Kok aku bisa ada di sini?, Alfi termangu melihat sekelilingnya. Dia tak ingat
kenapa tiba-tiba bisa ada di tempat ini atau di mana dia sebelumnya. Tahu-tahu
dia sudah berdiri di mulut sebuah gang. Dia seakan menjadi boneka lego yang
baru detik itu dibuat dan kemudian diletakkan oleh pembuatnya di sebuah maket,
tanpa tahu mengapa dan untuk apa.
Tapi
gang itu tampaknya tidak asing. Alfi melangkahkan kaki memasuki gang tersebut.
Jalanannya masih berupa tanah makadam. Rumah-rumah mungil berderet-deret rapat.
Deretan pot yang dicat dengan warna oranye menyala tampak menjadi pemanis gang
sempit yang hanya selebar satu mobil ini.
“Ibuu...mau
Miwon Bu...mau Miwon...”, tiba-tiba didenngarnya suara rengekan anak kecil.
Alfi menghentikan langkahnya dan celingukan mencari tahu.
Suara
itu ternyata berasal dari salah satu rumah. Seorang perempuan muda tampak
sedang mencuci. Di hadapannya ada beberapa bak besar berisi air, baju kotor dan
papan penggilasan. Dia duduk di sebuah dingklik
pendek sambil mengucek. Sementara itu, seorang anak kecil menggelayuti
punggungnya sambil merengek.
“Miwon
Bu...aku mau Miwon...”, anak kecil berusia 6 tahun itu terus merengek. Wanita
itu kemudian menghentikan kegiatan mencucinya dan memandang anak itu sambil
tersenyum lembut.
“Sebentar
ya Nak”, ujarnya sebelum menghilang ke dalam rumah. Tak lama dia kembali sambil
membawa bungkus plastik berisi kristal putih seperti gula. “Ini Miwonnya. Buat
apa?”, tanyanya.
Si
anak kecil bukannya menjawab malah merengek lagi. “Bukan itu...aku mau
Miwon...mau Miwon”
“Iya,
ini Miwon Nak”
“Bukan
Bu...Mi...Won. Yang panjang-panjang itu lho Bu”
Dahi
wanita itu berkerut tanda tak paham. Dia kembali duduk di dingklik dan meneruskan mencuci, sementara si anak kembali
menggelayuti punggungnya sambil terus merengek. “Ya nanti kita beli Miwon
ya...”, ujarnya dengan sabar.
Alfi
geleng-geleng kepala melihat tingkah anak yang salah mengira bahwa Miwon adalah
sejenis Mie. Tidakkah dia lihat Ibunya sedang sibuk? Bagaimana mungkin wanita
itu bisa tahan mendengarkan rengekan anaknya yang di telinga Alfi terdengar
sangat mengganggu?
“Adek
sedang cari siapa?”, seseorang tiba-tiba bertanya padanya.
Alfi
menoleh dan dilihatnya seorang perempuan berjilbab sedang tersenyum ramah. “Oh
tidak. Saya cuma kebetulan lewat”. Alfi kemudian menjelaskan kejadian yang baru
saja dilihatnya pada wanita berjilbab itu.
Wanita
berjilbab itu manggut-manggut. “Iya, Fina memang anaknya begitu. Manjanya minta
ampuun. Kerjaannya rewel dan merengek terus. Untung Bu Heru itu orangnya
sabar”, komentar
Fina?
Heru? Entah mengapa nama itu tidak asing di telinga Alfi.
“Oh
ya. Saya Bu Ali. Ketua RT di sini. Adek mau ke mana?”
Alfi
menggeleng. “Saya sepertinya nyasar.
Ini namanya daerah apa ya Bu?
“Wonorejo,
Surabaya Selatan. Adek datang dari mana?”
Surabaya?
