Jumat, 20 September 2013

Tidak Selalu Antara Aku dan Tuhan, Bunda



(1)
Untung aku mengenakan pakaian putih dan kerudung hijau hari ini. Warna putih yang melambangkan kesucian Dzat Ilahi dan warna hijau yang konon menjadi warna favorit Nabi Muhammad. Pas sekali dengan momen perpisahan yang baru saja terjadi antara aku dan dia. Padahal, ketika aku memilih busana itu pagi ini, aku sama sekali tidak menyangka akan mengenakannya untuk mengucapkan selamat tinggal pada sahabat lama.
Aku mengenalnya nyaris 5 tahun yang lalu, persis semenjak aku diterima di pabrik penggilingan terigu terbesar di kota ini. Tapi kami baru benar-benar akrab sekitar 4 tahun terakhir. Bisa dibilang, aku adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengannya. Memang sih, beberapa perempuan memang terlihat beberapa kali mendatanginya. Tapi aku yakin, aku lah perempuan yang paling setia mengakrabinya, bahkan sejak dia ada di tempat ini.
Dulu aku sempat merasa kebingungan saat berusaha mendekatinya. Semua kawannya laki-laki. Catat, semuanya. Seolah dia lupa bahwa makhluk ciptaan Tuhan juga ada yang berjenis kelamin perempuan.
Tapi kondisi itu tidak lantas membuatku mengurungkan niat untuk mendekatinya. Awalnya terasa rikuh. Apalagi melihat mata para lelaki yang menatapku aneh saat aku mulai perlahan mendekatinya. Ditambah lagi, dia sendiri juga rasanya menyambut kehadiranku dengan dingin. Buktinya aku sampai salah tingkah harus berbuat bagaimana di awal-awal hubungan kami. Terus terang, situasi tersebut sempat membuatku ragu untuk meneruskan niat berteman dengannya.
Satu dua bulan berlalu, hubungan kami pun mulai terjalin, walau awalnya hanya sebentar-sebentar saja tiap harinya. Tapi aku berusaha setidaknya menyapanya sehari sekali. Akhirnya setelah sekian lama, aku berhasil mendapat tempat di salah satu sudut hatinya. Hanya sebuah sudut kecil, tapi tak mengapa. Itu sudah lebih dari cukup.
Melihat aku mulai berani berkawan dengannya, satu dua perempuan terlihat mulai ikut-ikutan mendekatinya. Aku tidak keberatan ketika sudut kecil itu sesekali harus kubagi dengan perempuan lain. Toh sudut kecil itu masih terasa leluasa mengingat tak banyak perempuan yang bersedia mendatanginya. Tapi biar bagaimana, aku lebih senang jika sudut itu hanya terisi aku seorang, hingga aku dan dia benar-benar bisa menikmati momen-momen eksklusif bersama.
Empat tahun ini aku dan dia berteman akrab. Telah banyak momen-momen penting yang kubagi hanya dengannya. Dia lah tempat aku menyandarkan kepala saat benar-benar sedang merasa kelelahan. Dia bahkan beberapa kali membiarkan aku tertidur dalam dekapannya. Dia juga menjadi tempatku membagi kebahagiaan dan rasa syukur jika suatu ketika mendapatkan rejeki. Bersamanya, aku melewatkan waktu untuk memikirkan Tuhan dan bersama-sama membaca kitab suciNya. Dia lah tempatku melampiaskan amarah dan kesedihan yang terkadang tak kuasa kukendalikan.
Aku mencintainya. Semakin lama mengenalnya, semakin aku tak kuasa meninggalkannya. Bahkan di waktu istirahat, aku lebih memilih untuk mendatanginya ketimbang menghabiskan waktu bersama teman-temanku yang lain. Karena dengannya aku memperoleh makna kedamaian.
Tapi hari ini aku terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada sahabatku itu. Pada Masjid berkubah hijau yang terletak persis di depan pabrik tempatku bekerja.
