Jumat, 29 November 2013

Nektar Manggar



Pagi masih baru. Matahari masih malu-malu. Pun begitu, geliat makhluk hidup mulai tampak di Desa Manggarwangi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Jam segini, asap tipis sudah terlihat membumbung dari dalam gubuk kayu berlantai tanah yang berdiri di perkebunan kelapa, tempatku berada saat ini.
Di gubuk yang keempat tiang penyangganya sudah doyong itu, tampak seorang perempuan setengah baya sedang sibuk bekerja di sebuah pawon[1]. Dua wajan super jumbo dan sebuah panci lain yang lebih kecil bertengger di atas tungku yang menghitam berselaput jelaga. Tumpukan kayu bakar di sebelahnya menanti tangan-tangan keriput sang perempuan untuk mengubah mereka menjadi bara.
Perempuan itu bernama Mak Ijah. Suaminya, Lek Wiji, sudah sejak selepas Subuh tadi berangkat menderes[2]. Beberapa saat lagi ia akan pulang sambil membawa jerigen-jerigen plastik berisi nira yang disadapnya dari bunga kelapa. Cairan manis hasil menoreh batang bunga kelapa itu akan disaringnya menggunakan kain bekas sebelum dituangkan dalam wajan besar yang sudah disiapkan istrinya. Pasangan suami istri ini lantas akan merebus cairan nira tersebut selama 5 sampai 6 jam hingga mengental dan mencetaknya dengan batok-batok kelapa menjadi gula jawa.
Berani taruhan, nanti kaus tipis yang saat ini dikenakan Mak Ijah akan ia tanggalkan begitu matahari mulai meninggi. Mak Ijah akan menunggui tungkunya dengan mengenakan beha. Wajar, aku saja tak akan betah duduk berlama-lama di depan tungku panas sambil mengaduk cairan yang kian lama kian berat karena kenaikan derajat viskositas[3]. Tapi Mak Ijah melakukan itu tiap hari. Demi bisa menghasilkan beberapa kilo gula jawa yang dijualnya pada tengkulak untuk menyambung hidup ala kadarnya.
Mak Ijah melihatku berjalan menuju ke arah kebun kelapa.
“Gus...!!! Mrene Le![4]”, panggilnya.
Dalem Mak[5]”, aku menghampirinya.
Kowe durung sarapan to? Kuwi lo ono ketan anget[6]”, ujarnya. Aku tersenyum melihat sepiring ketan yang ditaburi parutan kelapa. Hanya sepiring. Sepagi ini aku yakin Mak Ijah pasti belum sarapan. Sesuatu yang sedang direbusnya dalam panci kecil itu pun tampaknya belum matang. Jadi mana tega aku menerima tawarannya?
Matur nuwun Mak, menika kagem panjenangan kemawon. Dalem badhe nyusul Lek Wiji[7]”, jawabku sambil menunjuk ke arah kebun.
Mak Ijah hanya mengangguk dan tersenyum kecil, kemudian kembali sibuk dengan kayu-kayu bakarnya. Aku pun melangkah semakin jauh ke dalam kebun untuk mencari Lek Wiji..
Dari kejauhan kulihat sosok yang kucari. Aku pun menambah kecepatan langkahku untuk mengejarnya. Dengan tubuhnya yang kecil, pria yang berusia tak kurang dari 60 tahun itu melangkah ringan seperti seekor menjangan. Aku sampai kewalahan, padahal dia berjalan sambil membawa beban.
Bahu kanannya memanggul sebatang bambu yang di kedua ujungnya terdapat jerigen plastik berukuran 15 liter. Sementara di bahu kiri, dia menenteng beberapa kaleng cat bekas yang direnteng dengan tali. Di pinggangnya, terikat sebuah wadah plastik berisi larutan kapur yang nanti akan ia tempatkan dalam kaleng penampung nira. Tanpa larutan kapur tersebut, nira akan cepat asam dan memicu terjadinya fermentasi. Fermentasi juga lah yang menjadi alasan bagi para penderes untuk segera memasak nira yang sudah disadap. Karena jika terlambat, nira tidak akan bisa direbus menjadi gula dan akan menghasilkan gula gemblung[8]. Bagi para pengrajin gula jawa seperti Mak Ijah dan Lek Wiji, gula gemblung adalah momok, karena harga jualnya akan anjlok.
Aku yakin Lek Wiji juga menyelipkan sebuah pisau atau parang di sekitar pinggang, sebab dia pasti membutuhkan pisau tersebut untuk mengikat manggar-manggar (bunga kelapa). Juga untuk membuat sayatan baru pada batang manggar agar nektar bening nan manis bisa menetes ke dalam kaleng bekas yang ia tempatkan tepat di bawahnya.
