Kamis, 20 Juni 2013

Catatan #9. Jamaah Jalanan


 
Suasana shalat Jumat di Masjidil Haram (Photo by; Antara)
Ada hal unik yang membuat saya terpekik-pekik keheranan di menit-menit pertama kami menginjakkan kaki di kamar hotel. Saya kira wajar kalau saya sampai berteriak histeris, karena pemandangan semacam itu tidak akan saya temui di Indonesia.
Kami memang tiba di kota Mekkah saat menjelang Ashar. Adzan Ashar sudah berkumandang begitu kami masuk ke kamar masing-masing. Beruntung kami mendapat hotel yang berada di salah satu jalanan yang langsung mengarah ke pelataran Masjidil Haram (jaraknya kira-kira hanya 50 meter). Beruntung pula kami mendapat kamar di lantai atas dengan jendela yang memungkinkan kami melihat lalu lalang orang yang berjalan dari dan ke Masjidil Haram.
Sore itu rencananya kami akan langsung melaksanakan Umrah (miqat sudah kami lakukan di atas pesawat saat burung besi itu melintasi Yalamlam). Tour leader kami menginstruksikan untuk melakukan shalat Ashar di kamar masing-masing, setelah itu langsung berkumpul di lobby hotel untuk berangkat bersama-sama ke Masjidil Haram. Akhirnya kami pun melaksanakan shalat sendiri-sendiri. Sambil menunggu giliran shalat, saya melihat-lihat ke luar jendela.
Dan...alangkah takjubnya saya melihat banyak orang yang sedang berjalan ke arah Masjid tiba-tiba langsung menggelar sajadahnya di jalanan begitu iqamat berkumandang. Para pemilik toko dan kios yang berada di sepanjang jalan itu juga langsung meninggalkan dagangannya dan langsung bergabung dengan mereka yang sudah lebih dulu mengambil tempat di emperan toko. Seusai menunaikan shalat berjamaah, kelompok “jamaah emperan” ini langsung beranjak berdiri tanpa mengerjakan shalat sunnat maupun shalat jenazah. Para pemilik kios pun langsung kembali membuka gerainya dan menjalankan bisnisnya lagi.
Pemandangan ini tentu tidak biasa, karena di Indonesia, satu-satunya saat di mana orang shalat berjamaah di jalanan adalah saat shalat hari raya. Sedangkan di Mekkah, shalat di jalanan dan emperan tampaknya sudah menjadi kebiasaan.
Sekarang baru saya mengerti kenapa tempat itu dinamai tanah haram (tanah suci). Setiap jengkal tanah dalam radius tertentu dijaga kesuciannya. Secara berkala dalam sehari, ada kendaraan yang menyemprotkan air di sepanjang jalanan yang menuju ke arah Masjid.
Belakangan baru saya melihat, bahwa jalanan yang menjadi titik berkumpul para burung merpati juga digunakan untuk tempat shalat, sehingga usai sujud, tampak biji-biji makanan merpati menempel di dahi para jamaah. Terus terang saya geli melihatnya.
Tapi kegelian itu tak lama karena segera berganti takjub. Di tempat ini, di tanah suci ini, dalam satu waktu, jutaan manusia bersujud bersamaan, menghadap ke satu titik; Masjidil Haram. Di tanah suci, waktu seakan berhenti sesaat, ketika jutaan orang berhenti beraktifitas, dan secara bersamaan berdiri bersedekap menghadap ke satu titik; Baitullah. Untuk sesaat, orang-orang ini tak lagi mempedulikan apa-apa, kecuali memenuhi panggilan Allah untuk sejenak menyapaNya.
Saya jadi malu sendiri teringat gaya shalat saya di tanah air, yang masih sering melaksanakan shalat jauh setelah Adzan memanggil. Sedangkan di tanah Arab ini, panggilan Adzan dan Iqamat laksana panggilan seorang majikan pada hambanya, dan para hamba-hambanya lantas tergopoh-gopoh mendatangi majikannya, sekalipun harus bersujud di emperan toko dan di atas biji-bii makanan merpati.
Perihal shalat tepat waktunya ini tidak hanya saya temui di Mekkah dan Madinah, melainkan juga di Jeddah. Saya sempat keluar hotel di malam hari demi mencari toko obat yang menjual obat batuk. Namun saya terheran-heran karena banyak toko yang sudah tutup padahal jam belum juga menunjukkan pukul 8 malam. Seorang sopir taxi berkebangsaan Indonesia kemudian menyarankan saya untuk menunggu sejenak karena para karyawan dan pemilik toko sedang menjalankan shalat Isha’. Masha Allah...
Di tanah Arab ini saya belajar satu hal lagi; things that matter is Allah, others may also matter, but not really important.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)