Sekarang
Gusti hanya bisa menatap nanar pada sesosok tubuh
di kamar mandi. Tubuh seorang wanita dalam posisi duduk tertelungkup di
pinggiran bath tub. Satu tangannya tercelup dalam bak yang airnya masih hangat.
Airnya merah diwarnai darah yang keluar dari urat pergelangannya. Tidak butuh
waktu lama untuk mengenali siapa dia. Isa. Tujuh tahun hidup bersama, membuat
Gusti langsung tahu bahwa sosok itu adalah istrinya.
Walau belum memeriksa apakah denyut jantung Isa
masih ada, entah mengapa perasaan Gusti mengatakan bahwa Isa sudah tiada. Gusti
tahu Isa telah mengakhiri hidupnya sendiri, dan dia tahu mengapa. Surat singkat
dengan tulisan tangan Isa telah menjelaskan semuanya.
Seminggu
yang Lalu
“Maksudnya saya mandul, dok?”, aku bertanya dengan
nada setengah tak percaya. Aku tahu tidak seharusnya aku bertanya. Toh aku bisa
menyimpulkannya setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari dokter
kandungan yang duduk tenang di hadapanku. Mungkin sudah puluhan bahkan ratusan
kali dia menerangkan hal yang sama pada pasien-pasiennya yang lain. Sehingga
dia bisa menjelaskan hal yang sedemikian menyakitkan dengan ekspresi dingin. Caranya
menyampaikan kenyataan bahwa aku tidak mungkin bisa hamil sama dengan jika menyampaikan
aku terkena flu.
“Jadi saya tidak mungkin bisa hamil, Dok?”, aku
mengulangi pertanyaanku. Jantungku berdebar-debar tidak karuan dan tubuhku
menggigil menunggu jawaban. Dokter itu memandangku dengan tersenyum dan lantas
menjawab dengan diplomatis; “Ya kalau urusan punya anak itu wewenang Tuhan, Bu
Isa”.
Betul. Dokter itu tidak salah. Melihat hasil
pemeriksaan indung telur dan rahimku, tampaknya hanya mukjizat yang bisa
membuat aku hamil. Dan masalahnya, aku tidak pernah percaya akan mukjizat.
Mukjizat hanya milik nabi atau rasul atau orang-orang sakti jaman dulu.
Inilah yang kutakutkan sejak dulu. Tujuh tahun
pernikahan dan tidak kunjung hamil juga. Padahal menstruasiku selalu teratur
dan aku tidak pernah mengalami keluhan apa-apa. Selama ini, Mas Gusti tidak
pernah mau membahas masalah itu. Setiap kali kuajak untuk ke dokter kandungan,
dia selalu saja menolak. Alasannya selalu sama, “Sudahlah, yang sabar saja
sayang. Mungkin belum waktunya kita dipercaya untu dititipi bayi”.
Awalnya aku bisa menerima jawabannya. Lagipula, jujur
saja, dalam hati aku juga takut memeriksakan diri ke dokter, aku takut jika
ternyata aku lah yang bermasalah. Aku khawatir ternyata aku lah biang dari
sepinya rumah tangga kami dari jerit tangis dan tawa anak-anak.
Selama ini, kesibukanlah yang membuatku lupa.
Pekerjaan di kantor yang menumpuk disertai deadline yang tak henti-hentinya
mengejar membuat kami sejenak lupa akan keinginan punya anak. Hingga tak
terasa, tujuh tahun berlalu. Dan lagi-lagi saat mas Gusti kuajak ke dokter, dia
menolak.
Akhirnya aku tak sabar lagi. Tanpa sepengetahuan
suamiku, aku pergi ke dokter dan memintanya melakukan observasi untuk
mengetahui mengapa aku tidak kunjung hamil.
Dan hasil observasi dokter menunjukkan bahwa
karena suatu hal, indung telurku selalu menghasilkan sel telur yang berkualitas
buruk. Ditambah lagi adanya kelainan bentuk rahim, sehingga kalaupun terjadi
pembuahan, akan sulit bagi embrio untuk menempel di sana.
Kesimpulannya, aku mandul. Aku tidak akan pernah
bisa punya anak. Mas Gusti tidak akan pernah bisa menimang bayi yang terlahir dari
rahimku. Menyadari ini, tenggorokanku tercekat, kepalaku terasa pening.
Sejak hari itu, sejak dari ruangan dokter
kandungan itu, aku kehilangan semangat hidup. Aku merasa gelap walau mentari
bersinar. Dan masalahnya adalah, aku tidak bisa menyampaikan hal itu pada mas
Gusti. Takut. Tidak tega.
Dalam hati kecil aku tahu, cinta seorang mas
Gusti terhadap aku pasti tidak akan berubah “hanya” karena masalah ini. Selama
ini, berkali-kali dia bilang bahwa dia mencintaiku karena aku. Titik. Tidak ada
alasan lain. Tapi aku tahu, dia pun pasti merindukan kehadiran seoarng anak
untuk membuat hidupnya semakin lengkap. Dengan kondisiku yang seperti ini, satu
kepingan puzzle dalam hidup mas Gusti tidak akan pernah bisa ditemukan. Dan
hidup mas Gusti tidak akan pernah lengkap.
Mas Gusti harus menikah lagi. Tampaknya aku harus
rela memiliki madu. Ya, hanya dengan cara itu suamiku bisa memiliki keturunan.
Ah, tapi mana aku tahan? Membayangkan suamiku tidur dengan perempuan lain saja
sudah membuatku ingin muntah.