Aku terkesima melihat Lek Wiji yang dengan lincah memanjat pohon kelapa seperti seekor monyet. Ah, bahkan mungkin monyet pun kalah pintar. Aku membayangkan alangkah girangnya Charles Darwin melihat Lek Wiji, yang bisa dia jadikan bukti bahwa manusia memang berasal dari golongan kera. Tapi Darwin harus tahu bahwa Lek Wiji sudah mulai memanjat pohon kelapa sejak sebelum disunat. Dan dia melakukan itu terus sepanjang hidupnya, dua kali sehari, pagi dan sore.
Pohon kelapa yang dipanjat Lek Wiji tingginya rata-rata 15 meter. Aku tak bisa melihat apa yang dilakukannya di atas sana karena tertutup daun-daun kelapa. Akhirnya aku melihat Lek Wiji mulai turun. Gerakannya masih selincah saat dia naik, tapi kecepatannya sedikit berkurang. Karena kini ada tambahan beban di punggungnya berupa beberapa liter cairan nektar yang kami sebut nira.
Begitu kakinya menjejak tanah, tanganku langsung terulur ke arah kaleng bekas itu agar bebannya segera berkurang. Wajah keriputnya tampak menyiratkan terima kasih. Melihat pria sepuh ini, tiba-tiba aku jadi teringat Bapakku.
Jika Bapak masih hidup, mungkin usianya sebaya dengan Lek Wiji. Jalan hidup keduanya juga sama, yakni menggantungkan hidup dari membuat gula jawa. Adapun jalan hidupku mungkin juga akan sama seperti mereka seandainya tidak ada keluarga Mas Bayu.
Mas Bayu adalah kakak angkatku, dialah penyebab aku kembali ke desa ini. Mas Bayu dan keluarganya adalah satu-satunya pengikat antara aku dan Manggarwangi, sebab saudara-saudara kandung dari Bapak Ibuku sudah tidak ada yang tinggal di sini. Kebanyakan mereka pindah ke kota lain untuk mengubah nasib, tidak lagi menjadi penderes. Wajar, karena menjadi penderes adalah profesi yang sama sekali tidak menjanjikan.
Keluargaku sebenarnya sudah menjadi penderes secara turun temurun. Dulu aku kerap membantu Bapak membawa kaleng-kaleng dan jerigen tiap kali beliau menderes di sore hari. Sambil menderes, Bapak sering mendongeng tentang kisah Ki Gono Gito, seorang penderes yang mengikuti titah Sunan Kalijaga untuk bertapa. Ceritanya, Kanjeng Sunan lupa akan perintahnya dan malah membakar padang ilalang tempat penderes tersebut bersemedi. Saat api berkobar, barulah Sang Sunan tersadar dan menghampiri Ki Gono Gito untuk membangunkannya dari semedi. Alangkah terharu Sunan Kalijaga begitu mengetahui kesetiaan Ki Gono Gito yang tidak beranjak dari tempat semedi demi memenuhi perintah Sunan. Akhirnya, selain memberikan nama baru, yakni Sunan Geseng pada sang penderes, Sunan juga memberinya hadiah berupa 6 tangkup emas berbentuk gula kelapa sebagai simbol rukun Iman dalam agama Islam. Bapak kemudian menutup ceritanya dengan nasehat agar jangan sampai melupakan tradisi memasak gula jawa, yang dianggapnya sangat penting sampai-sampai Kanjeng Sunan memilihnya sebagai simbol Rukun Iman.
Namun kisah Sang Sunan dan nasehat Bapak itu akhirnya kulupakan. Saat aku kelas 3 SD, Bapak meninggal karena jatuh dari pohon kelapa. Ibu yang sangat terpukul menyusul tak lama kemudian. Aku pun sama terpukulnya dan ingin rasanya menghapus kata “gula jawa” atau “nira kelapa” dari kepalaku.
Ternyata, menjadi yatim piatu membuat hidupku berubah haluan. Aku diangkat anak oleh keluarga Pak Lurah, yakni ayah Mas Bayu. Aku disekolahkan hingga lulus SMA dan berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota Malang. Aku pun memulai hidup baru di perantauan sebagai mahasiswa jurusan pertanian.
Begitu lulus, aku langsung diterima kerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di pengolahan produk susu. Aku hijrah ke Surabaya dan menetap di sana.
