Anak laki-laki
itu bernama Bimo. Agak kurang tepat sebenarnya, jika dia disebut anak di
usianya yang sudah jalan 18 tahun. Bimo jelas sudah bisa buang ingus dan tidak
lagi pipis di celana. Lagipula, anak-anak seharusnya sedang asyik bermain petak
umpet atau gobak sodor di sore hari semacam ini dan bukannya bengong di kamar
dengan pandangan kosong.
Cowok yang
tubuhnya termasuk kategori tinggi untuk ukuran sebayanya itu juga tidak pas
dibilang ABG. Sebab, rata-rata anak baru gede biasanya menyambut datangnya senja dengan les
Bahasa Inggris, latihan Taekwondo, rapat OSIS atau mengerjakan tugas prakarya. Bukannya
duduk diam menerawang seperti prajurit kalah perang. Yang jelas, siapapun pasti
tidak setuju jika ia disebut orang dewasa, karena cowok yang tak
berkakak dan tak beradik itu masih belum kelihatan seperti om-om, apalagi
bapak-bapak.
Tapi masalah
itu bukan hal yang penting untuk diceritakan. Sebab saat ini, Bimo jelas sedang
mengalami kegelisahan level dewa. Coba saja perhatikan tingkah lakunya sejam
terakhir ini.
Satu jam
yang lalu ia tengah memandangi layar ponselnya dengan pucat pasi. Beberapa
detik berikutnya ia menghempaskan tubuhnya di kasur sambil menatap
langit-langit. Beberapa menit kemudian dia meraih ponselnya kembali dan
tampaknya sedang berusaha menghubungi seseorang. Sepuluh menit berikutnya dia
pakai untuk menghubungi tiga nomor yang berbeda, berulang-ulang, tapi yang
didengarnya hanyalah suara kaku operator: “Maaf, nomor yang Anda tuju tidak
dapat dihubungi”. Dengan gelisah, ia membanting ponselnya. Tidak di lantai
tentunya, melainkan di kasur. Bimo tidak ingin benda yang didapatnya nyaris
tanpa susah payah hasil memenangi kuis di sebuah radio itu hancur. Usai
membanting ponsel, puluhan menit berikutnya ia habiskan dengan membisu dan termangu-mangu,
sebelum akhirnya keluar kamar dan mendapati selembar kertas kuning Post It
tertempel di pintu kamarnya. Memo tersebut membuatnya terlihat kian putus asa.
Terakhir, dia memelorotkan punggungnya di kusen pintu, kemudian bengong lagi
dengan mata yang mulai basah.
Bimo jelas
sedang terjangkiti wabah yang belakangan ini kerap melanda umat manusia; galau.
Tapi please deh, kegalauan macam apa yang membuat seseorang bisa
bertingkah sedemikian aneh? Sebentar bengong, sebentar menelpon, sebentar
membanting ponsel, sebentar bengong lagi, sebentar nangis.
Mungkinkah
kunci jawabannya ada di layar ponsel? Bisa jadi ada sesuatu yang dia lihat di sana
sehingga memicu kegalauan tingkat akut. Ada beberapa kemungkinan yang dia lihat
di layar sentuh selebar 7 inchi tersebut.
Pertama;
berita buruk kematian keluarga.
Negative! Jika ada berita
kematian, biasanya Bimo tidak akan termangu lama-lama di kamar melainkan segera
meluncur ke rumah duka untuk takziyah.
Kedua; diputuskan
pacarnya.
Oke, ini
lebih masuk akal, tapi sayangnya bukan itu juga jawabannya. Bimo sudah putus dengan
Rani lebih dari setahun lalu dan semenjak itu belum pernah terlihat menggandeng
siapapun.
Ketiga;
berita dari teman kampus yang mengabarkan jika nilai UTS nya dapat E.
Ini super
mustahil, sebab Bimo tidak kuliah, walau dia baru saja lulus SMA beberapa bulan
yang lalu.
Ngomong-ngomong
soal itu, tidak kuliahnya Bimo bukan karena orang tuanya tidak mampu, walaupun Bapak
hanya seorang staf pengurusan KTP di Kecamatan dan Ibu seorang penjahit.
