Sabtu, 13 September 2014

[Cerpen] Dua Amplop Merah


Cerpen ini adalah ide lawas yang dicoba ditulis ulang. Versi awal cerpen ini berjudul: "Batu Kryptonite Isa", merupakan cerpen fiksi pertama yang saya tulis, tentunya dengan gaya bahasa yang masih cupu. (Ya sekarang juga masih cupu sih, hehe...).
Terus pernah juga saya coba tulis dalam bentuk flash fiction di "Dua Amplop Putih".
So, ini adalah versi ketiga untuk sebuah ide yang sama. Bedanya, untuk yang ketiga ini saya lebih banyak melakukan riset. Mungkinkah terasa bedanya? Hanya pembaca yang bisa menilai.
Happy reading :)
***


Belum pernah aku segelisah ini hanya karena melihat sebuah amplop. Padahal itu hanya amplop biasa, berbentuk persegi panjang dan bernuansa warna merah. Oke, memang bukan amplop itu yang membuatku gelisah hingga serasa ingin muntah, melainkan sesuatu di dalamnya.
Di hadapanku, lelaki dengan kacamata yang melorot hingga ke ujung hidung itu menarik selembar kertas dari dalam amplop tersebut. Ia mempelajarinya dengan serius, seolah kertas yang sedang digenggamnya adalah teks proklamasi kemerdekaan. Ia membaca tanpa suara dan tak sadar bahwa keningnya yang mengernyit membuatku serasa ingin bangkit dan lari.  Di mataku, ia laksana seorang hakim yang siap membacakan putusan. Dan aku adalah orang yang tengah duduk di kursi pesakitan.
Polycystic ovarian syndrome,” ia menggumam tanpa melihat ke arahku. Matanya masih terus menelusuri isi kertas di genggamannya.
Sialan! Hanya itu kah yang bisa dia katakan setelah apa yang selama ini ia lakukan padaku? Menanyaiku macam-macam tentang gaya hidupku, apakah aku merokok, apakah aku mengkonsumsi alkohol, bagaimana asupan dietku, teraturkah siklus haidku bahkan tentang hubungan intimku. Dia bilang aku harus menjawab dengan jujur untuk keperluan anamnesa. Aku pun menurut.
Aku juga menurut ketika ia beberapa kali menyuruhku berbaring dengan perut telanjang. Lantas setelah ia melapisi perutku dengan semacam jelly, ia akan membuatku mati-matian menahan geli ketika sebuah alat, yang aku tak tahu namanya, menjelajah perutku. Dan walau aku benci setengah mati, aku tidak pernah membantah ketika ia memasukkan stik plastik yang telah dilapisi kondom ke dalam kemaluanku kemudian membiarkannya memandangi layar monitor hitam putih sambil menggerakkan-gerakkan stik itu. Sungguh saat-saat yang paling menyiksa. Tapi aku rela melakukannya demi mendapatkan sebuah jawaban.
Ia juga menyuruhku mendatangi laboratorium kesehatan dengan membekaliku selembar surat pengantar. Lagi-lagi, aku tak punya pilihan lain selain menurut dan membiarkan seorang petugas menyedot darahku untuk dianalisa. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali.
Semua itu kulakukan untuk mendengar sebuah kesimpulan. Tapi jawaban yang keluar dari mulut lelaki itu hari ini membuatku kian tak mengerti. Sindrom “entah apa namanya” yang entah apa maksudnya. Kenapa sih dia tidak memilih diksi yang mudah kupahami saja?
 “Maksudnya, Dok?” aku bertanya dengan suara gemetar.
Lelaki itu mengangkat dagunya sedikit, matanya beralih ke arahku. Masih dengan kacamata yang melorot, dia mulai menjelaskan dengan bahasa yang lebih bisa kupahami. Dia mengatakan bahwa hasil laboratorium semakin menguatkan dugaannya. Aku terkena sejenis sindrom reproduksi yang menyebabkan indung telurku jarang atau bahkan tidak memproduksi sel telur sama sekali. Itu lah mengapa siklus menstruasiku tidak teratur. Dengan kata lain, walau setiap hari aku berhubungan intim, kemungkinan terjadi pembuahan dalam rahimku adalah nyaris nol.  
“Apakah...apakah karena dulu saya merokok, Dok?” tanyaku dengan cemas. Aku setengah mati memberanikan diri untuk menanyakan itu.
Dokter itu mengangkat bahu. “Penyebab pastinya adalah ketidakseimbangan hormon, Bu. Pemicunya belum diketahui secara pasti. Bisa dari keturunan, bisa juga dari gaya hidup.”
“Berarti saya tidak bisa hamil bukan karena saya dulu perokok dan minum alkohol kan, Dok?” tanyaku lagi. Kali ini dengan nada tidak sabar.
Dokter itu menarik napas sebelum memilih jawaban yang diplomatis. Menurutnya, merokok dan alkohol memang bisa mempengaruhi fertilitas seorang wanita. Tapi dia tidak bisa memastikan apakah kedua hal itu lah yang membuatku mendapat gangguan kesuburan. Dia menambahkan agar aku tidak perlu cemas. Kalau aku mau, dia akan memberikan terapi untuk mengatasi masalah reproduksiku dan memperbesar probabilitas terjadi kehamilan.
“Seberapa besar kemungkinannya, Dok?”
“Ya kalau soal itu kan wewenang Tuhan, Bu. Kita hanya bisa berusaha.” jawabnya sambil membenarkan letak kacamatanya yang melorot.
Sialan! Kenapa harus sebut-sebut Tuhan? Kalau hanya untuk mendengar hubungan antara Tuhan dan kehamilan, aku tak perlu susah-susah menemui seorang dokter spesialis kandungan dan merogoh dompet dalam-dalam untuk melakukan prosedur tes ini itu. Aku menemuinya karena ingin mencari jawaban yang lebih ilmiah ketimbang masalah takdir. Menyesal aku mengeluarkan uang ratusan ribu sekali tatap muka dengan dokter kandungan, yang katanya paling senior di kota ini, hanya untuk mendengar kata-kata tentang Tuhan dan wewenangNya. Sebuah variabel yang hanya makhluk langit saja yang mengerti.
Lagi-lagi aku terpaksa menelan makianku. Kali ini aku tidak lagi bertanya dan segera berpamitan sebelum emosiku meledak dalam bentuk butiran air mata.
Aku sudah tak tahan lagi. Sudah lebih dari tujuh tahun aku menikah. Itu artinya, setidaknya sudah delapan puluh empat bulan aku selalu berharap-harap cemas. Sudah tak terhitung berapa lusin aku membeli strip tes kehamilan dan mencelupkannya dalam cairan kuning di pagi hari demi bisa melihat dua garis merah yang tak kunjung muncul.
Dari dulu aku sudah mencurigai diriku sebagai penyebab dua garis merah itu tak pernah muncul. Aku dan rokok. Aku dan alkohol. Dua hal yang sudah sejak lama kutinggalkan.