Enam tahun sudah aku berkarir di perusahaan dairy[9] tersebut dengan jabatan yang mentereng serta gaji yang melebihi angan-angan. Aku hidup bergelimang kemewahan yang dari kecil tak pernah kudapatkan. Aku sangat menikmati kehidupan modern ala ibukota hingga tak terpikir sama sekali untuk kembali ke Manggarwangi.
Namun beberapa waktu lalu, Mas Bayu tiba-tiba muncul di depan pintu apartemenku.
“Pulanglah ke Manggarwangi, Gus. Aku butuh kamu”, pintanya. Entah mengapa, di telingaku suaranya tidak seperti orang memohon,  melainkan memberi instruksi. Mungkin karena dari dulu aku sangat segan pada kakak angkatku ini.
Mas Bayu sendiri sebenarnya juga jebolan universitas ternama di Yogyakarta. Dia sempat bekerja beberapa tahun di sebuah perusahaan fabrikasi dan memutuskan untuk mengundurkan diri. Waktu itu dia bilang akan membantu Bapak karena beliau sudah mulai sepuh dan sering sakit. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, hanya Mas Bayu lah harapan Bapak untuk bisa melanjutkan pengolahan sawah dan ternak sapi milik keluarga.
“Apa yang bisa kubantu Mas? Jika aku berhenti bekerja, aku akan kehilangan pendapatan dan tidak bisa membantu apa-apa”, jawabku tak mengerti
“Bukan uangmu yang kubutuhkan Gus. Tapi inimu”, ujarnya sambil menunjuk pelipisnya sendiri. “Aku tahu hidupmu sudah sangat mapan di sini. Masa depanmu cerah. Tapi tidakkah kamu ingin melakukan sesuatu untuk tanah kelahiranmu?”
“Iya, tapi apa Mas? Tanpa uang, aku tidak akan bisa berkontribusi apa-apa untuk Manggarwangi”, ulangku. Selama ini aku memang sering menitipkan uang melalui Mas Bayu untuk Masjid, sekolah, keluarga Mak Ijah dan lain-lain di Manggarwangi.
“Aku kan sudah bilang ini bukan soal uang. Ya oke, mungkin aku juga akan membutuhkan uangmu jika ternyata uang simpananku kurang. Tapi ini soal menyingsingkan lengan baju untuk meningkatkan kehidupan para penderes”, jawabnya. Aku mengernyit bingung dan Mas Bayu melanjutkan. “Sekarang ini hidup mereka murni dikendalikan para tengkulak. Kasihan mereka. Biaya hidup semakin tinggi, hutang semakin menumpuk sedangkan mereka sama sekali tak punya posisi tawar untuk menjual gula jawa yang mereka hasilkan. Mereka tidak punya pilihan dan aku ingin menciptakan itu pada mereka. Sebuah pilihan”.
Mendengar kata-katanya, aku jadi ingat apa yang membuatku segan pada kakak angkatku ini. Dia memang dari dulu seperti itu. Selalu berpandangan luas dan tidak pernah mementingkan diri sendiri. Hatinya luar biasa lembut dan mudah tersentuh, terutama jika melihat kaum papa yang tak berdaya. Seandainya dia perempuan, dia mungkin pantas dijuluki Ibu Peri.
“Caranya Mas?”, tanyaku.
“Begini, rencanaku ini mungkin tidak sespektakuler membangun jembatan Suramadu atau jalan tol Blitar-Surabaya. Tapi aku ingin sedikit saja membantu sebagian keluarga penderes di desa kita agar memperoleh  penghasilan yang lebih baik. Bisa minta tolong ambilkan kertas dan pensil?”, Mas Bayu lantas membeberkan rencananya.
Dia ingin membangun sebuah pabrik gula mini di desa kami. Pabrik itu nantinya bukan untuk membuat gula cetak, melainkan untuk memproduksi gula cair.  Sasaran pasarnya adalah kalangan menengah atas yang mulai sadar akan bahaya sindrom metabolik[10]. Dengan indeks glikemik[11] gula kelapa yang rendah, dia optimis sirup ini nantinya akan digemari mereka yang terkena atau ingin mencegah diabetes.
Bahan baku gula cair ini tentu saja nira segar yang dibeli langsung dari para penderes. Menurutnya, para penderes akan mendapatkan keuntungan lebih besar dengan menjual nira segar daripada menjual gula jawa pada tengkulak.