Bukan juga
karena Bimo tidak pintar. Ya, sebenarnya alasan ini ada benarnya walau tidak
benar-benar amat. Dulu Bimo anak yang rajin belajar dan beberapa kali menjadi
bintang kelas. Waktu umurnya masih 6 tahun, dia sudah bisa diterima di SD
negeri. Saking cerdasnya, Bimo kecil pernah loncat kelas dan bisa lulus SD
hanya dalam 5 tahun. Hanya sayang, prestasinya saat lulus SD dan lulus SMA
bagaikan bumi dan langit. Bimo juga tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi
negeri. Akhirnya Bimo sekarang menganggur
tidak jelas, sebab orang tuanya sudah jauh-jauh hari memberi ultimatum. Kalau
Bimo tidak bisa masuk universitas negeri dengan jalur biasa, mereka tidak akan
sanggup menyekolahkannya di universitas swasta.
Apa yang
dialami Bimo ini tergolong fenomena yang langka. Sebab bagaimana mungkin
seorang anak yang tadinya rajin belajar, cerdas dan selalu menjadi juara kelas
tiba-tiba prestasinya jatuh bebas hanya setahun menjalang akhir masa SMA? Jawabannya
keluar sendiri dari mulut Bimo di sela-sela air mata yang mulai menetes.
“Twitterland,
seandainya aku tidak pernah mengenal tempat itu”, desis Bimo lirih. Oh, jadi
itu jawaban atas penyebab kegalauan Bimo hari ini. Bukan karena ada berita
duka, bukan karena putus cinta, juga bukan karena masalah sekolah.
Sekarang Bimo
tengah membongkar-bongkar laci memori di kepalanya, berusaha mencari lembar
kenangan yang merekam bagaimana awalnya dia bisa mengenal Twitterland, sebuah
negeri yang letaknya hanya ada di dunia maya. Negeri yang dengan mudah bisa dia
sambangi hanya dengan menatap layar ponsel atau laptop.
Sejurus
kemudian dia teringat Roy, sahabatnya sejak SMP. Ah iya, apa kabar dia
sekarang ya? Dengar-dengar dia sedang di Perancis mengambil kuliah
kuliner dan perhotelan. Seingat Bimo, Roy inilah yang pertama kali
memperkenalkannya dengan Twitterland, waktu mereka duduk di kelas 11.
Waktu itu
Roy dengan bersemangat menceritakan kalau ada tempat yang super asyik bernama
Twitterland. Untuk masuk ke sana tidak butuh tiket, tidak butuh karcis, sehingga
otomatis gratis. Yang Bimo butuhkan hanyalah membuat semacam identitas yang
diawali huruf @. Membuat identitas baru itu pun hanya butuh beberapa kali kedipan
mata. Dan lagi-lagi bebas biaya.
Di tempat
itu, Bimo berjumpa dengan bermacam-macam orang yang kesemuanya memiliki
identitas berawalan @. Mulanya memang agak membingungkan sebab Bimo tidak
terbiasa menyapa seseorang dengan sebutan “Hai @prettychick” atau “Halo
@gagahprakosa”. Di Twitterland tidak ada nama-nama yang biasa Bimo kenal
seperti Wahyu, Astri, Nanang, Linda atau Gusti.
Di sana,
warganya tidak terbiasa berbicara panjang lebar. Bicara mereka pendek-pendek,
persis suara kicauan burung gereja yang suka nangkring di kabel listrik. Jika
sedang di Twitterland, Bimo tidak akan bilang “Sore ini saya sedang dalam perjalanan
menuju arena basket untuk mengikuti Teenage Basketball League tingkat
Provinsi”, melainkan “Otw tanding basket di TBL Arena”.
Nah, mengenai
benar tidaknya Bimo bertanding basket, tidak ada yang benar-benar tahu.
Twitterland tidak mengenal proses audit atau verifikasi keabsahan kicauan warganya.
Jadi, setelah Bimo berkicau demikian, warga lain akan menyahut dengan kicauan
pula; “Sukses ya Bro”, “Semangat ya” dan semacamnya.
Bimo
memang sangat menyukai basket. Dari kecil, tepatnya sejak tahun pertamanya di
SMP, Bimo sudah jatuh cinta pada olah raga “rebut bola masukkan ke keranjang”
ini. Apalagi melihat kakak kelasnya yang jadi atlet basket nasional, kemudian terkenal,
terus terus ditawari jadi bintang iklan dan bintang film. Bimo bermimpi untuk
jadi atlet basket yang tidak hanya sukses, tapi juga ngetop. Seperti Michael
Jordan dengan Space Jam-nya. Atau setidaknya seperti Denny Sumargo dengan 5 Cm-nya.
Dalam hal
basket, Bimo termasuk gigih. Gigih berlatih, juga gigih menyediakan sendiri
pernik-pernik untuk mendukung hobinya ini. Dia pernah suatu kali menjadi loper
koran sore demi bisa membeli sepatu basket yang Ayahnya tak mampu membeli. Tapi
sayangnya itu dulu. Semangat juangnya meraih impian di dunia basket terkubur
dalam sudut tak terjamah ketika ia mulai mengenal Twitterland.