Aku mulai mengenal balutan tembakau saat masih sekolah. Awalnya hanya sekedar iseng. Tapi lama-lama, aku tak sanggup jauh-jauh dari rokok. Rokok memberiku sensasi rasa damai tanpa sadar apa yang tengah dilakukan nikotin terhadap sel-sel otakku. Saat itu, aku masih menghisapnya secara sembunyi-sembunyi. Takut orang tuaku tahu. Aku masih ingat untuk tidak pernah alpa menyemprotkan aneka wangi-wangian di seragam putih abu-abuku sebelum pulang demi menyamarkan aromanya.
Menjadi mahasiswa membuatku lebih bebas bergaul dengan rokok. Aku tak peduli segala peringatan yang tercetak dengan tulisan kecil di kemasan maupun iklan rokok. Bagiku, nikotin adalah kawan terbaik. Buktinya tiap kali aku merokok, rasanya otakku terasa terang benderang dan membuatku mudah mengerjakan tugas kuliah. Aku tak sadar bahwa ketika nikotin membuat otakku kecanduan, racun-racun berbahaya lainnya perlahan mulai merusak keseimbangan organ reproduksiku.
Beberapa tahun kemudian, statusku berubah lagi. Aku sudah jadi karyawan di perusahaan terkenal di jantung kota metropolitan ini. Kekrabranku dengan tembakau semakin erat. Malah kini aku mendapat kawan baru. Alkohol. Kami bertiga (aku, rokok dan minuman keras) menjadi teman yang tak terpisahkan.
Melarikan diri dari tekanan pekerjaan adalah alasan pertama aku memilih alkohol sebagai sahabat. Kepadatan lalu lintas yang kian parah dari hari ke hari adalah alasan kedua. Menghabiskan waktu di bar bersama kolega, house music, rokok dan alkohol adalah pilihan yang jauh lebih baik ketimbang menghadapi kemacetan lalu lintas dalam keadaan penat. Aku abai, bahwa cairan yang kuanggap sebagai karib itu perlahan membuat organ reproduksiku tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Aku tak menyadari bahwa siklus datang bulanku mulai tak teratur.
Sampai delapan tahun lalu, pertemuanku dengan  seorang lelaki mengubah segalanya. Lelaki itu membuatku mabuk kepayang melebihi mabuk karena alkohol. Lelaki itu membuatku kecanduan, melebihi kecanduanku pada tembakau. Ternyata jatuh cinta bisa membuat kehidupan berbalik ke arah yang tak disangka-sangka. Aku tak pernah mengira bahwa pada akhirnya aku sanggup mengkhianati persahabatanku dengan alkohol dan tembakau, demi seorang laki-laki yang kemudian memberiku status baru. Istri.
Tapi segalanya sudah terlambat. Alkohol dan rokok telah mengobok-obok organ reproduksiku jauh sebelum ia melakukannya di malam pertama. Masa lalu yang kukira sudah tertinggal di belakang, ternyata masih terus menempel dalam kehidupanku seperti benalu. Mencegahku menjadi wanita sempurna untuk lelakiku.
Suamiku memang tidak pernah membahas soal kehadiran anak. Dia bahkan selalu menghindar jika kuajak untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan. Dia selalu bilang, “Sudahlah, bukankah bayi adalah titipan Tuhan? Kalau Dia merasa kita siap, pasti akan Dia kasih juga kan?”
Tapi hari ini, dokter kandungan yang diam-diam kutemui tanpa sepengetahuannya sudah menjawab semua. Tuhan tak kan pernah memberiku kesempatan memiliki seorang bayi yang berasal dari rahimku. Dan itu karena aku sendiri. Aku sendiri yang merusak kesempatan itu dengan kebiasaan buruk. Sekalipun itu sudah jadi masa lalu.
Bukankah ini tak adil untuknya? Walaupun dia bilang dia mencintaiku karena dia memang ingin berbagi sisa hidupnya denganku, aku tahu jauh di dasar hatinya dia mendambakan kehadiran bayi.
Aku tahu dari tatapan matanya tiap kali kami mengunjungi kerabat yang baru saja melahirkan. Aku tahu dari caranya memandang anak-anak tetangga yang kerap main ke rumah kami. Aku tahu dia setengah mati menolak keinginan ibunya, yang sudah tak sabar ingin menimang cucu pertama, untuk menikah lagi. Tentu saja dengan perempuan yang tidak mandul.
Aku tidak bisa begini terus. Demikian juga dengan suamiku. Dia tidak boleh selamanya menunggu sesuatu yang tak kan pernah hadir di antara kami. Aku juga tak ingin membuatnya terjepit dalam pilihan yang sulit. Aku dan ibunya.
Kugenggam erat amplop merah yang di dalamnya terdapat hasil observasi terhadap kondisi hormonalku. Isi amplop itu sebenarnya sudah cukup menjelaskan semuanya walau mungkin suamiku butuh waktu untuk memahami. Tapi tak urung aku tetap meraih selembar kertas lagi dan mulai menulis.
Bukankah tak ada yang lebih menyakitkan daripada sebuah perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal?
*
Epilog:
Terburu-buru, Anggan masuk ke dalam rumah sambil membawa sepucuk amplop. Amplop persegi biasa dengan nuansa warna merah. Tak sabar ia untuk menunjukkan isi amplop itu pada Alena, istrinya.
Anggan tahu, wanita yang sudah tujuh tahun dinikahinya itu menyimpan beban pikiran yang berat. Ia yakin, isi amplop itu sedikit banyak akan membantu mengurangi beban pikiran Alena.
Namun alangkah terkejutnya Anggan mendapati istrinya yang telentang kaku dengan wajah pucat di ranjang kamar tidur mereka. Di sampingnya, terdapat sebotol pil-pil kekuningan dan sebuah amplop dengan warna yang sama dengan amplop yang sedang dibawanya. Amplop dengan logo laboratorium kesehatan.
Dengan gemetar, Anggan membuka amplop tersebut. Isinya dua lembar. Yang pertama berisi istilah kedokteran yang membuat keningnya mengernyit. Yang kedua berisi tulisan tangan istrinya. Sebuah ucapan selamat tinggal dan penjelasan singkat mengapa Alena memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Anggan terduduk lemas di samping tubuh kaku istrinya. Dengan air mata meleleh, diremasnya amplop merah yang sedari tadi digenggamnya. Apa yang ada dalam amplop itu sudah tak ada gunanya.
Terlambat. Seandainya saja Anggan datang lebih cepat, mungkin Alena masih sempat melihat isi amplop itu. Isinya hanya selembar, juga berisi istilah kedokteran, hasil analisa cairan semen milik Anggan.
Di sana tertulis: Azoospermia*.

