Minggu, 29 September 2013

Twitterland




Anak laki-laki itu bernama Bimo. Agak kurang tepat sebenarnya, jika dia disebut anak di usianya yang sudah jalan 18 tahun. Bimo jelas sudah bisa buang ingus dan tidak lagi pipis di celana. Lagipula, anak-anak seharusnya sedang asyik bermain petak umpet atau gobak sodor di sore hari semacam ini dan bukannya bengong di kamar dengan pandangan kosong.
Cowok yang tubuhnya termasuk kategori tinggi untuk ukuran sebayanya itu juga tidak pas dibilang ABG. Sebab, rata-rata anak baru gede  biasanya menyambut datangnya senja dengan les Bahasa Inggris, latihan Taekwondo, rapat OSIS atau mengerjakan tugas prakarya. Bukannya duduk diam menerawang seperti prajurit kalah perang. Yang jelas, siapapun pasti tidak setuju jika ia disebut orang dewasa, karena cowok yang tak berkakak dan tak beradik itu masih belum kelihatan seperti om-om, apalagi bapak-bapak.
Tapi masalah itu bukan hal yang penting untuk diceritakan. Sebab saat ini, Bimo jelas sedang mengalami kegelisahan level dewa. Coba saja perhatikan tingkah lakunya sejam terakhir ini.
Satu jam yang lalu ia tengah memandangi layar ponselnya dengan pucat pasi. Beberapa detik berikutnya ia menghempaskan tubuhnya di kasur sambil menatap langit-langit. Beberapa menit kemudian dia meraih ponselnya kembali dan tampaknya sedang berusaha menghubungi seseorang. Sepuluh menit berikutnya dia pakai untuk menghubungi tiga nomor yang berbeda, berulang-ulang, tapi yang didengarnya hanyalah suara kaku operator: “Maaf, nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi”. Dengan gelisah, ia membanting ponselnya. Tidak di lantai tentunya, melainkan di kasur. Bimo tidak ingin benda yang didapatnya nyaris tanpa susah payah hasil memenangi kuis di sebuah radio itu hancur. Usai membanting ponsel, puluhan menit berikutnya ia habiskan dengan membisu dan termangu-mangu, sebelum akhirnya keluar kamar dan mendapati selembar kertas kuning Post It tertempel di pintu kamarnya. Memo tersebut membuatnya terlihat kian putus asa. Terakhir, dia memelorotkan punggungnya di kusen pintu, kemudian bengong lagi dengan mata yang mulai basah.
Bimo jelas sedang terjangkiti wabah yang belakangan ini kerap melanda umat manusia; galau. Tapi please deh, kegalauan macam apa yang membuat seseorang bisa bertingkah sedemikian aneh? Sebentar bengong, sebentar menelpon, sebentar membanting ponsel, sebentar bengong lagi, sebentar nangis.
Mungkinkah kunci jawabannya ada di layar ponsel? Bisa jadi ada sesuatu yang dia lihat di sana sehingga memicu kegalauan tingkat akut. Ada beberapa kemungkinan yang dia lihat di layar sentuh selebar 7 inchi tersebut.
Pertama; berita buruk kematian keluarga.
Negative! Jika ada berita kematian, biasanya Bimo tidak akan termangu lama-lama di kamar melainkan segera meluncur ke rumah duka untuk takziyah.
Kedua; diputuskan pacarnya.
Oke, ini lebih masuk akal, tapi sayangnya bukan itu juga jawabannya. Bimo sudah putus dengan Rani lebih dari setahun lalu dan semenjak itu belum pernah terlihat menggandeng siapapun.
Ketiga; berita dari teman kampus yang mengabarkan jika nilai UTS nya dapat E.
Ini super mustahil, sebab Bimo tidak kuliah, walau dia baru saja lulus SMA beberapa bulan yang lalu.
Ngomong-ngomong soal itu, tidak kuliahnya Bimo bukan karena orang tuanya tidak mampu, walaupun Bapak hanya seorang staf pengurusan KTP di Kecamatan dan Ibu seorang penjahit.
