Senin, 01 September 2014

Sakhi





Gadis kecil itu bernama Sakhi. Usianya 7 tahun dan baru saja pulang sekolah.
Lelaki yang sedang duduk di ruang tamu itu, Sakhi tak tahu namanya, tapi dia hampir yakin, gara-gara lelaki itu, siang ini Mama tidak menghiraukan kedatangannya. Biasanya Mama selalu berdiri di teras rumah mereka yang asri bahkan sebelum Sakhi mencapai pintu depan.
Mama memang selalu sibuk menjahit sepanjang hari. Tapi sesibuk apa pun, Mama selalu menyempatkan diri menyambut Sakhi ketika didengarnya suara anak gadisnya itu membuka pagar. Sekalipun Mama sedang tenggelam dalam kertas-kertas desain, Mama selalu menyempatkan untuk bercengkerama dengan Sakhi tiap siang. Bertanya ini itu. Bagaimana di sekolah? Apakah Sakhi lapar? Apakah Sakhi haus?
Mama memang ibu yang paling pengertian di dunia. Beliau tahu betul perjalanan pulang dari sekolah di bawah terik matahari dan paparan polusi udara membuat tenggorokan Sakhi selalu terasa kering kerontang.
Rasanya seperti habis berjalan di gurun Sahara, keluh Sakhi suatu hari yang dijawab Mama dengan gelak tawa. Bukankah Sakhi belum pernah ke Gurun Sahara?
Siang ini Mama tidak muncul di teras, bahkan setelah Sakhi melepas sepatu dan meletakkannya di rak. Jelas lelaki asing itu lah penyebabnya.
Agak aneh melihat seorang tamu lelaki datang ke rumah. Biasanya tamu yang datang menemui Mama kebanyakan perempuan yang minta dijahitkan atau didesainkan baju. Atau, kalau pun ada tamu laki-laki, biasanya berseragam coklat seperti seragam Papa yang bekerja di kantor Kejaksaan.
Lelaki di hadapan Mama itu berkulit gelap karena sengatan matahari. Ia mengenakan kaus tipis dengan celana kain yang warnanya sudah pudar. Kesepuluh jari tangannya saling berpilin. Wajahnya yang gelisah tampak berkeringat. Cuaca memang panas, tapi Sakhi yakin keringat di dahi dan pelipis lelaki itu bukan karena salah cuaca. Bukankah dia baru saja berjalan di bawah terik matahari tapi tak berkeringat sebanyak itu?
Rasa ingin tahu Sakhi pada lelaki yang kedua lututnya bergoyang-goyang itu memupus rasa hausnya, sementara rasa laparnya tergerus oleh rasa penasaran melihat wajah serius Mama yang menatap lelaki itu dengan pandangan aneh. Antara kaget dan benci. Antara muak dan sedih.
Belum sempat Sakhi bertanya ada apa, siapa laki-laki itu, mengapa ia datang ke rumah, Mama sudah menyuruh Sakhi segera masuk kamar dan berganti baju.
Mbak Mimin, pembantu keluarga mereka, sudah berdiri di balik sketsel pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Jari telunjuknya menempel di bibirnya yang sedikit dimonyongkan, pertanda Sakhi tak usah banyak bicara. Tentu saja ini agak sulit dilakukan bagi Sakhi yang biasanya cerewet. Tapi melihat wajah Mama yang tak seperti biasa membuat gadis kecil itu kali ini memutuskan untuk tidak membantah.
Sakhi melempar pandangan ke arah Mama dan lelaki itu sekali lagi sebelum menghilang ke dalam kamarnya sendiri. Sayup-sayup terdengar suara lelaki itu berkata, “Begitulah Bu, saya tidak punya pilihan lain selain ke mari.”
***
Malam itu, Sakhi memejamkan mata. Ia masih tidur di kamar yang sama dengan Papa dan Mama.
Orang tua Sakhi mengira dia sudah tidur.
Sebenarnya Sakhi memang sudah hampir tidur, tapi suara tinggi kedua orang tuanya membuatnya memilih untuk pura-pura tidur.