-selesai-

*Azoospermia: kondisi cairan semen (air mani) yang tidak mengandung sel sperma. Pria azoospermia tidak mungkin dapat menghamili pasangannya karena tidak ada “benih” yang dikeluarkan saat berhubungan intim.

3 komentar:

  1. ya ampuuunnn.... fatal banget sih kesalahpahaman begini kalau beneran ada dalam hidup :( tragis...
    aku belum pernah baca 2 versi sebelunya cerita ini tapi selama ini baca tulisan fiksi mbak maya, aku ngerasa ini loncatan yang tinggi banget. cara berceritaya sudah tes-tes, ngebayangin tokohnya juga terkesan bahasanya tes-tes banget, nggak kayak biasanya mbak bikin tokoh yang agak smooth. (sek ini yang agak berubah dari cara mbak nulis apa memang 'nuansa' ceritanya kudu menyesuaikan ya? aku bingung sendiri). tapi aku ngrasa ada 'ruh' baru dari cerpen ini. bahasanya itu, beda sama fiksi sampean yang lain. keren! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you sudah baca dek :)
      Ini tak ikutkan seleksi cerpen pilihan versi UNSA 2014. Temanya Urban dan mintanya memang gaya cerpen koran minggu.
      Alhamdulillah lolos jadi finalis :)

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)