(1)
Untung aku
mengenakan pakaian putih dan kerudung hijau hari ini. Warna putih yang
melambangkan kesucian Dzat Ilahi dan warna hijau yang konon menjadi warna
favorit Nabi Muhammad. Pas sekali dengan momen perpisahan yang baru saja
terjadi antara aku dan dia. Padahal, ketika aku memilih busana itu pagi ini,
aku sama sekali tidak menyangka akan mengenakannya untuk mengucapkan selamat
tinggal pada sahabat lama.
Aku
mengenalnya nyaris 5 tahun yang lalu, persis semenjak aku diterima di pabrik
penggilingan terigu terbesar di kota ini. Tapi kami baru benar-benar akrab
sekitar 4 tahun terakhir. Bisa dibilang, aku adalah satu-satunya perempuan yang
akrab dengannya. Memang sih, beberapa perempuan memang terlihat beberapa kali
mendatanginya. Tapi aku yakin, aku lah perempuan yang paling setia
mengakrabinya, bahkan sejak dia ada di tempat ini.
Dulu aku
sempat merasa kebingungan saat berusaha mendekatinya. Semua kawannya laki-laki.
Catat, semuanya. Seolah dia lupa bahwa makhluk ciptaan Tuhan juga ada yang
berjenis kelamin perempuan.
Tapi kondisi
itu tidak lantas membuatku mengurungkan niat untuk mendekatinya. Awalnya terasa
rikuh. Apalagi melihat mata para lelaki yang menatapku aneh saat aku mulai
perlahan mendekatinya. Ditambah lagi, dia sendiri juga rasanya menyambut
kehadiranku dengan dingin. Buktinya aku sampai salah tingkah harus berbuat
bagaimana di awal-awal hubungan kami. Terus terang, situasi tersebut sempat
membuatku ragu untuk meneruskan niat berteman dengannya.
Satu dua
bulan berlalu, hubungan kami pun mulai terjalin, walau awalnya hanya sebentar-sebentar
saja tiap harinya. Tapi aku berusaha setidaknya menyapanya sehari sekali.
Akhirnya setelah sekian lama, aku berhasil mendapat tempat di salah satu sudut
hatinya. Hanya sebuah sudut kecil, tapi tak mengapa. Itu sudah lebih dari cukup.
Melihat aku
mulai berani berkawan dengannya, satu dua perempuan terlihat mulai ikut-ikutan
mendekatinya. Aku tidak keberatan ketika sudut kecil itu sesekali harus kubagi
dengan perempuan lain. Toh sudut kecil itu masih terasa leluasa mengingat tak
banyak perempuan yang bersedia mendatanginya. Tapi biar bagaimana, aku lebih
senang jika sudut itu hanya terisi aku seorang, hingga aku dan dia benar-benar
bisa menikmati momen-momen eksklusif bersama.
Empat tahun
ini aku dan dia berteman akrab. Telah banyak momen-momen penting yang kubagi
hanya dengannya. Dia lah tempat aku menyandarkan kepala saat benar-benar sedang
merasa kelelahan. Dia bahkan beberapa kali membiarkan aku tertidur dalam
dekapannya. Dia juga menjadi tempatku membagi kebahagiaan dan rasa syukur jika
suatu ketika mendapatkan rejeki. Bersamanya, aku melewatkan waktu untuk
memikirkan Tuhan dan bersama-sama membaca kitab suciNya. Dia lah tempatku
melampiaskan amarah dan kesedihan yang terkadang tak kuasa kukendalikan.
Aku
mencintainya. Semakin lama mengenalnya, semakin aku tak kuasa meninggalkannya.
Bahkan di waktu istirahat, aku lebih memilih untuk mendatanginya ketimbang
menghabiskan waktu bersama teman-temanku yang lain. Karena dengannya aku
memperoleh makna kedamaian.
Tapi hari
ini aku terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada sahabatku itu. Pada Masjid
berkubah hijau yang terletak persis di depan pabrik tempatku bekerja.