Semenjak
mengenal dunia digital itu, Bimo lebih rajin berkicau ketimbang latihan basket.
Ia kini menjadi semacam penulis novel yang bebas menentukan karakter dan sifat identitas
kembarannya di Twitterland. Sehingga perlahan, diciptakanlah seorang @basketboy
yang menjadi separuh Micahel Jordan, separuh Denny Sumargo.
Dari
kicauan-kicauan @basketboy, warga Twitterland kini mengenalnya sebagai seorang atlet
basket yang tajir dan populer. Hampir tiap hari kicauan Bimo di Twitterland
selalu disahuti oleh warga-warga lain yang namanya beraroma perempuan, semisal
@sweetjulia, @lilianamanis atau @maycantique.
Karena
popularitas yang diperolehnya tanpa susah payah itu, Bimo lebih suka hidup di
Twitterland sebagai @basketboy daripada hidup di dunia nyata sebagai Bimo yang
anak pegawai kecamatan dan yang masih harus belajar keras demi masa depan.
Bapak dan
Ibu tentu saja prihatin dan sudah berkali-kali berusaha memperingatkan anak
semata wayang mereka. Berkali-kali mereka menegur, memarahi dan mengomeli Bimo
agar tidak terlalu sering menjelajah Twitterland. Hingga akhirnya omelan mereka
berhenti dengan sendirinya semenjak kehadiran Bagas. Remaja tanggung sebaya
Bimo itu adalah keponakan Bapak yang secara tiba-tiba menjadi yatim piatu, dan
kemudian menjadi anak angkat di keluarga mereka.
Bagas juga
sesekali mengunjungi Twitterland. Tapi dia lebih senang menekuni buku-buku
pelajarannya ketimbang memandangi laptop atau smartphone seperti
sepupunya.
Hasilnya
segera kelihatan. Nilai Bagas meroket, sementara nilai Bimo jatuh bebas laksana
pemain bungee jumping. Bimo bahkan menyandang predikat sebagai juru
kunci saat nilai UNAS diumumkan. Saat itu, memang sempat terselip rasa sedih di
hati kecil Bimo. Tapi dia segera menampik perasaan itu dan tidak menghiraukan
batinnya yang menjerit melihat kesedihan di mata Ibu. Dia segera kembali ke
Twitterland untuk menjadi @basketboy yang populer. Kicauannya di hari
pengumuman UNAS adalah; “Sepuluh besar untuk nilai UNAS itu sesuatu banget ya”.
Puluhan kicauan yang senada dengan “Wah, selamat ya Bro” kontan bergema di
Twitterland. Dan Bimo pun tersenyum puas.
Tapi
beberapa bulan kemudian, tepatnya hari ini, beberapa saat yang lalu, ketika
Bimo mulai terbengong-bengong di kamar dengan ekspresi putus asa, ada sesuatu
hal yang membuat warga Twitterland berkicau riuh. Topik yang hangat
diperbincangkan hari ini adalah salah satu warganya yang bernama @basketboy.
Berawal
dari kicauan seseorang bernama @jagoaneon.
@jagoaneon: Shame on you
@basketboy! Penipu! Kamu cuma bekas murid SMA yang pura-pura jadi atlet basket.
@gagahparkosa: Tau dari
mana Bro @jagoaneon?
@jagoaneon: @gagahprakosa
Ud cek di TBL, ga ada atlet yg punya nama @basketboy.
@ronibass: Btl mas bro
@gagahprakosa, semua atlet TBL, namanya selalu diakhiri inisial TBL.
@prettychick: OmG, padahal
aku naksir berat sama dia. Da*n you @basketboy.
@sweetjulia: Pantesan dia
ga pernah pasang foto close up.
@jeremiahok: Hoi
@basketboy, mana suaranya kok ga berani muncul?
Sampai
sini barulah Bimo tersadar. Identitas kembarannya ketahuan. Warga Twitterland sudah menyadari
kebohongannya.
Ternyata Twitterland
bukanlah dunia fantasi yang selama ini dipikirkannya. Dia hanyalah dunia nyata
dalam bentuk milyaran elektron. Manusia-manusia yang ada di sana, sebenarnya
adalah manusia biasa yang membawa kehidupan nyatanya di dunia maya. Bukan
sebaliknya seperti yang Bimo lakukan.
