Selasa, 07 Juni 2011

Negeri Dongeng di Sungai Pekalen

“Guidance untuk teman-teman yang berniat mencoba arung jeram di Sungai Pekalen, Probolinggo”

5 Juni 2011, kami seperti segerombolan orang-orang kurang kerjaan. Bangun pukul 4 dini hari (sebagian malah pukul 3), sholat Subuh di Masjid kantor demi mengantisipasi agar tidak ketinggalan bis yang akan mengantarkan kami Arung Jeram di sungai Pekalen, Probolinggo. Maklumlah, pasca tragedi lumpur Lapindo, akses jalan tol Porong yang menghubungkan Surabaya-Pasuruan terputus, akibatnya jalan raya Porong kini menjadi satu-satunya rute yang bisa dilewati semua kendaraan, mulai dari kelas kucing hingga gajah. Kalau terlambat sedikit saja, alamat terjebak macet di sana. Jadi itulah alasannya mengapa kami rela bangun berpagi-pagi hanya demi untuk mandi di sungai yang jaraknya kurang lebih 4 jam perjalanan dari Surabaya, benar-benar kurang kerjaan....

Titik start arung jeram Sungai Pekalen berada di antara 2 tebing yang tinggi di kiri kanannya. Pemandangan hijau, derasnya aliran sungai berpadu dengan bebatuan kali yang hitam legam membuat penatnya perjalanan dari base camp menuju start point terbayar sudah. Apa yang kami lihat di tempat itu sudah cukup membuat kami mampu mengimajinasikan apa yang akan kami hadapi 2 jam ke depan.
Enrance ke Negeri Dongeng

Tebing, batu, air adalah kombinasi yang jarang dilihat oleh kami yang setiap hari dikelilingi mesin, gandum dan komputer. Tapi itu baru awalnya, karena 15 menit sesudah kami lepas dari titik start, ada pemandangan yang tak dinyana ada di satu sudut propinsi Jawa Timur: Gua Kelelawar komplit dengan air terjunnya. Subhanallah....kelihatan jelas bahwa pelukisnya bukan Dzat sembarangan.

Ketegangan saya karena kecelakaan kecil saat mengawali pengarungan di jeram pertama (bibir beradu dengan dayung) mendadak sirna manakala melihat pemandangan yang sedemikian memukau. Ribuan keluarga mamalia bersayap (mungkin jutaan) membuat dinding tebing seolah bernyawa. Ditambah lagi dengan latar belakang berupa tirai air terjun sejauh mata memandang membuat apa yang kami lihat menjadi sukar dilupakan.

Namanya juga Gua Kelelawar, jadi jangan ditanya bagaimana aromanya, hmmmm...untung waktu itu saya sedang pilek, jadi tidak terlalu terganggu. Tapi itu hanya masalah kecil dan segera terabaikan begitu perahu karet kami melewati bawah air terjun. Suara air terjun yang beradu dengan perahu karet dikombinasikan dengan beratnya guyuran air terjun menimpa punggung disertai siluet pelangi yang memanjakan mata adalah atmosfer yang tidak bisa setiap hari kami nikmati. Kami berhenti sejenak untuk mengabadikan momen yang sulit dilupakan itu.
Mengabadikan Momen

Di bawah guyuran air terjun, saya merasa berada di dunia lain. Saya yang setiap hari berada di dalam hiruk pikuk kehidupan kota kini tenggelam dalam kondisi yang aneh. Seluruh sensor panca indra saya bekerja merekam apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan lalu serta merta memberikan sensasi yang sulit terlupakan. Suara cericit ribuan kelelawar, tirai air yang tak terputus, bau makhluk hidup, dinginnya air yang membasahi sekujur tubuh dan batu-batu kali yang menyembul acak di permukaan sungai adalah rangsangan yang harmonis, berpadu satu memanjakan panca indra kami. Manakala perahu karet kami bergerak menjauhi air terjun, perlahan-lahan sukma saya mulai kembali ke dunia nyata. Kami baru saja meninggalkan negeri dongeng, rumah para jin dan peri.
Detik-detik di Negeri Dongeng

Namun selepas air terjun, mata kami masih dimanjakan oleh indahnya jeram-jeram sungai Pekalen dan dinding tebing di kiri kanannya. Diwarnai dengan pemandangan bocah-bocah yang asyik mandi di kali. Sayangnya semua itu hanya bisa dinikmati di atas perahu karet. Artinya jika teman-teman tidak cukup bernyali untuk mencoba arung jeram, maka keindahan sungai Pekalen, Gua Kelelawar dan air terjunnya hanya bisa dibayangkan lewat tulisan ini saja.
Jeram-jeram Sungai Pekalen

Jika teman-teman berminat untuk menikmati pesona Sungai Pekalen dan air terjunnya, ada 2 event organizer yang sudah pernah kami coba untuk mengantarkan kami ke sana: Noars dan Songa. Ada juga Regulo tapi kabarnya mereka hanya melayani track pendek sungai Pekalen dan tidak termasuk air terjun.

Kesan gua kelelawar yang sedemikian dalam membuat kami tak henti-henti membicarakan pesonanya selama perjalanan pulang. Hari itu kami memang tidak sempat melihat matahari Surabaya karena berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah terbenam, hari itu kami ber-46 orang mungkin tampak seperti orang yang kurang kerjaan, hari itu kami rela berpenat-penat ria menempuh perjalanan pulang pergi selama 8 jam, namun semua itu sudah terbayar lunas setelah selama 2 jam mengarungi jeram-jeram di Sungai Pekalen. Capek 20%, puas 80%.

Esok kami akan kembali bekerja, bertemu lagi dengan rutinitas dan mesin-mesin penggiling tepung terigu, namun kami –gerombolan orang kurang kerjaan- sudah berencana untuk kembali lagi ke negeri dongeng di sungai Pekalen, Probolinggo, Jawa Timur. Tempat di mana kami bisa merasakan kedekatan dengan sang Pencipta, tempat kami merecharge energi dan merefresh pikiran untuk menjalani roda kehidupan kota Pahlawan.

Terima kasih yang tak terkira pada Tuhan yang Maha Pemurah atas kesempatan untuk melihat bukti kebesaranNya.

Foto-foto oleh Tim Noars dan Andi Bagus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)