Masjid itu
memang bukan seperti masjid kebanyakan. Dia tidak memiliki tempat wudhu maupun
tempat shalat khusus wanita. Sehingga tidak heran jika tidak ada seorang pun
perempuan yang mau mendatanginya.
Dan perihal
aku, bagi kebanyakan orang, aku adalah anomali. Tiga puluh tahun lebih semenjak
pabrik ini berdiri, aku lah karyawan perempuan pertama yang menodai dominasi
kaum adam di tempat ini. Lima tahun lalu, aku diterima di perusahaan ini dan
ditempatkan di sebuah departemen yang terdiri atas ratusan karyawan laki-laki
dan tentu saja, tidak memiliki toilet perempuan.
Pabrik ini
memang bukan tempat yang lazim bagi kaum hawa. Mungkin itulah sebabnya masjid
berkubah hijau yang dibangun beberapa tahun setelah pabrik ini berdiri itu
tidak punya tempat untuk jamaah perempuan.
Mungkin
karena aku bersikeras untuk menunaikan shalat di sana, akhirnya pengurus masjid
menyerah dan membuatkan dua lembar kain putih untuk menjadi penyekat tempat
shalatku dengan jamaah laki-laki. Tempat itu adalah salah satu sudut kecil di
dekat Grandpa’s Clock yang sudah tak berfungsi lagi.
Tapi masih
ada dua masalah. Masjid itu hanya punya satu pintu, jadi akses untuk menuju ke
bilik kecilku itu tetap saja harus melewati pintu bagi jamaah laki-laki. Masalah
kedua, karena tidak ada tempat wudhu khusus perempuan, aku terpaksa bergantian
dengan para jamaah laki-laki atau memohon mereka untuk menunggu agar aku
selesai berwudhu terlebih dulu.
Tapi bagiku
kedua kendala itu hanyalah masalah kecil. Awalnya memang banyak komentar
miring, tapi aku tak peduli. Kupikir, apa yang kulakukan itu murni urusan antara
aku dan Penciptaku. Jadi terserah lah mereka mau berkata apa.
Akhirnya
lama kelamaan, mereka mulai terbiasa dengan kehadiranku dan mulai sedikit demi
sedikit memberiku ruang. Masjid itu juga terasa lebih hangat ketimbang
sebelumnya, saat untuk meletakkan kepalaku ketika sujud saja aku kebingungan
harus di mana?
Tapi aku tak
pernah menyangka jika keakrabanku dengan rumah Tuhan itu rupanya menimbulkan
mudharat bagi seseorang. Seseorang yang juga mengakrabkan diri dengan tempat
itu karena juga ingin mengakrabkan diri denganku. Orang itu, tanpa kusadari,
juga mendatangi masjid itu demi melihatku atau mendengar suaraku mengaji.
Ketika dia
menyatakan isi hatinya padaku, yang terbersit dalam pikiranku adalah rasa
bersalah yang teramat dalam. Selama ini aku bertahan dengan keegoisanku,
mengira keakrabanku dengan masjid itu adalah semata-mata karena ikatanku dengan
Tuhan. Aku melupakan fakta penting bahwa di masjid itu bukan hanya aku, tetapi
juga hamba-hamba lain yang berusaha mengikatkan diri dengan Tuhan. Dan tanpa
sanggup kucegah, salah satu ikatan itu beririsan dengan ikatanku.
Ah,
seandainya saja aku bisa bertemu dengan almarhumah Ibu Theresa yang mengabdikan
hidupnya untuk orang-orang miskin di Calcutta sana, mungkin aku akan membantah
puisinya. “Tidak Ibu, ternyata tidak selalu antara aku Tuhan. Sebab antara aku
dan Tuhan, juga ada dia. Dia yang juga mencari Tuhan, namun sayangnya niatnya
tak lagi lurus. Hanya karena dia melihatku juga sedang mencari Tuhan”. (puisi
terkenal yang ditemukan tertulis di dinding rumah Bunda Theresa untuk anak-anak
miskin di Calcutta dengan judul asli “Its Between You and God”-penulis)
Jadi hari
ini kuputuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Masjid itu. Agar dia berhenti
mengharapkanku dan berganti dengan harapan untuk hanya bertemu dengan
PenciptaNya, Dzat Maha Mulia yang sama dengan yang menciptakan aku.
