Pagi masih baru. Matahari masih malu-malu. Pun
begitu, geliat makhluk hidup mulai tampak di Desa Manggarwangi, Kabupaten Blitar,
Jawa Timur. Jam segini, asap tipis sudah terlihat membumbung dari dalam gubuk
kayu berlantai tanah yang berdiri di perkebunan kelapa, tempatku berada saat
ini.
Di gubuk yang keempat tiang penyangganya sudah
doyong itu, tampak seorang perempuan setengah baya sedang sibuk bekerja di sebuah
pawon[1].
Dua wajan super jumbo dan sebuah panci lain yang lebih kecil bertengger di atas
tungku yang menghitam berselaput jelaga. Tumpukan kayu bakar di sebelahnya menanti
tangan-tangan keriput sang perempuan untuk mengubah mereka menjadi bara.
Perempuan itu bernama Mak Ijah. Suaminya, Lek Wiji,
sudah sejak selepas Subuh tadi berangkat menderes[2].
Beberapa saat lagi ia akan pulang sambil membawa jerigen-jerigen plastik berisi
nira yang disadapnya dari bunga kelapa. Cairan manis hasil menoreh batang bunga
kelapa itu akan disaringnya menggunakan kain bekas sebelum dituangkan dalam
wajan besar yang sudah disiapkan istrinya. Pasangan suami istri ini lantas akan
merebus cairan nira tersebut selama 5 sampai 6 jam hingga mengental dan mencetaknya
dengan batok-batok kelapa menjadi gula jawa.
Berani taruhan, nanti kaus tipis yang saat ini
dikenakan Mak Ijah akan ia tanggalkan begitu matahari mulai meninggi. Mak Ijah
akan menunggui tungkunya dengan mengenakan beha. Wajar, aku saja tak akan betah
duduk berlama-lama di depan tungku panas sambil mengaduk cairan yang kian lama
kian berat karena kenaikan derajat viskositas[3].
Tapi Mak Ijah melakukan itu tiap hari. Demi bisa menghasilkan beberapa kilo
gula jawa yang dijualnya pada tengkulak untuk menyambung hidup ala kadarnya.
Mak Ijah melihatku berjalan menuju ke arah kebun
kelapa.
“Gus...!!! Mrene
Le![4]”,
panggilnya.
“Dalem Mak[5]”,
aku menghampirinya.
“Kowe durung
sarapan to? Kuwi lo ono ketan anget[6]”,
ujarnya. Aku tersenyum melihat sepiring ketan yang ditaburi parutan kelapa.
Hanya sepiring. Sepagi ini aku yakin Mak Ijah pasti belum sarapan. Sesuatu yang
sedang direbusnya dalam panci kecil itu pun tampaknya belum matang. Jadi mana
tega aku menerima tawarannya?
“Matur nuwun
Mak, menika kagem panjenangan kemawon. Dalem badhe nyusul Lek Wiji[7]”,
jawabku sambil menunjuk ke arah kebun.
Mak Ijah hanya mengangguk dan tersenyum kecil,
kemudian kembali sibuk dengan kayu-kayu bakarnya. Aku pun melangkah semakin
jauh ke dalam kebun untuk mencari Lek Wiji..
Dari kejauhan kulihat sosok yang kucari. Aku pun
menambah kecepatan langkahku untuk mengejarnya. Dengan tubuhnya yang kecil,
pria yang berusia tak kurang dari 60 tahun itu melangkah ringan seperti seekor
menjangan. Aku sampai kewalahan, padahal dia berjalan sambil membawa beban.
Bahu kanannya memanggul sebatang bambu yang di
kedua ujungnya terdapat jerigen plastik berukuran 15 liter. Sementara di bahu
kiri, dia menenteng beberapa kaleng cat bekas yang direnteng dengan tali. Di
pinggangnya, terikat sebuah wadah plastik berisi larutan kapur yang nanti akan
ia tempatkan dalam kaleng penampung nira. Tanpa larutan kapur tersebut, nira
akan cepat asam dan memicu terjadinya fermentasi. Fermentasi juga lah yang
menjadi alasan bagi para penderes untuk segera memasak nira yang sudah disadap.
Karena jika terlambat, nira tidak akan bisa direbus menjadi gula dan akan
menghasilkan gula gemblung[8].
Bagi para pengrajin gula jawa seperti Mak Ijah dan Lek Wiji, gula gemblung
adalah momok, karena harga jualnya akan anjlok.
Aku yakin Lek Wiji juga menyelipkan sebuah pisau atau
parang di sekitar pinggang, sebab dia pasti membutuhkan pisau tersebut untuk mengikat
manggar-manggar (bunga kelapa). Juga untuk membuat sayatan baru pada batang manggar
agar nektar bening nan manis bisa menetes ke dalam kaleng bekas yang ia
tempatkan tepat di bawahnya.