“Kalau gula cair ini berhasil memperoleh pasar, maka para penderes –walaupun mungkin tidak semuanya - bisa mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Coba lihat ini, Gus. Taruhlah mereka memiliki 60 liter nira. Jika mereka menjualnya pada kita, mereka akan mendapat 2200 rupiah per liter. Tapi jika 60 liter itu mereka buat menjadi gula jawa, mereka akan mendapatkan paling banyak 10 kg gula dengan harga 8000 rupiah per kilo. Itu pun mereka masih harus memasaknya selama 6 jam. Kalau dihitung-hitung, pendapatan mereka bisa meningkat 50% dengan menjual nira segar pada kita”. Mas Bayu menjelaskan padaku sambil mencoret-coret kertas.
Aku memandang dalam-dalam mata kakak angkatku itu. Tampak kesungguhan dan ketulusan di sana. Dia memang benar memikirkan nasib ratusan pengrajin gula kelapa di daerah kelahiranku. Terlihat dari betapa seriusnya dia memikirkan keuntungan yang diperoleh penderes ketimbang memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Sejurus kemudian aku merasa malu, kenapa pemikiran seperti itu muncul dari orang seperti mas Bayu, yang dari kecil hidup berkecukupan sebagai putra Lurah sekaligus pemilik lahan pertanian dan peternakan yang tidak bisa dibilang kecil. Sementara aku, yang sejak makan masih disuapi tahu betul bagaimana susahnya hidup sebagai pengrajin gula jawa, kini malah enak-enakan menikmati hidup mewah di kota.
“Lantas, aku bisa melakukan apa Mas?”, tanyaku untuk yang kesekian kali.
“Aku butuh orang yang bisa mengelola sumber daya Gus, termasuk berkoordinasi dengan kelompok penderes. Kamu kenal baik dengan penduduk Manggarwangi. Demikian juga sebaliknya. Kamu akan mudah bekerja sama dengan mereka untuk menyediakan nira segar. Dan satu lagi, kamu punya jam terbang untuk memimpin dan mengelola sebuah pabrik pengolahan susu. Jadi aku yakin kamu pasti paham benar prosedur produksi yang sesuai dengan standard keamanan pangan”.
Aku berpikir keras. Mungkin mas Bayu melihat semburat keraguan di wajahku.
“Kamu bukannya mengkhawatirkan soal uang kan? Kamu tidak kuatir jatuh miskin karena kehilangan jabatanmu kan?”, tanyanya hati-hati.
Aku menggeleng cepat.
“Kamu punya pacar di sini?”, tanyanya lagi.
“Oh...nggak mas, belum”, jawabku cepat. “Aku cuma kuatir tidak bisa memenuhi harapan Mas”.
Mas Bayu tersenyum. “Kamu pikir aku tidak takut, Gus? Aku pun tidak percaya diri. Aku juga takut gagal. Tapi aku tidak akan pernah tahu jika tidak mencoba. Dan untuk mencoba itulah, aku butuh kamu”.
Aku menghela napas dan meminta waktu 1-2 bulan untuk mengurus pengunduran diriku.
Akhirnya, di sinilah aku sekarang. Tempat kerjaku berubah dari kantor ber-AC dan kursi empuk, menjadi kebun kelapa yang panas dan lembab. Dan pagi ini aku sengaja berniat membantu Lek Wiji menderes, untuk memudahkan proses adaptasi dengan tanah kelahiranku ini sekaligus mengamati hal-hal penting yang perlu kuperhatikan untuk penyediaan nira yang berkualitas.
“Mas Agus!!! Mas...!!!”, aku mendengar suara orang memanggil dari kejauhan. Aku sudah bisa menduga siapa pemilik suara itu.
“Hoiii, di sini Dek Na!”, aku melambai. Seorang gadis bertubuh mungil berjalan tertatih-tatih menghampiriku. Kerudungnya yang dibelitkan di leher sedikit melorot hingga anak-anak rambut di dahinya kelihatan. Senyumnya mengembang menghasilkan dua lesung pipit di pipinya yang kemerahan. Tangan kanannya menggenggam sebuah kamera digital. Sementara tangan satunya lagi menggenggam kruk yang dikempitnya di bawah ketiak. Kruk itu untuk mengganti peran kaki kirinya yang mengecil karena polio.
“Kok ditinggal sih Mas? Kemarin katanya mau ke sini sama-sama”, protesnya, tapi masih dengan senyum tersungging.
“Maaf...maaf...tadi aku lihat kamarmu masih gelap. Kukira masih tidur. Aku takut terlambat mengejar Lek Wiji. Ini saja tadi sudah nyaris ketinggalan”, jelasku.
“Aku sudah bangun dari sebelum Subuh. Mas Agus yang bangunnya lama. Mungkin tadi aku sedang di kamar mandi waktu Mas Agus berangkat”.