Dan ketika
Bimo menyadari, semuanya sudah terlambat. Dia sudah terlanjur mendapat prestasi
belajar yang amburadul dan juga sudah terlanjur tidak lulus seleksi masuk perguruan
tinggi negeri.
Dan yang
paling parah, Bapak dan Ibu sudah tidak peduli lagi padanya, apalagi sejak
hadirnya Bagas di keluarga mereka. Sekali
lagi Bimo membaca tulisan tangan Ibu di kertas Post It yang tadi tertempel di
pintu kamarnya; “Kami semua pergi ke Jogja, tahlilan orang tua Bagas
sekalian syukuran karena Bagas jadi pelajar teladan”. Pantas saja sedari
tadi nomor telfon ketiganya tidak diangkat, mereka mungkin sekarang sedang
berada di kereta api, di daerah yang tak terkena jangkauan sinyal.
Bimo
menghela napas, orang tuanya bahkan tidak mau susah-susah bertanya apakah dia
mau ikut atau tidak. Dengan bergidik, Bimo menyadari sesuatu. Di mata orang
terdekatnya dia telah menjadi ada atau tiada tak ada bedanya. Dia
melihat bulu kuduknya meremang.
Dalam hati
dia bertanya; “Apakah kesalahannya ini masih bisa diperbaiki?”. Pertanyaannya
itu tentu saja tak ada yang menjawab, kecuali suara cicak di dinding; “Ck ck
ck...!!!”.
***
Jauh di
sana, di negara yang tidak mengenal kemangi melainkan peterseli, juga tidak
hanya memiliki dua musim melainkan empat, Roy tengah memandang layar ponselnya
dengan tersenyum. Dia puas memantau apa yang tengah terjadi di Twitterland.
Dari dulu
dia iri dengan Bimo, dengan kepintaran Bimo, dengan fisik Bimo yang atletis.
Sementara dia sendiri susah payah mengejar nilai-nilai Bimo. Dia sendiri sudah
belajar keras dan mengikuti les sana-sini. Nilai-nilai sekolahnya memang
membaik, tapi tetap saja kalah dengan nilai Bimo. Roy juga tidak suka
berolahraga dan sebaliknya lebih memilih hobi berkunjung dari satu dapur ke
dapur yang lain. Tak heran jika tubuhnya kian tambun, jauh berbeda dengan
sahabatnya yang langsing atletis.
Roy
berpikir, jika dia tidak bisa menjadi seperti Bimo, maka dia ingin membuat Bimo
menjadi seperti dirinya.
Roy masih
ingat betul, waktu itu Bimo sedang down karena gagal mengikuti seleksi TBL,
Teenage Baskeball League, sebuah event basket nasional. Keputusasaan
sahabatnya itu digunakan Roy untuk memperkenalkan Twitterland dengan dalih agar
kesedihannya beralih. Tapi dalam hati, Roy berharap agar Bimo bisa kecanduan
menjelajah Twitterland dan sedikit banyak berdampak pada prestasi belajarnya.
Harapan
Roy menjadi kenyataan, bahkan lebih dari yang diharapkannya. Bimo tidak hanya
kecanduan dan malas belajar, tapi juga kecanduan untuk tidak menjadi dirinya
sendiri.
Selama
ini, Roy sengaja membiarkan kelakuan Bimo dan tidak mau membuka identitas Bimo
yang sebenarnya di Twitterland. Dia berharap Bimo terlena lebih lama.
Melihat
apa yang dialami Bimo di Twitterland hari ini, Roy merasa senang. Tapi tak
urung terbit juga rasa khawatir di hatinya. Sebab, dengan terbukanya kedok Bimo
di Twitterland, bisa dipastikan Bimo akan menghapus jejak bahwa dia pernah
berada di sana. Suka tak suka, Bimo akan segera kembali ke dunia nyata yang
hanya menawarkan dua pilihan; terus terpuruk atau bangkit dan memperbaiki
kesalahan.
Roy
bertanya-tanya, akankah Bimo terus berputus asa, seperti dulu saat dia gagal
seleksi basket. Atau bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih lagi menata
impian yang baru dan dengan segenap daya
upaya memperjuangkannya.
Saat ini
Roy memang beberapa langkah di depan Bimo. Namun jujur ia takut, jika kelak Bimo
yang dulu pernah dikenalnya muncul kembali. Yakni Bimo yang dengan gigih
mengayuh sepeda agar kaki-kaki kecilnya bisa melangkah di atas bumi dengan bersepatu
basket.
-selesai-
ditulis untuk meramaikan Lomba Menulis Cerpen Remaja Rohto 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.