Aku terkesima melihat Lek Wiji yang dengan lincah
memanjat pohon kelapa seperti seekor monyet. Ah, bahkan mungkin monyet pun kalah
pintar. Aku membayangkan alangkah girangnya Charles Darwin melihat Lek Wiji,
yang bisa dia jadikan bukti bahwa manusia memang berasal dari golongan kera.
Tapi Darwin harus tahu bahwa Lek Wiji sudah mulai memanjat pohon kelapa sejak
sebelum disunat. Dan dia melakukan itu terus sepanjang hidupnya, dua kali
sehari, pagi dan sore.
Pohon kelapa yang dipanjat Lek Wiji tingginya rata-rata
15 meter. Aku tak bisa melihat apa yang dilakukannya di atas sana karena
tertutup daun-daun kelapa. Akhirnya aku melihat Lek Wiji mulai turun. Gerakannya
masih selincah saat dia naik, tapi kecepatannya sedikit berkurang. Karena kini
ada tambahan beban di punggungnya berupa beberapa liter cairan nektar yang kami
sebut nira.
Begitu kakinya menjejak tanah, tanganku langsung
terulur ke arah kaleng bekas itu agar bebannya segera berkurang. Wajah keriputnya
tampak menyiratkan terima kasih. Melihat pria sepuh ini, tiba-tiba aku jadi teringat
Bapakku.
Jika Bapak masih hidup, mungkin usianya sebaya
dengan Lek Wiji. Jalan hidup keduanya juga sama, yakni menggantungkan hidup dari
membuat gula jawa. Adapun jalan hidupku mungkin juga akan sama seperti mereka
seandainya tidak ada keluarga Mas Bayu.
Mas Bayu adalah kakak angkatku, dialah penyebab
aku kembali ke desa ini. Mas Bayu dan keluarganya adalah satu-satunya pengikat
antara aku dan Manggarwangi, sebab saudara-saudara kandung dari Bapak Ibuku
sudah tidak ada yang tinggal di sini. Kebanyakan mereka pindah ke kota lain untuk
mengubah nasib, tidak lagi menjadi penderes. Wajar, karena menjadi penderes
adalah profesi yang sama sekali tidak menjanjikan.
Keluargaku sebenarnya sudah menjadi penderes secara
turun temurun. Dulu aku kerap membantu Bapak membawa kaleng-kaleng dan jerigen
tiap kali beliau menderes di sore hari. Sambil menderes, Bapak sering
mendongeng tentang kisah Ki Gono Gito, seorang penderes yang mengikuti titah
Sunan Kalijaga untuk bertapa. Ceritanya, Kanjeng Sunan lupa akan perintahnya dan
malah membakar padang ilalang tempat penderes tersebut bersemedi. Saat api
berkobar, barulah Sang Sunan tersadar dan menghampiri Ki Gono Gito untuk
membangunkannya dari semedi. Alangkah terharu Sunan Kalijaga begitu mengetahui
kesetiaan Ki Gono Gito yang tidak beranjak dari tempat semedi demi memenuhi
perintah Sunan. Akhirnya, selain memberikan nama baru, yakni Sunan Geseng pada
sang penderes, Sunan juga memberinya hadiah berupa 6 tangkup emas berbentuk
gula kelapa sebagai simbol rukun Iman dalam agama Islam. Bapak kemudian menutup
ceritanya dengan nasehat agar jangan sampai melupakan tradisi memasak gula
jawa, yang dianggapnya sangat penting sampai-sampai Kanjeng Sunan memilihnya
sebagai simbol Rukun Iman.
Namun kisah Sang Sunan
dan nasehat Bapak itu akhirnya kulupakan. Saat aku kelas 3 SD, Bapak meninggal
karena jatuh dari pohon kelapa. Ibu yang sangat terpukul menyusul tak lama
kemudian. Aku pun sama terpukulnya dan ingin rasanya menghapus kata “gula jawa”
atau “nira kelapa” dari kepalaku.
Ternyata, menjadi yatim
piatu membuat hidupku berubah haluan. Aku diangkat anak oleh keluarga Pak
Lurah, yakni ayah Mas Bayu. Aku disekolahkan hingga lulus SMA dan berhasil
mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota Malang.
Aku pun memulai hidup baru di perantauan sebagai mahasiswa jurusan pertanian.
Begitu lulus, aku
langsung diterima kerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di pengolahan
produk susu. Aku hijrah ke Surabaya dan menetap di sana.
Enam tahun sudah aku
berkarir di perusahaan dairy[9]
tersebut dengan jabatan yang mentereng serta gaji yang melebihi angan-angan.