“Iya...maaf...maaf. Aku tadi memang agak kesiangan”, kataku sambil menuangkan isi kaleng ke dalam jerigen plastik. Lek Wiji sudah memanjat lagi di pohon sebelah.
Gadis itu, Ratna namanya, menungguku hingga selesai menuangkan seluruh isi kaleng. “Eh Mas, coba lihat ini”, dia menunjukkan display kamera digitalnya. Foto Mak Ijah pagi ini yang sedang bekerja dengan tungku kayunya. Pemandangan yang tampak di foto ini tampak sungguh menyentuh.
“Bikin dada sesak ya Dek”, komentarku sambil memandangi hasil bidikan Ratna. Sebuah potret kemiskinan para pengrajin gula jawa di bagian bumi yang dikaruniai potensi kelapa berlimpah ruah.
Ya, Manggarwangi adalah salah satu sentra perkebunan kelapa di pulau Jawa. Siapapun tahu bahwa pohon nan jangkung ini memiliki banyak manfaat. Malah mungkin tidak ada satu bagian pun dari dirinya yang tidak bisa digunakan. Dari sebuah pohon bernama latin Cocos nucifera ini bisa dihasilkan bahan makanan, minyak kelapa, minuman segar, gula, bahan bangunan sampai karbon aktif. Namun sayang, itu tidak membuat masyarakatnya lantas terhindar dari himpitan kemiskinan. Yang dibidik oleh lensa kamera Ratna hanyalah satu contoh dari ratusan bahkan ribuan penderes nira yang nasibnya tak jauh berbeda.
Ratna sendiri adalah adik kandung Mas Bayu. Dia masih berusia lima tahun saat aku pertama kali menjadi anggota keluarga mereka. Jaraknya dengan Mas Bayu memang cukup jauh karena bu Lurah sempat beberapa kali mengalami keguguran.
Ratna adalah anak yang lincah dan pintar. Sayangnya, karena polio yang dideritanya sejak kecil, dia memilih untuk tinggal di rumah selepas SMA. Tapi walau demikian, kesibukan seorang Ratna sungguh luar biasa. Dia membuka perpustakaan mini di rumah dan menjadi guru untuk anak-anak yang datang ke sana. Macam-macam yang diajarkannya; mulai dari mengaji, Matematika, Bahasa Inggris dan Sains. Dia juga piawai dalam membuat aneka kerajinan tangan berbahan kain felt. Kain warna-warni itu disulapnya menjadi aneka bentuk boneka, gantungan kunci, tempat tissue dan lain-lain. Sebuah toko suvenir di Surabaya sudah menjadi pelanggan tetapnya.
Ratna adalah orang yang paling merasa kehilangan ketika aku mulai kuliah di Malang, sekaligus orang yang paling kegirangan saat melihat aku pulang kembali ke Manggarwangi. Waktu itu dia ikut menjemputku di stasiun. Aku sendiri tertegun melihat Ratna yang sudah semakin dewasa, dan semakin cantik. Beda sekali dengan Ratna kecil yang dulu sering kugendong di punggung melintasi pematang sawah.
“Wah, Dek Na sudah besar sekarang. Sudah punya pacar belum?”, godaku saat itu yang langsung membuat pipinya memerah.
“Belum Mas. Nanti saja kalau Mas Bayu dan Mbak Rahma sudah nikah. Takut kuwalat”, jawabnya sambil mengerling ke arah Mas Bayu. Yang dikerlingi hanya nyengir.
Detik pertama aku melihat Ratna di stasiun, tiba-tiba aku merasa tidak menyesal mengambil keputusan untuk meninggalkan Surabaya dan pulang kembali ke Manggarwangi.
***
“Ini adalah produk premium dari sebuah produk tradisional Gus. Maka mulai dari proses penyiapan bahan baku hingga proses pengemasan nanti kita tidak boleh asal-asalan. Itu tugasmu untuk memikirkannya, karena kamu yang punya pengetahuan dan pengalaman di sana”, kata Mas Bayu ketika memulai proyek pabrik gula mini kami.
Maka mulailah aku bekerja.
Untuk bahan bakunya, aku mencari nira yang berasal dari pohon kelapa pilihan. Kriterianya adalah pohon kelapa itu tidak diberi pupuk kimia, tidak dipestisida juga tidak berdampingan dengan tanaman lain yang dibudidayakan dengan pupuk anorganik.
