Alkisah,
ada dua sahabat bernama Awan dan Angin.
Awan bertugas membawa butir-butir air dalam tubuhnya dan kemudian
menumpahkannya ke Bumi jika sudah penuh. Manusia mengenal saat itu sebagai
hujan.
Sementara
itu Angin bertugas meniup Awan ke sana ke mari. Jika sudah sampai di atas
daerah yang tepat, Angin akan berhenti bertiup agar Awan bisa mencurahkan
airnya. Keduanya mengitari Bumi agar seluruh bagian Bumi dapat merasakan hujan
secara bergiliran.
Pada
suatu hari, keduanya tiba di atas tanah persawahan sebuah negeri. Awan sedang bersiap-siap menumpahkan airnya ketika
tiba-tiba Angin berteriak.
“Tahan
dulu Awan! Jangan kau tumpahkah airmu di sini!”
“Mengapa?”,
tanya Awan keheranan. “Bukankah sekarang giliran sawah-sawah ini yang
mendapatkan hujan?”
“Tidak!
Turunkan saja airmu di sana. Di ladang bunga itu. Aku akan segera meniupmu ke
sana. Hffft…!!!”.
Awan tak
bisa membantah. Angin berhenti bertiup saat Awan telah berada tepat di atas
ladang bunga yang indah. Hujan pun akhirnya turun di atas ladang yang ditumbuhi
bunga aneka warna itu.
“Lihat
Awan, ladang bunga itu jadi tampak jauh lebih segar setelah kau sirami. Cantik
sekali bukan? Jauh lebih cantik daripada tanah sawah yang tadi hendak kau
curahi air hujan”, ujar Angin.
Awan
tak menjawab karena dia sibuk mengosongkan muatan air dari dalam tubuhnya.
Sejak
saat itu Angin tak mau lagi membiarkan Awan mencurahkan airnya di atas tanah
persawahan. Angin selalu meniup Awan agar mengarah ke ladang bunga. Baginya
ladang bunga terlihat lebih cantik dan menarik daripada tanah sawah.
Akibatnya
tanah sawah itu menjadi kering dan panen pun gagal. Tapi Angin tak peduli.
Baginya, ladang bunga yang cantik itu harus terus mendapatkan air hujan agar
tidak kering seperti tanah sawah. Dia senang melihat batang-batang bunga yang
meliuk-liuk seperti penari ketika Angin berhembus pelan.
Suatu
hari ketika Angin dan Awan kembali ke negeri itu, alangkah terkejutnya mereka
melihat ladang bunga itu tidak seperti dulu lagi. Rumput liar tumbuh semakin meninggi
dan mendesak batang-batang tanaman Mawar dan Anyelir. Sementara daun tanaman Melati
dan Krisan tampak kecoklatan dan berlubang karena dimakan ulat. Betapa sedihnya
Angin melihat ladang bunga itu tak terurus.
“Apa
yang terjadi?”, tanya Angin pada seekor Kupu-Kupu yang kebetulan terbang
melintas.
“Gara-gara
hujan tak pernah turun di atas sawah, panen pun gagal. Pak petani jadi tak
punya persediaan makanan. Sekarang dia sibuk mencari sumber makanan lain untuk
keluarganya. Pak Petani tak lagi sempat mengurus ladang bunga ini. Rumput liar
tak pernah disiangi, ulat-ulat pemakan daun pun tak ada yang membasmi. Ladang
bunga ini akhirnya jadi rusak.
Alangkah
menyesalnya Angin begitu mendengar jawaban Kupu-Kupu. Dia lah yang telah
mencegah Awan supaya tidak menurunkan hujan di atas tanah sawah sehingga
akhirnya sawah-sawah itu gagal menghasilkan panen. Dia tak menyangka
perbuatannya yang berat sebelah malah mengakibatkan ladang bunga yang
disukainya itu rusak.
Tapi
nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Sekarang
Angin berjanji, dia akan bersikap lebih adil dan membagi rata air hujan yang
dibawa oleh Awan.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.