Bagaimana dia bisa ada di sini? Seingatnya, dia seharusnya ada di...“Jakarta
Bu”, jawabnya. Akhirnya dia ingat dari mana dia berasal. Dia seharusnya sedang
bekerja di ibukota. Kening Bu Ali bertaut. Dia merasa ada yang tidak beres
dengan gadis yang tampak linglung itu.
“Adek
bisa pulang ke Jakarta dengan kereta besok pagi. Malam ini Adek bisa tinggal di
rumah Ibu. Besok Ibu antar ke stasiun”, Bu Ali menawarkan.
Alfi
memandang wanita setengah baya itu dengan penuh terima kasih. Dia tak punya
pilihan lain selain mengekor di belakangnya. Lagipula entah mengapa sedari tadi
kepalanya terasa pening.
Senja
menjelang. Matahari mulai memburatkan sinar oranye di langit.
“Adek
mau shalat Magrib di Masjid? Kalau mau itu mukenah boleh dipakai”, tanya Bu
Ali.
Alfi
mengangguk. Diraihnya mukenah berbalut sajadah yang sudah disiapkan Bu Ali .
Ketika mereka melewati rumah tempat mereka tadi bertemu, lagi-lagi dia
mendengar suara.
“Ibu...beras
kita habis”, terdengar suara seorang gadis.
Alfi
dan Bu Ali menghentikan langkah mereka dan saling berpandangan. Tak lama mereka
melihat Bu Heru keluar rumah sambil menenteng sesuatu berbentuk persegi yang
dibungkus taplak meja bercorak batik. “Kalau ada yang cari, bilang Ibu sedang
arisan ya...”, pesan Bu Heru pada anak perempuan lain yang lebih besar sebelum melangkah
pergi.
“Yang
itu namanya Denok, kakaknya Fina. Mereka sering begitu. Kalau sedang tidak
punya uang, Bu Heru sering mencari pinjaman. Yang dibungkus itu...”, Bu Ali
bercerita tanpa diminta.
“Televisi
14 inchi untuk jaminan dan Bu Heru akan berjalan cukup jauh, kira-kira 1 jam
dari sini”, Alfi memotong cerita Bu Ali.
“Kok
Adek bisa tahu?”, Bu Ali tertegun. Sama tertegunnya dengan Alfi, mengapa dia
rasanya tahu ke mana wanita itu akan pergi..
“Hidup
memang keras Dek. Tapi Bu Heru itu luar biasa tabah. Pak Heru dulu wartawan,
tapi meninggal muda saat sedang tugas meliput bencana alam. Fina masih belum
genap setahun waktu itu. Sejak itu, mau tidak mau istrinya harus jadi tulang
punggung keluarga. Tapi karena dia cuma lulusan SD, ya akhirnya hanya bisa jadi
tukang cuci baju tetangga”, lanjut Bu Ali sambil menepis keheranannya.
Alfi
kian tertegun. Rasanya dia pernah mendengar cerita itu sebelumnya.
Malam
itu Alfi tidur dalam kebingungan. Dia berharap, besok akan ada jawaban atas
semua hal yang memusingkan kepalanya ini.
Tengah
malam, Alfi terbangun karena suara isak perlahan. Matanya mengerjap berusaha
membiasakan diri dalam temaram malam. Sesaat kemudian baru dia sadar ini bukan kamar
di rumah Bu Ali. Ini kamar lain dan dia tidak sendiri. Ada orang lain di kamar
itu. Ia bermukenah dan duduk bersimpuh di atas selembar sajadah. Tangannya
menengadah.
“Ya
Allah. Ampunilah hambaMu yang tak berdaya. Berilah hambaMu kekuatan dalam
membesarkan anak-anak yang Kau amanahkan pada hamba. Jadikanlah mereka
anak-anak yang sholehah. Berikanlah mereka kemudahan dalam menjalani hidup.
Hanya padaMu hamba memohon perlindungan bagi mereka di saat Hamba tak bisa
menjaga”, dan kemudian air matanya pun meleleh.