Aku juga menghubungi kelompok penderes dan memberikan pelatihan tentang tata cara menderes dan memperlakukan nira yang sesuai dengan aturan keamanan pangan. Aku tidak lagi mengijinkan mereka menggunakan kaleng cat bekas dan sebagai gantinya aku membelikan kontainer-kontainer baru. Aku juga melarang penggunaan kain bekas untuk menyaring nira dan membelikan kain penyaring sebagai gantinya. Aku membantu mereka menyediakan lemari khusus untuk kontainer-kontainer agar tidak terkena debu dan kotoran saat sedang tidak dipakai menderes.
Aku juga ikut mendesain layout bangunan pabrik agar terhindar dari kontaminasi hama pemukiman. Aku memastikan seluruh sudut dinding dan lantai pabrik berukuran 15x20 meter itu memiliki lengkungan di setiap sudutnya dan tidak memiliki area-area tersembunyi yang tidak terjangkau alat kebersihan.
Tidak hanya itu, aku juga mengerjakan tetek bengek seperti mendesain label, mengurus ijin ke Depkes dan membuat brosur sederhana untuk memberi informasi pada masyarakat tentang manfaat dan keuntungan mengkonsumsi sirup nira kelapa.
Enam bulan sudah berlalu semenjak kepulanganku ke Manggarwangi. Selama itulah mas Bayu sibuk dengan pembuatan Evaporator[12] untuk menggantikan peran wajan-wajan tradisional. Menurut perhitungannya, dengan Evaporator yang beroperasi pada tekanan vakum, proses penguapan dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah dari titik didih air. Dengan suhu pemanasan yang lebih terkontrol, proses karamelisasi dapat dihindari. Diharapkan, hasil akhirnya adalah produk sirup nira kelapa yang berwarna cerah dan tidak memiliki aroma karamel yang kuat.
Aku memandang kakak angkatku dengan penuh kebanggaan saat aliran pertama sirup nira kelapa mengucur dalam botol-botol kaca transparan. Rancangan Evaporator setinggi 3 meter dan berdiameter 50 sentimeter tersebut berhasil. Warna sirup yang dihasilkannya sangat cerah. Jauh berbeda dengan sirup nira kelapa yang sudah lebih dulu diproduksi di negara lain dan dijual di toko online. Produk-produk itu semuanya berwarna gelap karena efek pembentukan karamel. Produk yang dibuat Mas Bayu ini tidak hanya menjadi yang pertama di Indonesia, tapi juga memiliki spesifikasi warna cerah pertama di dunia.
***
Langkah selanjutnya adalah pemasaran. Kami meminta bantuan beberapa teman kami di Surabaya untuk menyebarkan sampel produk dan brosur.
Tapi di sinilah masalah mulai muncul. Produk kami ternyata tak banyak diminati. Banyak orang masih mengira, sirup nira yang kami jual dengan merk “Nektar Manggar” itu adalah gula jawa yang dicairkan. Masyarakat sudah terlanjur terbiasa dengan gula tebu dan tidak bisa dengan mudah beralih ke gula kelapa, walaupun mereka setuju bahwa gula tebu adalah salah satu pemicu penyakit diabetes.
Hasil penjualan produksi perdana kami sama sekali tidak menggembirakan. Hanya 300an botol dari 800 botol yang kami produksi laku terjual sebelum masa kadaluwarsa.
“Kita harus pikirkan metode pemasaran lain Mas”, kataku di suatu petang, ketika Mas Bayu sedang menatap botol-botol sirup nira yang menumpuk di gudang pabrik.
“Iya Gus. Tapi bagaimana ya? Aku ini memang payah soal jualan”, jawab Mas Bayu.
Aku tersenyum kecut. Dalam hati aku berkata bahwa aku pun setali tiga uang dengan kakakku itu.
“Apa harga jual kita kemahalan ya Gus?”, tanyanya lagi dengan nada putus asa.
“Mungkin”, jawabku pelan.
Mas Bayu menghela napas. “Tapi kamu tahu sendiri kita ambil keuntungan tidak banyak. Lagipula, kalau dibanding dengan sirup nira yang dijual di Amazon[13], harga kita jauh lebih murah”.
Aku membenarkan ucapan Mas Bayu. Kelihatannya bukan cuma masalah harga, tapi juga ketidaksiapan pasar menerima “Nektar Manggar”.
Tiba-tiba ponsel Mas Bayu berbunyi. “Halo? iya betul. Oh bukan, saya bukan Agus. Saya Bayu. Dari siapa ini? Oh, ada yang bisa saya bantu? sirup nira kelapa? Betul Bu. Maaf, ibu mendapatkan informasi ini dari mana? Dari blog? Apa? Berminat? Untuk eksport? Belum, kami belum punya sertifikat organik. Nggg...begini saja Bu, bagaimana kalau kami bertemu dengan Ibu dulu agar semuanya lebih jelas? Baiklah kalau begitu. Alamat kami nanti saya kirim via sms. Baik...baik...terima kasih Bu. Selamat sore”. Mas Bayu menutup telpon dengan tangan agak gemetar. Aku memandangnya dengan penuh tanya.
