Minggu, 08 Desember 2013

Akhir Terbaik



Tiga tahun lalu, lagi-lagi gadis itu menolak untuk makan. Sudah berhari-hari dia seperti itu. Ayah Ibunya sampai khawatir anak gadis mereka jatuh sakit. Tapi sebenarnya anak mereka memang sudah sakit karena luka yang menganga dalam hatinya. Luka yang disebabkan olehku, lelaki yang berkhianat.
***
Ini hari Kamis, hari kerja biasa, tapi bagiku ini akan menjadi hari yang lumayan penting. Aku sengaja memilih Kamis karena hari ini adalah salah satu hari yang religius. Sejak lulus kuliah, aku membiasakan puasa Senin Kamis. Maka dini hari tadi, aku sudah bangun untuk sahur sekalian shalat malam. Sorenya sepulang kerja, ada pengajian Senin Kamis di Masjid kantor. Jadi kupikir, setelah shalat malam, puasa dan mengaji, aku merasa cukup pantas untuk meminta pada Allah agar diberikan akhir terbaik untuk sesuatu yang akan kulakukan malam ini.
“Tringg..!!”, ponselku menyalak pelan menandakan ada pesan yang masuk. Dari Eva, “ I Wish for the best ending for you”. Aku tersenyum tipis.
Eva adalah teman sekantorku. Dia lah pemicu keberadaanku di sini, di kedai kopi ini, demi menanti Nia, gadis yang dulu pernah menjadi kekasihku. Gadis yang namanya belakangan ini sering bersliweran di kepalaku.
Nia dan aku sudah putus tiga tahun lalu, setelah lebih dari dua tahun kami menjalin hubungan. Penyebabnya adalah Ade, adik kelas yang membuatku berpaling. Kini, keputusanku itu bermuara pada sebuah penyesalan.
“Kadang kita memang harus kehilangan untuk mengerti bahwa sesuatu itu berarti”, Eva berkomentar ketika kuungkapkan rasa sesalku  meninggalkan Nia. Selama ini memang hanya pada Eva aku bisa menceritakan segala hal, termasuk romantikaku di masa lalu. Entah mengapa Eva bisa membuatku nyaman bercerita. Mungkin karena dia satu-satunya perempuan di kantor ini, atau karena dia adalah perempuan matang yang sudah berkeluarga.
“Iya Va. Perlu tiga tahun untuk menyadari bahwa selama ini Nia lah yang terbaik. Terlambat banget ya?”, jawabku lirih.
Ingatanku lantas melayang ke masa-masa silam. Terkenang aku pada satu sosok perempuan manis bernama Nia. Nia yang bersahaja dan tak pernah menuntut macam-macam. Nia yang tak pernah protes walau ke mana-mana kami harus naik motor butut yang sering mogok. Nia yang kerap membuatkanku masakan jika aku, yang waktu itu masih berstatus anak kos, kehabisan uang. Nia yang menitikkan air mata saat kukatakan aku ingin berpisah dengan alasan dia terlalu posesif. Nia yang mogok makan selama berhari-hari karena tenggelam dalam kesedihan pasca perpisahan kami. Nia yang tak bisa hilang dari ingatanku, bahkan saat aku berusaha menjalin hubungan yang baru dengan orang lain.
“Dani, sebaiknya kamu lakukan apa yang harus kamu lakukan. Tell her you’re sorry ”, suara Eva memecah lamunanku.
“Nggak bisa Va. Dia sudah punya pacar. Malah mau menikah katanya”
“Memangnya dia sudah dilamar?”
“Sepertinya belum”
“Kalau memang belum, segera kamu duluin”, cetus Eva serius. Aku terhenyak. Tak percaya dengan sarannya yang tak masuk akal menurutku. “Setelah kamu akui kalau kamu menyesal, kamu bilang bahwa kamu akan segera menemui orang tuanya untuk melamarnya”, lanjutnya.
“Tapi Va, sudah tiga tahun kami tidak ketemu. Masa ujug-ujug langsung ngajak merried?”
“Aku takut kamu menyesal karena terlambat melakukan sesuatu yang harus kamu lakukan”
“Tapi aku tidak mau dicap sebagai perebut pasangan orang”
“Siapa yang mau merebut? Kamu cuma memberikan pilihan yang lebih baik untuk Nia. A better option. Nah kalau Nianya nggak mau ya berarti kamu harus terima kenyataan bahwa dia bukan jodohmu”, ujar Eva sambil jemarinya membetulkan posisi jilbab yang membingkai wajahnya.
Aku tergugu. Benarkah Nia masih membutuhkan pilihan?, tanyaku dalam hati. Sepertinya aku memang harus memastikan jawabannya.
Akhirnya di sinilah aku sekarang. Di sebuah cafe yang jaraknya harus kutempuh selama 2 jam perjalanan naik motor dengan ditemani gerimis senja. Nia bekerja di sebuah perusahaan dairy yang lokasinya agak di luar kota. Jujur aku tak bisa menyembunyikan kegelisahanku. Aku sengaja datang lebih awal agar punya waktu untuk menenangkan diri dan menyiapkan kata-kata yang nanti akan kukatakan padanya.
Tepat sepuluh menit dari waktu perjanjian, Nia datang. Aku terkesima melihatnya. Nia sungguh berbeda dengan Nia tiga tahun lalu. Kuakui dia masih secantik dulu. Lebih cantik malah. Aku memandang Nia nyaris tak berkedip. Dia mengenakan kemeja ketat dan rok span di atas lutut. Penampilannya membuatku jakunku berkali-kali naik turun karena menelan ludah.
Tapi bukan dia. Bukan Nia yang ini gadis yang kuinginkan. Nia yang kucintai adalah Nia yang bersahaja. Nia yang tidak doyan berdandan. Nia yang pakaiannya selalu tertutup. Bukan Nia yang seperti ini, yang berpakaian sexy dengan dandanan menyolok mata laki-laki.


Kata-kata yang sudah kusiapkan menguap sudah, bersamaan dengan menguapnya perasaan yang sekian lama ini membuncah dalam dada. Cinta dan sesal, keduanya bagai butir debu yang tertiup sang bayu. Hilang tak berbekas, hanya dalam hitungan detik.
 Mungkin ini  petunjuk dariNya. Tuhan seakan ingin memberi tahu, dengan caraNya, bahwa Nia bukanlah akhir terbaik. Mungkin Tuhan lah yang mendesain skenario perpisahan dengan menghadirkan Ade di antara aku dan Nia tiga tahun lalu. Sebab Tuhan telah menyiapkan sebuah ending lain yang lebih baik untuk mengakhiri masa lajangku. Sebuah akhir dengan wanita yang tak berpakaian ketat dan rok pendek di atas lutut.
Malam itu, setelah pertemuanku dengan Nia, ponsel Eva berbunyi menandakan masuknya pesan singkat dariku; “Oke, I’m ready to move on. Tolong kenalin ke aku kalau ada kandidat. Yang berhijab ya Va”.

-end-
Untuk Didit, yang sedang mencari akhir terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)