Menyadari bahwa
hari ini adalah hari terakhirku di sini, kupandangi tiap jengkal sudut kecilku
dan hal-hal yang terlihat dari sana. Aku tak mampu menahan keluarnya butiran air
dari kedua mataku ketika menyadari inilah duduk terakhirku di tempat ini. Ini
lah butir air mata terakhir yang membasahi lantai Masjid sejuk berdinding hijau
ini.
Hari ini,
aku sengaja berlama-lama di dalamnya dan menempelkan pipiku di lantainya. Sebab
esok hari aku sudah tak akan menginjakkan kaki lagi di sana.
Selamat
tinggal, sahabatku. Dulu aku mendatangimu karena Tuhan. Dan kini, aku
meninggalkanmu pun karena Dia.
Karena takut
akan segala niat yang tak lagi lurus untukNya.
(2)
Dari dulu
aku heran, kenapa kamu tidak marah? Atau setidaknya memasang muka cemberut
kepadaku. Padahal kemarahan dan kecemberutanmu itu sudah sewajarnya karena aku
sudah melakukan hal yang tidak pantas.
Sederhana
sebenarnya. Aku menyatakan perasaan cinta padamu. Padahal aku tahu beberapa
bulan lagi kamu akan mengikat janji dengan seseorang.
Tapi aku
tidak bisa mencegah perasaan itu. Sebagaimana aku tidak mampu mencegah matahari
agar tidak terbit dari timur. Perasaanku merekah seperti mentari yang muncul
perlahan dari balik cakrawala. Hanya bedanya, matahari bisa tenggelam jika
senja tiba. Namun tidak dengan perasaanku. Ia nya terus terbit. Kian lama kian
terang. Seperti bunga yang merekah dan merebakkan harum wangi cinta yang
memenuhi setiap sudut hatiku.
Aku jatuh
cinta pada wajahmu yang selalu terlihat tersenyum. Begitu berpapasan dengan
siapa saja, entah kamu mengenalnya atau tidak, kamu pasti menyunggingkan senyum.
Aku jatuh
cinta pada wajahmu yang tidak pernah terlihat bersedih hati. Aku selalu melihat
siang hari yang cerah di matamu yang berhiaskan bulu mata yang lentik. Sadarkah
kamu bahwa bahagiamu itu menular padaku?
Aku jatuh
cinta pada wajahmu yang nyaris tak pernah disentuh riasan, melainkan air wudhu.
Pagi, siang dan sore, tiap kali aku melihatmu sedang mengakrabkan diri dengan Masjid
di depan pabrik tempat kita bekerja.
Aku bekerja
di tempat ini lebih dulu beberapa tahun sebelum kamu. Selama ini aku sudah
terbiasa hanya melihat laki-laki. Tapi semenjak kamu tiba-tiba bekerja di sini
dan dengan keras kepala meminta pengurus untuk membuatkanmu tempat untuk jamaah
wanita di dalam Masjid, ada perasaan lain yang muncul perlahan. Rasa rindu aneh
yang mulai timbul tiap kali tak melihatmu. Perasaan itu tipis dan perlahan
menebal. Bagai batu yang sedikit demi sedikit berlubang karena tetesan air.
Di tempat
ini, pekerjaanku dan pekerjaanmu memang nyaris tak pernah berhubungan. Tapi aku
kerap melihatmu mengunjungi masjid. Satu-satunya perempuan di tempat ini yang
mau berkawan dengan masjid berkubah dan berdinding haijau itu. Entah sejak
kapan, kamu dan masjid itu, telah menjadi candu bagiku.
Seharusnya
cukup banyak alasan untuk tidak jatuh cinta padamu. Namun kenyataannya cukup
banyak alasan juga untuk jatuh cinta. Seperti halnya orang-orang di sekitarmu
yang dengan berani menyatakan kekaguman mereka padamu.