“Dari Jakarta. Katanya dia membaca blog yang menginformasikan kalau kita membuat sirup nira kelapa. Memangnya kamu ya yang membuat blog itu?”.
Aku angkat bahu sambil mengernyitkan kening. “Mana sempat aku bikin blog Mas. Tahu sendiri kan beberapa bulan terakhir ini kesibukan kita seperti apa? Memangnya siapa tadi Mas?”
“Katanya namanya Bu Fina. Dia tertarik untuk membeli sirup dalam jumlah besar, untuk dieksport. Tapi dia butuh sertifikasi proses organik untuk bisa menembus pasar di sana. Dia mau ke sini untuk melihat-lihat fasilitas yang kita punya, baru kemudian membicarakan detilnya”
Bulu kudukku meremang. Eksport? Baru beberapa menit yang lalu kami kebingungan bagaimana caranya menembus pasar lokal dan kini ada orang yang berminat membeli “Nektar Manggar” untuk dijual ke negara lain. Benar-benar sulit dipercaya. Tapi, siapa ya yang menulis blog tentang kami?
Tiba-tiba terbersit sebuah nama. Iya, pasti dia, orang yang seringkali berada di dekat kami sambil menenteng-nenteng kamera digital. Orang yang seringkali bertanya-tanya tentang proses produksi, serba-serbi nira dan manfaat produk yang kami buat. Tersangkanya cuma satu orang.
Aku menemukan tersangka utamaku itu sedang membaca di ruang tengah.
“Apa alamat blognya Dek? Nektarmanggar dot com?”, tanyaku to the point.
Sejenak tampak rona kebingungan di wajah Ratna yang kalem. Tapi kemudian dia tersenyum. “Kok tahu mas?”, tanyanya.
“Tadi ada yang menghubungi Mas Bayu dan tanya-tanya tentang sirup kita. Katanya mau untuk eksport. Dia bilang dapat informasi dari blog”, jawabku.
Ratna terpekik girang. “Beneran Mas? Alhamdulillah. Soalnya aku sama sekali nggak bisa bantu apa-apa waktu Mas Agus dan Mas Bayu susah payah membangun pabrik. Jadi kupikir jika aku menulis blog tentang “Nektar Manggar” mungkin bisa membantu promosi. Oya, ini alamatnya kalau Mas Agus mau baca”, Ratna menuliskan sebuah alamat virtual di atas selembar kertas.
“Terima kasih ya Dek”, ujarku sambil menerima kertas yang diulurkan Ratna.
***
Dengan napas tertahan, aku membaca blog yang dibuat Ratna. Ratna tidak hanya menulis tentang “Nektar Manggar”, tapi juga tentang Manggarwangi. Dia ceritakan bagaimana kerasnya hidup menempa fisik dan batin para pengrajin gula kelapa di desa kami, dia tulis bagaimana proses pendirian pabrik sampai proses pengontrolan kualitas nira yang dikumpulkan para penderes di kebun kelapa. Semuanya lengkap dengan foto-foto yang diambilnya dengan kamera digital.
Di bagian “Profil Saya”, Ratna mengupload fotoku dan Mas Bayu yang sedang mengawasi proses pengumpulan nira di kebun kelapa. Tulisan yang ditulis Ratna lah yang membuatku nyaris menitikkan air mata dan aku yakin Mas Bayu juga akan mengalami hal yang sama jika membacanya.
Hai! Salam kenal dari Manggarwangi! Nama saya Ratna. Bisa dibilang, saya adalah saksi mata atas hal luar biasa yang dilakukan oleh kakak-kakak saya yang luar biasa, Bayu dan Agus. Mereka membuang jauh-jauh kesempatan untuk hidup sukses di kota besar dan memilih kembali ke desa. Mereka memilih untuk meninggalkan kehidupan modern dan memilih untuk melakukan sesuatu untuk tanah kelahiran. Dan saya, seorang notulen yang kebetulan lewat, ingin menggambarkan betapa luar biasanya mereka berdua dengan tangan saya. Blog inilah hasilnya. Blog inilah potret Bayu dan Agus yang dengan kelebihannya masing-masing, bersinergi menghasilkan sebuah produk yang pertama dan satu-satunya di Indonesia, Nektar Manggar.
