Senin, 24 Juni 2013

Kakus



“Alhamdulillah Mak, sudah datang!!!”
“Apa ne Le?”, Emak bingung melihat kehebohanku.
“Keramik, bak mandi, jamban. Sebentar lagi desa kita punya kakus, dibuatkan Pak Broto. Emak ndak usah lagi jauh-jauh ke kali”. Emak mendengar penjelasanku dengan wajah sumringah. Tangannya mengelus-elus kakinya yang sering terserang rematik.
Senyum Emak membuatku membayangkan senyum Yu Minah yang baru saja melahirkan bayi kembar tiga. Juga senyum Mbah Sri yang baru kena stroke dan lumpuh separuh.
“O ya Mak, Pak RW bilang, nanti waktu pemilu, contreng Pak Broto yo”. Emak manggut-manggut.
###$$$###
Jarum jam terus berputar. Euforia pesta demokrasi sudah usai berbulan-bulan yang lalu. Namun material pembuat kakus yang dulu datang masih tertumpuk di halaman balai RW tanpa sempat tersentuh pasir dan semen. Yu Minah juga sampai sekarang harus bangun pagi buta dan tidur tengah malam demi memenuhi tempayan-tempayan airnya. Pun Emak dan Mbah Sri sampai sekarang harus tertatih-tatih merambati batang-batang bambu demi menuju kali, setiap ingin buang air.
Hari ini, tak sengaja aku mendengar bincang-bincang warga di depan balai RW.
“Kabarnya, Pak Broto masuk rumah sakit jiwa”.
“Iya, stress katanya, sudah habis uang semilyar, tapi gagal jadi anggota dewan”.
-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)