Rabu, 04 September 2013

Dan Aku Memang Sempurna



“Arden sudah makan?”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata dia lagi. Gadis berpipi kemerahan seperti apel yang matanya bulat dan bening. Aku mengangguk, namun detik berikutnya langsung menyesal melakukannya. “Belum”, jawabku.
“Kita makan sama-sama ya”, ajaknya.
“Boleh”, jawabku lagi. Matanya menatapku. Aku melihat binar senang di matanya yang indah. Dua sudut bibirnya tertarik membentuk segaris senyum tipis.
Ternyata dia cantik. Selama ini aku tidak benar-benar memperhatikannya  sampai...well...sampai aku terpaksa harus memperhatikannya karena belakangan ini sering berjumpa dengannya di tempat ini.
Kami berdua, dan beberapa puluh orang lainnya, sama-sama berada di sini dengan satu tujuan; beradaptasi dengan kondisi yang baru.
Kami sampai di kantin dan langsung mengambil makanan yang sudah disediakan di atas nampan-nampan. Menu hari ini; nasi goreng Cina, lengkap dengan acar mentimun dan cabe hijau di pinggirnya. Kami membawa nampan dengan hati-hati dan mencari tempat duduk.
Entah di suapan ke berapa, mau tidak mau aku terpekik. “Awas, cabe!”, teriakku saat melihat sebuah cabe hijau gemuk nangkring di atas nasi goreng di sendoknya. Aku tahu lidah dan perutnya tidak dapat menerima kehadiran buah eksotis yang pedas tersebut.
“Aduh hampir saja, terima kasih ya”, katanya, lagi-lagi sambil menatapku dengan bola matanya yang bening dan senyuman yang menawan. Ah, tatapan dan senyuman itu lagi. Diam-diam aku bersyukur karena di tempat ini aku bertemu bidadari. Jika tidak, aku tidak tahu apakah aku bisa segera bangkit dari keputusasaan akibat kejadian yang mengharuskan aku berada di sini.
Aku tersenyum dan lagi-lagi menyesalinya. Tentu saja dia tidak akan pernah melihat senyumanku. Dia hanya bisa mendengar suaraku dan aku tahu dia suka mendengar suaraku.
“Sama-sama”, jawabku.
Lantas bola mata itu memandangku lagi. Bola mata yang kehilangan fungsinya karena kecelakaan lalu lintas yang menimpanya.
Aku melihat binar di bola mata itu tiap kali gendang telinganya menangkap frekuensi suaraku. Binar mata yang menantapku seolah aku perjaka surga yang sempurna, padahal aku sendiri baru saja kehilangan sebelah lengan, juga karena kecelakaan.
Di tempat ini, di panti rehabilitasi penyandang cacat ini, aku masih bertemu seseorang yang menatapku dalam ketidaksempurnaannya. Ketidaksempuranaan yang justru menyempurnakan aku. 

ditulis untuk tema kedua FF 2 in 1 by @nulisbuku (tapi sayang sudah 10 menit lewat dari deadline). 
FF 2 in 1 adalah event mingguan yang diadakan @nulisbuku berupa kompetisi menulis Flash Fiction yang hanya diberi waktu 30 menit sejak dilemparkan tema hingga dipostkan di blog hingga memasang link via twitter. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)