Kalau begitu, biar aku minta dicerai saja. Lantas
pergi ke kota lain untuk melupakan kenanganku dengan mas Gusti. Ah, tapi dia
tidak mungkin mau. Aku tahu, dia sangat mencintaiku. Seperti aku pun sangat
mencintainya dan menginginkan dia bahagia. Namun, dengan kondisi seperti ini
mas Gusti tidak akan pernah bisa bahagia.
Berarti tidak ada jalan lain. Hidupku harus
berakhir. Dengan begitu, mas Gusti tidak perlu susah-susah menceraikan aku. Dia
tidak perlu merasa bersalah jika ingin menikah lagi dengan perempuan yang
memiliki indung telur dan rahim yang normal. Dan bagiku, aku tak perlu menahan
pedih di hati tiap kali membayangkan dia bercinta dengan wanita lain.
Ya betul, inilah jalan terbaik.
Sekarang
Gusti tahu ada yang tidak beres dengan Isa sejak
semingguan yang lalu. Dia sudah berusaha mendesak istrinya untuk bercerita
sebenarnya ada apa.
Tidak biasanya Isa seperti itu. Isa yang dia
kenal semenjak mereka masih kuliah dulu adalah perempuan yang selalu
bersemangat. Gusti tahu, hidup tidak pernah mudah untuk Isa. Seorang yatim, dan
harus membantu Ibunya menyekolahkan kedua adiknya. Sementara Isa sendiri juga
berjuang menyelesaikan kuliahnya. Tapi Isa selalu tampak bergairah, tak pernah
kelihatan susah. Otaknya pun cerdas, sampai-sampai saat belum menyelesaikan
kuliahnya, dia sudah dilamar untuk bekerja di perusahaan ternama di kota
mereka.
Isa tampaknya tak pernah mengenal malam. Baginya
mentari selalu bersinar. Isa juga tidak pernah mengenal mendung. Bagi Isa, yang
ada hanya pelangi. Hidup Isa selalu tampak indah. Dan itu yang membuat Gusti
jatuh cinta. Gusti merasakan semangat hidup Isa yang sedemikian besar turut
mempengaruhi hidupnya. Isa adalah inspirasi.
Sungguh kebahagiaan yang luar biasa saat Isa
menerima lamarannya dan akhirnya mereka bisa hidup bersama.
Setahun berlalu. Dua tahun berlalu. Mereka
menikmati indahnya bahtera rumah tangga berdua. Hanya berdua. Dan itu tampaknya
tidak lagi indah bagi Isa.
Berkali-kali Isa mengajaknya ke dokter kandungan.
Tapi Gusti selalu menolak. Sebenarnya Gusti khawatir jika ternyata, Gusti lah
penyebab mereka belum bisa punya keturunan. Kesibukan kerja Isa rupanya bisa
membuatnya lupa akan hasratnya mencari tahu mengapa dia belum juga hamil. Tapi
tujuh tahun sudah berlalu. Teman-teman mereka, yang menikah lebih belakangan
justru sudah punya anak, bahkan sudah ada yang beranak 2. Tiap kali mengunjungi
teman yang melahirkan, Gusti tahu Isa gelisah. Setiap kali melihat bayi, Gusti
tahu ada sebetik kesedihan yang terbit di hati Isa. Bukan. Gusti tahu bukan karena
tidak bisa menimang bayi saja yang membuat Isa sedih. Tapi karena Isa tidak
bisa memberinya keturunan. Bagi Isa, itu adalah to do list yang harus dia
tuntaskan, sekalipun dia sudah berkali-kali menerangkan bahwa ada tidaknya seorang
bayi tidak akan mengubah cinta Gusti padanya.
Gusti tak pernah tahu, bahwa istrinya diam-diam
telah menemui dokter kandungan. Gusti juga tidak pernah mendengar dari mulut
Isa sendiri bahwa ada kelainan dalam organ reproduksi istrinya. Gusti juga
tidak pernah menyangka, bahwa kenyataan ini adalah batu kryptonite bagi Isa.
Perempuan yang baginya tidak pernah mengenal kata “masalah” atau “beban hidup”.
Ini lah ternyata yang memadamkan mentari yang selalu bersinar di sepanjang
hidup Isa. Ini lah, awan mendung yang menutupi pelangi-pelangi Isa.
Sesaat
sebelumnya.
“Tampaknya memang ada kelainan pada spermamu Gus.
Gerakannya tidak seagresif sperma biasa. Kalau kamu mau, kita bisa observasi
lebih lanjut. Gimana?”.
Aku mendengarkan penjelasan Dino, sahabatku yang
dokter. Ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku, mendapati bahwa selama ini yang
aku khawatirkan benar adanya. Tapi sejurus kemudian, ada perasaan lega. Bukan
Isa penyebabnya. Kalau mendengar hal ini, Isa tidak perlu merasa bersalah dan
terbebani lagi. Aku akan segera menyampaikan hal ini pada Isa. Kemudian
mengajukan opsi-opsi untuk berusaha menghadirkan seorang bayi di rumah kami.
Mungkin kami bisa mencoba program bayi tabung. Atau kalau Isa mau, kami bisa
mengadopsi seorang bayi.
Ah, betapa aku tidak sabar ingin segera tiba di
rumah dan menyampaikan hal ini pada istriku tercinta.
*Batu Kryptonite: Batu yang berasal dari Planet Krypton (planet darimana Superman
berasal) yang menyebabkan Superman menjadi sangat lemah dan kehilangan seluruh
kekuatannya.
27 Desember 2012
"Ini adalah fiksi pertama saya, jadi jika masih cupu ya harap dimaklumi. Terima kasih bagi yang sudah membaca sampai habis ^-^"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.