Papa dan Mama sedang membicarakan lelaki yang datang tadi siang. Ternyata lelaki itu menyampaikan sesuatu tentang seseorang yang disebut Bapak.
Mama bilang, lelaki itu salah satu kawan Bapak. Ia menyampaikan kalau Bapak sedang sakit. Paru-paru basah. Kawan-kawan Bapak sudah patungan untuk membawa Bapak ke dokter. Sekarang mereka kewalahan merawat Bapak karena Bapak tak punya tempat tinggal. Uang hasil patungan pun juga sudah habis untuk biaya berobat. Sekarang Bapak tidur dalam angkot, kendaraan milik seorang juragan yang selama ini menjadi andalan Bapak untuk bertahan hidup. Angkot itu sudah beberapa hari mandek di  terminal dekat stasiun. Untuk bangun saja Bapak susah, apalagi narik. Masalahnya pemilik angkot bersikeras meminta angkotnya kembali untuk dikemudikan sopir lain.
“Siapa Bapak?” tanya Sakhi dalam hati. Kedua alis di atas matanya yang terpejam nyaris menaut. Untung Papa dan Mama terlalu serius berbincang hingga tak sempat melihat putri semata wayang mereka yang sedang pura-pura tidur.
Pertanyaan Sakhi terjawab manakala Mama berkata bahwa kawan-kawan Bapak-sesama sopir angkot-akhirnya memutuskan untuk menghubungi Mama, satu-satunya anak Bapak.
Sampai di sini kantuk Sakhi sudah benar-benar musnah. Ia menahan diri untuk tidak bangun dan bertanya. Ia tetap memejamkan mata seraya berharap Papa dan Mama tak berhenti bercengkerama. Betapa tidak, sejak matanya mulai bisa melihat warna-warni dunia, Sakhi tak pernah bertemu dengan Kakek maupun Neneknya. Mama bilang, mereka semua sudah meninggal.
Dengan suara yang terdengar hari-hati, Papa berujar agar Mama segera menyusul Bapak. Kasihan Bapak kan, Ma?”
 “Kasihan?! Kenapa aku harus kasihan padanya?! Dulu dia tidak pernah kasihan pada kami?!” suara Mama tiba-tiba meninggi
“Bukan begitu maksud Papa. Biar bagaimana pun dia darah daging Mama kan?”
“Bukan!” tukas Mama galak. “Kalau Bapak benar-benar darah daging Mama, tak mungkin ia tega meninggalkan kami. Tak mungkin ia tega mencampakkan Ibu hanya karena perempuan lain!”
Papa bergeming. Mungkin kaget dengan reaksi Mama yang di luar dugaan.
“Papa bisa bayangkan bagaimana perasaan Ibu dulu melihat Bapak merangkul perempuan lain di depan matanya? Bahkan Bapak tega meninggalkan Ibu di tengah jalan, sementara ia check in di sebuah motel!” lanjut Mama.
Sakhi tak mengerti apa arti check in, tapi mendengar cara Mama mengucapkannya, sepertinya itu bukan hal yang baik.
“Tapi itu kan masa lalu, Ma. Bapak mungkin sudah menyesal sekarang”
“Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dulu saat Ibu masih ada?” suara Mama mulai terisak.
Agak lama Sakhi tak mendengar apa-apa kecuali isak tangis Mama.
“Ibu meninggal pelan-pelan karena kelakuan Bapak. Demi perempuan lain, Bapak tega mencaci maki dan memukul Ibu. Demi perempuan lain, Bapak tega meninggalkan kami dan tak peduli apakah kami mati atau bisa bertahan hidup? Jadi buat apa sekarang Mama peduli padanya?” ujar Mama di sela isak tangisnya.
Papa tak lagi bersuara. Mungkin dia pikir tak ada gunanya mendesak wanita yang sekian lama memendam luka yang tak pernah kering dalam hatinya. Papa hanya mengajak Mama untuk beristirahat karena hari sudah larut. Mereka tak lagi membahas perihal Bapak.