Lamat-lamat
akhirnya Alfi bisa mengenali siapa perempuan itu. Bu Heru. Mengapa aku tiba-tiba bisa berada di kamar tetangga Bu Ali?,
tanyanya dengan bingung. Kepala Alfi tiba-tiba terasa berat. Dia merasa sangat
lelah. Matanya kembali terpejam.
Matanya
kembali terbuka karena kulitnya merasakan hembusan angin dingin. “Sudah Shubuh
Dek”, kata Bu Ali seraya membuka jendela dan membiarkan udara sejuk Shubuh hari
menerobos masuk. Suara Bu Ali mengembalikan kesadaran Alfi. “Setelah sarapan,
nanti kita segera ke stasiun membeli tiket kereta”, lanjutnya. Alfi mengangguk
menurut.
Mereka
berjalan menuju mulut gang untuk mencari angkot yang akan mengantarkan keduanya
ke stasiun. Ketika melewati rumah Bu Heru yang pintunya terbuka, mereka melihat
wanita itu sedang berbicara dengan seorang gadis remaja. Wajahnya mirip dengan
anak yang merengek meminta Miwon kemarin siang, seolah dia adalah versi remaja
dari anak kecil itu.
“Kamu
usahakan lulus UMPTN ya Fin. Ibu hanya mampu menyekolahkan kamu kalau kamu
masuk Universitas Negeri seperti kakakmu. Perhiasan peninggalan Bapak tidak
banyak, tapi insha Allah masih cukup untuk biaya masuk kuliah. Terus juga
jangan pilih universitas di luar kota ya, biar tidak perlu keluar uang untuk
kos”, katanya.
“Tapi aku maunya ke UI Bu. Di Jakarta”, bantah
gadis itu.
“Di
sini kan juga ada Universitas Negeri, Fin. Lagipula biaya hidup di ibukota kan
mahal”, jawab Bu Heru sambil menggeleng.
Gadis
itu cemberut.
“Nanti
kalau sudah kuliah. Kamu coba seperti kakakmu, cari program beasiswa dan murid
les privat. Lumayan untuk bantu biaya kuliah dan uang sakumu”, tambah Bu Heru
lagi.
Mendengar
itu, si gadis meradang. “Ibu ini bagaimana sih? Biaya sekolah kan tanggung
jawab Ibu. Tugas Fina itu belajar. Nanti kalau Fina macet kuliahnya gara-gara
sibuk berburu beasiswa dan jadi guru les privat kan Ibu juga yang susah. Nanti
Fina nggak lulus-lulus. Fina mau cepet lulus Bu. Biar cepet dapat kerja yang gajinya
besar. Biar nggak jadi orang susah yang nyusahin anaknya kaya Ibu”, cerocos
gadis itu.
Mendengar
itu Bu Heru terhenyak. Alfi bisa melihat bibir wanita itu bergetar menahan
tangis.
“Si
Fina memang egoisnya minta ampun. Saya sih kalau punya anak kaya gitu sudah
saya tampar. Tapi Bu Heru ini memang ajaib sabarnya”. komentar Bu Heru sambil
geleng-geleng kepala. Alfi pun mengangguk tanda setuju bahwa ucapan anak itu
sangat keterlaluan.
Namun
dalam hati, Alfi merasa heran, bagaimana mungkin anak kecil yang merengek minta
Miwon itu sudah bertumbuh segini besar dalam semalam. Yang lebih mengherankan
lagi, Bu Ali juga tampaknya tidak menganggap itu sebagai hal yang aneh.
Mendadak pusing di kepalanya kembali. Mereka segera meninggalkan rumah Bu Heru
dan berangkat menaiki angkot menuju stasiun.
Alfi
sedang sial. Ini masa libur lebaran. Tak ada tiket kereta api tersisa. Petugas
loket menyarankan Alfi untuk kembali besok pagi-pagi sekali, siapa tahu ada
penumpang yang tiba-tiba membatalkan tiketnya. Leher Alfi tertunduk lesu.
