wajahnya seperti saat beberapa minggu lalu memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya ini.
Ah, seandainya saja aku bisa seperti rekan sejawatku yang beruntung jadi bintang Hollywood; Herbie dan McQueen, mungkin aku sudah mengedip-ngedipkan lampuku, mengepakkan spionku dan mengibaskan wiperku. Tanda kegirangan karena kemungkinan besar, aku masih akan terus bisa menceritakan kisah sang Ballerina

-selesai-

1 komentar:

  1. Beautiful story...GOOD JOB Bun !!! Terus raih impianmu dengan cerita yang lebih mengharu biru menderu dan menyayat hati hiks...hiks... ^-^. Eh, btw kapan nulis cerita sad ending favoritku...ditunggu ya.

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)