Kedua orang tuanya sudah lama tertidur pulas. Sakhi bisa mendengar suara dengkur halus keduanya. Namun gadis kecil itu tak bisa tidur. Dalam kepalanya ada satu tanda tanya besar.
Di mana Bapak akan tinggal jika angkot yang selama ini dipakainya untuk berteduh diambil pemiliknya?
***
Gadis remaja berambut sebahu itu bernama Sakhi. Usianya 16 tahun dan sore ini baru saja pulang les. Ia mengayuh santai sepedanya membelah jalanan berpaving menuju perumahan tempat tinggalnya.
Sakhi belum genap setahun tinggal di perumahan baru ini. Selama lima tahun terakhir, sudah dua kali ini ia pindah rumah. Baginya, rumah barunya ini benar-benar bisa membuatnya bernafas lega. Bagaimana tidak? Sebelum ini, Sakhi tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil tanpa halaman di daerah pemukiman padat penduduk. Jauh berbeda dengan rumah yang ia tempati sebelumnya bersama Mama, Papa dan Mbak Mimin.
Rumahnya yang dulu, walaupun tidak terlalu besar, tapi punya halaman yang ditumbuhi pohon jambu dan beberapa pot tanaman hias. Rumah itu juga memiliki kolam ikan di bagian belakang. Sakhi baru saja mulai menikmati tidur di kamarnya sendiri, tanpa Papa dan Mama, ketika ia terpaksa harus pindah ke rumah yang jauh lebih kecil dengan satu kamar.
Sakhi tak lagi bisa punya kamar tidur sendiri.
Mbak Mimin sudah tidak lagi bekerja di keluarga mereka sejak Sakhi pindah ke rumah kontrakan itu.
Tentu saja Mama agak kerepotan mengurus Sakhi sekaligus mengurus usaha desain busananya. Tapi untungnya Sakhi sudah agak besar. Jadi dia bisa membantu Mama mengerjakan pekerjaan rumah, sementara Mama mengerjakan desain dan menjahit pakaian.
Usaha garmen Mama berkembang. Keluarga Sakhi akhirnya punya cukup uang untuk pindah ke rumah yang lebih besar, di daerah perumahan one gate system kelas menengah yang terletak agak di pinggiran kota. Mama ingin mencari rumah yang lebih tenang untuk mendukung pekerjaan kreatifnya sebagai desainer.  
Tentu saja keinginan Mama itu terkabul. Di perumahan ini, tidak sembarangan orang boleh masuk. Tukang bakso atau tukang sayur yang hendak mengais rejeki di perumahan ini pun harus yang berijin.
Sakhi tetap mengayuh sepedanya dengan santai, menikmati udara sore yang mulai sejuk karena mentari sudah sedari tadi tergelincir. Setibanya di lapangan, salah satu ruang terbuka yang disediakan Developer untuk aktivitas warga, ia melihat sebuah gerobak bakso.
Sepertinya itu tukang bakso baru,” pikirnya. Sakhi belum pernah melihat gerobak berwarna biru tersebut. Pak Toyib, tukang bakso langganan Sakhi, gerobaknya berwarna putih. Melihat gerobak baru itu, tiba-tiba Sakhi ingin membeli. “Sekalian beli untuk Mama ah,” pikirnya sambil mengayuh sepedanya mendekat.
Alangkah terkejutnya Sakhi melihat tukang bakso itu bukannya sedang menunggui dagangannya melainkan telentang di atas lapangan rumput. Matanya mendelik dan wajahnya membiru. Kedua tangannya terkepal di dada. Lelaki itu mengeluarkan suara mencicit bagai tikus terjepit. Sakhi tak tahu apakah tukang bakso itu menyadari kehadirannya, tapi Sakhi tahu ia seharusnya mencari orang untuk menolong tukang bakso yang tengah sekarat itu.