Aku hidup bergelimang kemewahan yang dari kecil tak pernah kudapatkan. Aku
sangat menikmati kehidupan modern ala ibukota hingga tak terpikir sama sekali untuk
kembali ke Manggarwangi.
Namun beberapa waktu
lalu, Mas Bayu tiba-tiba muncul di depan pintu apartemenku.
“Pulanglah ke
Manggarwangi, Gus. Aku butuh kamu”, pintanya. Entah mengapa, di telingaku suaranya
tidak seperti orang memohon, melainkan
memberi instruksi. Mungkin karena dari dulu aku sangat segan pada kakak
angkatku ini.
Mas Bayu sendiri
sebenarnya juga jebolan universitas ternama di Yogyakarta. Dia sempat bekerja
beberapa tahun di sebuah perusahaan fabrikasi dan memutuskan untuk mengundurkan
diri. Waktu itu dia bilang akan membantu Bapak karena beliau sudah mulai sepuh
dan sering sakit. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, hanya Mas Bayu lah
harapan Bapak untuk bisa melanjutkan pengolahan sawah dan ternak sapi milik
keluarga.
“Apa yang bisa kubantu
Mas? Jika aku berhenti bekerja, aku akan kehilangan pendapatan dan tidak bisa
membantu apa-apa”, jawabku tak mengerti
“Bukan uangmu yang
kubutuhkan Gus. Tapi inimu”, ujarnya sambil menunjuk pelipisnya sendiri. “Aku
tahu hidupmu sudah sangat mapan di sini. Masa depanmu cerah. Tapi tidakkah kamu
ingin melakukan sesuatu untuk tanah kelahiranmu?”
“Iya, tapi apa Mas?
Tanpa uang, aku tidak akan bisa berkontribusi apa-apa untuk Manggarwangi”,
ulangku. Selama ini aku memang sering menitipkan uang melalui Mas Bayu untuk
Masjid, sekolah, keluarga Mak Ijah dan lain-lain di Manggarwangi.
“Aku kan sudah bilang
ini bukan soal uang. Ya oke, mungkin aku juga akan membutuhkan uangmu jika
ternyata uang simpananku kurang. Tapi ini soal menyingsingkan lengan baju untuk
meningkatkan kehidupan para penderes”, jawabnya. Aku mengernyit bingung dan Mas
Bayu melanjutkan. “Sekarang ini hidup mereka murni dikendalikan para tengkulak.
Kasihan mereka. Biaya hidup semakin tinggi, hutang semakin menumpuk sedangkan mereka
sama sekali tak punya posisi tawar untuk menjual gula jawa yang mereka hasilkan.
Mereka tidak punya pilihan dan aku ingin menciptakan itu pada mereka. Sebuah
pilihan”.
Mendengar kata-katanya,
aku jadi ingat apa yang membuatku segan pada kakak angkatku ini. Dia memang dari
dulu seperti itu. Selalu berpandangan luas dan tidak pernah mementingkan diri
sendiri. Hatinya luar biasa lembut dan mudah tersentuh, terutama jika melihat
kaum papa yang tak berdaya. Seandainya dia perempuan, dia mungkin pantas dijuluki
Ibu Peri.
“Caranya Mas?”, tanyaku.
“Begini, rencanaku ini
mungkin tidak sespektakuler membangun jembatan Suramadu atau jalan tol
Blitar-Surabaya. Tapi aku ingin sedikit saja membantu sebagian keluarga
penderes di desa kita agar memperoleh
penghasilan yang lebih baik. Bisa minta tolong ambilkan kertas dan
pensil?”, Mas Bayu lantas membeberkan rencananya.
Dia ingin membangun
sebuah pabrik gula mini di desa kami. Pabrik itu nantinya bukan untuk membuat
gula cetak, melainkan untuk memproduksi gula cair. Sasaran pasarnya adalah kalangan menengah atas
yang mulai sadar akan bahaya sindrom
metabolik[10].
Dengan indeks glikemik[11] gula kelapa yang rendah, dia
optimis sirup ini nantinya akan digemari mereka yang terkena atau ingin
mencegah diabetes.
Bahan baku gula cair ini
tentu saja nira segar yang dibeli langsung dari para penderes. Menurutnya, para
penderes akan mendapatkan keuntungan lebih besar dengan menjual nira segar
daripada menjual gula jawa pada tengkulak.
