Tiga
tahun lalu, lagi-lagi gadis itu menolak untuk makan. Sudah berhari-hari dia seperti
itu. Ayah Ibunya sampai khawatir anak gadis mereka jatuh sakit. Tapi sebenarnya
anak mereka memang sudah sakit karena luka yang menganga dalam hatinya. Luka
yang disebabkan olehku, lelaki yang berkhianat.
***
Ini
hari Kamis, hari kerja biasa, tapi bagiku ini akan menjadi hari yang lumayan
penting. Aku sengaja memilih Kamis karena hari ini adalah salah satu hari yang
religius. Sejak lulus kuliah, aku membiasakan puasa Senin Kamis. Maka dini hari
tadi, aku sudah bangun untuk sahur sekalian shalat malam. Sorenya sepulang
kerja, ada pengajian Senin Kamis di Masjid kantor. Jadi kupikir, setelah shalat
malam, puasa dan mengaji, aku merasa cukup pantas untuk meminta pada Allah agar
diberikan akhir terbaik untuk sesuatu yang akan kulakukan malam ini.
“Tringg..!!”,
ponselku menyalak pelan menandakan ada pesan yang masuk. Dari Eva, “ I Wish for the best ending for you”. Aku
tersenyum tipis.
Eva
adalah teman sekantorku. Dia lah pemicu keberadaanku di sini, di kedai kopi
ini, demi menanti Nia, gadis yang dulu pernah menjadi kekasihku. Gadis yang
namanya belakangan ini sering bersliweran di kepalaku.
Nia
dan aku sudah putus tiga tahun lalu, setelah lebih dari dua tahun kami menjalin
hubungan. Penyebabnya adalah Ade, adik kelas yang membuatku berpaling. Kini,
keputusanku itu bermuara pada sebuah penyesalan.
“Kadang
kita memang harus kehilangan untuk mengerti bahwa sesuatu itu berarti”, Eva
berkomentar ketika kuungkapkan rasa sesalku meninggalkan Nia. Selama ini memang hanya pada
Eva aku bisa menceritakan segala hal, termasuk romantikaku di masa lalu. Entah
mengapa Eva bisa membuatku nyaman bercerita. Mungkin karena dia satu-satunya
perempuan di kantor ini, atau karena dia adalah perempuan matang yang sudah
berkeluarga.
“Iya
Va. Perlu tiga tahun untuk menyadari bahwa selama ini Nia lah yang terbaik.
Terlambat banget ya?”, jawabku lirih.
Ingatanku
lantas melayang ke masa-masa silam. Terkenang aku pada satu sosok perempuan
manis bernama Nia. Nia yang bersahaja dan tak pernah menuntut macam-macam. Nia
yang tak pernah protes walau ke mana-mana kami harus naik motor butut yang sering
mogok. Nia yang kerap membuatkanku masakan jika aku, yang waktu itu masih
berstatus anak kos, kehabisan uang. Nia yang menitikkan air mata saat kukatakan
aku ingin berpisah dengan alasan dia terlalu posesif. Nia yang mogok makan
selama berhari-hari karena tenggelam dalam kesedihan pasca perpisahan kami. Nia
yang tak bisa hilang dari ingatanku, bahkan saat aku berusaha menjalin hubungan
yang baru dengan orang lain.
“Dani,
sebaiknya kamu lakukan apa yang harus kamu lakukan. Tell her you’re sorry ”, suara Eva memecah lamunanku.
“Nggak
bisa Va. Dia sudah punya pacar. Malah mau menikah katanya”
“Memangnya
dia sudah dilamar?”
“Sepertinya
belum”
“Kalau
memang belum, segera kamu duluin”, cetus Eva serius. Aku terhenyak. Tak percaya
dengan sarannya yang tak masuk akal menurutku. “Setelah kamu akui kalau kamu
menyesal, kamu bilang bahwa kamu akan segera menemui orang tuanya untuk
melamarnya”, lanjutnya.
“Tapi
Va, sudah tiga tahun kami tidak ketemu. Masa ujug-ujug langsung ngajak
merried?”
“Aku
takut kamu menyesal karena terlambat melakukan sesuatu yang harus kamu lakukan”
“Tapi
aku tidak mau dicap sebagai perebut pasangan orang”
“Siapa
yang mau merebut? Kamu cuma memberikan pilihan yang lebih baik untuk Nia. A better option. Nah kalau Nianya nggak
mau ya berarti kamu harus terima kenyataan bahwa dia bukan jodohmu”, ujar Eva
sambil jemarinya membetulkan posisi jilbab yang membingkai wajahnya.
Aku
tergugu. Benarkah Nia masih membutuhkan
pilihan?, tanyaku dalam hati. Sepertinya aku memang harus memastikan
jawabannya.
Akhirnya
di sinilah aku sekarang. Di sebuah cafe yang jaraknya harus kutempuh selama 2
jam perjalanan naik motor dengan ditemani gerimis senja. Nia bekerja di sebuah
perusahaan dairy yang lokasinya agak
di luar kota. Jujur aku tak bisa menyembunyikan kegelisahanku. Aku sengaja
datang lebih awal agar punya waktu untuk menenangkan diri dan menyiapkan
kata-kata yang nanti akan kukatakan padanya.
Tepat
sepuluh menit dari waktu perjanjian, Nia datang. Aku terkesima melihatnya. Nia
sungguh berbeda dengan Nia tiga tahun lalu. Kuakui dia masih secantik dulu.
Lebih cantik malah. Aku memandang Nia nyaris tak berkedip. Dia mengenakan
kemeja ketat dan rok span di atas lutut. Penampilannya membuatku jakunku
berkali-kali naik turun karena menelan ludah.
Tapi
bukan dia. Bukan Nia yang ini gadis yang kuinginkan. Nia yang kucintai adalah Nia
yang bersahaja. Nia yang tidak doyan berdandan. Nia yang pakaiannya selalu
tertutup. Bukan Nia yang seperti ini, yang berpakaian sexy dengan dandanan
menyolok mata laki-laki.
Kata-kata
yang sudah kusiapkan menguap sudah, bersamaan dengan menguapnya perasaan yang
sekian lama ini membuncah dalam dada. Cinta dan sesal, keduanya bagai butir
debu yang tertiup sang bayu. Hilang tak berbekas, hanya dalam hitungan detik.
Mungkin ini petunjuk dariNya. Tuhan seakan ingin memberi
tahu, dengan caraNya, bahwa Nia bukanlah akhir terbaik. Mungkin Tuhan lah yang
mendesain skenario perpisahan dengan menghadirkan Ade di antara aku dan Nia
tiga tahun lalu. Sebab Tuhan telah menyiapkan sebuah ending lain yang lebih baik untuk mengakhiri masa lajangku. Sebuah
akhir dengan wanita yang tak berpakaian ketat dan rok pendek di atas lutut.
Malam
itu, setelah pertemuanku dengan Nia, ponsel Eva berbunyi menandakan masuknya
pesan singkat dariku; “Oke, I’m ready to
move on. Tolong kenalin ke aku kalau ada kandidat. Yang berhijab ya Va”.
-end-
Untuk
Didit, yang sedang mencari akhir terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.