Bukan juga karena Bimo tidak pintar. Ya, sebenarnya alasan ini ada benarnya walau tidak benar-benar amat. Dulu Bimo anak yang rajin belajar dan beberapa kali menjadi bintang kelas. Waktu umurnya masih 6 tahun, dia sudah bisa diterima di SD negeri. Saking cerdasnya, Bimo kecil pernah loncat kelas dan bisa lulus SD hanya dalam 5 tahun. Hanya sayang, prestasinya saat lulus SD dan lulus SMA bagaikan bumi dan langit. Bimo juga tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri.  Akhirnya Bimo sekarang menganggur tidak jelas, sebab orang tuanya sudah jauh-jauh hari memberi ultimatum. Kalau Bimo tidak bisa masuk universitas negeri dengan jalur biasa, mereka tidak akan sanggup menyekolahkannya di universitas swasta.
Apa yang dialami Bimo ini tergolong fenomena yang langka. Sebab bagaimana mungkin seorang anak yang tadinya rajin belajar, cerdas dan selalu menjadi juara kelas tiba-tiba prestasinya jatuh bebas hanya setahun menjalang akhir masa SMA? Jawabannya keluar sendiri dari mulut Bimo di sela-sela air mata yang mulai menetes.
“Twitterland, seandainya aku tidak pernah mengenal tempat itu”, desis Bimo lirih. Oh, jadi itu jawaban atas penyebab kegalauan Bimo hari ini. Bukan karena ada berita duka, bukan karena putus cinta, juga bukan karena masalah sekolah.
Sekarang Bimo tengah membongkar-bongkar laci memori di kepalanya, berusaha mencari lembar kenangan yang merekam bagaimana awalnya dia bisa mengenal Twitterland, sebuah negeri yang letaknya hanya ada di dunia maya. Negeri yang dengan mudah bisa dia sambangi hanya dengan menatap layar ponsel atau laptop.
Sejurus kemudian dia teringat Roy, sahabatnya sejak SMP. Ah iya, apa kabar dia sekarang ya? Dengar-dengar dia sedang di Perancis mengambil kuliah kuliner dan perhotelan. Seingat Bimo, Roy inilah yang pertama kali memperkenalkannya dengan Twitterland, waktu mereka duduk di kelas 11.
Waktu itu Roy dengan bersemangat menceritakan kalau ada tempat yang super asyik bernama Twitterland. Untuk masuk ke sana tidak butuh tiket, tidak butuh karcis, sehingga otomatis gratis. Yang Bimo butuhkan hanyalah membuat semacam identitas yang diawali huruf @. Membuat identitas baru itu pun hanya butuh beberapa kali kedipan mata. Dan lagi-lagi bebas biaya.
Di tempat itu, Bimo berjumpa dengan bermacam-macam orang yang kesemuanya memiliki identitas berawalan @. Mulanya memang agak membingungkan sebab Bimo tidak terbiasa menyapa seseorang dengan sebutan “Hai @prettychick” atau “Halo @gagahprakosa”. Di Twitterland tidak ada nama-nama yang biasa Bimo kenal seperti Wahyu, Astri, Nanang, Linda atau Gusti.
Di sana, warganya tidak terbiasa berbicara panjang lebar. Bicara mereka pendek-pendek, persis suara kicauan burung gereja yang suka nangkring di kabel listrik. Jika sedang di Twitterland, Bimo tidak akan bilang “Sore ini saya sedang dalam perjalanan menuju arena basket untuk mengikuti Teenage Basketball League tingkat Provinsi”, melainkan “Otw tanding basket di TBL Arena”.
Nah, mengenai benar tidaknya Bimo bertanding basket, tidak ada yang benar-benar tahu. Twitterland tidak mengenal proses audit atau verifikasi keabsahan kicauan warganya. Jadi, setelah Bimo berkicau demikian, warga lain akan menyahut dengan kicauan pula; “Sukses ya Bro”, “Semangat ya” dan semacamnya.
Bimo memang sangat menyukai basket. Dari kecil, tepatnya sejak tahun pertamanya di SMP, Bimo sudah jatuh cinta pada olah raga “rebut bola masukkan ke keranjang” ini. Apalagi melihat kakak kelasnya yang jadi atlet basket nasional, kemudian terkenal, terus terus ditawari jadi bintang iklan dan bintang film. Bimo bermimpi untuk jadi atlet basket yang tidak hanya sukses, tapi juga ngetop. Seperti Michael Jordan dengan Space Jam-nya. Atau setidaknya seperti Denny Sumargo dengan 5 Cm-nya.