“Kalau gula cair ini
berhasil memperoleh pasar, maka para penderes –walaupun mungkin tidak semuanya -
bisa mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Coba lihat ini, Gus. Taruhlah
mereka memiliki 60 liter nira. Jika mereka menjualnya pada kita, mereka akan
mendapat 2200 rupiah per liter. Tapi jika 60 liter itu mereka buat menjadi gula
jawa, mereka akan mendapatkan paling banyak 10 kg gula dengan harga 8000 rupiah
per kilo. Itu pun mereka masih harus memasaknya selama 6 jam. Kalau
dihitung-hitung, pendapatan mereka bisa meningkat 50% dengan menjual nira segar
pada kita”. Mas Bayu menjelaskan padaku sambil mencoret-coret kertas.
Aku memandang
dalam-dalam mata kakak angkatku itu. Tampak kesungguhan dan ketulusan di sana.
Dia memang benar memikirkan nasib ratusan pengrajin gula kelapa di daerah
kelahiranku. Terlihat dari betapa seriusnya dia memikirkan keuntungan yang
diperoleh penderes ketimbang memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Sejurus
kemudian aku merasa malu, kenapa pemikiran seperti itu muncul dari orang
seperti mas Bayu, yang dari kecil hidup berkecukupan sebagai putra Lurah
sekaligus pemilik lahan pertanian dan peternakan yang tidak bisa dibilang
kecil. Sementara aku, yang sejak makan masih disuapi tahu betul bagaimana
susahnya hidup sebagai pengrajin gula jawa, kini malah enak-enakan menikmati
hidup mewah di kota.
“Lantas, aku bisa
melakukan apa Mas?”, tanyaku untuk yang kesekian kali.
“Aku butuh orang yang
bisa mengelola sumber daya Gus, termasuk berkoordinasi dengan kelompok
penderes. Kamu kenal baik dengan penduduk Manggarwangi. Demikian juga sebaliknya.
Kamu akan mudah bekerja sama dengan mereka untuk menyediakan nira segar. Dan
satu lagi, kamu punya jam terbang untuk memimpin dan mengelola sebuah pabrik
pengolahan susu. Jadi aku yakin kamu pasti paham benar prosedur produksi yang
sesuai dengan standard keamanan pangan”.
Aku berpikir keras.
Mungkin mas Bayu melihat semburat keraguan di wajahku.
“Kamu bukannya
mengkhawatirkan soal uang kan? Kamu tidak kuatir jatuh miskin karena kehilangan
jabatanmu kan?”, tanyanya hati-hati.
Aku menggeleng cepat.
“Kamu punya pacar di
sini?”, tanyanya lagi.
“Oh...nggak mas, belum”,
jawabku cepat. “Aku cuma kuatir tidak bisa memenuhi harapan Mas”.
Mas Bayu tersenyum.
“Kamu pikir aku tidak takut, Gus? Aku pun tidak percaya diri. Aku juga takut
gagal. Tapi aku tidak akan pernah tahu jika tidak mencoba. Dan untuk mencoba
itulah, aku butuh kamu”.
Aku menghela napas dan
meminta waktu 1-2 bulan untuk mengurus pengunduran diriku.
Akhirnya, di sinilah aku
sekarang. Tempat kerjaku berubah dari kantor ber-AC dan kursi empuk, menjadi
kebun kelapa yang panas dan lembab. Dan pagi ini aku sengaja berniat membantu
Lek Wiji menderes, untuk memudahkan proses adaptasi dengan tanah kelahiranku
ini sekaligus mengamati hal-hal penting yang perlu kuperhatikan untuk
penyediaan nira yang berkualitas.
“Mas Agus!!! Mas...!!!”,
aku mendengar suara orang memanggil dari kejauhan. Aku sudah bisa menduga siapa
pemilik suara itu.
“Hoiii, di sini Dek
Na!”, aku melambai. Seorang gadis bertubuh mungil berjalan tertatih-tatih
menghampiriku. Kerudungnya yang dibelitkan di leher sedikit melorot hingga
anak-anak rambut di dahinya kelihatan. Senyumnya mengembang menghasilkan dua
lesung pipit di pipinya yang kemerahan. Tangan kanannya menggenggam sebuah
kamera digital. Sementara tangan satunya lagi menggenggam kruk yang dikempitnya
di bawah ketiak. Kruk itu untuk mengganti peran kaki kirinya yang mengecil
karena polio.
“Kok ditinggal sih Mas?
Kemarin katanya mau ke sini sama-sama”, protesnya, tapi masih dengan senyum
tersungging.
“Maaf...maaf...tadi aku
lihat kamarmu masih gelap. Kukira masih tidur. Aku takut terlambat mengejar Lek
Wiji. Ini saja tadi sudah nyaris ketinggalan”, jelasku.
“Aku sudah bangun dari
sebelum Subuh. Mas Agus yang bangunnya lama. Mungkin tadi aku sedang di kamar
mandi waktu Mas Agus berangkat”.