“Sudah
tak apa-apa Dek. Adek boleh kok menginap semalam lagi di rumah Ibu. Atau sampai
Adek dapat tiket ke Jakarta”, hibur Bu Ali. Alfi menatap perempuan itu dengan
rasa terima kasih yang tak tergambarkan.
Malam
itu Alfi ingin tidur lebih awal. Sejak pagi, kepalanya didera sakit luar biasa.
Namun
lagi-lagi Alfi terbangun karena mendengar suara. Dia mengerjap-ngerjapkan
matanya. Ini bukan kamar rumah Bu Ali. Ini kamar tempat dia melihat wanita
bermukenah yang berdoa sambil menangis malam sebelumnya. Rumah Bu Heru.
Sayup-sayup didengarnya suara dari arah luar kamar. Dengan rasa ingin tahu,
Alfi pun bangkit dan mengintip dari celah pintu dan kusen yang sedikit terbuka.
Rupanya wanita itu belum tidur dan sedang menelepon seseorang.
“Masih
lembur di kantor Fin? Jangan pulang terlalu malam. Ibu dengar di Jakarta sering
ada kejadian kriminal. Ibu takut ada apa-apa sama kamu. Ibu takut kamu...”, Bu
Heru terdiam. Seseorang di ujung sana memutus ucapannya.
“Iya
Ibu tahu kamu sudah besar. Tapi Ibu tetep
khawatir. Sebab kamu sendirian di Jakarta”, suaranya mulai terdengar menganduk
isak. “Oya lebaran besok kamu pulang kan? Fina mau dimasakkan apa?”, tanyanya
penuh harap.
Fina?
Baru tadi pagi Alfi melihat gadis itu mendebat Ibunya tentang memilih
Universitas. Sekarang dia sudah bekerja di Jakarta?. Alfi hampir mengira dia
sudah gila. Tapi keingintahuannya untuk sementara mengalihkan kebingungannya
karena seharian ini melompat-lompat dalam ruang waktu.
“Lho,
kenapa nggak pulang Fin? Ibu kangen”, tanyanya dengan air mata mulai
mengambang. “Liburan ke Bali? Ya sudah, lain kali saja kamu sempatkan pulang
ya”, kali ini air matanya tak tertahankan lagi.
Bu
Heru meletakkan gagang telepon dengan wajah berduka. “Ya Allah, lindungi putri
hamba; Alfina Putri Gemintang. Hanya kepadaMu hamba bisa menitipkan
keselamatannya yang sedang jauh di ibukota”, dia berdoa di antara isaknya.
Kepala
Alfi bagai dihantam palu godam. Alfina Putri Gemintang. Itu namanya. Tiba-tiba
lututnya terasa lemas hingga dia jatuh terduduk di lantai. Akhirnya kini dia
mengerti mengapa rasanya dia begitu mengenal kampung ini serta bagaimana dia
bisa tahu bahwa Bu Heru akan menenteng televisi berbungkus taplak batik sejauh
1 jam jalan kaki. Akhirnya dia sadar siapa wanita itu. Heru adalah nama
ayahnya, seorang jurnalis yang sudah lama meninggal.
Sekonyong-konyong
dia ingat semuanya. Dia ingat betapa dia sangat malu. Malu karena memiliki Ibu
yang papa tak berdaya sepeninggal ayahnya. Dia malu karena Ibunya hanya seorang
tukang cuci yang sering menjaminkan televisi 14 inchi untuk membeli beras. Dia
ingat dia tak lagi mau menggunakan nama kecilnya ketika mulai bekerja di sebuah
perusahaan mentereng di Jakarta. Dia ingin terlahir baru sebagai Alfi, gadis
lulusan universitas negeri ternama di Surabaya. Bukan lagi menjadi Fina, anak
seorang tukang cuci.