Dalam hal basket, Bimo termasuk gigih. Gigih berlatih, juga gigih menyediakan sendiri pernik-pernik untuk mendukung hobinya ini. Dia pernah suatu kali menjadi loper koran sore demi bisa membeli sepatu basket yang Ayahnya tak mampu membeli. Tapi sayangnya itu dulu. Semangat juangnya meraih impian di dunia basket terkubur dalam sudut tak terjamah ketika ia mulai mengenal Twitterland.
Semenjak mengenal dunia digital itu, Bimo lebih rajin berkicau ketimbang latihan basket. Ia kini menjadi semacam penulis novel yang bebas menentukan karakter dan sifat identitas kembarannya di Twitterland. Sehingga perlahan, diciptakanlah seorang @basketboy yang menjadi separuh Micahel Jordan, separuh Denny Sumargo.
Dari kicauan-kicauan @basketboy, warga Twitterland kini mengenalnya sebagai seorang atlet basket yang tajir dan populer. Hampir tiap hari kicauan Bimo di Twitterland selalu disahuti oleh warga-warga lain yang namanya beraroma perempuan, semisal @sweetjulia, @lilianamanis atau @maycantique.
Karena popularitas yang diperolehnya tanpa susah payah itu, Bimo lebih suka hidup di Twitterland sebagai @basketboy daripada hidup di dunia nyata sebagai Bimo yang anak pegawai kecamatan dan yang masih harus belajar keras demi masa depan.
Bapak dan Ibu tentu saja prihatin dan sudah berkali-kali berusaha memperingatkan anak semata wayang mereka. Berkali-kali mereka menegur, memarahi dan mengomeli Bimo agar tidak terlalu sering menjelajah Twitterland. Hingga akhirnya omelan mereka berhenti dengan sendirinya semenjak kehadiran Bagas. Remaja tanggung sebaya Bimo itu adalah keponakan Bapak yang secara tiba-tiba menjadi yatim piatu, dan kemudian menjadi anak angkat di keluarga mereka.
Bagas juga sesekali mengunjungi Twitterland. Tapi dia lebih senang menekuni buku-buku pelajarannya ketimbang memandangi laptop atau smartphone seperti sepupunya.
Hasilnya segera kelihatan. Nilai Bagas meroket, sementara nilai Bimo jatuh bebas laksana pemain bungee jumping. Bimo bahkan menyandang predikat sebagai juru kunci saat nilai UNAS diumumkan. Saat itu, memang sempat terselip rasa sedih di hati kecil Bimo. Tapi dia segera menampik perasaan itu dan tidak menghiraukan batinnya yang menjerit melihat kesedihan di mata Ibu. Dia segera kembali ke Twitterland untuk menjadi @basketboy yang populer. Kicauannya di hari pengumuman UNAS adalah; “Sepuluh besar untuk nilai UNAS itu sesuatu banget ya”. Puluhan kicauan yang senada dengan “Wah, selamat ya Bro” kontan bergema di Twitterland. Dan Bimo pun tersenyum puas.
Tapi beberapa bulan kemudian, tepatnya hari ini, beberapa saat yang lalu, ketika Bimo mulai terbengong-bengong di kamar dengan ekspresi putus asa, ada sesuatu hal yang membuat warga Twitterland berkicau riuh. Topik yang hangat diperbincangkan hari ini adalah salah satu warganya yang bernama @basketboy.
Berawal dari kicauan seseorang bernama @jagoaneon.
@jagoaneon: Shame on you @basketboy! Penipu! Kamu cuma bekas murid SMA yang pura-pura jadi atlet basket.
@gagahparkosa: Tau dari mana Bro @jagoaneon?
@jagoaneon: @gagahprakosa Ud cek di TBL, ga ada atlet yg punya nama @basketboy.
@ronibass: Btl mas bro @gagahprakosa, semua atlet TBL, namanya selalu diakhiri inisial TBL.
@prettychick: OmG, padahal aku naksir berat sama dia. Da*n you @basketboy.
@sweetjulia: Pantesan dia ga pernah pasang foto close up.
@jeremiahok: Hoi @basketboy, mana suaranya kok ga berani muncul?
Sampai sini barulah Bimo tersadar. Identitas kembarannya ketahuan.  Warga Twitterland sudah menyadari kebohongannya.
Ternyata Twitterland bukanlah dunia fantasi yang selama ini dipikirkannya. Dia hanyalah dunia nyata dalam bentuk milyaran elektron. Manusia-manusia yang ada di sana, sebenarnya adalah manusia biasa yang membawa kehidupan nyatanya di dunia maya. Bukan sebaliknya seperti yang Bimo lakukan.