“Iya...maaf...maaf. Aku
tadi memang agak kesiangan”, kataku sambil menuangkan isi kaleng ke dalam
jerigen plastik. Lek Wiji sudah memanjat lagi di pohon sebelah.
Gadis itu, Ratna namanya,
menungguku hingga selesai menuangkan seluruh isi kaleng. “Eh Mas, coba lihat ini”,
dia menunjukkan display kamera digitalnya. Foto Mak Ijah pagi ini yang
sedang bekerja dengan tungku kayunya. Pemandangan yang tampak di foto ini
tampak sungguh menyentuh.
“Bikin dada sesak ya Dek”,
komentarku sambil memandangi hasil bidikan Ratna. Sebuah potret kemiskinan para
pengrajin gula jawa di bagian bumi yang dikaruniai potensi kelapa berlimpah
ruah.
Ya, Manggarwangi adalah
salah satu sentra perkebunan kelapa di pulau Jawa. Siapapun tahu bahwa pohon
nan jangkung ini memiliki banyak manfaat. Malah mungkin tidak ada satu bagian
pun dari dirinya yang tidak bisa digunakan. Dari sebuah pohon bernama latin Cocos nucifera ini bisa dihasilkan bahan
makanan, minyak kelapa, minuman segar, gula, bahan bangunan sampai karbon
aktif. Namun sayang, itu tidak membuat masyarakatnya lantas terhindar dari
himpitan kemiskinan. Yang dibidik oleh lensa kamera Ratna hanyalah satu contoh
dari ratusan bahkan ribuan penderes nira yang nasibnya tak jauh berbeda.
Ratna sendiri adalah
adik kandung Mas Bayu. Dia masih berusia lima tahun saat aku pertama kali
menjadi anggota keluarga mereka. Jaraknya dengan Mas Bayu memang cukup jauh
karena bu Lurah sempat beberapa kali mengalami keguguran.
Ratna adalah anak yang
lincah dan pintar. Sayangnya, karena polio yang dideritanya sejak kecil, dia
memilih untuk tinggal di rumah selepas SMA. Tapi walau demikian, kesibukan
seorang Ratna sungguh luar biasa. Dia membuka perpustakaan mini di rumah dan
menjadi guru untuk anak-anak yang datang ke sana. Macam-macam yang
diajarkannya; mulai dari mengaji, Matematika, Bahasa Inggris dan Sains. Dia
juga piawai dalam membuat aneka kerajinan tangan berbahan kain felt. Kain
warna-warni itu disulapnya menjadi aneka bentuk boneka, gantungan kunci, tempat
tissue dan lain-lain. Sebuah toko suvenir di Surabaya sudah menjadi pelanggan
tetapnya.
Ratna adalah orang yang
paling merasa kehilangan ketika aku mulai kuliah di Malang, sekaligus orang yang
paling kegirangan saat melihat aku pulang kembali ke Manggarwangi. Waktu itu
dia ikut menjemputku di stasiun. Aku sendiri tertegun melihat Ratna yang sudah semakin
dewasa, dan semakin cantik. Beda sekali dengan Ratna kecil yang dulu sering
kugendong di punggung melintasi pematang sawah.
“Wah, Dek Na sudah besar
sekarang. Sudah punya pacar belum?”, godaku saat itu yang langsung membuat
pipinya memerah.
“Belum Mas. Nanti saja
kalau Mas Bayu dan Mbak Rahma sudah nikah. Takut kuwalat”, jawabnya sambil
mengerling ke arah Mas Bayu. Yang dikerlingi hanya nyengir.
Detik pertama aku
melihat Ratna di stasiun, tiba-tiba aku merasa tidak menyesal mengambil
keputusan untuk meninggalkan Surabaya dan pulang kembali ke Manggarwangi.
***
“Ini adalah produk
premium dari sebuah produk tradisional Gus. Maka mulai dari proses penyiapan
bahan baku hingga proses pengemasan nanti kita tidak boleh asal-asalan. Itu
tugasmu untuk memikirkannya, karena kamu yang punya pengetahuan dan pengalaman
di sana”, kata Mas Bayu ketika memulai proyek pabrik gula mini kami.
Maka mulailah aku
bekerja.
Untuk bahan bakunya, aku
mencari nira yang berasal dari pohon kelapa pilihan. Kriterianya adalah pohon
kelapa itu tidak diberi pupuk kimia, tidak dipestisida juga tidak berdampingan
dengan tanaman lain yang dibudidayakan dengan pupuk anorganik.