Tapi Sakhi tidak segera mengayuh sepedanya untuk mencari bantuan. Tidak. Dia malah berdiri mematung memandangi tukang bakso yang tengah meregang nyawa tersebut. Dan ketika tukang bakso itu berhenti mendelik, berhenti mengeluarkan suara tercekik, sebentuk seringai tersungging di bibir Sakhi. Ia menghela napas sebelum akhirnya kembali mengayuh sepedanya pulang.
Masih dengan senyum sinis di wajahnya yang manis, ingatan Sakhi melayang ke masa-masa sembilan tahun yang lalu, ketika ia melihat lelaki yang juga sedang sekarat seperti tukang bakso tadi. Bedanya lelaki sembilan tahun lalu itu tidak meregang nyawa di sebuah lapangan rumput, melainkan di sebuah pos ronda di kampung tempat tinggalnya dulu.
Sakhi yang baru saja pulang sekolah mendelik ketakutan ketika melihat lelaki setengah baya tengah meregang nyawa di siang hari yang terik, saat semua penduduk kampung lebih memilih mencari kesejukan dalam rumah. Spontan ia berlari ke rumah memanggil Mama.
Mama, yang juga ikut melihat kondisi lelaki itu, seharusnya segera mencari bantuan. Tapi tidak. Mama malah berdiri mematung menyaksikan orang itu perlahan kehilangan nyawanya.
Sakhi bahkan masih bisa melihat senyum bahagia di wajah Mama ketika menggandengnya pulang tanpa menghiraukan Sakhi yang terus bertanya ini itu. Sakhi tak mengerti mengapa Mama tampak gembira melihat lelaki itu meninggal dunia.
Tak butuh waktu lama bagi Sakhi untuk akhirnya memahami seluruh rangkaian cerita. Sebab tak butuh waktu lama bagi warga kampung untuk memergoki tubuh tak bernyawa itu. Hampir seluruh warga kampung tahu siapa dia.
 Kematian lelaki itu akhirnya menjawab pertanyaan Sakhi ketika pertama kali mendengar soal Bapak. Setelah angkot Bapak diminta oleh pemiliknya, pos ronda itu menjadi tempat tinggal Bapak hingga ajal mengakhiri penyakitnya. Sakhi tahu hal itu dari orang-orang yang datang ke rumah dan mengabarkan kematian Bapak tanpa tahu bahwa sebenarnya Mama sudah tahu lebih dulu.
Tak ada seorang pun yang menyalahkan sikap dingin Mama. Tak ada seorang pun yang mencela Mama karena keengganannya merawat jenazah Bapak (walau akhirnya dilakukan juga karena desakan pengurus kampung). Tak ada seorang pun yang mencap Mama sebagai anak durhaka. Seluruh warga kampung itu tahu bagaimana Bapak dulu memperlakukan Mama dan ibunya.
Sore ini, di lapangan perumahan yang sepi, lagi-lagi Sakhi menjumpai lelaki yang tengah meregang nyawa.
Bayangan lelaki yang sekarat itu menari-nari dalam benaknya. Sakhi tahu siapa dia. Sakhi tak mungkin salah mengenali lelaki itu.
Lelaki itu adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang menggandeng mesra pinggang Mbak Mimin.
Bibir lelaki itu adalah bibir yang sama dengan bibir yang menempel pada bibir tebal milik Mbak Mimin.
Tubuh kurus lelaki itu adalah tubuh yang sama dengan tubuh gagah yang dulu selalu mengenakan seragam coklat khas pegawai Kejaksaan.
Tangan lelaki itu adalah tangan yang sama dengan tangan yang menampar pipi Mama, ketika Mama bertanya mengapa? Mengapa Mbak Mimin?
Kaki lelaki itu adalah kaki yang sama yang menendang ulu hati Mama seraya membanting setumpuk pakaian. Lantas dengan teriakannya yang bagaikan halilintar mengoyak kedamaian langit, memerintahkan Mama dan Sakhi untuk keluar dari rumah. Rumah warisan Nenek, ibu Mama. Lima tahun yang lalu.
Nama lelaki itu adalah nama yang sama dengan nama lelaki yang sejak kecil selalu Sakhi panggil dengan sebutan “Papa”.


-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)