Masjid itu memang bukan seperti masjid kebanyakan. Dia tidak memiliki tempat wudhu maupun tempat shalat khusus wanita. Sehingga tidak heran jika tidak ada seorang pun perempuan yang mau mendatanginya.
Dan perihal aku, bagi kebanyakan orang, aku adalah anomali. Tiga puluh tahun lebih semenjak pabrik ini berdiri, aku lah karyawan perempuan pertama yang menodai dominasi kaum adam di tempat ini. Lima tahun lalu, aku diterima di perusahaan ini dan ditempatkan di sebuah departemen yang terdiri atas ratusan karyawan laki-laki dan tentu saja, tidak memiliki toilet perempuan.
Pabrik ini memang bukan tempat yang lazim bagi kaum hawa. Mungkin itulah sebabnya masjid berkubah hijau yang dibangun beberapa tahun setelah pabrik ini berdiri itu tidak punya tempat untuk jamaah perempuan.
Mungkin karena aku bersikeras untuk menunaikan shalat di sana, akhirnya pengurus masjid menyerah dan membuatkan dua lembar kain putih untuk menjadi penyekat tempat shalatku dengan jamaah laki-laki. Tempat itu adalah salah satu sudut kecil di dekat Grandpa’s Clock yang sudah tak berfungsi lagi.
Tapi masih ada dua masalah. Masjid itu hanya punya satu pintu, jadi akses untuk menuju ke bilik kecilku itu tetap saja harus melewati pintu bagi jamaah laki-laki. Masalah kedua, karena tidak ada tempat wudhu khusus perempuan, aku terpaksa bergantian dengan para jamaah laki-laki atau memohon mereka untuk menunggu agar aku selesai berwudhu terlebih dulu.
Tapi bagiku kedua kendala itu hanyalah masalah kecil. Awalnya memang banyak komentar miring, tapi aku tak peduli. Kupikir, apa yang kulakukan itu murni urusan antara aku dan Penciptaku. Jadi terserah lah mereka mau berkata apa.
Akhirnya lama kelamaan, mereka mulai terbiasa dengan kehadiranku dan mulai sedikit demi sedikit memberiku ruang. Masjid itu juga terasa lebih hangat ketimbang sebelumnya, saat untuk meletakkan kepalaku ketika sujud saja aku kebingungan harus di mana?
Tapi aku tak pernah menyangka jika keakrabanku dengan rumah Tuhan itu rupanya menimbulkan mudharat bagi seseorang. Seseorang yang juga mengakrabkan diri dengan tempat itu karena juga ingin mengakrabkan diri denganku. Orang itu, tanpa kusadari, juga mendatangi masjid itu demi melihatku atau mendengar suaraku mengaji.
Ketika dia menyatakan isi hatinya padaku, yang terbersit dalam pikiranku adalah rasa bersalah yang teramat dalam. Selama ini aku bertahan dengan keegoisanku, mengira keakrabanku dengan masjid itu adalah semata-mata karena ikatanku dengan Tuhan. Aku melupakan fakta penting bahwa di masjid itu bukan hanya aku, tetapi juga hamba-hamba lain yang berusaha mengikatkan diri dengan Tuhan. Dan tanpa sanggup kucegah, salah satu ikatan itu beririsan dengan ikatanku.
Ah, seandainya saja aku bisa bertemu dengan almarhumah Ibu Theresa yang mengabdikan hidupnya untuk orang-orang miskin di Calcutta sana, mungkin aku akan membantah puisinya. “Tidak Ibu, ternyata tidak selalu antara aku Tuhan. Sebab antara aku dan Tuhan, juga ada dia. Dia yang juga mencari Tuhan, namun sayangnya niatnya tak lagi lurus. Hanya karena dia melihatku juga sedang mencari Tuhan”. (puisi terkenal yang ditemukan tertulis di dinding rumah Bunda Theresa untuk anak-anak miskin di Calcutta dengan judul asli “Its Between You and God”-penulis)
Jadi hari ini kuputuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Masjid itu. Agar dia berhenti mengharapkanku dan berganti dengan harapan untuk hanya bertemu dengan PenciptaNya, Dzat Maha Mulia yang sama dengan yang menciptakan aku.