Aku juga menghubungi
kelompok penderes dan memberikan pelatihan tentang tata cara menderes dan
memperlakukan nira yang sesuai dengan aturan keamanan pangan. Aku tidak lagi
mengijinkan mereka menggunakan kaleng cat bekas dan sebagai gantinya aku
membelikan kontainer-kontainer baru. Aku juga melarang penggunaan kain bekas untuk
menyaring nira dan membelikan kain penyaring sebagai gantinya. Aku membantu
mereka menyediakan lemari khusus untuk kontainer-kontainer agar tidak terkena
debu dan kotoran saat sedang tidak dipakai menderes.
Aku juga ikut mendesain
layout bangunan pabrik agar terhindar dari kontaminasi hama pemukiman. Aku
memastikan seluruh sudut dinding dan lantai pabrik berukuran 15x20 meter itu
memiliki lengkungan di setiap sudutnya dan tidak memiliki area-area tersembunyi
yang tidak terjangkau alat kebersihan.
Tidak hanya itu, aku
juga mengerjakan tetek bengek seperti mendesain label, mengurus ijin ke Depkes
dan membuat brosur sederhana untuk memberi informasi pada masyarakat tentang
manfaat dan keuntungan mengkonsumsi sirup nira kelapa.
Enam bulan sudah berlalu
semenjak kepulanganku ke Manggarwangi. Selama itulah mas Bayu sibuk dengan
pembuatan Evaporator[12] untuk menggantikan peran
wajan-wajan tradisional. Menurut perhitungannya, dengan Evaporator yang
beroperasi pada tekanan vakum, proses penguapan dapat dilakukan pada suhu yang
lebih rendah dari titik didih air. Dengan suhu pemanasan yang lebih terkontrol,
proses karamelisasi dapat dihindari. Diharapkan, hasil akhirnya adalah produk
sirup nira kelapa yang berwarna cerah dan tidak memiliki aroma karamel yang
kuat.
Aku memandang kakak
angkatku dengan penuh kebanggaan saat aliran pertama sirup nira kelapa mengucur
dalam botol-botol kaca transparan. Rancangan Evaporator setinggi 3 meter dan
berdiameter 50 sentimeter tersebut berhasil. Warna sirup yang dihasilkannya
sangat cerah. Jauh berbeda dengan sirup nira kelapa yang sudah lebih dulu
diproduksi di negara lain dan dijual di toko online. Produk-produk itu semuanya
berwarna gelap karena efek pembentukan karamel. Produk yang dibuat Mas Bayu ini
tidak hanya menjadi yang pertama di Indonesia, tapi juga memiliki spesifikasi
warna cerah pertama di dunia.
***
Langkah selanjutnya
adalah pemasaran. Kami meminta bantuan beberapa teman kami di Surabaya untuk
menyebarkan sampel produk dan brosur.
Tapi di sinilah masalah
mulai muncul. Produk kami ternyata tak banyak diminati. Banyak orang masih
mengira, sirup nira yang kami jual dengan merk “Nektar Manggar” itu adalah gula
jawa yang dicairkan. Masyarakat sudah terlanjur terbiasa dengan gula tebu dan
tidak bisa dengan mudah beralih ke gula kelapa, walaupun mereka setuju bahwa
gula tebu adalah salah satu pemicu penyakit diabetes.
Hasil penjualan produksi
perdana kami sama sekali tidak menggembirakan. Hanya 300an botol dari 800 botol
yang kami produksi laku terjual sebelum masa kadaluwarsa.
“Kita harus pikirkan
metode pemasaran lain Mas”, kataku di suatu petang, ketika Mas Bayu sedang
menatap botol-botol sirup nira yang menumpuk di gudang pabrik.
“Iya Gus. Tapi bagaimana
ya? Aku ini memang payah soal jualan”, jawab Mas Bayu.
Aku tersenyum kecut.
Dalam hati aku berkata bahwa aku pun setali tiga uang dengan kakakku itu.
“Apa harga jual kita
kemahalan ya Gus?”, tanyanya lagi dengan nada putus asa.
“Mungkin”, jawabku
pelan.
Mas Bayu menghela napas.
“Tapi kamu tahu sendiri kita ambil keuntungan tidak banyak. Lagipula, kalau
dibanding dengan sirup nira yang dijual di Amazon[13], harga kita jauh lebih
murah”.
Aku membenarkan ucapan
Mas Bayu. Kelihatannya bukan cuma masalah harga, tapi juga ketidaksiapan pasar
menerima “Nektar Manggar”.
Tiba-tiba ponsel Mas Bayu
berbunyi. “Halo? iya betul. Oh bukan, saya bukan Agus. Saya Bayu. Dari siapa
ini? Oh, ada yang bisa saya bantu? sirup nira kelapa? Betul Bu. Maaf, ibu
mendapatkan informasi ini dari mana? Dari blog? Apa? Berminat? Untuk eksport? Belum,
kami belum punya sertifikat organik. Nggg...begini saja Bu, bagaimana kalau
kami bertemu dengan Ibu dulu agar semuanya lebih jelas? Baiklah kalau begitu.