Dan ketika Bimo menyadari, semuanya sudah terlambat. Dia sudah terlanjur mendapat prestasi belajar yang amburadul dan juga sudah terlanjur tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri.
Dan yang paling parah, Bapak dan Ibu sudah tidak peduli lagi padanya, apalagi sejak hadirnya Bagas di keluarga mereka.  Sekali lagi Bimo membaca tulisan tangan Ibu di kertas Post It yang tadi tertempel di pintu kamarnya; “Kami semua pergi ke Jogja, tahlilan orang tua Bagas sekalian syukuran karena Bagas jadi pelajar teladan”. Pantas saja sedari tadi nomor telfon ketiganya tidak diangkat, mereka mungkin sekarang sedang berada di kereta api, di daerah yang tak terkena jangkauan sinyal.
Bimo menghela napas, orang tuanya bahkan tidak mau susah-susah bertanya apakah dia mau ikut atau tidak. Dengan bergidik, Bimo menyadari sesuatu. Di mata orang terdekatnya dia telah menjadi ada atau tiada tak ada bedanya. Dia melihat bulu kuduknya meremang.
Dalam hati dia bertanya; “Apakah kesalahannya ini masih bisa diperbaiki?”. Pertanyaannya itu tentu saja tak ada yang menjawab, kecuali suara cicak di dinding; “Ck ck ck...!!!”.
***
Jauh di sana, di negara yang tidak mengenal kemangi melainkan peterseli, juga tidak hanya memiliki dua musim melainkan empat, Roy tengah memandang layar ponselnya dengan tersenyum. Dia puas memantau apa yang tengah terjadi di Twitterland.
Dari dulu dia iri dengan Bimo, dengan kepintaran Bimo, dengan fisik Bimo yang atletis. Sementara dia sendiri susah payah mengejar nilai-nilai Bimo. Dia sendiri sudah belajar keras dan mengikuti les sana-sini. Nilai-nilai sekolahnya memang membaik, tapi tetap saja kalah dengan nilai Bimo. Roy juga tidak suka berolahraga dan sebaliknya lebih memilih hobi berkunjung dari satu dapur ke dapur yang lain. Tak heran jika tubuhnya kian tambun, jauh berbeda dengan sahabatnya yang langsing atletis.
Roy berpikir, jika dia tidak bisa menjadi seperti Bimo, maka dia ingin membuat Bimo menjadi seperti dirinya.
Roy masih ingat betul, waktu itu Bimo sedang down karena gagal mengikuti seleksi TBL, Teenage Baskeball League, sebuah event basket nasional. Keputusasaan sahabatnya itu digunakan Roy untuk memperkenalkan Twitterland dengan dalih agar kesedihannya beralih. Tapi dalam hati, Roy berharap agar Bimo bisa kecanduan menjelajah Twitterland dan sedikit banyak berdampak pada prestasi belajarnya.
Harapan Roy menjadi kenyataan, bahkan lebih dari yang diharapkannya. Bimo tidak hanya kecanduan dan malas belajar, tapi juga kecanduan untuk tidak menjadi dirinya sendiri.
Selama ini, Roy sengaja membiarkan kelakuan Bimo dan tidak mau membuka identitas Bimo yang sebenarnya di Twitterland. Dia berharap Bimo terlena lebih lama.
Melihat apa yang dialami Bimo di Twitterland hari ini, Roy merasa senang. Tapi tak urung terbit juga rasa khawatir di hatinya. Sebab, dengan terbukanya kedok Bimo di Twitterland, bisa dipastikan Bimo akan menghapus jejak bahwa dia pernah berada di sana. Suka tak suka, Bimo akan segera kembali ke dunia nyata yang hanya menawarkan dua pilihan; terus terpuruk atau bangkit dan memperbaiki kesalahan.
Roy bertanya-tanya, akankah Bimo terus berputus asa, seperti dulu saat dia gagal seleksi basket. Atau bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih lagi menata impian yang  baru dan dengan segenap daya upaya memperjuangkannya.
Saat ini Roy memang beberapa langkah di depan Bimo. Namun jujur ia takut, jika kelak Bimo yang dulu pernah dikenalnya muncul kembali. Yakni Bimo yang dengan gigih mengayuh sepeda agar kaki-kaki kecilnya bisa melangkah di atas bumi dengan bersepatu basket.

-selesai-

ditulis untuk meramaikan Lomba Menulis Cerpen Remaja Rohto 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)