Menyadari bahwa hari ini adalah hari terakhirku di sini, kupandangi tiap jengkal sudut kecilku dan hal-hal yang terlihat dari sana. Aku tak mampu menahan keluarnya butiran air dari kedua mataku ketika menyadari inilah duduk terakhirku di tempat ini. Ini lah butir air mata terakhir yang membasahi lantai Masjid sejuk berdinding hijau ini.
Hari ini, aku sengaja berlama-lama di dalamnya dan menempelkan pipiku di lantainya. Sebab esok hari aku sudah tak akan menginjakkan kaki lagi di sana.
Selamat tinggal, sahabatku. Dulu aku mendatangimu karena Tuhan. Dan kini, aku meninggalkanmu pun karena Dia.
Karena takut akan segala niat yang tak lagi lurus untukNya.

(2)
Dari dulu aku heran, kenapa kamu tidak marah? Atau setidaknya memasang muka cemberut kepadaku. Padahal kemarahan dan kecemberutanmu itu sudah sewajarnya karena aku sudah melakukan hal yang tidak pantas.
Sederhana sebenarnya. Aku menyatakan perasaan cinta padamu. Padahal aku tahu beberapa bulan lagi kamu akan mengikat janji dengan seseorang.
Tapi aku tidak bisa mencegah perasaan itu. Sebagaimana aku tidak mampu mencegah matahari agar tidak terbit dari timur. Perasaanku merekah seperti mentari yang muncul perlahan dari balik cakrawala. Hanya bedanya, matahari bisa tenggelam jika senja tiba. Namun tidak dengan perasaanku. Ia nya terus terbit. Kian lama kian terang. Seperti bunga yang merekah dan merebakkan harum wangi cinta yang memenuhi setiap sudut hatiku.
Aku jatuh cinta pada wajahmu yang selalu terlihat tersenyum. Begitu berpapasan dengan siapa saja, entah kamu mengenalnya atau tidak, kamu pasti menyunggingkan senyum.
Aku jatuh cinta pada wajahmu yang tidak pernah terlihat bersedih hati. Aku selalu melihat siang hari yang cerah di matamu yang berhiaskan bulu mata yang lentik. Sadarkah kamu bahwa bahagiamu itu menular padaku?
Aku jatuh cinta pada wajahmu yang nyaris tak pernah disentuh riasan, melainkan air wudhu. Pagi, siang dan sore, tiap kali aku melihatmu sedang mengakrabkan diri dengan Masjid di depan pabrik tempat kita bekerja.
Aku bekerja di tempat ini lebih dulu beberapa tahun sebelum kamu. Selama ini aku sudah terbiasa hanya melihat laki-laki. Tapi semenjak kamu tiba-tiba bekerja di sini dan dengan keras kepala meminta pengurus untuk membuatkanmu tempat untuk jamaah wanita di dalam Masjid, ada perasaan lain yang muncul perlahan. Rasa rindu aneh yang mulai timbul tiap kali tak melihatmu. Perasaan itu tipis dan perlahan menebal. Bagai batu yang sedikit demi sedikit berlubang karena tetesan air.
Di tempat ini, pekerjaanku dan pekerjaanmu memang nyaris tak pernah berhubungan. Tapi aku kerap melihatmu mengunjungi masjid. Satu-satunya perempuan di tempat ini yang mau berkawan dengan masjid berkubah dan berdinding haijau itu. Entah sejak kapan, kamu dan masjid itu, telah menjadi candu bagiku.
Seharusnya cukup banyak alasan untuk tidak jatuh cinta padamu. Namun kenyataannya cukup banyak alasan juga untuk jatuh cinta. Seperti halnya orang-orang di sekitarmu yang dengan berani menyatakan kekaguman mereka padamu.
