Jumat, 20 Desember 2013

Dongeng: Kisah Awan dan Angin



 Alkisah, ada dua sahabat bernama Awan dan Angin.  Awan bertugas membawa butir-butir air dalam tubuhnya dan kemudian menumpahkannya ke Bumi jika sudah penuh. Manusia mengenal saat itu sebagai hujan.
Sementara itu Angin bertugas meniup Awan ke sana ke mari. Jika sudah sampai di atas daerah yang tepat, Angin akan berhenti bertiup agar Awan bisa mencurahkan airnya. Keduanya mengitari Bumi agar seluruh bagian Bumi dapat merasakan hujan secara bergiliran.
Pada suatu hari, keduanya tiba di atas tanah persawahan sebuah negeri.  Awan sedang bersiap-siap menumpahkan airnya ketika tiba-tiba Angin berteriak.
“Tahan dulu Awan! Jangan kau tumpahkah airmu di sini!”
“Mengapa?”, tanya Awan keheranan. “Bukankah sekarang giliran sawah-sawah ini yang mendapatkan hujan?”
“Tidak! Turunkan saja airmu di sana. Di ladang bunga itu. Aku akan segera meniupmu ke sana. Hffft…!!!”.
Awan tak bisa membantah. Angin berhenti bertiup saat Awan telah berada tepat di atas ladang bunga yang indah. Hujan pun akhirnya turun di atas ladang yang ditumbuhi bunga aneka warna itu.
“Lihat Awan, ladang bunga itu jadi tampak jauh lebih segar setelah kau sirami. Cantik sekali bukan? Jauh lebih cantik daripada tanah sawah yang tadi hendak kau curahi air hujan”, ujar Angin.
Awan tak menjawab karena dia sibuk mengosongkan muatan air dari dalam tubuhnya.
Sejak saat itu Angin tak mau lagi membiarkan Awan mencurahkan airnya di atas tanah persawahan. Angin selalu meniup Awan agar mengarah ke ladang bunga. Baginya ladang bunga terlihat lebih cantik dan menarik daripada tanah sawah.
Akibatnya tanah sawah itu menjadi kering dan panen pun gagal. Tapi Angin tak peduli. Baginya, ladang bunga yang cantik itu harus terus mendapatkan air hujan agar tidak kering seperti tanah sawah. Dia senang melihat batang-batang bunga yang meliuk-liuk seperti penari ketika Angin berhembus pelan.
Suatu hari ketika Angin dan Awan kembali ke negeri itu, alangkah terkejutnya mereka melihat ladang bunga itu tidak seperti dulu lagi. Rumput liar tumbuh semakin meninggi dan mendesak batang-batang tanaman Mawar dan Anyelir. Sementara daun tanaman Melati dan Krisan tampak kecoklatan dan berlubang karena dimakan ulat. Betapa sedihnya Angin melihat ladang bunga itu tak terurus.
“Apa yang terjadi?”, tanya Angin pada seekor Kupu-Kupu yang kebetulan terbang melintas.
“Gara-gara hujan tak pernah turun di atas sawah, panen pun gagal. Pak petani jadi tak punya persediaan makanan. Sekarang dia sibuk mencari sumber makanan lain untuk keluarganya. Pak Petani tak lagi sempat mengurus ladang bunga ini. Rumput liar tak pernah disiangi, ulat-ulat pemakan daun pun tak ada yang membasmi. Ladang bunga ini akhirnya jadi rusak.
Alangkah menyesalnya Angin begitu mendengar jawaban Kupu-Kupu. Dia lah yang telah mencegah Awan supaya tidak menurunkan hujan di atas tanah sawah sehingga akhirnya sawah-sawah itu gagal menghasilkan panen. Dia tak menyangka perbuatannya yang berat sebelah malah mengakibatkan ladang bunga yang disukainya itu rusak.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Sekarang Angin berjanji, dia akan bersikap lebih adil dan membagi rata air hujan yang dibawa oleh Awan.

-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)