Kamis, 27 Desember 2012

Batu Kryptonite Isa


Sekarang
Gusti hanya bisa menatap nanar pada sesosok tubuh di kamar mandi. Tubuh seorang wanita dalam posisi duduk tertelungkup di pinggiran bath tub. Satu tangannya tercelup dalam bak yang airnya masih hangat. Airnya merah diwarnai darah yang keluar dari urat pergelangannya. Tidak butuh waktu lama untuk mengenali siapa dia. Isa. Tujuh tahun hidup bersama, membuat Gusti langsung tahu bahwa sosok itu adalah istrinya.
Walau belum memeriksa apakah denyut jantung Isa masih ada, entah mengapa perasaan Gusti mengatakan bahwa Isa sudah tiada. Gusti tahu Isa telah mengakhiri hidupnya sendiri, dan dia tahu mengapa. Surat singkat dengan tulisan tangan Isa telah menjelaskan semuanya.

Seminggu yang Lalu
“Maksudnya saya mandul, dok?”, aku bertanya dengan nada setengah tak percaya. Aku tahu tidak seharusnya aku bertanya. Toh aku bisa menyimpulkannya setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari dokter kandungan yang duduk tenang di hadapanku. Mungkin sudah puluhan bahkan ratusan kali dia menerangkan hal yang sama pada pasien-pasiennya yang lain. Sehingga dia bisa menjelaskan hal yang sedemikian menyakitkan dengan ekspresi dingin. Caranya menyampaikan kenyataan bahwa aku tidak mungkin bisa hamil sama dengan jika menyampaikan aku terkena flu.
“Jadi saya tidak mungkin bisa hamil, Dok?”, aku mengulangi pertanyaanku. Jantungku berdebar-debar tidak karuan dan tubuhku menggigil menunggu jawaban. Dokter itu memandangku dengan tersenyum dan lantas menjawab dengan diplomatis; “Ya kalau urusan punya anak itu wewenang Tuhan, Bu Isa”.
Betul. Dokter itu tidak salah. Melihat hasil pemeriksaan indung telur dan rahimku, tampaknya hanya mukjizat yang bisa membuat aku hamil. Dan masalahnya, aku tidak pernah percaya akan mukjizat. Mukjizat hanya milik nabi atau rasul atau orang-orang sakti jaman dulu.
Inilah yang kutakutkan sejak dulu. Tujuh tahun pernikahan dan tidak kunjung hamil juga. Padahal menstruasiku selalu teratur dan aku tidak pernah mengalami keluhan apa-apa. Selama ini, Mas Gusti tidak pernah mau membahas masalah itu. Setiap kali kuajak untuk ke dokter kandungan, dia selalu saja menolak. Alasannya selalu sama, “Sudahlah, yang sabar saja sayang. Mungkin belum waktunya kita dipercaya untu dititipi bayi”.
Awalnya aku bisa menerima jawabannya. Lagipula, jujur saja, dalam hati aku juga takut memeriksakan diri ke dokter, aku takut jika ternyata aku lah yang bermasalah. Aku khawatir ternyata aku lah biang dari sepinya rumah tangga kami dari jerit tangis dan tawa anak-anak.
Selama ini, kesibukanlah yang membuatku lupa. Pekerjaan di kantor yang menumpuk disertai deadline yang tak henti-hentinya mengejar membuat kami sejenak lupa akan keinginan punya anak. Hingga tak terasa, tujuh tahun berlalu. Dan lagi-lagi saat mas Gusti kuajak ke dokter, dia menolak.
Akhirnya aku tak sabar lagi. Tanpa sepengetahuan suamiku, aku pergi ke dokter dan memintanya melakukan observasi untuk mengetahui mengapa aku tidak kunjung hamil.
Dan hasil observasi dokter menunjukkan bahwa karena suatu hal, indung telurku selalu menghasilkan sel telur yang berkualitas buruk. Ditambah lagi adanya kelainan bentuk rahim, sehingga kalaupun terjadi pembuahan, akan sulit bagi embrio untuk menempel di sana.
Kesimpulannya, aku mandul. Aku tidak akan pernah bisa punya anak. Mas Gusti tidak akan pernah bisa menimang bayi yang terlahir dari rahimku. Menyadari ini, tenggorokanku tercekat, kepalaku terasa pening.
Sejak hari itu, sejak dari ruangan dokter kandungan itu, aku kehilangan semangat hidup. Aku merasa gelap walau mentari bersinar. Dan masalahnya adalah, aku tidak bisa menyampaikan hal itu pada mas Gusti. Takut. Tidak tega.
Dalam hati kecil aku tahu, cinta seorang mas Gusti terhadap aku pasti tidak akan berubah “hanya” karena masalah ini. Selama ini, berkali-kali dia bilang bahwa dia mencintaiku karena aku. Titik. Tidak ada alasan lain. Tapi aku tahu, dia pun pasti merindukan kehadiran seoarng anak untuk membuat hidupnya semakin lengkap. Dengan kondisiku yang seperti ini, satu kepingan puzzle dalam hidup mas Gusti tidak akan pernah bisa ditemukan. Dan hidup mas Gusti tidak akan pernah lengkap.
Mas Gusti harus menikah lagi. Tampaknya aku harus rela memiliki madu. Ya, hanya dengan cara itu suamiku bisa memiliki keturunan. Ah, tapi mana aku tahan? Membayangkan suamiku tidur dengan perempuan lain saja sudah membuatku ingin muntah.
Kalau begitu, biar aku minta dicerai saja. Lantas pergi ke kota lain untuk melupakan kenanganku dengan mas Gusti. Ah, tapi dia tidak mungkin mau. Aku tahu, dia sangat mencintaiku. Seperti aku pun sangat mencintainya dan menginginkan dia bahagia. Namun, dengan kondisi seperti ini mas Gusti tidak akan pernah bisa bahagia.
Berarti tidak ada jalan lain. Hidupku harus berakhir. Dengan begitu, mas Gusti tidak perlu susah-susah menceraikan aku. Dia tidak perlu merasa bersalah jika ingin menikah lagi dengan perempuan yang memiliki indung telur dan rahim yang normal. Dan bagiku, aku tak perlu menahan pedih di hati tiap kali membayangkan dia bercinta dengan wanita lain.
Ya betul, inilah jalan terbaik.