Seandainya saja aku seperti mereka, yang bisa mengagumi tanpa melibatkan perasaan cinta. Sehingga aku tak perlu didera merasaan rindu dan cemburu yang kian menyiksa. Karena sejak awal aku tahu tak ada tempat untukku di hatimu.
Namun ketika suatu hari kunyatakan perasaan itu padamu, kamu tidak marah. Ada sinar sedih di matamu, tapi kamu tetap tersenyum ramah. Pun berhari-hari semenjak itu, kamu masih saja menyunggingkan senyum manis seolah kamu tak pernah mendengar hal-hal remeh yang pasti membuatmu perasaanmu tak nyaman semacam rasa cintaku padamu.
Tapi ada yang lain pagi ini, aku tidak melihatmu di masjid tempat kamu biasa mendirikan shalat sebelum mulai bekerja. Aku juga tidak melihatmu di sana saat waktunya shalat di siang hari dan sore hari. Juga tak melihatmu di kantin saat makan siang.
Kamu di mana? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Tidak tahukah kamu bahwa aku sangat merindukan senyumanmu? Tidak tahukah kamu bahwa senyummu itu laksana sinar mentari yang menyinari hari-hariku?
Seminggu, dua minggu, setiap hari aku menunggumu di masjid, di tempat parkir, di kantin, juga menelponmu tiap hari. Tapi jangankan melihat senyummu, mendengar suaramu pun aku tidak pernah. Kamu seperti lenyap ditelan bumi. Padahal pabrik ini hanya selebar daun kelor jika dibanding dengan luasan pulau Jawa. Nabi Adam saja pada akhirnya bisa berjumpa dengan Hawa di Jabal Rahmah setelah terpisah jarak jutaan kilometer. Masa berjumpa denganmu di pabrik seluas beberapa hektar ini saja aku tidak bisa?
Minggu ketiga, aku tidak tahan lagi. Kerinduanku membuncah. Aku harus bertemu denganmu entah bagaimana caranya. Sebenarnya aku bisa saja segera mendatangi ruanganmu tapi aku yakin kamu tak akan mau membicarakan masalah pribadi di ruangan kantor yang hiruk pikuk. Akhirnya aku memutuskan untuk datang bermenit-menit lebih awal dan menunggu di tempat parkir.
Seperti dugaanku, kamu datang jauh lebih pagi dari yang biasanya kamu lakukan. Tapi kali ini aku lebih pagi darimu. Kamu terkejut melihatku sudah menanti di tempat parkir favoritmu.
“Kamu menghindar ya?”, tanyaku tanpa basa-basi.
“Nggak”, jawabmu, masih dengan senyuman yang membuat hatiku menjerit pilu melihatnya. Pilu karena menyadari tak kan pernah memiliki senyuman itu untukku sendiri.
“Bohong. Aku tahu kamu sudah tidak pernah ke Masjid lagi. Kamu melakukan itu karena tidak ingin bertemu dengan aku kan?”, sergahku.
Senyumanmu memudar. Kamu menggeleng perlahan.
“Bukan karena itu. Sebab kalau tidak begitu, kamu tidak akan bisa melupakan aku”, jawabmu pelan.
Gantian aku yang terdiam.
“Kalau tidak begitu, alasanmu pergi ke masjid adalah untuk bertemu aku, bukan untuk bertemu dengan Tuhan”, jawabmu lagi. Bibirmu menyungging senyum lagi, tapi kali ini aku melihat sinar sedih di matamu.
Aku masih tak tahu harus berkata apa. Kemudian kamu melangkah pergi meninggalkan tempat parkir.
“Tunggu!”, panggilku. Kamu berhenti melangkah dan menoleh. “Aku belum siap”, kataku.
“Belum siap apa?”