Seandainya
saja aku seperti mereka, yang bisa mengagumi tanpa melibatkan perasaan cinta.
Sehingga aku tak perlu didera merasaan rindu dan cemburu yang kian menyiksa.
Karena sejak awal aku tahu tak ada tempat untukku di hatimu.
Namun ketika
suatu hari kunyatakan perasaan itu padamu, kamu tidak marah. Ada sinar sedih di
matamu, tapi kamu tetap tersenyum ramah. Pun berhari-hari semenjak itu, kamu
masih saja menyunggingkan senyum manis seolah kamu tak pernah mendengar hal-hal
remeh yang pasti membuatmu perasaanmu tak nyaman semacam rasa cintaku padamu.
Tapi ada
yang lain pagi ini, aku tidak melihatmu di masjid tempat kamu biasa mendirikan
shalat sebelum mulai bekerja. Aku juga tidak melihatmu di sana saat waktunya
shalat di siang hari dan sore hari. Juga tak melihatmu di kantin saat makan
siang.
Kamu di
mana? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Tidak tahukah kamu bahwa aku sangat
merindukan senyumanmu? Tidak tahukah kamu bahwa senyummu itu laksana sinar
mentari yang menyinari hari-hariku?
Seminggu,
dua minggu, setiap hari aku menunggumu di masjid, di tempat parkir, di kantin,
juga menelponmu tiap hari. Tapi jangankan melihat senyummu, mendengar suaramu
pun aku tidak pernah. Kamu seperti lenyap ditelan bumi. Padahal pabrik ini
hanya selebar daun kelor jika dibanding dengan luasan pulau Jawa. Nabi Adam
saja pada akhirnya bisa berjumpa dengan Hawa di Jabal Rahmah setelah terpisah
jarak jutaan kilometer. Masa berjumpa denganmu di pabrik seluas beberapa hektar
ini saja aku tidak bisa?
Minggu ketiga,
aku tidak tahan lagi. Kerinduanku membuncah. Aku harus bertemu denganmu entah
bagaimana caranya. Sebenarnya aku bisa saja segera mendatangi ruanganmu tapi
aku yakin kamu tak akan mau membicarakan masalah pribadi di ruangan kantor yang
hiruk pikuk. Akhirnya aku memutuskan untuk datang bermenit-menit lebih awal dan
menunggu di tempat parkir.
Seperti
dugaanku, kamu datang jauh lebih pagi dari yang biasanya kamu lakukan. Tapi
kali ini aku lebih pagi darimu. Kamu terkejut melihatku sudah menanti di tempat
parkir favoritmu.
“Kamu
menghindar ya?”, tanyaku tanpa basa-basi.
“Nggak”,
jawabmu, masih dengan senyuman yang membuat hatiku menjerit pilu melihatnya.
Pilu karena menyadari tak kan pernah memiliki senyuman itu untukku sendiri.
“Bohong. Aku
tahu kamu sudah tidak pernah ke Masjid lagi. Kamu melakukan itu karena tidak
ingin bertemu dengan aku kan?”, sergahku.
Senyumanmu
memudar. Kamu menggeleng perlahan.
“Bukan
karena itu. Sebab kalau tidak begitu, kamu tidak akan bisa melupakan aku”,
jawabmu pelan.
Gantian aku
yang terdiam.
“Kalau tidak
begitu, alasanmu pergi ke masjid adalah untuk bertemu aku, bukan untuk bertemu
dengan Tuhan”, jawabmu lagi. Bibirmu menyungging senyum lagi, tapi kali ini aku
melihat sinar sedih di matamu.
Aku masih
tak tahu harus berkata apa. Kemudian kamu melangkah pergi meninggalkan tempat
parkir.
“Tunggu!”,
panggilku. Kamu berhenti melangkah dan menoleh. “Aku belum siap”, kataku.
“Belum siap
apa?”