Sampai di sini, aku tak sanggup melanjutkan membaca paragraf-paragraf selanjutnya karena pandangan mataku sudah memburam karena air mata.
***
Bu Fina benar-benar datang beberapa hari kemudian. Ternyata dia adalah owner dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis yang cukup besar. Usahanya mencakup aneka komoditi pertanian dan sudah tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Aku dan Mas Bayu langsung menyukai sosok bu Fina yang low profile, lembut dan keibuan. Kami banyak berdiskusi tentang banyak hal dan Bu Fina tampak cukup puas melihat apa yang telah aku dan Mas Bayu lakukan. Menurut beliau, prosedur produksi kami sudah mendekati prasyarat-prasyarat yang diminta untuk mendapatkan sertifikat organik.
“Tidak banyak yang perlu ditambahkan Pak. Apa yang dilakukan Pak Bayu dan Pak Agus sebenarnya sudah sangat mendekati prasyarat untuk mendapatkan sertifikat organik. Saya optimis proses sertifikasi nanti tidak akan makan waktu lama, mengingat Bapak-Bapak sudah melakukan pemilihan pohon, melakukan kontrol kualitas bahan baku serta tidak menggunakan bahan kimia selama proses produksi. Oya, biaya sertifikasi nanti akan ditanggung oleh perusahaan saya. Perjanjian-perjanjian tentang itu nanti akan kita bicarakan di pertemuan selanjutnya”, ujar wanita bermata lebar tersebut.
Beberapa bulan kemudian, kehadiran Bu Fina mulai membawa dampak cukup besar dalam kelangsungan pabrik gula mini kami. Order yang masuk cukup besar, sehingga dalam seminggu, kami bisa memproses nira hingga 15 ribu liter.
Idealisme romantis Mas Bayu yang dulu menjadi kenyataan. Ada hampir seratus keluarga penderes yang membaik nasibnya dengan menjual nira pada kami. Dan itu tidak lepas dari jasa seseorang yang menulis tentang “Nektar Manggar” di dunia maya. Seseorang itu, belakangan ini sering muncul dalam angan-anganku.
***
“Dek Na, nanti malam nonton bioskop yuk! Ada film bagus tuh”, ajakku suatu hari.
“Boleh mas, sudah bilang mas Bayu?”, tanyanya. Kami memang biasa nonton bertiga, atau berempat jika Rahma, calon istri Bayu juga ikut.
“Kali ini kita berdua saja ya? Mau?”, tanyaku sambil menyentuhkan ujung jari telunjukku di ujung jari manisnya.
Semburat warna merah muda tampak merona di pipi Ratna. Dia mengangguk malu sambil tersenyum. Ah, senyumnya semanis Nektar Manggar.

-end-

Catatan:
Desa Manggarwangi adalah fiksi, namun Pabrik Gula Mini yang menghasilkan sirup nira kelapa benar-benar ada di Desa Kedungmlati, Kabupaten Jombang. Bahan baku yang digunakan adalah nira yang diambil dari pohon kelapa bersertifikat organik dari Blitar, Jawa Timur dan Kulon Progo, Jawa Tengah. Produk dari Pabrik Gula Mini ini sudah dipasarkan di Hong Kong dan Amerika Serikat.

Surabaya, 28 Oktober 2013


[1] Dapur
[2] Menyadap nira dari bunga kelapa
[3] Derajat kekentalan suatu cairan. Semakin kental suatu cairan, derajat viskositasnya semakin tinggi.
[4] “Kemari Nak!” (Le: dari kata Tole, panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa Jawa)
[5] “Iya Mak”
[6] “Kamu belum sarapan kan? Itu lho ada ketan hangat”
[7] “Terima kasih Mak, itu untuk Anda saja. Saya mau menyusul Lek Wiji”
[8] Sebutan bagi nira kental yang tidak bisa dicetak menjadi gula.
[9] Produk dari susu
[10] Sindrom metabolik adalah sekelompok faktor resiko terkait dengan kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas, yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung, stroke dan diebetes.
[11] Indeks glikemik adalah skala numerik yang digunakan untuk mengindikasikan seberapa cepat makanan dapat menaikkan kadar gula darah dalam tubuh. Semakin tinggi nilai Indeks Glikemik, maka semakin cepatlah makanan tersebut termetabolisme.
[12] Alat untuk menghilangkan kandungan kadar air nira kelapa sehingga menghasilkan sirup yang kental.
[13] www.Amazon.com, salah satu nama toko online yang terbesar di dunia maya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)