Sekarang
Gusti tahu ada yang tidak beres dengan Isa sejak semingguan yang lalu. Dia sudah berusaha mendesak istrinya untuk bercerita sebenarnya ada apa.
Tidak biasanya Isa seperti itu. Isa yang dia kenal semenjak mereka masih kuliah dulu adalah perempuan yang selalu bersemangat. Gusti tahu, hidup tidak pernah mudah untuk Isa. Seorang yatim, dan harus membantu Ibunya menyekolahkan kedua adiknya. Sementara Isa sendiri juga berjuang menyelesaikan kuliahnya. Tapi Isa selalu tampak bergairah, tak pernah kelihatan susah. Otaknya pun cerdas, sampai-sampai saat belum menyelesaikan kuliahnya, dia sudah dilamar untuk bekerja di perusahaan ternama di kota mereka.
Isa tampaknya tak pernah mengenal malam. Baginya mentari selalu bersinar. Isa juga tidak pernah mengenal mendung. Bagi Isa, yang ada hanya pelangi. Hidup Isa selalu tampak indah. Dan itu yang membuat Gusti jatuh cinta. Gusti merasakan semangat hidup Isa yang sedemikian besar turut mempengaruhi hidupnya. Isa adalah inspirasi.
Sungguh kebahagiaan yang luar biasa saat Isa menerima lamarannya dan akhirnya mereka bisa hidup bersama.
Setahun berlalu. Dua tahun berlalu. Mereka menikmati indahnya bahtera rumah tangga berdua. Hanya berdua. Dan itu tampaknya tidak lagi indah bagi Isa.
Berkali-kali Isa mengajaknya ke dokter kandungan. Tapi Gusti selalu menolak. Sebenarnya Gusti khawatir jika ternyata, Gusti lah penyebab mereka belum bisa punya keturunan. Kesibukan kerja Isa rupanya bisa membuatnya lupa akan hasratnya mencari tahu mengapa dia belum juga hamil. Tapi tujuh tahun sudah berlalu. Teman-teman mereka, yang menikah lebih belakangan justru sudah punya anak, bahkan sudah ada yang beranak 2. Tiap kali mengunjungi teman yang melahirkan, Gusti tahu Isa gelisah. Setiap kali melihat bayi, Gusti tahu ada sebetik kesedihan yang terbit di hati Isa. Bukan. Gusti tahu bukan karena tidak bisa menimang bayi saja yang membuat Isa sedih. Tapi karena Isa tidak bisa memberinya keturunan. Bagi Isa, itu adalah to do list yang harus dia tuntaskan, sekalipun dia sudah berkali-kali menerangkan bahwa ada tidaknya seorang bayi tidak akan mengubah cinta Gusti padanya.
Gusti tak pernah tahu, bahwa istrinya diam-diam telah menemui dokter kandungan. Gusti juga tidak pernah mendengar dari mulut Isa sendiri bahwa ada kelainan dalam organ reproduksi istrinya. Gusti juga tidak pernah menyangka, bahwa kenyataan ini adalah batu kryptonite bagi Isa. Perempuan yang baginya tidak pernah mengenal kata “masalah” atau “beban hidup”. Ini lah ternyata yang memadamkan mentari yang selalu bersinar di sepanjang hidup Isa. Ini lah, awan mendung yang menutupi pelangi-pelangi Isa.

Sesaat sebelumnya.
“Tampaknya memang ada kelainan pada spermamu Gus. Gerakannya tidak seagresif sperma biasa. Kalau kamu mau, kita bisa observasi lebih lanjut. Gimana?”.
Aku mendengarkan penjelasan Dino, sahabatku yang dokter. Ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku, mendapati bahwa selama ini yang aku khawatirkan benar adanya. Tapi sejurus kemudian, ada perasaan lega. Bukan Isa penyebabnya. Kalau mendengar hal ini, Isa tidak perlu merasa bersalah dan terbebani lagi. Aku akan segera menyampaikan hal ini pada Isa. Kemudian mengajukan opsi-opsi untuk berusaha menghadirkan seorang bayi di rumah kami. Mungkin kami bisa mencoba program bayi tabung. Atau kalau Isa mau, kami bisa mengadopsi seorang bayi.
Ah, betapa aku tidak sabar ingin segera tiba di rumah dan menyampaikan hal ini pada istriku tercinta.


*Batu Kryptonite: Batu yang berasal dari Planet Krypton (planet darimana Superman berasal) yang menyebabkan Superman menjadi sangat lemah dan kehilangan seluruh kekuatannya.

27 Desember 2012

"Ini adalah fiksi pertama saya, jadi jika masih cupu ya harap dimaklumi. Terima kasih bagi yang sudah membaca sampai habis ^-^"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)