Alamat kami nanti saya kirim via sms.
Baik...baik...terima kasih Bu. Selamat sore”. Mas Bayu menutup telpon dengan
tangan agak gemetar. Aku memandangnya dengan penuh tanya.
“Dari Jakarta. Katanya
dia membaca blog yang menginformasikan kalau kita membuat sirup nira kelapa.
Memangnya kamu ya yang membuat blog itu?”.
Aku angkat bahu sambil
mengernyitkan kening. “Mana sempat aku bikin blog Mas. Tahu sendiri kan
beberapa bulan terakhir ini kesibukan kita seperti apa? Memangnya siapa tadi
Mas?”
“Katanya namanya Bu
Fina. Dia tertarik untuk membeli sirup dalam jumlah besar, untuk dieksport. Tapi
dia butuh sertifikasi proses organik untuk bisa menembus pasar di sana. Dia mau
ke sini untuk melihat-lihat fasilitas yang kita punya, baru kemudian
membicarakan detilnya”
Bulu kudukku meremang.
Eksport? Baru beberapa menit yang lalu kami kebingungan bagaimana caranya
menembus pasar lokal dan kini ada orang yang berminat membeli “Nektar Manggar”
untuk dijual ke negara lain. Benar-benar sulit dipercaya. Tapi, siapa ya yang
menulis blog tentang kami?
Tiba-tiba terbersit sebuah
nama. Iya, pasti dia, orang yang seringkali berada di dekat kami sambil
menenteng-nenteng kamera digital. Orang yang seringkali bertanya-tanya tentang
proses produksi, serba-serbi nira dan manfaat produk yang kami buat.
Tersangkanya cuma satu orang.
Aku menemukan tersangka
utamaku itu sedang membaca di ruang tengah.
“Apa alamat blognya Dek?
Nektarmanggar dot com?”, tanyaku to the
point.
Sejenak tampak rona
kebingungan di wajah Ratna yang kalem. Tapi kemudian dia tersenyum. “Kok tahu
mas?”, tanyanya.
“Tadi ada yang menghubungi
Mas Bayu dan tanya-tanya tentang sirup kita. Katanya mau untuk eksport. Dia
bilang dapat informasi dari blog”, jawabku.
Ratna terpekik girang. “Beneran
Mas? Alhamdulillah. Soalnya aku sama sekali nggak bisa bantu apa-apa waktu Mas
Agus dan Mas Bayu susah payah membangun pabrik. Jadi kupikir jika aku menulis
blog tentang “Nektar Manggar” mungkin bisa membantu promosi. Oya, ini alamatnya
kalau Mas Agus mau baca”, Ratna menuliskan sebuah alamat virtual di atas
selembar kertas.
“Terima kasih ya Dek”,
ujarku sambil menerima kertas yang diulurkan Ratna.
***
Dengan napas tertahan, aku
membaca blog yang dibuat Ratna. Ratna tidak hanya menulis tentang “Nektar
Manggar”, tapi juga tentang Manggarwangi. Dia ceritakan bagaimana kerasnya
hidup menempa fisik dan batin para pengrajin gula kelapa di desa kami, dia
tulis bagaimana proses pendirian pabrik sampai proses pengontrolan kualitas
nira yang dikumpulkan para penderes di kebun kelapa. Semuanya lengkap dengan
foto-foto yang diambilnya dengan kamera digital.
Di bagian “Profil Saya”,
Ratna mengupload fotoku dan Mas Bayu
yang sedang mengawasi proses pengumpulan nira di kebun kelapa. Tulisan yang
ditulis Ratna lah yang membuatku nyaris menitikkan air mata dan aku yakin Mas Bayu
juga akan mengalami hal yang sama jika membacanya.
Hai! Salam kenal dari Manggarwangi! Nama saya Ratna.
Bisa dibilang, saya adalah saksi mata atas hal luar biasa yang dilakukan oleh
kakak-kakak saya yang luar biasa, Bayu dan Agus. Mereka membuang jauh-jauh
kesempatan untuk hidup sukses di kota besar dan memilih kembali ke desa. Mereka
memilih untuk meninggalkan kehidupan modern dan memilih untuk melakukan sesuatu
untuk tanah kelahiran. Dan saya, seorang notulen yang kebetulan lewat, ingin
menggambarkan betapa luar biasanya mereka berdua dengan tangan saya. Blog
inilah hasilnya. Blog inilah potret Bayu dan Agus yang dengan kelebihannya
masing-masing, bersinergi menghasilkan sebuah produk yang pertama dan
satu-satunya di Indonesia, Nektar Manggar.