“Belum siap
tidak ketemu kamu”
Kamu
menghela napas. “Tapi kamu harus siap menghadap Tuhan kapan saja Mas. Jangan
sampai kamu menghadapNya di saat hatimu tidak sedang mengingatNya”
“Kamu tak
perlu mengurusi agamaku”, kataku lagi, kali ini dengan nada hati-hati.
“Aku tidak
mengurusi agamamu. Aku melakukan itu justru karena aku mengurusi agamaku
sendiri”.
Aku
terhenyak. “Apa maksudmu?”
“Aku juga
takut niatku berhubungan dengan Masjid itu bukan semata-mata karena Dia”,
bisikmu pelan. Aku bisa mendengar suaramu yang menahan isak.
Apa? Aku tak
berani menyangka yang bukan-bukan. Tapi, apakah itu berarti kamu juga....
“Maafkan
aku”, bisikku. Maafkan aku yang telah lancang hadir di antara hatimu dan
hatinya. Maafkan aku juga karena telah merusak hubunganmu dengan Tuhan.
Kamu
mengangguk dan tersenyum samar. Kamu seolah maklum bahwa cintaku ini adalah di
luar kendaliku.
“Aku yang
seharusnya minta maaf. Selama ini aku selalu mengira bahwa apapun yang aku
lakukan, itu selalu hanya urusan antara aku dan Tuhan. Aku tak perlu mengurusi
atau memikirkan apa yang orang lain katakan. Tapi aku lupa, bahwa aku bukan
satu-satunya hamba. Di antara aku dan Tuhan juga ternyata terdapat hubungan
antara kamu dan Tuhan. Dan selama ini tanpa sengaja aku sudah menodainya”
“Kita masih berteman kan?”, tanyaku lirih.
Kamu
tersenyum, kali ini binar matamu kembali. “Iya...selamanya kita teman”.
“Kamu tidak
akan menghilang lagi kan?”, tanyaku lagi.
“Mungkin”.
“Kalau aku
berjanji untuk berhenti mencintaimu, maukah kamu kembali ke Masjid lagi”.
Kamu
tersenyum sambil mengangkat bahu. “Mungkin saja, suatu hari nanti”, lalu kau
melambaikan tangan sebelum akhirnya benar-benar berlalu.
Mataku
berkaca-kaca. Iya, selamanya kita teman. Aku tak kan pernah bisa menjadi
lebih dari sekedar teman untukmu. Ada tembok tebal yang bernama pernikahan yang
sebentar lagi akan terbentang di antara kita.
Tapi aku tak
menyesal. Aku telah jatuh hati pada sebentuk ciptaan Ilahi dan perasaan itu pun
juga muncul atas seijinNya. Untuk mengujiku. Untuk mengujimu.
Biarlah aku
selalu menjadi sang Bumi yang selalu mendamba hangat sinar Mentari, sekalipun
Mentari tak kan pernah bisa menjadi milik Bumi. Dia milik alam semesta.
Biarlah aku
menjadi temanmu, karena dengan begitu lah aku bisa tetap bertemu dan memandang
indah senyumanmu. Senyum yang menjadi alasan untuk memandang hari dengan
bahagia.
Hanya satu
yang aku tak pernah tahu, bahwa saat itu kamu baru saja memutuskan untuk tak
kan pernah kembali menginjakkan kaki di masjid tempat aku seringkali mendengar
suara mengajimu. Aku sama sekali tidak tahu, bahwa kamu sudah mengucapkan
selamat tinggal pada rumah suci Tuhan berkubah hijau yang sebenarnya sangat kau
cintai. Demi bisa membenarkan puisi Bunda Theresa; “Memang selalu antara aku
dan Tuhan, Bunda”.
.
--selesai-
ditulis untuk kompetisi Cerpen "Opera Cinta" part II
merupakan penggabungan dari dua cerpen yang pernah ditulis sebelumnya "Selamat Tinggal, Sahabat" dan "Biarkan Aku Menjadi Temanmu"
Cerpen ini ditulis ulang dengan beberapa perubahan plot dan karakter tokoh agar terasa lebih bisa menyatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.