“Belum siap tidak ketemu kamu”
Kamu menghela napas. “Tapi kamu harus siap menghadap Tuhan kapan saja Mas. Jangan sampai kamu menghadapNya di saat hatimu tidak sedang mengingatNya”
“Kamu tak perlu mengurusi agamaku”, kataku lagi, kali ini dengan nada hati-hati.
“Aku tidak mengurusi agamamu. Aku melakukan itu justru karena aku mengurusi agamaku sendiri”.
Aku terhenyak. “Apa maksudmu?”
“Aku juga takut niatku berhubungan dengan Masjid itu bukan semata-mata karena Dia”, bisikmu pelan. Aku bisa mendengar suaramu yang menahan isak.
Apa? Aku tak berani menyangka yang bukan-bukan. Tapi, apakah itu berarti kamu juga....
“Maafkan aku”, bisikku. Maafkan aku yang telah lancang hadir di antara hatimu dan hatinya. Maafkan aku juga karena telah merusak hubunganmu dengan Tuhan.
Kamu mengangguk dan tersenyum samar. Kamu seolah maklum bahwa cintaku ini adalah di luar kendaliku.
“Aku yang seharusnya minta maaf. Selama ini aku selalu mengira bahwa apapun yang aku lakukan, itu selalu hanya urusan antara aku dan Tuhan. Aku tak perlu mengurusi atau memikirkan apa yang orang lain katakan. Tapi aku lupa, bahwa aku bukan satu-satunya hamba. Di antara aku dan Tuhan juga ternyata terdapat hubungan antara kamu dan Tuhan. Dan selama ini tanpa sengaja aku sudah menodainya”
 “Kita masih berteman kan?”, tanyaku lirih.
Kamu tersenyum, kali ini binar matamu kembali. “Iya...selamanya kita teman”.
“Kamu tidak akan menghilang lagi kan?”, tanyaku lagi.
“Mungkin”.
“Kalau aku berjanji untuk berhenti mencintaimu, maukah kamu kembali ke Masjid lagi”.
Kamu tersenyum sambil mengangkat bahu. “Mungkin saja, suatu hari nanti”, lalu kau melambaikan tangan sebelum akhirnya benar-benar berlalu.
Mataku berkaca-kaca. Iya, selamanya kita teman. Aku tak kan pernah bisa menjadi lebih dari sekedar teman untukmu. Ada tembok tebal yang bernama pernikahan yang sebentar lagi akan terbentang di antara kita.
Tapi aku tak menyesal. Aku telah jatuh hati pada sebentuk ciptaan Ilahi dan perasaan itu pun juga muncul atas seijinNya. Untuk mengujiku. Untuk mengujimu.
Biarlah aku selalu menjadi sang Bumi yang selalu mendamba hangat sinar Mentari, sekalipun Mentari tak kan pernah bisa menjadi milik Bumi. Dia milik alam semesta.
Biarlah aku menjadi temanmu, karena dengan begitu lah aku bisa tetap bertemu dan memandang indah senyumanmu. Senyum yang menjadi alasan untuk memandang hari dengan bahagia.
Hanya satu yang aku tak pernah tahu, bahwa saat itu kamu baru saja memutuskan untuk tak kan pernah kembali menginjakkan kaki di masjid tempat aku seringkali mendengar suara mengajimu. Aku sama sekali tidak tahu, bahwa kamu sudah mengucapkan selamat tinggal pada rumah suci Tuhan berkubah hijau yang sebenarnya sangat kau cintai. Demi bisa membenarkan puisi Bunda Theresa; “Memang selalu antara aku dan Tuhan, Bunda”.
.
--selesai-

ditulis untuk kompetisi Cerpen "Opera Cinta" part II
merupakan penggabungan dari dua cerpen yang pernah ditulis sebelumnya "Selamat Tinggal, Sahabat" dan "Biarkan Aku Menjadi Temanmu"
Cerpen ini ditulis ulang dengan beberapa perubahan plot dan karakter tokoh agar terasa lebih bisa menyatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)