Ada hal
unik yang membuat saya terpekik-pekik keheranan di menit-menit pertama kami
menginjakkan kaki di kamar hotel. Saya kira wajar kalau saya sampai berteriak
histeris, karena pemandangan semacam itu tidak akan saya temui di Indonesia.
Kami
memang tiba di kota Mekkah saat menjelang Ashar. Adzan Ashar sudah berkumandang
begitu kami masuk ke kamar masing-masing. Beruntung kami mendapat hotel yang
berada di salah satu jalanan yang langsung mengarah ke pelataran Masjidil Haram
(jaraknya kira-kira hanya 50 meter). Beruntung pula kami mendapat kamar di
lantai atas dengan jendela yang memungkinkan kami melihat lalu lalang orang
yang berjalan dari dan ke Masjidil Haram.
Sore itu
rencananya kami akan langsung melaksanakan Umrah (miqat sudah kami lakukan di
atas pesawat saat burung besi itu melintasi Yalamlam). Tour leader kami
menginstruksikan untuk melakukan shalat Ashar di kamar masing-masing, setelah
itu langsung berkumpul di lobby hotel untuk berangkat bersama-sama ke Masjidil
Haram. Akhirnya kami pun melaksanakan shalat sendiri-sendiri. Sambil menunggu
giliran shalat, saya melihat-lihat ke luar jendela.
Dan...alangkah
takjubnya saya melihat banyak orang yang sedang berjalan ke arah Masjid
tiba-tiba langsung menggelar sajadahnya di jalanan begitu iqamat berkumandang.
Para pemilik toko dan kios yang berada di sepanjang jalan itu juga langsung
meninggalkan dagangannya dan langsung bergabung dengan mereka yang sudah lebih
dulu mengambil tempat di emperan toko. Seusai menunaikan shalat berjamaah,
kelompok “jamaah emperan” ini langsung beranjak berdiri tanpa mengerjakan
shalat sunnat maupun shalat jenazah. Para pemilik kios pun langsung kembali
membuka gerainya dan menjalankan bisnisnya lagi.
Pemandangan
ini tentu tidak biasa, karena di Indonesia, satu-satunya saat di mana orang
shalat berjamaah di jalanan adalah saat shalat hari raya. Sedangkan di Mekkah,
shalat di jalanan dan emperan tampaknya sudah menjadi kebiasaan.
Sekarang
baru saya mengerti kenapa tempat itu dinamai tanah haram (tanah suci). Setiap
jengkal tanah dalam radius tertentu dijaga kesuciannya. Secara berkala dalam
sehari, ada kendaraan yang menyemprotkan air di sepanjang jalanan yang menuju
ke arah Masjid.
Belakangan
baru saya melihat, bahwa jalanan yang menjadi titik berkumpul para burung
merpati juga digunakan untuk tempat shalat, sehingga usai sujud, tampak
biji-biji makanan merpati menempel di dahi para jamaah. Terus terang saya geli
melihatnya.
Tapi
kegelian itu tak lama karena segera berganti takjub. Di tempat ini, di tanah
suci ini, dalam satu waktu, jutaan manusia bersujud bersamaan, menghadap ke
satu titik; Masjidil Haram. Di tanah suci, waktu seakan berhenti sesaat, ketika
jutaan orang berhenti beraktifitas, dan secara bersamaan berdiri bersedekap
menghadap ke satu titik; Baitullah. Untuk sesaat, orang-orang ini tak lagi
mempedulikan apa-apa, kecuali memenuhi panggilan Allah untuk sejenak
menyapaNya.
Saya jadi
malu sendiri teringat gaya shalat saya di tanah air, yang masih sering melaksanakan
shalat jauh setelah Adzan memanggil. Sedangkan di tanah Arab ini, panggilan
Adzan dan Iqamat laksana panggilan seorang majikan pada hambanya, dan para
hamba-hambanya lantas tergopoh-gopoh mendatangi majikannya, sekalipun harus
bersujud di emperan toko dan di atas biji-bii makanan merpati.
Perihal
shalat tepat waktunya ini tidak hanya saya temui di Mekkah dan Madinah,
melainkan juga di Jeddah. Saya sempat keluar hotel di malam hari demi mencari
toko obat yang menjual obat batuk. Namun saya terheran-heran karena banyak toko
yang sudah tutup padahal jam belum juga menunjukkan pukul 8 malam. Seorang
sopir taxi berkebangsaan Indonesia kemudian menyarankan saya untuk menunggu
sejenak karena para karyawan dan pemilik toko sedang menjalankan shalat Isha’.
Masha Allah...
Di tanah
Arab ini saya belajar satu hal lagi; things that matter is Allah, others may
also matter, but not really important.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.