Sampai di sini, aku tak
sanggup melanjutkan membaca paragraf-paragraf selanjutnya karena pandangan
mataku sudah memburam karena air mata.
***
Bu Fina benar-benar
datang beberapa hari kemudian. Ternyata dia adalah owner dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis
yang cukup besar. Usahanya mencakup aneka komoditi pertanian dan sudah tersebar
dari Sabang sampai Merauke.
Aku dan Mas Bayu
langsung menyukai sosok bu Fina yang low
profile, lembut dan keibuan. Kami banyak berdiskusi tentang banyak hal dan
Bu Fina tampak cukup puas melihat apa yang telah aku dan Mas Bayu lakukan. Menurut
beliau, prosedur produksi kami sudah mendekati prasyarat-prasyarat yang diminta
untuk mendapatkan sertifikat organik.
“Tidak banyak yang perlu
ditambahkan Pak. Apa yang dilakukan Pak Bayu dan Pak Agus sebenarnya sudah
sangat mendekati prasyarat untuk mendapatkan sertifikat organik. Saya optimis
proses sertifikasi nanti tidak akan makan waktu lama, mengingat Bapak-Bapak sudah
melakukan pemilihan pohon, melakukan kontrol kualitas bahan baku serta tidak menggunakan
bahan kimia selama proses produksi. Oya, biaya sertifikasi nanti akan
ditanggung oleh perusahaan saya. Perjanjian-perjanjian tentang itu nanti akan
kita bicarakan di pertemuan selanjutnya”, ujar wanita bermata lebar tersebut.
Beberapa bulan kemudian,
kehadiran Bu Fina mulai membawa dampak cukup besar dalam kelangsungan pabrik
gula mini kami. Order yang masuk cukup besar, sehingga dalam seminggu, kami
bisa memproses nira hingga 15 ribu liter.
Idealisme romantis Mas Bayu
yang dulu menjadi kenyataan. Ada hampir seratus keluarga penderes yang membaik
nasibnya dengan menjual nira pada kami. Dan itu tidak lepas dari jasa seseorang
yang menulis tentang “Nektar Manggar” di dunia maya. Seseorang itu, belakangan
ini sering muncul dalam angan-anganku.
***
“Dek Na, nanti malam
nonton bioskop yuk! Ada film bagus tuh”, ajakku suatu hari.
“Boleh mas, sudah bilang
mas Bayu?”, tanyanya. Kami memang biasa nonton bertiga, atau berempat jika
Rahma, calon istri Bayu juga ikut.
“Kali ini kita berdua
saja ya? Mau?”, tanyaku sambil menyentuhkan ujung jari telunjukku di ujung jari
manisnya.
Semburat warna merah
muda tampak merona di pipi Ratna. Dia mengangguk malu sambil tersenyum. Ah,
senyumnya semanis Nektar Manggar.
-end-
Catatan:
Desa Manggarwangi adalah fiksi, namun Pabrik Gula
Mini yang menghasilkan sirup nira kelapa benar-benar ada di Desa Kedungmlati,
Kabupaten Jombang. Bahan baku yang digunakan adalah nira yang diambil dari
pohon kelapa bersertifikat organik dari Blitar, Jawa Timur dan Kulon Progo,
Jawa Tengah. Produk dari Pabrik Gula Mini ini sudah dipasarkan di Hong Kong dan
Amerika Serikat.
Surabaya, 28 Oktober 2013
[1] Dapur
[2] Menyadap
nira dari bunga kelapa
[3] Derajat
kekentalan suatu cairan. Semakin kental suatu cairan, derajat viskositasnya
semakin tinggi.
[4] “Kemari
Nak!” (Le: dari kata Tole, panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa Jawa)
[5] “Iya
Mak”
[6] “Kamu
belum sarapan kan?
Itu lho ada ketan hangat”
[7] “Terima
kasih Mak, itu untuk Anda saja. Saya mau menyusul Lek Wiji”
[8] Sebutan
bagi nira kental yang tidak bisa dicetak menjadi gula.
[9] Produk
dari susu
[10] Sindrom
metabolik adalah sekelompok faktor resiko terkait dengan kelebihan berat badan
(overweight) dan obesitas, yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit
jantung, stroke dan diebetes.
[11] Indeks
glikemik adalah skala numerik yang
digunakan untuk mengindikasikan seberapa cepat makanan dapat menaikkan kadar
gula darah dalam tubuh. Semakin tinggi nilai Indeks Glikemik, maka semakin
cepatlah makanan tersebut termetabolisme.
[12] Alat
untuk menghilangkan kandungan kadar air nira kelapa sehingga menghasilkan sirup
yang kental.
[13] www.Amazon.com, salah satu nama toko online
yang terbesar di dunia maya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.