Dia
baru sadar arti segala hal yang dilihatnya dua hari terakhir. Dia yang begitu
manja saat kecil, sementara Ibunya tak pernah sekalipun memarahinya. Dia yang
begitu egois saat remaja, sementara Ibunya senantiasa mendoakannya tiap malam
sambil menangis. Ketika dewasa, dia memilih berlibur ke Bali saat lebaran
ketimbang sujud di kaki Ibunya untuk memohon ampun.
Sepenggal
ingatan yang menyedihkan menerobos masuk dalam liang-liang memorinya. Liburan
ke Bali itu berakhir tragis karena mobil travelnya mengalami kecelakaan.
Ingatan akan kecelakaan itu sekonyong-konyong berganti dengan gelombang rasa bersalah
yang menyesakkan dada.
Alfi
semakin tak kuat menahan deraan sakit di kepalanya. “Ibuuu....!!!”, erangnya
sebelum jatuh pingsan.
Ketika
sadar, lagi-lagi dia kebingungan. Di mana ini? Butuh waktu agak lama untuk
menyingkirkan kabut yang mengambang di pelupuk matanya.
“Alhamdulillah...kamu
sudah sadar Fin? Ini di rumah sakit di Bali. Kamu kecelakaan ”, itu suara Mbak
Denok.
“Mbak...kok
Mbak di sini?”, tanyanya pada kakaknya yang juga sudah bekerja sebagai psikolog
di Surabaya.
“Untung
Mbak yang angkat telepon saat ada kabar kamu kecelakaan. Mbak nggak kasih tahu
Ibu, takut Ibu kuatir. Makanya Mbak langsung ke sini memastikan keadaanmu”
“Jadi
Ibu nggak tahu aku kecelakaan?”
“Enggak
lah. Ibu pasti pingsan kalau tahu. Ibu itu sayang banget sama kamu. Tiap hari
yang diomongin kamuuu terus. Apalagi pas kamu sudah pindah ke Jakarta. Yang
kuatir lah, yang mikirin kamu sudah makan apa belum lah. Lagian kenapa sih kamu
lebih memilih ke Bali daripada pulang? Kamu sudah setahun lho nggak pulang ke
Surabaya”, cerosos Denok.
“Iya
Mbak. Aku menyesal. Aku pingin pulang sekarang. Aku pingin ketemu Ibu, pingin
cium kaki Ibu, pingin mohon ampun sama Ibu. Aku sudah jadi anak yang durhaka
sama Ibu Mbak”, Alfi terisak sampai pundaknya bergetar.
“Sudah...yang
penting...sekarang kamu pulihkan dulu keadaanmu”, jawab Mbak Denok kalem.
Betapa senang dia akhirnya adiknya sudah menyadari kesalahannya.
“Mbak,
ponselku?”, tanya Alfi setelah isaknya mereda.
Denok
mengulurkan smartphone milik Alfi.
“Jangan telepon Ibu. Nanti dia khawatir. Biarkan kepulanganmu nanti jadi
kejutan”
“Aku
nggak telepon Ibu Mbak, aku mau tulis email ke kantor”.
Denok
angkat bahu. Heran dia melihat adiknya yang satu ini. Baru saja siuman dari
tidur yang panjang, langsung ingat pekerjaan. Namun Denok tak tahu apa yang
dialami adiknya ketika koma, yang lantas memicu Alfi membuat sebuah keputusan
besar. Kini, Alfi sedang mengetikkan surat pernyataan mengundurkan diri dari
perusahaannya. Dia tak kan mau jauh lagi dari Ibu dan bertekad untuk mencari pekerjaan
yang bisa ditempuh dari rumah mereka di Surabaya.
Usai
mengirim email. Alfi menghela napas lega. Dia memandang Denok dan berkata; “Aku
tidak akan tinggalkan Ibu lagi Mbak, walaupun itu mungkin tak kan pernah cukup
untuk menebus semua dosaku sama Ibu”. -end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.